Efektivitas Tax Amnesty Policy
Tax amnesty merupakan pengampunan yang diberikan pemerintah kepada wajib pajak selama periode tertentu untuk memperbaiki laporan dan kewajiban pajaknya di masa lalu dan masa yang berjalan dengan jaminan bebas dari tuntutan pidana (Suryani & Anwar, 2010). Dapat pula dijelaskan dengan pembebasan penghindar pajak dari tuntutan hukum namun tetap harus membayar kewajiban pajaknya (Agbonika, 2015). Tax amnesty dapat juga diterangkan sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan negara dalam jangka pendek dengan risiko dapat mengurangi kepatuhan wajib pajak di masa yang akan datang (Alm, 1998). Tax amnesty juga disebut sebagai faktor penting yang mempengaruhi ketaatan perpajakan, beberapa hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa terdapat hubungan negative antara tax amnesty dengan kepatuhan perpajakan (Ipek, Oksuz, & Ozkaya, 2012). Tax amnesty memiliki aspek positif dalam jangka pendek namun dalam jangka panjang mengandung aspek negatif,(Wardiyanto, 2010). Dalam jangka panjang perlakuan khusus kepada pengelak pajak berupa pengurangan (penghapusan) denda atau pajak yang tidak (kurang) dibayar dapat melukai wajib pajak yang secara teratur melakukan kewajibannya secara benar dan jujur. Mereka akan mencoba untuk menjadi pengelak pajak, karena pada masa yang akan datang mereka berfikir pemerintah akan memberikan fasilitas pengampunan (Alm & Beck, 1993). Dari penjelasan tersebut dapat diidentifikasikan tax amnesty merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dan kepatuhan penghindar pajak dalam jangka pendek namun mengandung resiko menurunkan ketaatan wajib pajak yang telah patuh mengikuti ketentuan-ketentuan perpajakan.
Irlandia merupakan salah satu contoh negara yang berhasil menerapkan tax amnesty dalam jangka pendek. Kebijakan tax amnesty yang diterapkan pemerintah Irlandia pada tahun 1988 ditarget dapat meningkatkan penerimaan 50 million dolar, realisasinya 750 million dolar. Namun dalam jangka panjang kegiatan ini gagal meningkatkan penerimaan pajak (Agbonika, 2015). Contoh lain adalah India, pada tahun 1981 pemerintah India memperkenalkan kebijkan tax amnesty yang cukup spesifik. Formatnya adalah menerbitkan obligasi 10 tahun dengan tingkat bunga 2%. Obligasi ini disusun untuk dapat menangkap pengelak pajak yang memegang dana di black market. Dana yang yang diinvestasikan dalam obligasi ini bebas dari pajak kekayaan dan pajak penghasilan. Hasilnya dalam 3 bulan terkumpul dana yang cukup besar, di atas satu milliar. Meskipun berhasil dalam pengumpulan dana dalam jangka pendek, namun kebijakan ini dinyatakan tidak berhasil dalam memperluas basis perpajakan secara keseluruhan (Agbonika, 2015). Di Indonesia pelaksanaan tax policy 2008 yang bernama sunset policy, dalam jangka pendek juga telah berhasil meningkatkan penerimaan negara 7,46 trilliun rupiah dan tambahan 5.635.128 wajib pajak baru. Namun penelitian ini belum mampu menunjukkan tingkat kepatuhan wajib pajak pasca berakhirnya periode sunset policy 2008 (Rakhmindyarto, 2011).
Tax amnesty tidak selalu menjadi cara yang efektif untuk mengidentifikasi pengelak pajak dan mengubah mereka menjadi wajib pajak yang patuh terhadap ketentuan perpajakan (Fisher, Goddeeris, & Young, 1989). Kepatuhan merupakan salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam kebijakan tax amnesty, meskipun seringkali berhubungan negative dengan pengampunan. Artinya semakin besar pengampunan yang diberikan maka akan membuat wajib pajak semakin tidak patuh. Selanjutnya dalam jangka panjang kebijakan ini dapat memunculkan risiko wajib pajak yang patuh menjadi pengelak pajak.