Mempertanyakan Indeks Kebahagiaan
oleh: Vincent Gaspersz
Dalam Dunia Nyata Kebermaknaan JAUH LEBIH PENTING daripada Sekedar Angka-angka Subyektif
Dalam beberapa hari terakhir saya membaca postingan indikator pengukuran subyektif yang disebut sebagai indeks kebahagiaan penduduk Indonesia 2017 kemudian dibuatkan ranking indeks kebahagiaan setiap provinsi di Indonesia yang menempatkan Provinsi Maluku Utara, Maluku, dan Sulawesi Utara sebagai provinsi-provinsi dengan indeks kebahagiaan tertinggi dan Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, dan Papua sebagai provinsi-provinsi dengan indeks kebahagiaan terendah.
Kemudian berbagai komentar pro dan kontra mulai muncul, yang pro tentu saja mulai mencari-cari alasan pembenaran. Hal ini sah-sah saja jika benar yang bersangkutan bahagia dan selamat atas kebahagiaan itu.
TETAPI sebagai orang yang kritis dan tidak asal menerima informasi begitu saja, maka kita harus berhati-hati dan mulai bertanya (pembelajaran yang benar dimulai dengan bertanya): Apakah benar semua penduduk di Provinsi Maluku Utara, Maluku dan Sulawesi Utara LEBIH BAHAGIA daripada semua penduduk di Provinsi Jawa Barat (urutan nomor 5 dari bawah/terendah)? Jika jawabannya YA, maka seorang Vincent Gaspersz (VG) yang sedang tinggal di Jawa Barat hari ini juga akan berkemas dan pindah menjadi penduduk Maluku Utara yang memiliki indeks kebahagiaan tertinggi di Indonesia itu.
TETAPI saya TIDAK biasa melakukan keputusan “konyol” untuk pindah tempat tinggal dari Jawa Barat ke Maluku Utara. Langkah yang biasa dilakukan adalah mencari informasi secara terperinci dan obyektif untuk mempelajari apa itu indeks kebahagiaan? Karena selama ini dalam pemahaman saya yang dibaca dari berbagai buku referensi tentang personal development, bahwa kebahagiaan TIDAK tergantung pada hal-hal di luar diri, termasuk lokasi tempat tinggal, dll TETAPI kebahagiaan tergantung pada pola pikir (MINDSET) yang 100% berada dalam pengendalian diri orang pribadi.
Saya mencoba masuk ke website Badan Pusat Statistik (BPS) dan download buku Katalog No. 4102024 berjudul Indeks Kebahagiaan 2017 dan mempelajari metodologi penyusun indeks kebahagiaan itu.
Pertama definisi dari Indeks Kebahagiaan itu sesungguhnya adalah Indeks Kesejahteraan SUBYEKTIF yang tentu saja bagus dan baik jika MAU mengkuantifikasikan dengan skor dan pembobot sebagaimana layaknya menyusun suatu angka indeks. TETAPI pertanyaan saya adalah apa makna dari pengukuran ini, JIKA generalisasi TIDAK BISA dilakukan dan TIDAK ADA HUBUNGAN (Korelasi) antara Indikator Pengukuran Subyektif terhadap Indikator Pengukuran Obyektif seperti: Persentase Jumlah Penduduk Miskin, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) seperti ditunjukkan dalam bagan-bagan terlampir?
MAAF ini kebiasaan VG dari dahulu yang seringkali “Menjengkelkan” guru-guru dan dosen-dosen ketika sekolah mulai SD sampai kuliah di S1 yang sering kali juga berakibat FATAL yaitu TIDAK NAIK KELAS atau TIDAK LULUS karena dianggap “menentang guru/dosen, terlalu kritis, dll”. TETAPI kekritisan VG ini memperoleh dukungan dari guru-guru saya di IPB (S2 Statistika Terapan) dan ITB (S3 Teknik Sistem dan Manajemen Industri) sehingga mereka memberikan nilai A dan bagi yang PASIF malahan TIDAK DILULUSKAN.
Agar diketahui orang-orang SUCCESS termasuk daerah atau negara maju selalu menggunakan informasi OBYEKTIF (indikator pengukuran OBYEKTIF) untuk pembuatan keputusan strategik dan menghindarkan untuk menggunakan indikator pengukuran SUBYEKTIF.
STATISTIKA itu ilmu NETRAL, mau dipakai apa saja dan untuk keperluan apa saja tergantung pada pengguna statistika itu. TETAPI yang terpenting adalah Statistical Thinking, yaitu: apa tujuan dan manfaat dari suatu informasi itu?
Saya belum menemukan jawaban obyektif apa tujuan dan manfaat dari pengukuran indeks kebahagiaan yang sesungguhnya merupakan indeks pengukuran subyektif itu?
Ada yang bisa membantu menjelaskan berdasarkan bagan-bagan terlampir?
About Adi Susilo Jahja
Twitter •
apakah saya boleh bantu menjelaskan?
kok tidak dijawab yah, apa tidak dibolehkan?