Merekonstruksi Kepemimpinan Bisnis
Perencanaan jangka panjang pada situasi kompleks dinamis tidak memberikan nilai tambah. Hal itu didasari sifat situasi makro perubahan sosial, politik, dan kebijakan ekonomi serta dinamika regional dan global yang susah diprediksi. Batas psikologis suku bunga dan kurs valuta asing terhadap rupiah beberapa waktu lalu sudah dilewati begitu saja. Kondisi ketidakpastian (uncertainty) dan dinamika pasar makin tinggi.
Situasi ini membuat organisasi bisnis memerlukan kolaborasi para pemimpin. Namun demikian, berlimpahnya perusahaan dengan orang-orang yang merasa mampu memimpin tidak selalu menjadi solusi masalah bisnis. Fakta yang ada menunjukkan kapasitas (capacity) pemimpin bisnis dalam eksekusi sesuai tuntutan di lapangan memerlukan pendekatan baru: ketekunan menggali, menanam, dan menumbuhkan kapasitas individu.
Kapasitas pemimpin bisnis yang diperlukan saat ini adalah kemampuan berpikir kesisteman (system thinking). Artinya pemimpin bisnis (Senge dan Checkland, 1990-an) mestinya menyadari bahwa organisasi yang dipimpinnya adalah bagian dari ketidakpastian lingkungan dinamis yang memerlukan tindakan sekaligus diinginkan (want) dan dapat dilaksanakan (able). Sistem tersebut tidak seperti janji kosmetik yang memutihkan wajah dengan seketika atau menghilangkan sproten, sistem ini memerlukan partisipasi sadar dan aktif dalam komunikasi.
Sistem pengambilan keputusan tersebut tidak instan, tetapi melalui proses. Proses tersebut menafsir realitas lingkungan dan sekaligus aktualitas individu. Para board of director sebagai aktor organisasi (direktur pemasaran, keuangan, operasional, information technology, maupun human capital) seyogianya duduk semeja mengomunikasikan pandangan masing-masing secara terus menerus dengan dibekali pengetahuan spesifik masing-masing (worldview) baik cognitive maupun experience based knowledge. Hasilnya adalah akar permasalahan organisasi yang didefinisikan (root definition) dan dapat diterima semua pihak. Sampai di sini agaknya harapan para pihak terkait terhadap kapasitas pemimpin mulai memudar karena kebanyakan pemimpin bisnis tidak sabar dan tidak mampu mengaktualisasikan gagasan dengan baik kepada teamnya. Mereka cenderung mengamankan ego sektoral yang menjadi tanggung jawabnya dan melihat worldview-nya sebagai resep rahasia. Padahal seharusnya di-share dengan sesama pemimpin di organisasinya.
Setiap individu memiliki sistem berpikir, bertindak, dan berolahrasa sendiri-sendiri yang disebut holon (system individual). Demikian pula departemen dan organisasi. Sistem tersebut saling terkait satu sama lain sehingga diperlukan kapasitas baru seorang pemimpin, yaitu kemampuan berpikir serba sistem (systems thinking). Oleh karena itu keunggulan suatu organisasi bisnis dalam efisiensi biaya bisa saja di-drive oleh seorang individu/pemimpin yang memahami holon individual, departemen, dan organisasi sekaligus.
Kesadaran (awareness) pemimpin dalam systems thinking approach pada organisasi bisnis ini sudah ada sejak 90-an. Dikumandangkan oleh Peter Senge nun di Amerika dan makin terasa urgensinya ketika Peter Checkland melanjutkan penelitiannya di Eropa. Kedua Peter cukup fenomenal bagi saya, terutama Checkland yang menghasilkan pendekatan sistem lunak (soft systems approach).
Pendekatan sistem lunak bersendi pada sistem aktifitas manusia (human activity system) yang meliputi hampir semua kegiatan bisnis. Sistem ini bersifat terbuka dengan para pihak (stake holder) yang keikatannya dalam satu tujuan bersama “emergent property”. Tentunya semua pihak dalam organisasi/ perusahaan mempunyai tujuan bersama, yaitu menciptakan nilai tambah (value creation) yang berujung pada profit. Sayangnya kondisi ini disadari dan disikapi dengan cara berbeda, terutama dalam soal waktu: proses dan kecepatan pembuatan keputusannya.
Keputusan seorang pemimpin terkait dengan kapasitas seseorang. Kapasitas yang merupakan bagian dari talenta (talent) memang bisa tetap menjadi harta terpendam seperti DNA bila tidak dilatih. Kapasitas bawah sadar manusia tak terbatas dan luar biasa daya ungkit (leverage)-nya.
Kompleksitas dan dinamika lingkungan hanya bisa dipahami dengan berpikir kesisteman. Hal mulai terasakan seperti diperagakan dengan elok beberapa pemimpin negeri ini, Jokowi-Ahok dan Gede Winasa. Kita merindukan pemimpin bisnis yang memahami berpikir kesisteman dan berpikir serba sistem. Inikah yang diperagakan pemimpin agama besar dari tanah Timur Tengah dahulu kala? Inikah prinsip syariah? Inikah prinsip persepuluhan? Siapakah kini pemimpin bisnis model ini?
Mari kita kaji dari praktik bisnis kita masing-masing sehari-hari. Mulailah dari Anda sendiri dengan merekonstruksi kepemimpinan Anda. Prinsip bisnis tak akan jauh dari prinsip hidup yang dihidupi. Dengan mengembangkan hidup pribadi bersendi kesisteman dan serba sistem yang membahagiakan saya yakin keputusan menjadi lebih mudah dan lebih cepat karena sudah menjadi kebiasaan. Prinsip berkomunikasi tiada henti menghasilkan keputusan yang diingini dan bisa dilaksanakan. Analsisis logika dan budaya berjalan seiring. Harmoni tercipta melalui dinamika manusiawi dewasa dan saling menginspirasi. Hasilnya berdaya ungkit dan menghasilkan panen melimpah. Semoga!
About Stefanus M. Sri Sadana
Dosen, peneliti, trainer & konsultan manajemen Sumber Daya Manusia di Perbanas Institute. Saat ini sedang menyelesaikan program doktor (estimasi 2014) Administrasi Bisnis, Magister sains (2000) program Administration and Human Resources Development keduanya dari Universitas Indonesia dan doktorandus dari Universitas Gadjah Mada. Selama di Perbanas (1991-sekarang) pernah menjabat sebagai Pembantu Ketua bidang Information dan Teknologi, Quality Assurance Analyst, Direktur Center for Human Resources Organization and Management Studies (cHRome Development), dan dosen Magister Management di Perbanas Business School.
Minat dan fokus pada human capital development (kompetensi dan Talent management) , hubungan kepegawaian (labor relations), manajemen berbasis kompetensi, dan ICT.