Tidak Punya Hati?
Sempat mati langkah ketika melewati seorang mahasiswa yang tengah curhat kepada temannya ” kesel banget gue sama tu dosen, gue tuh bener-bener kehujanan makanya telat…eh tetep juga gue ga boleh masuk padahal kan uts…huh dasar ga punya hati..”
Tidak punya hati?, tentu ini dimaksudkan bukan hati dalam artian lever tapi hati dalam arti qolbu…dua hal yang penyebutannya sama tetapi sangat jauh berbeda pengertiannya. Al Ghazali mengatakan bahwa qolbu seperti raja bagi anggota tubuh. Qolbu yang mengontrol perbuatan indra ketika berbuat atau tidak berbuat sesuatu sementara anggota indra bisa jadi merupakan prajuritnya. Jadi jika sang raja buruk maka tidak mungkin sang prajurit melakukan suatu kebaikan yang berbeda dengan perintah sang raja (kurang lebih seperti itu maksudnya).
Hati dalam arti qolbu memang memegang peranan penting dalam aktivitas badan. Oleh karena itu Aa gym sampai membuat lagu…jagalah hati.. atau bimbo menyenandungkan kalimat…hati adalah cermin..Nah, semakin yakin betapa pentingnya hati (qolbu) ini. Bahkan dilukiskan hati itu seperti sebuah misykat yaitu sebuah lekukan di dinding/tembok (sebagian besar bangunan untuk ibadah agama apapun di dunia ini bentuknya dominan seperti lekukan ini/baskom yang terbalik) dimana di dalamnya terdapat misbah atau lentera yang bercahaya, cahaya misbah tersebut berasal dari minyak (zaitun) yang juga sudah bercahaya (cahaya diatas cahaya),..jadi demikian terangnya misbah tersebut. Cahaya yang demikian terang ibarat hati yang secara fitrah oleh Tuhan telah diciptakan untuk menuntun dan mampu membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang haq dan batil, namun cahaya yang secara fitrah telah bersifat terang dapat menjadi memudar cahayanya atau bahkan tidak bercahaya atau tidak dapat menembus dinding misykat yang terbuat dari kaca yang sangat bening karena ternyata begitu banyak titik hitam yang menempel di dinding misykat tersebut. Titik hitam tersebut berasal dari kemaksiatan, kedzoliman dan kemungkaran yang dilakukan. Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa setiap kemaksiatan yang dilakukan maka akan menjadi titik hitam yang menempel di dinding hati, kemudian jika kemaksiatan dilakukan lagi maka akan menempel lagi satu titik hitam dan demikian seterusnya, akhirnya tidak mustahil dinding misykat yang begitu bening akan berubah menjadi hitam gelap/pekat sehingga cahaya misbah tidak dapat menembus keluar, dan ketika kondisi seperti inilah terkadang kita melihat ada orang yang tidak memiliki kepekaan lagi untuk mampu membedakan mana perbuatan yang baik atau buruk , mana perbuatan dzolim atau kebajikan.
Dalam suatu kisah, ketika seorang hakim pada sebuah Pengadilan “terpaksa” menyidangkan sebuah kasus dimana pesakitannya adalah seorang nenek yang didakwa melakukan pencurian kayu di tanah milik Negara (kayu yang dicuri sebanyak yang mampu dipikul oleh nenek tersebut untuk dijual ke pasar membeli makanan kebutuhan hariannya). Hakim tersebut dikatakan “terpaksa” karena ada adagium di dalam hukum yang berbunyi ius curia novit (hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada/tidak ditemukan hukumnya). Hakim itu (dengan mata yang berkaca-kaca ) membacakan putusannya, bahwa nenek ini bersalah telah mengambil kayu tanpa hak sekalipun dengan jumlah yang tidak ada artinya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, oleh karena itu nenek dihukum untuk membayar denda sebesar sekian rupiah. Putusan kedua, nenek melakukan pencurian karena tidak ada seorangpun yang menanggung hidupnya dan semua yang hadir dipersidangan ini ikut bertanggungjawab membiarkan seorang nenek sebatang kara sampai melakukan pencurian, maka kepada semua yang hadir di dalam persidangan diperintahkan untuk menyedekahkan uang-nya masing-masing sebesar 100 ribu untuk disumbangkan kepada nenek (dan ternyata sumbangan yang diperintahkan oleh hakim lebih besar jumlahnya daripada denda yang harus dibayar sang nenek). Kisah ini mengisyaratkan kepada kita tentang putusan yang lahir dari beningnya misykat hati. Wallahu a’lam.