Rudy Hartono, sang Juara
RUDY HARTONO
oleh: Andy F. Noya
Saya sungguh beruntung. Pada saat umur sepuluh tahun, bisa berjabatan tangan dengan Rudy Hartono. Peristiwa itu terjadi di Gelora Pancasila Surabaya tahun 1970. Pertemuan itu memiliki makna yang luar biasa. Sejak itu saya selalu bermimpi bisa menjadi seperti Rudy Hartono.
Saat itu Rudy Hartono sedang melakukan pertandingan eksebisi. Saya bisa menonton pertandingan tersebut karena “disusupkan” oleh paman saya yang kebetulan penjaga keamanan di acara tersebut. Sejak pertemuan itu, saya mengidolakan Rudy Hartono. Karena itu saya tenggelam dalam kesedihan panjang ketika Rudy Hartono kalah melawan Svend Pri, pemain Denmark, di Thomas Cup pada 1973 dan di All England 1975. Bahkan saat mendengar Rudy kalah melalui siaran langsung di radio, saya menangis terisak-isak. Saya merana dalam waktu yang cukup lama.
Tak disangka, setelah 38 tahun berlalu, minggu lalu saya bertemu Rudy Hartono. Seorang teman meminta saya untuk memandu acara ulang tahun PT Pembangunan Jaya. Pembicaranya Rudy Hartono. Maka, ketika bertemu untuk makan siang, saya ungkapkan perasaan saya 38 tahun lalu itu kepadanya. Betapa seorang anak usia 10 tahun sangat bangga bisa berjabat tangan dan kemudian terinsipirasi olehnya.
Saya yakin banyak orang ingin seperti Rudy Hartono. Ingin menjadi juara. Ingin disanjung dan dipuja karena prestasi yang luar biasa. Ingin menjadi pahlawan. Ingin mendapat penghargaan. Termasuk penghargaan materi.
Tetapi setelah mendengar cerita Rudy Hartono, saya baru menyadari, tidak semua orang bisa seperti Rudy Hartono. Banyak di antara kita yang hanya melihat sang maestro sebagai juara All England delapan kali. Sebagai pahlawan bulutangkis Indonesia. Tetapi berapa banyak dari kita yang perduli bagaimana usaha keras yang dilakukan Rudy sebelum menjadi juara?
“Setiap hari, selama lima tahun, saya harus bangun jam lima pagi, berlari puluhan kilometer, berlatih bulutangkis, baru kemudian berangkat sekolah,” ujarnya. Di bawah bimbingan ayahnya yang “bertangan besi”, Rudy digembleng spartan tanpa kenal lelah. Tidak ada waktu untuk mengeluh. Tidak ada waktu untuk bercengeng-cengeng. “Waktu itu rasanya ingin berontak. Sebagai remaja saya juga ingin bermain seperti teman-teman yang lain. Tapi saya tidak bisa. Ayah saya menggembleng saya sangat keras,” ungkap Rudy.
Pada usia 15 tahun, disiplin dan kerja keras itu mulai berbuah. Satu per satu prestasi dalam bulutangkis mulai diraih. Sampai kemudian pada usia 18 tahun, usia yang terbilang sangat muda, Rudy berhasil mempersembahkan piala All England bagi bangsa dan negara Indonesia. “Saat itulah saya baru mensyukuri kerja keras dan disiplin yang diajarkan ayah saya.”
Sejak itu Rudy tak terbendung. Tujuh kali berturut-turut dia mempertahankan piala All England. Sekali kalah dari Svend Pri pada 1975, tapi kemudian pada tahun 1976 berhasil merebut gelar juara All England untuk kedelapan kalinya setelah mengalahkan Liem Swi King di final. Suatu prestasi yang sampai saat ini belum tertandingi oleh pemain bulutangkis manapun.
Banyak yang ingin menjadi seperti Rudy Hartono. Tapi berapa banyak di antara kita yang mau menjalani proses latihan yang berat dan panjang? Kita ingin menjadi Rudy Hartono tetapi tidak siap ketika dihadapkan pada proses tadi. Kalau bisa prosesnya singkat dan mudah. Bimsalabim, bangun pagi kita sudah menjadi juara. Tanpa harus “menderita” setiap hari bangun jam lima pagi dan berlatih selama lima tahun tanpa henti.
Dalam pekerjaan juga begitu. Kita sering ingin segera menduduki jabatan tinggi, tetapi enggan melalui proses jatuh bangun untuk mencapainya. Semua kalau bisa serba instan. Serba cepat. Kalau bisa potong kompas. Kita sering iri melihat seseorang yang mencapai sukses. Tetapi, ketika dia bercerita betapa sulitnya perjuangan untuk mencapai posisi itu, kita menutup mata dan telinga.
Dari pembicaraan dengan Rudy Hartono siang itu, saya mendapat banyak sekali pelajaran. Pelajaran untuk mencapai karakter seorang juara. Semua yang dimiliki Rudy sungguh berguna untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Terutama dalam pekerjaan.
Di dalam pekerjaan, kita sering terperangkap dalam lingkaran setan. Antara kepentingan perusahaan dan kepentingan karyawan. Dalam bekerja, banyak di antara kita yang menuntut agar perusahaan memberi imbalan atau gaji yang “pantas” terlebih dulu baru kita mau mengerjakan tugas-tugas secara maksimal. Kalau tidak, kerja pas bandrol saja. Ngapain capek-capek.
Di lain pihak, manajemen berpikir sebaliknya. Karyawan dituntut untuk memberikan yang terbaik dulu baru perusahaan akan memberikan imbalan yang “pantas”. Maka jadilah lingkaran setan. Tidak tahu siapa yang harus memutus lingkaran ini. Masing-masing merasa benar. Cuma, kalau dibiarkan berlarut-larut, yang merugi biasanya karyawan. Perusahaan bisa kapan saja “mendepak” karyawan yang dinilai tidak berprestasi dan menggantikannya dengan karyawan baru.
“Prinsip saya, berprestasi dulu baru penghargaan,” ujar Rudy Hartono. Dia mengaku ketika berlatih dan bertanding, tidak ada sebersit pun dalam pikirannya bahwa apa yang dilakukannya itu untuk mendapatkan imbalan. “Saya fokus untuk mencapai kemenangan demi kemenangan tanpa memperhitungkan apa yang akan saya dapatkan sebagai imbalan jika juara,” Rudy Hartono menegaskan.
Maka, ketika dia menjadi juara All England, penghargaan akhirnya datang dengan sendirinya. Dari mulai hadiah uang, mobil, sampai rumah. “Kalau Anda sudah berprestasi, dengan sendirinya penghargaan akan datang.”
Pada tahun 1972, Rudy bertemu kembali dengan Svend Pri di final. Ini final yang paling menegangkan sepanjang penyelenggaraan All England. Pasalnya, saat itu Rudy Hartono sudah ketinggalan 1 lawan 14. Satu angka lagi Svend Pri akan juara.
Tapi, sungguh sulit dipercaya ketika akhirnya justru Rudy yang tampil sebagai juara. Jarak skor 1 lawan 14 tidak membuat dia menyerah. Satu demi satu angka dia raih. Ketinggalan 13 poin bukan perkara gampang. Banyak pemain pada posisi ini sudah menyerah. Rasanya tidak mungkin bisa mengejar jarak yang begitu jauh.
Apa yang membuat Rudy bisa memenangkan pertandingan saat itu? “Saya mengikuti nasihat Ferry Sonneville,” ujar Rudy menyebut almarhum pemain bultangkis Indonesia yang belakangan menjadi pelatih.
Waktu itu, menurut Rudy, Ferry Soniville menasihati agar dia jangan terpengaruh pada apa yang dilakukan lawan. Jangan perduli pada angka dan taktik yang dikembangkan lawan. “Pak Ferry minta saya memperhatikan permainan saya sendiri. Saya diminta berkonsentrasi pada apa yang saya lakukan. Saya harus melakukan yang terbaik,” ujarnya.
Sebuah nasihat yang menohok perilaku banyak di antara kita. Dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pekerjaan, kita sering lebih sibuk “mengurusi” pekerjaan orang lain ketimbang pekerjaan kita sendiri. Kita lebih mau tahu urusan orang ketimbang mengurusi tugas-tugas kita. Akibatnya, kita lebih sering mengatur dan meyalahkan orang lain ketimbang introspeksi atas kekurangan kita.
Sungguh beruntung hari itu saya bertemu Rudy Hartono. Sang juara mengingatkan kembali pada hal-hal yang sering luput dari perhatian saya. Sesuatu yang tampak sederhana namun sering saya abaikan. Termasuk satu prinsip dalam hidupnya: Jangan menyakiti orang lain. Mengapa? “Karena mereka akan mendoakan kita yang jelek-jelek,” ujar Rudy sebelum kami berpisah.