Korupsi Dalam Masyarakat Demokrasi
Korupsi Dalam Masyarakat Demokrasi
Korupsi Dalam Masyarakat Demokrasi
Wiwiek Prihandini
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
Institut Perbanas Jakarta
Berikut ini merupakan kesimpulan dari penelitian mengenai pola dan pelaku korupsi di Indonesia 2012, yang telah dipresentasikan pada International Conference fo Emerging Market (ICEM) 1 Institut Perbanas Jakarta, 2013 di Jogjakarta. Sumber data berasal dari pemberitaan yang dipublikasi oleh Kompas, Republika, dan Tempo. Data utama berasal dari sekitar 900 kliping surat kabar Kompas edisi cetak sepanjang tahun 2012. Setelah dianalisis berdasarkan jenis korupsi, dan hubungan korupsi dalam masyarakat demokrasi, penelitian ini menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi sbb.
Korupsi berjamaah melibatkan tiga unsur pelaku korupsi yaitu legislatif, birokrat, dan publik/swasta, yang dapat diwakili individu atau perusahaan. Korupsi yang melibatkan tiga komponen ini dimulai dari proses memenangkan tender atas proyek yang melekat pada sebuah Kementerian untuk satu tahun anggaran. Agar proyek tersebut masuk dalam mata anggaran APBN, maka diperlukan pendekatan kepada pihak legislatif, yang memiliki kewenangan untuk menyetujui anggaran tersebut. Setelah kegiatan atau proyek sudah masuk dalam mata anggaran APBN, proses berikutnya, birokrat akan menyelenggarakan tender, sebagai cara untuk menentukan pihak swasta yang akan melaksanakan proyek. Proses tender ini dikoordinasikan oleh seorang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) suatu Kementerian. Setelah ditentukan pemenang tender, selanjutnya terjadi pencairan dana APBN melalui Kementrian Keuangan dan Kementrian pemilik mata anggaran kepada pemenang tender. Sebagai uacapan terimakasih pihak pemenang tender akan mengalirkan dana kepada birokrat dan anggota legislatif. Dalam beberapa kasus aliran dana dari publik (pihak swasta) kepada birokrat dan atau legislatif dapat terjadi sebelum proses tender atau penentuan pemenangan tender dilakukan. Aliran dana ini sering disebut sebagai uang pelicin. Dengan demikian, APBN (termasuk APBN-P) merupakan lahan dan sumber dana yang akan dikorupsi. Dua pihak yang dekat dengan penyusunan APBN adalah legislatif dan birokrat.
Modus yang digunakan unsur legislatif dan atau birokrat untuk melakukan korupsi melalui anggaran, pertama dengan melakukan perubahan mata anggaran dalam APBN yang akan dikorupsi dari single year menjadi multi years. Kedua, dengan melakukan pengelembungan atau mark up atas biaya suatu proyek.
Dari sudut pelaku, banyak pelaku korupsi berasal dari golongan muda, berusia antara 30 an, selain laki-laki, wanita juga sudah banyak yang terlibat dalam tindak korupsi. Dalam melakukan tindak pidana korupsi tidak jarang melibatkan suami-istri, adik-kakak, ayah-dan anak. Sedangkan kasus korupsi di daerah melibatkan kepala daerah mulai dari gubernur, wali kota, bupati, anggota DPRD, kepala dinas, pejabat pemerintah provinsi dan daerah, dan unsur swasta. Hal ini menunjukkan bahwa pola korupsi yang terjadi cukup bervariasi dan mencengkeram berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dana korupsi umumnya dipakai untuk kepentingan individu, rekan kerja di legislatif, dan kepentingan partai.
Dengan memperhatikan pola korupsi yang melibatkan legislatif, birokrat, publik, dan Badan Anggaran DPR-RI, dan dana yang digunakan sebagai sumber korupsi adalah APBN dan APBD, maka perlu bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencermati pencairan dana APBN-APBD dan pemenang tender proyek yang bernilai besar dan multi year yang ada di setiap Kementerian. PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) wajib memberikan laporan kepada KPK untuk transaksi-transaksi yang melibatkan pejabat pembuat komitmen maupun di kementerian maupun pemenang tender, yang dianggap mencurigakan.
Kebanyakan kasus korupsi yang ditangani KPK saat ini merupakan korupsi yang masuk dalam kategori resources allocation model atau sering disebut dengan petty corruption. Diharapkan KPK mampu membidik korupsi yang terkategori Agency Problem of Corruption atau dapat dikatakan sebagai grand corruption yaitu korupsi yang melibatkan pejabat publik yang seharusnya membuat kebijakan publik untuk kepentingan publik, namun kebijkannya lebih untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan golongannya, dengan menggunakan biaya publik.
———————————————————–