Ucapan Ibu Adalah Do’a
Suatu hari di tahun 1997, saya melihat dan mendengar pengumuman di televise tentang likuidasi 16 Bank Umum Swasta sebagai akibat dari krisis ekonomi dan moneter yang terjadi di Indonesia. Mendengar pengumunan tersebut hati saya galau, kecewa, sedih dan segala rasa lainnya campur aduk. Saya lalu bergegas ke rumah orangtua saya dengan diantar suami. Sesampainya di rumah orangtua saya, saya menangis di depan ibu. Ibu saya heran dan bertanya: “ada apa ini tiba-tiba nangis?” Lalu saya jawab:” itu berita di TV 16 Bank baru saja ditutup”. Ibu saya tambah heran: ”apa kaitannya 16 Bank ditutup lalu kamu datang kesini dan menangis di depan mama?”. Saya pun menguraikan pada beliau kaitannya, bahwa saya berniat melanjutkan kuliah ke jenjang S1 dengan harapan akan bekerja lagi di sektor Perbankan. Namun dengan dilikuidasinya 16 Bank maka harapan saya untuk bisa bekerja kembali di semakin kecil, sebab berdasarkan analisa saya bahwa yang akan menjadi saingan saya bertambah banyak dan bukan hanya dengan fresh graduate tetapi dengan mereka yang sudah memiliki keahlian di bidang perbankan.
Para pembaca sekedar flash back ke belakang, setelah lulus D3 saya menikah dan memutuskan berhenti bekerja, lalu setelah berjalan pernikahan selama 3,5 tahun saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Dua tahun setengah kemudian saya lulus S1 Lanjutan dari STIE Perbanas dengan harapan akan bekerja (tentunya di industri perbankan), namun pada saat saya lulus S1 tersebut 16 Bank dilikuidasi.
Mendegar jawaban dan analisa saya tentang probability saya memperoleh pekerjaan kembali, ibu saya menjawab kurang lebih seperti ini: “anakku itu analisamu sebagai manusia, tetapibelum tentu dari kacamata Allah SWT, jika Allah berkehendak tidak ada yang tidak mungkin bagiNya, di saat orang lain terkena PHK bukan hal yang mustahil kamu malah memperoleh pekerjaan. Ingat anakku rezeki Allah maha luas. Kamu sudah berikhtiar dengan melanjutkan kuliah agar suatu saat mendapat lagi pekerjaan. Nah ikhtiar sudah kamu lakukan tinggal sekarang do’a yang harus kamu perbanyak. Jika dua hal sudah kamu lakukan (ikhtiar dan do’a) maka selanjutnya keputusan Allah lah yang kamu tunggu dengan bertawakal. Insyaa Allah mama do’akan kamu akan mendapat apa yang kamu cita-citakan”. Mendengar jawaban ibuku, wanita sholeha yang melahirkanku, aku terdiam dan tertegun. Malu sekali rasanya, aku makin menangis dan memeluk ibuku, setelah itu aku pamit pulang dengan membawa suatu optimisme dalam hatiku, bahwa Allah SWT maha pemberi dan pengatur rizki.
Ternyata apa yang diucapkan ibukku tidak lama kemudian menjadi suatu kenyataan. Saya diberi kesempatan oleh STIE Perbanas untuk menjadi assisten dosen mata kuliah Praktikum Bank Mini dengan suatu proses menuju kesananya pun dengan cerita yang unik. Selanjutnya tidak lama kemudian saya diangkat menjadi dosen tetap dan berkarir di Perbanas Institute sampai dengan hari ini.
Satu pelajaran yang saya petik dari kejadian ini adalah bahwa Allah SWT sangat mencintati proses, bukan hasil. Setelah kita melakukan upaya ikhtiar, lalu diiringi do’a dan tawakal, maka janjinya adalah pasti. Sang Maha melihat dan tidak tidur akan menilai proses tersebut dan memberikan apa yang menjadi harapan atau do’a kita pada waktu dan saat yang terbaik. Sejak saat itu maka ikhtiar, do’a dan tawakal menjadi suatu nilai hidup yang selalu saya pegang. Terimakasih mama atas iringan do’a dan nasihat yang kau berikan di saat hati ini merasa galau dan tidak yakin atas takdirNya.