PAJAK DALAM ISLAM

A.   Pendahuluan

Secara konseptual jenis penerimaan pemerintah maupun alokasi belanja pemerintah dalam ekonomi konvensional maupun ekonomi Islam hampir sama.  Namun demikian, tujuan-tujuan yang dicapainya agak sedikit berbeda, mengingat prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah pengelolaan anggaran dalam Islam selalu ditujukan untuk mencapai maqashid syari’ah, sehingga segala sesuatunya harus berdasarkan pada perintah Al Qur’an dan Sunah nabi.  Sedangkan dalam ekonomi konvensional kebijakan anggaran hanya sebagai komplemen kebijakan moneter untuk pencapaian tujuan ekonomi makro.

Dalam anggaran pemerintahan suatu negara, sumber-bumber penerimaannya diperoleh dari berbagai sumber, dimana salah satunya adalah pajak. Begitu pula dalam pemerintahan Islam. Pajak menjadi salah satu komponen yang pada masa kenabian dijadikan sumber penerimaan negara. Penerimaan yang diperoleh dari pajak yang dibenankan kepada masyarakat hendaknya harus memperhatikan aspek-aspek keadilan, baik dalam rangka penarikannya maupun dalam rangka pengalokasianya.

Pajak sebagai sumber penerimaan negara Islam, dalam pelaksanaannya haruslah sejalan dengan maqashid syari’ah, untuk itu Islam meminimalisir segala bentuk rusaknya kemaslahatan akibat perberlakuan pajak. Hal ini dikarenakan seringnya pemberlakuaan pajak bukan meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru sebaliknya, membebani rakyat.

B.    Pengertian pajak secara umum

Pajak didefinisikan sebagai kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu (Inayat, 2003). Dari definisi ini dapat diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu:

  1. Pajak merupakan suatu bentuk pembayaran tunai, artinya seorang mukallaf harus membayar pajak berupa uang tunai dan tidak berupa barang.
  2. Pajak merupakan suatu kewajiban mengikat yang mengharuskan setiap individu untuk menunaikannya. Artinya ada pakasaan yang dapat dilakukan oleh negara kepada rakyatnya untuk menarik pajak tanpa perlu adanya suatu kompromi.
  3. Pajak haruslah digunakan untuk kepentingan umum.
  4. Pajak tidak menharuskan adanya imbalan secara langsung, artinya tidak ada syarat bagi wajib pajak untuk memperoleh imbalan yang langsung, tetapi imbalan ini berupa fasilitas yang manfaatnya dapat dirasakan oleh semua pihak.
  5. Pajak adalah tuntutan politik untuk keuangan negara. Artinya pajak ditentukan oleh suatu pemerintahan yang berkuasa pada masa itu.

Dari definisi di atas, terlihat bahwa pajak merupakan suatu keharusan bagi setiap warga negara yang tidak bisa ditawar lagi. Namun, dari definisi di atas bukan berarti pajak dapat disalahgunakan sebagai bentuk pemerasan penyelenggaraan negara kepada rakyatnya, walaupun hal ini sangat mungkin terjadi. Karena kalau dilihat dari sejarahnya, yaitu pada masa feodalisme terutama sebelum datangnya Islam, pajak memang digunakan sebagai suatu bentuk paksaan dari pihak yang berkuasa. Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, mengubah paradigma tersebut. Dengan tetap mengacu kepada definisi di atas, ada beberapa konsepi-konsepi yang perlu dipenuhi dalam penarikan pajak, dan konsep inilah yang menjadi acuan di semua negara di dunia saat ini sebagai suatu kaidah-kaidah dalam penetapan pajak.

 

C.   Kaidah-kaidah pembebanan pajak

Segala aktivitas mu’amalah yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah dalam rangka mewujudkan tercapainya maqashid syari’ah (tujuan syari’ah). Salah satu tujuan syari’ah adalah tercapainya kesejahteraan harta dan kesejahteraan pemilik harta. Keduanya haruslah tercapai sebuah kesepakatan yang mana dalam pembebanan pajak muncul teori-teori guna menjembatani kesepakatan tersebut. Adalah ekonom Inggris Adam Smith telah merancang kaidah-kaidah beban pajak dan memuat empat teori (Inayat, 2003), yaitu:

  1. Teori keadilan atau persamaan
  2. Teori keyakinan
  3. Teori ekonomi
  4. Teori keseimbangan

Jauh sebelum Adam Smith, para ulama telah membahas prinsip-prinsip pajak. Semua Khalifa Rasyidin terutama Umar, Ali dan Umar bin Abdul Aziz menekankan supaya pajak dikumpulkan dengan keadilan dan dengan cara yang sopan, serta tidak boleh melampaui kemampuan orang untuk membayar atau membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Peningkatan pajak yang adil bukan hanya akan menimbulkan peningkatan pendapatan tetapi juga pembangunan daerah.

Dari keempat teori yang diungkapkan oleh Adam Smith di atas, akan kita coba jelaskan satu persatu :

  1. Kaidah Keadilan dan Persamaan

Keadilan pajak adalah kewajiban pertama yang harus dijunjung tinggi keselamatannya, Adam Smith menjelaskan prinsip melalui komentarnya: “Wajib memberikan sumbangsih perlindungan pemerintah untuk menutupi kebutuhan pangan negara sesuai kemampuan mereka yang relatif, yaitu pemilik harta bisa menikmati hartanya dengan perlindungan pemerintah”.

Dari komentar di atas dapat dilihat bahwa perlindungan masyarakat dalam menutupi beban umum harus sesuai dengan kemampuan dan ketentuannya, dimana ukurannya terletak pada ukuran pemasukan dan inilah yang dimaksud dengan kewajiban pajak harus sesuai dengan kemampuan keuangan, oleh karena itu pajak dikenakan atas dasar kelebihan harta bukan modal harta.

Dalam kaitannya dengan aspek keadilan dikenal dua macam prinsip, yaitu prinsip kepuasan atas balas jasa yang diterima wajib pajak (benefit approach) dan prinsip yang berdasarkan kemampuan membayar pajak (ability to pay principle). Jika diukur dari prinsip kepuasan atas balas jasa yang diterima wajib pajak sangatlah sulit, hal ini dikarenakan relatifitas dari kepuasan itu sendiri.

Ada tiga macam cara untuk menggunakan pendekatan atas dasar kemampuan membayar, yaitu equal absolute sacrifice approach, equal propotional sacrifice approach, dan equal marginal sacrifice approach (Suparmoko, 2002).

Dalam konsep  equal absolute sacrifice dikehendaki agar pajak dibayar oleh wajib pajak sedemikian rupa sehingga beban riil wajib pajak itu secara absolute sama besarnya. Karena uang mempunyai sifat memberikan guna batas marginal yang menurun (diminishing marginal utility), pajak yang dipungut dari wajib pajak harus lebih besar untuk mereka yang penghasilannya lebih tinggi dan lebih kecil untuk mereka yang berpenghasilan rendah, sehingga secara absolute beban riil mereka sama besarnya.

Pendekatan yang lebih progresif sifatnya adalah prinsip pengenaan pajak yang mengunakan konsep equal propotional sacrifice. Dengan konsep ini wajib pajak dikenakan pajak sedemikian rupa sehingga beban riil yang hilang dari setiap wajib pajak sebanding atau proposional untuk semua wajib pajak.

Sedangkan dalam pendekatan equal marginal sacrifice, para wajib pajak dikenakan pajak sedemikian rupa sehingga penghasilannya setelah kena pajak akan memberikan marginal utility yang sama untuk unit uang yang terakhir. Tetapi kalau perbedaan penghasilan sangat besar antara wajib pajak yang satu dengan yang lain, maka besarnya jumlah pajak yang diinginkan itu dibebankan saja seluruhnya kepada wajib pajak yang penghasilannya tertinggi, dan wajib pajak yang penghasilannya rendah dibebaskan dari pengenaan pajak.

  1. Kaidah Kepercayaan atau Keyakinan

Menurut Adam Smith pajak harus berdasarkan keyakinan. Dengan demikian segala hal yang berkaitan dengan nilai harga, nisab, kadar, waktu dan tindakan-tindakan penghasilan yang berkaitan dengan pajak harus jelas. Wajib pajak harus didorong untuk tertib memenuhi kewajibannya dengan membayar tepat pada waktunya. Batasan pajak ada pada tindakan-tindakan untuk terjadinya perubahan atau keadilan, kecuali dalam keadaan sulit, maka seorang mukallaf ikut serta mengatur kebutuhan pangan dan kewajiban materi. Dan batasan-batasan itu tidak jelas bagi pajak yang bisa mendatangkan kedzaliman, kesewenang-wenangan, kerusakan, lebih-lebih lagi para pelaksana administrasi dan pelaksana perpajakan. Hal ini dapat menggoncangkan semangat kerja, situasi keuangan dan kepercayaan yang dipegang oleh pejabat perpajakan terhadap pajak yang dibayarkan oleh masyarakat.

Hal-hal di atas menjadikan masyarakat menghidari pajak dan menggagalkan politik keuangan pemerintah dalam merealisasikan sasaran dan tujuan pajak. Dari sini jelaslah bahwa kaidah keyakinan itu sangat penting dalam perpajakan yang juga untuk menjaga prinsip-prinsip keadilan dalam pajak.

Untuk menumbuhkan keyakinan para wajib pajak, maka pemerintah sebagai pihak penyelenggara pajak memiliki kewajiban memenuhi dua kondisi berikut (Chapra,2000); Pertama, penerimaan hasil-hasil pajak harus dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan pajak. Kedua, pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata diantara mereka yang wajib membayarnya. Selama tidak ada jaminan bahwa dana pajak yang dibayarkan kepada pemerintah akan dipergunakan secara jujur dan efektif untuk mewujudkan tujuan syari’ah, maka masyarakat tidak akan bersedia dengan pemerintah dalam usaha pengumpulan pajak dan mengabaikan berapa pun kewajiban-kewajiban moral untuk membayar pajak ditegaskan.

  1. Kaidah Keselarasan

Teori ini menghendaki agar hukum yang berkaitan dengan pajak itu sesuai dengan kondisi muslim mukallaf, khususnya yang berkaitan dengan batasan waktu dan sebab-sebab penarikan pajak. Dari segi batasan waktu penarikan pajak hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi keuangan dan kehidupan masyarakat seperti waktu penghasilan atau setelah memperoleh penghasilan. Pajak ditarik ketika panen atau ketika menjual barang produksi.

Dari segi sebab-sebab penarikan pajak dikehendaki adanya layanan penarikan pajak yang maksimal sesuai dengan keadaan muslim mukallaf. Oleh karenannya suatu kewajiban bagi penarik pajak untuk memberikan kemudahan bagi muslim mukallaf dalam membayar pajak.

  1. Kaidah Ekonomi

Kaidah ini menghendaki agar sikap pemborosan dan upaya maksimal dalam memperoleh hasil pajak atau sarana lain dalam perpajakan, seperti mata uang, transportasi dan inventarisasi, atau yang berkaitan dengan kebutuhan pembayar pajak dihindari sehingga manfaat pajak dapat direalisasikan dengan memperkaya hasil pajak.

Dalam buku Muhammad Abdul Mannan, “Ekonomi Islam: Teori dan Praktek”, ada yang harus diikuti dalam proses pengambilan pajak yang dilakukan pemerintah kepada rakyatnya, antara lain:

  • Negara harus meneliti dalam menetapkan pengambilan bermacam-macam pajak, maka hendaknya dipakai dasar keadilan dalam perpajakan, yaitu dengan mengambil dari setiap individu menurut kadar kemampuannya. Bagi yang tidak mampu agar dibebaskan dari pajak. Ketika negara mengambil kewajiban pembayaran dari harta lainnya yang diwajibkan Allah SWT, seperti zakat dan jizyah, maka harus menurut ukuran yang telah ditetapkan dengan benar karena semua itu telah ditentukan oleh Allah SWT.
  • Negara hendaknya memperhatikan hak dalam penentuan barang yang dikenakan kewajiban pembayaran harta umum, sehingga Baitul Maal tidak mengambil melebihi dari keuntungan seorang pengusaha dan pengusahan hendaknya tidak berbuat curang dalam memberikan haknya kepda Baitul Maal.
  • Negara harus memperhatikan pendapatan orang yang dikenakan kewajiban membayar harta umum, maka tidak ada sistem yang menzhalimi pengusaha.
  • Negara harus mendapatkan harta kekayaan umum dalam rentang waktu yang telah ditentukan, maka tidak mungkin zakat dan kharaj diambil sebelum berpenghasilan. Jadi tepatnya dimusim panen sesuai firman Allah, “Dan tunaikanlah haknya di hari memetiknya.” (Q.S. Al An’aam : 141)

 

D.   Sistem pengenaan pajak

Sistem pengenaan pajak yang ada pada masa kini mengacu kepada kaidah-kaidah pembebanan pajak yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut, sistem pengenaan pajak dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, sistem pajak yang progresif. Dimana sistem pengenaan pajak ini bertambah nilainya seiring dengan semakin tingginya dasar pajak (tax base) seperti tingkat penghasilan wajib pajak, harga barang mewah dan sebagainya, akan dikenai pungutan pajak yang semakin tinggi persentasenya. Sistem pajak progresif masih sesuai dengan semangat Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Sistem pengenaan pajak seperti ini sangat membantu menumbuhkan kesadaran wajib pajak untuk mengalokasikan harta yang dimilikinya kepada hal-hal yang sifatnya lebih produktif daripada membelanjakannya untuk barang-barang mewah.

Kedua, sistem pajak proposional, yaitu pengenaan tarif pajak berdasarkan persentase yang sama untuk nilai objek pajak yang berbeda-beda. Sistem ini tidak bisa diberlakukan untuk semua bentuk pajak, hanya pajak-pajak tertentu saja yang dapat mengunakan sistem ini. Meski demikian, sistem pengenaan pajak proposional masih sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan.

Ketiga, sistem pajak yang regresif yang mana kebalikan dari sistem pajak progresif. Semakin tinggi dasar pajaknya, maka akan semakin rendah persentase yang dibebankannya, tetapi jumlah yang dibayarkan tetap akan lebih besar untuk nilai pajak yang lebih besar pula. Sistem ini dapat diterapkan pada pengenaan pajak yang dialokasikan untuk hal-hal yang sifatnya produktif dan sosial, serta bergantung pada situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu.

Selain itu, dikenal pula pungutan pajak yang sifatnya langsung dan tidak langsung. Pengenaan pajak langsung artinya seluruh beban pajak dipikul oleh wajib pajak itu sendiri dan tidak dapat dialihkan kewajibannya kepada pihak lain. Sedangkan pajak tidak langsung artinya beban pajak dapat dialihkan kepada pihak lain, baik seluruh atau sebagian dari beban pajak tersebut.

Para ulama berpendapat bahwa pajak langsung lebih baik dipandang dari sudut Islam, yang menekankan keadilan. Sejumlah ulama seperti Syekh Hasan Al Banna, mantan pemimpin Ikhwanul Muslimin, Yusuf Qardhawi dan Al-Abbadi melihat sistem pajak progresif sangat sesuai dengan etos Islam karena membantu mereduksi kesenjangan pendapatan dan kekayaan.

E.    Sistem perpajak pada masa kejayaan Islam

Pajak merupakan sumber penerimaan primer negara pada masa Rasulullah SAW. dan Khulafa Rasyidin. Sumbernya bisa dari dalam negeri atau pajak perdagangan internasional. Pajak dalam negeri sendiri, banyak macamnya dari pajak penghasilan, pajak perseroan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan dan lain sebagainya. Adapun jenis-jenis pajak yang diberlakukan pada masa itu adalah sebagai berikut :

  1. Kharaj (Ibrahim, 2003)

Kharaj dapat diartikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh pemillik untuk diberikan pada pemerintah. Penetapan kharaj harus memperhatikan betul kemampuan kandungan tanah, karena ada tiga hal yang berbeda yang mempengaruhinya: pertama, jenis tanah; tanah yang bagus akan menyuburkan tanaman dan hasilnya lebih baik dibandingkan dengan tanah yang buruk. Kedua, jenis tanaman; ada tanaman yang harga jualnya tinggi dan yang harga jualnya rendah. Ketiga, pengelolaan tanah; jika biaya pengelolaan tanah tinggi, maka pajak tanah yang demikian tidak sebesar pajak tanah yang disirami dengan air hujan yang biayanya rendah.

Jadi kharaj adalah pajak atas tanah yang dimiliki kalangan nonmuslim di wilayah negara muslim. Tanah yang pemiliknya masuk Islam, maka tanah itu menjadi milik mereka dan dihitung sebagai tanah ‘usyr seperti tanah yang dikelola di kota Madinah dan Yaman. Dasar penentuannya adalah produktivitas tanah, bukan sekedar luas dan lokasi tanah. Artinya, mungkin saja terjadi,  untuk tanah yang bersebelahan, di satu sisi ditanam anggur dan lainnya kurma, maka hasil pajaknya juga berbeda.  Berdasarkan tiga kriteria di atas, pemerintah secara umum menentukan kharaj berdasarkan kepada:

  1. Karakteristik tanah/tingkat kesuburan tanah
  2. Jenis tanaman, termasuk daya jual dan jumlah
  3. Jenis irigasi
  4. Ketentuan besarnya kharaj ini sama dengan ’usyr.

Seperti dijelaskan di muka, kewajiban membayar kharaj akan gugur, kalau mereka masuk Islam, atau menjual tanah tersebut kepada orang Islam. Akan tetapi kalau mereka menjual tanah tersebut kepada pihak nonmuslim, maka kharaj tersebut tetap berlaku. Perbedaan antara tanah kharajiyah dan usyriyah adalah; kalau tanah kharjiyah, berarti yang dimiliki hanya kegunaannya, sedangkan lahannya tetap menjadi milik negara. Sementara kalau yang diberikan adalah tanah usyuriyah, maka yang dimiliki adalah tanah sekaligus kegunaannya.

Pada masa pemerintahan Nabi SAW., tanah-tanah kharaj sangatlah terbatas dan tidak membutuhkan. Barulah pada zaman khalifah pertama di belakangnya, luasnya serta banyaknya penghasilan tanah-tanah kharaj terdiri atas sebagian besar tanah Romawi dan seluruh tanah kerajaan Persi. Disanalah berlaku banyak sistem yang memerlukan penilaian dari pemungutan dan pengaturan tentang pendapatannya (Zakiy, 2002).

  1. ‘Usyr (Erfanie, 2005)

‘Usyr adalah pajak yang dipungut dari hasil pertanian, tarifnya tetap, yaitu 10 persen atas hasil panen dari lahan yang tidak beririgasi, dan 5 persen atas hasil panen dari lahan yang  beririgasi. Pajak ini bisa berupa uang, atau berupa bagian dari hasil pertanian itu sebagaimana tersirat dalam Al-Qur’an surat Al-An’am: 141;

وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَآأَثْمَرَ وَءَاتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berujung dan tidak berujung, pohon kurma, tanaman-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa, dan tidak (sama rasanya). Makanlah dari buahnya bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

Jadi usyr itu merupakan hasil tanah, yaitu pungutan yang diambil oleh negara dari pengelola tanah sebesar 1/10 dari hasil panen riil, apabila tanamannya diari dengan air tadah hujan, dengan pengairan alami. Dan negara akan mengmabil 1/20 dari hasil panen riil, apabila tanamannya diairi oleh orang atau yag lain dengan pengairan tehnis (buatan). Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir yang mengatakan:

Rasulullah SAW bersadba: “(Tanaman) apa saja yang diari oleh bengawan dan hujan (harus diambil) 1/10 (dari hasil panennya). Dan apa saja yang diairi dengan kincir air, maka (harus diambil) 1/20 (dari hasil panennya)”.

Pada prinsipnya, kharaj dan ‘ursy sama-sama pajak yang dikenakan kepada tanah yang dimiliki oleh seseorang. Hanya saja ketentuan yang diberlakukan akan berbeda berdasarkan atas kepemilikannya dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika tanah itu merupakan milik seorang muslim, maka ia akan dikenakan ‘ursy, tetapi jika tanah itu milik nonmuslim yang berada dalam kekuasaan negara Islam, maka ia akan dikenakan kharaj.

 Pajak konvensional seperti pajak bumi yang dipungut atas dasar hasil budidaya. Hasil pajak ini dipergunakan untuk membiayai sebagian besar anggaran militer di zaman Utsmaniyah. Tetapi sayangnya jenis pajak ini cendrung sebagai penghambat (disincentive) bagi produksi pertanian. Sistem pajak bumi yang lebih efisien ialah bila pajaknya didasarkan kepada potensi pertanian dan hasil yang sedang berjalan. Ini akan menggairahkan peningkatan produksi agar dapat membayar pajak dan menghasilkan surplus yang tidak dikenakan pajak, daripada menghambat produksi marginal. Namun demikian pemerintah, sekalipun sangat giat melakukan pendaftaran tanah, tidak pernah berupaya untuk memperkirakan potensi hasil budidaya, karena perkiraan semacam ini akan menimbulkan perdebatan. ‘Usyr ini dianggap sebagai zakat dan diserahkan kepada pemerintah, serta tidak dibagikan kecuali kepada 8 (delapan) ashnaf (kelompok) yang telah disebutkan di dalam Q.S. At-Taubah: 60.

  1. Khums

Khums atau sistem proporsional tax adalah prosentase tertentu dari rampasan perang yang diperoleh oleh tentara Islam sebagai ghanimah, yaitu harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran yang berakhir dengan kemenangan. Sistem pendistribusiannya disebut khumus (seperlima) setelah peperangan. Khums diserahkan kepada Baitul Mal demi kemakmuran negara dan kesejahteraan ummat.

Pendistribusiannya berdasarkan realita keadaan, dan hal ini diatur dalam Q.S. Al Anfaal: 41,

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُم مِّن شَيْءٍ فَأَنِّ للهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِن كُنتُمْ ءَامَنتُم بِاللهِ وَمَآأَنزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Ketahuilah sesunguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai  ghaninah (rampasan perang), sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul saw.,kerabat Rasul saw.,anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil. Sedang empat perlima (80 persen) dibagikan kepada mereka yang ikut berperang”

Menurut Imam Abu Ubaid, yang dimaksud khums bukan hanya hasil rampasan perang tetapi juga barang temuan dan barang tambang.

  1. Jizyah

Jizyah berupa pajak yang dibayar oleh kalangan nonmuslim sebagai kompensasi atas fasilitas sosial-ekonomi, layanan kesejahteraan, serta jaminan keamanan yang mereka terima dari negara Islam. Jizyah sama dengan poll tax karena kalangan nonmuslim tidak mengenal zakat fitrah.  Jumlah yang harus dibayar sama dengan jumlah minimum yang dibayarkan oleh pemeluk Islam.  Di zaman Rasulullah SAW. besarnya jizyah adalah 1 dinar pertahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Jizyah tidak ditetapkan dengan suatu jumlah tertentu, selain diserahkan kepada kebijakan dan ijtihad khalifah, dengan catatan tidak melebihi kemampuan orang yang berhak membayar ijtihad.

Dari Ibnu Abi Najih yang mengatakan: “Aku bertanya kepada Mujahid: Apa alasannya penduduk Syam dikenakan 4 (empat) dinar, sedangkan penduduk Yaman hanya 1 (satu) dinar? Mujahid menjawab: Hal itu hanyalah untuk mempermudah” (H.R. Bukhari)

Kewajiban membayar jizyah ini juga diatur dalam Qur’an surat At-Taubah: 29,

… حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

 “…sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk”.

Jizyah adalah pajak yang dikenakan per kepala, sebagaimana zakat fitrah yang dikenakan bagi seorang muslim. Jizjah wajib dipungut dari orang-orang nonmuslim, selama mereka tetap kufur, namun apabila mereka telah memeluk Islam, maka jizyah tersebut gugur dari mereka. Jizyah tersebut dikenakan atas orang, bukan atas harta sehingga dikenakan atas tiap orang non muslim, bukan atas hartanya.

  1. ‘Usyur

Dalam hal ini ‘usyur adalah pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam atau datang dari negara Islam itu sendiri. Pajak ini berbentuk bea impor yang dikenakan pada semua perdagangan, dibayar sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.

Permulaan ditetapkannya ‘usyur di negara Islam adalah pada masa khalifah Umar bin Khatab dengan alasan penegakan keadilan, karena ‘usyur dikenakan kepada pedagang muslim ketika mereka mendatangi daerah asing. Dalam rangka penetapan yang seimbang maka Umar memutuskan untuk memperlakukan pedagang nonmuslim dengan perlakuan yang sama jika mereka memasuki negara Islam. Tempat berlangsungnya pemungutan ‘usyur adalah pos perbatasan negara Islam, baik pintu masuk maupun pintu keluar layaknya bea cukai pada zaman ini.

  1. Nawaib/Daraib (Erfanie, 2005)

Merupakan pajak umum yang dibebankan atas warga negara untuk menanggung beban kesejahteraan sosial atau kebutuhan dana untuk situasi darurat. Pajak ini dibebankan pada kaum muslimin kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan hal ini terjadi pada masa perang Tabuk. Pajak ini dimasukan dalam Baitul Maal, dan dasar hukum atas kewajiban ini adalah Q.S. Ar-Ruum: 38,

فَئَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ذَلِكَ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Mengingat fungsi dari pemerintahan Islam yang modern tidak dapat lagi terbatas pada fungsi-fungsi seperti yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Islam dahulu, menjadi tidak realistis pula mengasumsikan bahwa pajak sekarang dapat dibatasi hanya pada golongan-golongan ekonomi tertentu seperti yang didiskusikan ulama-ulama klasik. Perekonomian pada saat tersebut terutama bertumpu pada pertanian, oleh karenanya, pajak sperti kharaj dan ushr juga merupakan pajak utama atas output-output pertanian; sedangkan pajak lainnya memberikan sumbangan yang relatif kecil. Corak perekonomian sekarang telah berubah, atau tengah berubah, dan sumber pendapatan yang lebih layak dan lebih terdiversifikasi telah tersedia bagi pemerintah yang modern. Oleh karena itu, sumber pendapatan lama seperti ghanimah dan jizyah mungkin sudah tidak relevan lagi pada masa modern ini dan mungkin harus dikesampingkan.

F.    Fungsi dan peranan pajak dalam Islam

Pada prinsipnya, dana pajak digunakan untuk kesejahteraan umum seluruh masyarakat dalam suatu negara. Sehingga pajak memiliki fungsi alokasi, distribusi dan stasbilisasi secara efektif. Selain dalam rangka menjaga keberlangsungan roda pemerintahan, pajak juga harus lebih diprioritaskan untuk hal-hal yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Jadi secara umum pajak mempunyai fungsi sebagai public service dan jaminan sosial bagi masyarakat.

Kesejahteraan merupakan tujuan pokok dari semua pengeluaran pemerintah, maka semua proyek infrastruktur sosial dan fisik yang membantu merealisasikan tujuan ini melalui pertumbuhan ekonomi yang cepat, penciptaan lapangan pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan pokok, dapat memberikan prioritas dari proyek-proyek yang tidak memiliki kontribusi demikian. Diantara proyek infrastruktur yang sangat diperlukan, menghapus kesulitan dan penderitaan yang disebabkan oleh kekurangan gizi, buta huruf, tuna wisma dan epidemi, kekurangan fasilitas kesehatan dan ketersediaan air bersih, haruslah memjadi prioritas utama.

Begitu juga dalam pembangunan suatu sistem transportasi publik yang efisien, perlu prioritas yang tinggi. Ketiadaannya menyebabkan kesulitan bagi mayoritas penduduk, berdampak buruk terhadap efisiensi pembangunan dan menimbulkan impor berlebihan terhadp mobil dan minyak. Dan sebagai salah satu solusi dari tingginya impor mobil dan minyak, pemerintah dapat membenahi sistem transportasi publik kearah yang lebih baik dengan pengadaan kendaraan publik dengan demikian tidak akan mengurangi tekanan terhadap sumber-sumber devisa, tetapi juga memberikan pelayanan transportasi yang lebih nyaman kepada mayoritas penduduk, dengan kemacetan dan polusi udara yang berkurang di kota.

Dalam rangka melakukan pemerataan di setiap bidang kehidupan, pembangunan pedesaan untuk meningkatkan produktivitas pertanaian, memperluas kewirausahaan dan kesempatan kerja, serta pemenuhan kebutuhan hidup rakya pedesaan hruslah diutamakan. Hal ini secara otomatis akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan kerena akan mengurangi kepadatan. Selain itu, peningkatan kemampuan untuk si miskin dalam rangka mencari mata pencaharian yang lebih baik dapat dilakukan suatu proses pelatiahn dan akses yang lebih baik kepada pendidikan dan keuangan.

Disamping itu, restrukturisasi sistem finansial dalam rangka pemberian pembiayaan kepada pengusaha di pedesaan dan di perkotaan untuk meningkatkan peluang usaha dan meningkatkan produksi barang dan jasa, juga menjadi syarat penting guna mendukung itu semua. Jadi secara umum, pajak haruslah dapat berdaya guna dalam rangka meingkatkan kesejahteraan umum.

G.   Dampak pajak dalam pemerintahan Islam

Berdasarkan atas fungsi dan peranan pajak dalam suatu pemerintahan Islam yang mengedepankan prinsip kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakatnya, maka kegunaan pajak dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Selain untuk meningkatkan taraf hidup suatu masyarakat, pajak juga menjadi tolak ukur riil akan tingkat kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Hal ini terlihat dari ada tidaknya infrastruktur yang diperuntukan bagi masyarakat secara umum. Suatu negara yang taraf hidupnya di atas tingkat rata-rata, pastilah tercukupi fasilitas-fasilitas umumnya, setelah fasilitas pribadi yang terpenuhi sebelumnya.

Terciptanya suatu pemerintahan yang baik dalam menjalakan usahanya sebagai khalifah di muka bumi, menjadi salah satu kegunaan yang dirasakan dari adanya pungutan pajak. Alokasi dana pajak dalam menjalankan roda pemerintahan sangatlah mendorong usaha-usaha percepatan ekonomi yang digalakan oleh pemerintah. Hal ini bisa dibuktikan dengan semakin meluasnya kesejahteraan yang merata bagi pengelola negara memungkinkan fasilitas pelayanan dalam rangka mengerakan roda perekonomian dengan kemudahan mendirikan usaha-usaha baru menjadikan masyarakat bergairah untuk senantiasa berusaha meningkatkan produktivitas usahanya.

Kebijakan pemungutan pajak terhadap setiap jenis usaha juga berhasil menciptakan kestabilan harga dan mengurangi inflasi. Pada saat stagnasi dan menurunnya Aggregate Demand dan Aggregate Supply, pajak mendorong stabilitas pendapatan dan produksi total. Kebijakan ini juga tidak menyebabkan penurunan harga maupun jumlah produksi (Karim, 2002). Salah satu contohnya adalah pada pengenaan pajak barang tambang dan galian (khums). Dampak ekonomi dari propotional tax (seperti khums) maupun lump-sum tax dapat diterangkan dengan analisis yang mengambarkan GDP long-run berbentuk garis lurus berupa tren perkembangan dan dengan actual GDP berbentuk fluktuatif (turun-naik) yang menggambarkan adanya business cycle. Bila kita menggunakan sistem proportional tax, amplitudonya menjadi lebih kecil atau automatic stabilizer.

Hal tersebut dapat dilihat dari persamaan di bawah ini :

Y = C + I + G

dengan :

C = a + b (1 – 0,2)y

C = a + 0,8by

maka :

pers-1-pdi

Dari persamaan di atas diketahui bahwa meskipun ekonomi mengalami booming, tingkatnya tidak akan terlalu tinggi, karena (0,8by) lebih kecil dari (by). Ketika perekonomian turun (down turn) akan ada ‘rem’ automatic stabilizer-nya.

Kita dapat menelaah ilustrasi grafik berikut:

gambar-1-pdi

Grafik. 1

Automatic Stabilizer dengan Proportional tax

Dari ilustrasi di atas diketahui bahwa  sehingga jika terjadi goncangan (shock), perekonomian yang menerapkan propotional tax akan mengalami goncangan yang lebih kecil, baik ketika kondisi perekonomian sedang booming, maupun ketika sedang turun (down turn). Sementara itu, jika diterapkan lump-sum tax, ketika perekonomian sengan mengalami kecenderungan naik akan terjadi bubbling, sedangkan ketika tren turun akan terjadi crash.

Melalui grafik dapat kita lihat ilustrasi business cycle tanpa dan dengan khums sebagai berikut :

gambar-2-pdi

Grafik. 1

Business cycle tanpa dan dengan khums

Selain dari dampak yang telah  disebutkan di atas, pengenaan pajak juga dapat berakibat buruk bagi perekonimian suatu negara. Hal ini terjadi manakala pengenaan pajak tidak sesuai proporsinya atau tidak seimbang dalam pengunaannya. Oleh karenanya sangat dianjurkan keseimbangan dalam penarikan besaran pajak oleh pemerintah, karena penarikan pajak yang terlalu berlebihan bukan berdampak kepada kesejahteraan masyarakat secama umum, namun dapat berdampak pengalokasian yang tidak tepat sehingga pada akhirnya dapat mengurangi kemauan berusaha yang diikuti menurunya produktivitas.

Kesimpulan

Pajak dalam pemerintahan Islam adalah suatu keniscayaan. Keberadaanya sangatlah dibutuhkan bagi terciptanya keseimbangan dalam anggaran belanja negara. Suatu sistem pemerintahan tidak mungkin dapat berjalan tanda adanya dukungan dari rakyatnya dan pajak merupakan salah satu bentuk dukungan rakyat yang berguna dalam rangka terciptanya suatu kesejahteraan umum. Pajak merupakan suatu proses timbal balik antara pengelola negara yang bertanggung jawab atas hajat hidup orang banyak dengan rakyatnya. Dalam Al Qur’an banyak diterangkan tentang kewajiban pajak, serta manfaat atas pemberlakuannya. Pemimpin-pemimpin terdahulu, baik Khulafa Rasyidin maupun zaman sesudahnya, juga menjalankan pemberlakuan pajak semasa pemerintahnya. Oleh karena itu, pajak menjadi suatu keharusan dalam Islam, bukan semata-mata karena kebutuhannya, tetapi juga karena tujuan pemberlakuaannya.

Bentuk-bentuk pungutan pajak yang ada pada masa kejayaan Islam, tidak semua yang relefan dengan keadaan pada masa sekarang, namun yang perlu diperhatikan dari pengambilan pajak dari negara kepada rakyatnya bukan berdasarkan bentuknya melainkan manfaat dan tujuan pemberlakuaannya.

Ada beberapa prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam pemberlakuan pajak yang sesuai dengan maqasi syari’ah, salah satunya adalah prinsip keadilan. Pemberlakuan pajak harus berdasarkan prinsip keadilan dari pengenaan pajak itu sendiri. Adil dalam penarikannya maupun adil dalam penggunaannya. Untuk itu, pajak bukan hanya merupakan kewajiban seorang mukallaf sebagai wajib pajak, tetapi juga merupakan tanggung jawab pengelola pajak untuk merealisasikan tujuan dari pajak, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahannya: Departemen Agama RI, 2000, Diponegoro, Bandung.

Chapra, Umer, 2000, Islam dan Tantangan Ekonomi, Gema Insani Press, Jakarta.

Chapra, Umer, 2001, The Future of Economics: An Islamic Perspective, edisi terjemahan, SEBI, Jakarta.

Erfanie, Sairi, 2005, Kebijakan Anggaran Pemerintah, dalam Buku “Kebijakan Ekonomi dalam Islam”, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Ibrahim, Quthb Muhammad, 2003, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khatab, Islam Ramatan.

Inayah, Gazi, 2003, Teori Komprehensip Tentang Zakat dan Pajak, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Karim, Adiwarman, 2002, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro, The International Institute of Islamic Thought Indonesia, Jakarta.

Mannan, Muhammad Abdul, 1992, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, Intermasa, Jakarta.

Marthon, Said Sa’ad, 2001, Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Zikrul Hakim, Jakarta.

Suparmoko, M., 2002, Ekonomi Publik: Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, ANDI, Yogyakarta.

Zakiy, Abdullah Al Kaaf, 2002, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, Pusaka Setia, Bandung.