PENURUNAN BI RATE DAN SUKU BUNGA PERBANKAN

Sudah  3 (tiga) kali Bank Indonesia terus memangkas suku bunga acuan (BI Rate) sepanjang satu kuartal pertama Tahun 2016. Keputusan Bank Indonesia untuk memangkas atao menurunkan acuan suku bunga (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 6,75 persen, pada Maret 2016. Dengan harapan seluruhya bunga acuan ini diikuti dengan pengurangan suku bunga kredit perbankan serta likuiditas menyebar ke sektor riil guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan dana pihak ketiga akan mengalami kenaikan dan laju peningkatan ekspansi kredit perbankan yang sempat melemah pada tahun lalu akan kembali membaik ke posisi 15%-17% pada kwartal 1/2016.

  1. Suku Bunga Acuan (BI Rate)

BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter.

Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan. Dengan menurunkan BI Rate maka Bank Indonesia telah menerapkan kebijakan moneter yang agak longgar. Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil.  Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi.

Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, setidaknya melalui 4 jalur, yaitu jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.

Gambar. Mekanisme perubahan BI Rate

Transmisi_small

Sumber :  http://www.bi.go.id

Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan.  Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi.  Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga kredit akan direspon oleh dunia usaha dan rumah tangga melalui meningkatnya permintaan kredit perbankan. Dengan peningkatan tersebut maka investasi oleh dunia usaha dan konsumsi oleh rumah tangga akan meningkat, ceteris paribus. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi.  Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin bergairah.

Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar.  Mekanisme ini sering disebut jalur nilai tukar.  Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan menjadikan suku bunga di Indonesia lebih tinggi dibandingkan suku bunga di luar negeri. Kondisi ini akan mendorong investor asing untuk menanamkan modal dengan membeli surat-surat berharga ke dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan tingkat  pengembalian yang lebih tinggi, ceteris paribus. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Meningkatnya kurs rupiah akan menjadikan harga produk impor lebih murah dan produk ekspor lebih mahal, sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor.  Gilirannya nilai impor akan lebih tinggi dari nilai ekspor. Menurunnya selisih bersih ekspor dan impor (net-ekspor) tersebut akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.

Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga aset.  Jika BI Rate turun dan menjadikan suku bunga perbankan menurun maka penurunan tersebut akan menaikkan harga asset, misalnya saham dan surat-surat berharga lainnya. Kondisi tersebut akan mendorong kemampuan pemilik asset untuk melakukan kegiatan investasi dan konsumsi. Selanjutnya kegiatan tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi jalur ekspektasi masyarakat  akan inflasi. Perubahan BI Rate yang berdampak perubahan suku bunga perbankan akan mempengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap perekonomian. Penurunan suku bunga akan mendorong investasi dan konsumsi. Meningkatnya kegiatan ekonomi tersebut cenderung mendorong terjadinya inflasi. Masyarakat, dalam hal ini pekerja, akan mengantisipasi meningkatnya inflasi tersebut dengan meminta kenaikan upah, ceteris paribus. Kenaikan upah tersebut oleh pengusaha dapat dibebankan kepada konsumen melalui kenaikan harga jual produk.

Upaya Bank Indonesia untuk menurunkan BI Rate dengan harapan agar suku bunga kredit turun dan pada gilirannya akan menggairahkan investasi merupakan hal yang diperlukan (necessary condition). Hal tersebut tidak cukup, harus diikuti dengan kebijakan-kebijakan lain yang dapat mendorong peningkatan investasi (sufficient condition). Kebijakan termaksud antara lain iklim investasi yang sehat dan kompetitif, birokrasi yang pro investasi, serta dukungan infrastruktur ekonomi baik dari aspek kuantitas dan kualitas. Dengan demikian kebijakan moneter melalui instrumen BI Rate harus dibarengi secara simultan dengan kebijakan fiskal dan kebijakan ekonomi yang lain oleh pemerintah agar dapat mencapai sasaran yang optimal

Gambar. Pergerakan BI Rate 2010 – 2016

pergerakan BI rate

 

 

  1. Tingkat Inflasi

Inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi. Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.

Bank Indonesia  akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dalam pengendalian inflasi, penguatan stimulus pertumbuhan, dan reformasi struktural sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.

Target atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia, berkoordinasi dengan Pemerintah. Penetapan sasaran inflasi berdasarkan UU mengenai Bank Indonesia dilakukan oleh Pemerintah. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tentang Sasaran Inflasi tahun 2013, 2014, dan 2015 tanggal 30 April 2012  sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk periode 2013 – 2015, masing-masing sebesar 4,5%, 4,5%, dan 4% masing-masing dengan deviasi ±1%.

 

 Tabel.  Inflation Report (Consumer Price Index)

                                           Th 2014-2016

Bulan Tingkat Inflasi 2014 Monthly Growth 2014 Tingkat Inflasi 2015 Monthly Growth 2015 Tingkat Inflasi  2016
 Januari 8.22 %          1.07% 6.96 %         -0.24% 4.14 %
Februari 7.75 %          0.26% 6.29 %         -0.36% 4.42 %
Maret 7.32 %          0.08% 6.38 %          0.17% 4.45 %
April 7.25 %         -0.02% 6.79 %          0.36%
Mei 7.32 %          0.16% 7.15 %          0.50%
Juni 6.70 %          0.43% 7.26 %          0.54%
Juli 4.53 %          0.93% 7.26 %          0.93%
Augustus 3.99 %          0.47% 7.18 %          0.39%
September 4.53 %          0.27% 6.83 %         -0.05%
Oktober 4.83 %          0.47% 6.25 %         -0.08%
November 6.23 %          1.50% 4.89 %          0.21%
Desember 8.36 %          2.46% 3.35 %          0.96%
Total          8.36%          3.35%

Sumber : https://www.bps.go.id atau

 

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi bulanan pada Desember 2015 sebesar 0,96 persen, yang merupakan inflasi tertinggi sepanjang tahun lalu. Angka inflasi pada Desember lalu tersebut, bahkan lebih tinggi dari inflasi pada Juli 2015 yang sebesar 0,93 persen akibat efek kenaikan harga barang-barang selama bulan puasa dan lebaran.

Penyebab tingginya inflasi dari komponen harga yang bergejolak pada Desember 2015 adalah harga cabai merah dan bawang merah yang melonjak masing-masing 43 persen dan 36 persen. Momen Natal dan Tahun Baru yang memicu peningkatan permintaan, turut mengerek harga daging dan telur ayam ras masing-masing 6,2 persen dan 9,17 persen. Begitu pula dengan tarif angkutan udara yang naik 10,3 persen lantaran meningkatnya arus penumpang selama musim liburan akhir tahun. Dari sisi komponen harga yang diatur pemerintah, inflasi Desember 2015 dipengaruhi oleh kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 1,8 persen. Meski kenaikannya kecil, bobotnya mencapai 3,44 persen. Harga beras yang naik 0,6 persen juga memiliki bobot 4 persen, sehingga memberi andil 0,03 persen terhadap inflasi Desember 2015.

Dengan penurunan inflasi, yang berdampak pada penurunan BI Rate semestinya akan mendorong bunga kredit turun lebih cepat yang prosesnya berjalan sesuai pasar. Bila dari sisi makro stabil, bunga perbankan akan menyesuaikan dengan sendirinya.

 

  1. Suku Bunga Perbankan

Suku bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank, yang berdasarkan prinsip konvesional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Penurunan  suku bunga acuan (BI Rate) secara bertahap akan segera diikuti turunnya suku bunga kredit perbankan. Hal tersebut dilakukan karena terjadi pelambatan ekonomi yang dikhawatirkan akan berimbas pada pelemahan nilai mata uang rupiah (fuktuasi nilai rupiah).  Sehingga diharapkan sektor riil dalam perekonomian Indonesia akan kembali bergerak lebih cepat untuk meningkatkan investasi dan menjaga pertumbuhan ekonomi.

Penurunan BI Rate secara terukur diharapkan pula dapat memperkuat pelonggaran kebijakan makro prudensial dan  penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) yang telah dilakukan sebelumnya (16 Maret 2016) sebesar 7,50% menjadi 6,50% untuk mendukung upaya memacu penyaluran kredit. Sebagaimana diketahui, Giro Wajib Minimum (GWM) merupakan instrumen moneter BI untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar di masyarakat. GWM merupakan likuiditas minimum yang wajib dijaga dan dipelihara oleh setiap bank. penurunan GWM akan menambah likuiditas perbankan. Tujuannya agar bank dapat memenuhi kewajibannya terhadap penarikan simpanan masyarakat sewaktu-waktu. Dengan begitu, penurunan BI rate bisa efektif mendorong penyaluran kredit perbankan.

Bank juga menurunkan suku bunga adalah langkah yang dapat menyelamatkan kegiatan perbankan dan perekonomian secara menyeluruh. Di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini, kebijakan suku bunga tinggi justru memperburuk perbankan dan perekonomian. Dalam kondisi krisis yang seperti ini, suku bunga yang tinggi justru membahayakan kegiatan perbankan karena perkreditan bermasalah juga membesar. Keputusan tersebut sejalan dengan ruang pelonggaran kebijakan moneter yang semakin terbuka dengan kian terjaganya stabilitas makroekonomi, yaitu menurunnya tekanan inflasi dan meredanya ketidakpastian di pasar keuangan global pada awal tahun ini. Penurunan BI rate dan GWM Primer dalam rupiah diharapkan memperkuat upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.

 

  1. Ketidakpastian Pasar Keuangan

Dari luar negeri, ruang pelonggaran moneter terbuka karena meredanya ketidakpastian ekonomi global pasca kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat yaitu Fed Fund Rate (FFR) sebesar 25 basis poin menjadi 0,25-0,50 persen dan perbaikan ekonomi domestik.  Berdasarkan pengamatan BI, respons pasar sejauh ini terhadap kebijakan tersebut masih positif. Hal ini ditandai pelaku pasar telah antisipasi, sehingga tidak menimbulkan gejolak di pasar keuangan global tidak terlalu besar. Namun, pemulihan ekonomi global diperkirakan masih terbatas sehingga harga komoditas terus melorot, termasuk harga minyak dunia. Khusus perekonomian Cina, diperkirakan masih melambat meskipun ada berbagai upaya stimulus, baik melalui kebijakan moneter dan fiskal, serta reformasi di sisi penawaran. Hal ini menimbulkan tekanan di pasar saham Cina. Selanjutnya BI masih akan mencermati risiko perlambatan ekonomi Cina dan terus menurunnya harga komoditas global.

Perkembangan ekonomi Indonesia pada triwulan IV/2015, masih menunjukan perlambatan karena kondisi pasar keuangan masih rapuh dengan semakin banyaknya laporan kerugian lembaga keuangan, meskipun telah dilakukan stimulus fiskal dan relaksasi kebijakan makroprudensial. Pertumbuhan ekspor masih tertahan akibat permintaan global yang masih lemah dan terus menurunnya harga komoditas.  Perbaikan ekonomi domestik tercatat pada konsumsi pemerintah dan investasi bangunan, didorong oleh realisasi belanja pemerintah dan meningkatnya implementasi proyek infrastruktur pemerintah. Konsumsi swasta masih relatif stabil, di tengah indikasi adanya penurunan tabungan dan pendapatan yang dapat dibelanjakan. Investasi swasta juga masih lemah dengan menurunnya kinerja perusahaan, khususnya yang berbasis komoditas, dan masih besarnya ekses kapasitas produksi karena perlambatan ekonomi domestik. Hal ini karena bank tidak menurunkan suku bunga karena masih terbilang terlalu hati-hati dalam pengambilan resiko.

Perbankan semestinya menindaklanjutkan untuk menurunkan suku bunga pinjaman. Hal ini akan mendorong sector riil bisa berperan aktif apabila suku bunganya menjadi turun. Dengan demikian kegiatan ekspor semakin meningkat. Suku bunga pinjaman merupakan salah satu faktor untuk menjaga sektor riil. Perbankan seharusnya berfikir dengan menurunkan suku bunga kredit, dunia usaha akan bergerak dengan pesat. Ini sebuah sinyal pada dunia bahwa ekonomi Indonesia tidak mengalami tekanan likuiditas. Dengan demikian, investor asing akan semakin yakin atau tidak ragu-ragu lagi untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Semakin banyak investasi masuk Indonesia, maka aliran dana akan semakin banyak membanjiri pasar uang di Indonesia, termasuk simpanan perbankan. (telah dimuat pada Harian Lampung POST terbit 11 April 2016, hal 15 )