Nilai Sebuah IPK di Mata Pemberi Kerja
Seperti yang (mungkin:-)) sudah menjadi pengetahuan umum, Grade Point Average (GPA/IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) hanya menempati urutan ke-17 dari kemampuan apa saja yang diharapkan oleh calon majikan (pemberi kerja) dari calon pekerja.
Ini bukan “sentimentalitas” ala debat kusir “mana yang lebih penting IQ vs EQ vs SocC vs SpiQ vs TQ”, namun merupakan kutipan ilmiah dari kitab karya William (Bill) Coplin (guru besar Public Affairs di Syracuse University). 😉
Sepuluh kemampuan yang paling diharapkan para pemberi kerja dari calon pekerja adalah sbb:
(1) komunikasi
(2) integritas
(3) kerjasama dalam tim
(4) kecerdasan interpersonal
(5) etos kerja
(6) motivasi
(7) kemampuan adaptasi
(8) kemampuan analitis
(9) kecakapan menggunakan komputer dan teknologi informasi
(10) kecakapan berorganisasi
Dari poin (1) hingga (10), hanya dua poin (yakni poin (8) dan (9)) yang lebih banyak diperoleh dari kegiatan perkuliahan. Delapan lagi cenderung lebih banyak didapatkan dari kegiatan ekstrakurikuler.
Dan menurut alm. Om Bob Sadino yang suka bercanda-tapi-serius, orang bodoh sulit mendapat kerja sehingga akhirnya berusaha sendiri untuk bisa hidup dengan berbisnis. Dan ketika bisnisnya makin melebar, orang bodoh pun akhirnya menggaji orang-orang pintar — yang tentu saja jamak dipersepsikan dengan IPK tinggi. 🙂
Karena itu, para pendidik dapat memberikan lebih banyak lagi fleksibilitas bagi para mahasiswa untuk memperoleh kecerdasan intra & antarpersonal di luar perkuliahan melalui organisasi mahasiswa dan kegiatan di luar kampus yang bermanfaat.
Tentu saja, para pendidik sudah cukup maklum bahwa kegiatan seperti perpeloncoan dan aksi anarkis ala panasbung (pasukan nasi bungkus) tidak termasuk dalam kategori aktivitas mahasiswa bermanfaat. 🙂
Sebenarnya, di dalam bangku perkuliahan kecerdasan intra & antarpersonal juga dapat diperoleh di bangku perkuliahan dengan cara menyesuaikan teknik pembelajaran dari teacher-centered menjadi student-centered yang tersupervisi.
Alhamdulillâh, Permen Mendikbud No. 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Perguruan Pendidikan Tinggi sudah ditunda implementasinya oleh keputusan Menristek Dikti melalui Surat Edaran No. 01/M/SE/V/2015 pada tanggal 20 Mei 2015 sehingga para pendidik masih punya waktu berpikir dan bekerja dalam rangka memberikan masukan kepada pihak yang terkait tentang apa saja yang perlu dijadikan standar, sesuai dengan apa yang dialami oleh para pendidik di lapangan.
Hal yang perlu diubah adalah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para mahasiswa untuk memperoleh skills yang bermanfaat melalui kegiatan ekstrakurikuler dan lebih menyesuaikan kurikulum sesuai dengan demand. Supply lulusan PT tanpa demand dari pasar tentu saja hanya akan menciptakan lebih banyak lagi penganggur-penganggur yang apatis.
Ya, ini sebuah tantangan besar, karena sekali lagi idealisme “science comes first” dibentrokkan dengan realitas “my stomach comes first”. 😉
“Let us be about setting high standards for life, love, creativity, and wisdom. If our expectations in these areas are low, we are not likely to experience wellness. Setting high standards makes every day and every decade worth looking forward to.”
~Greg Anderson
Kredit: http://www.esf.edu/pbe/scott/class/reference/Resumes/10Things.pdf
10 Juni 2015
About Adi Susilo Jahja
Twitter •