Transformasi Menjadi Organisasi Pembelajar

Urgensi Menjadi Organisasi Pembelajar

Perubahan organisasi-organisasi masa kini menjadi organisasi pembelajar (learning organization) mreupakan suatu kondisi “sine qua non.” Zaman telah berubah, organisasi-organisasi pun harus berubah. Jika tidak berubah, ada resiko kehilangan elan, bahkan terancam eksistensinya.

Masyarakat abad 21 disebu tsebagai masyarakat pengetahuan (knowledge society). Di dalam masyarakat ini, ekonomi pengetahuan merupakan pilar penting bagi kemajuan masyarakat. Hanya dengan melakukan pembelajaran bersama secara terus-menerus, organisasi dapat meningkatkan kapabilitasnya di dalam memenuhi tunutan konsumen secara unggul.

Marquardt (1996) menjabarkan organisasi pembelajar yang mampu menjawab tantangan2 di abad 21 dengan lebih baik sebagai berikut.

… learning organisation is an organisation which learns powerfully and collectively and is continually transforming itself to better collect, manage, and use knowledge for corporate success. It empowers people within and outside the company to learn as they work. Organisational learning refers to how organisational learning occurs, the skills and processes of building and utilising knowledge.

Pengetahuan kolektif dan kapabilitas menciptakan serta memperbaharui dan medayagunkan pengetahuan merupakan kunci sukses. Merujuk Marquardt (1996), hal ini perlu didukung oleh seluruh komponen organisasi pembelajar, yaitu (1) pembelajaran organisasi yang cerdas dan tangguh; (2) orang-orang, baik pimpinan organisasi dan staf maupun konsumen dan segenap mitra bisnis yang memiliki kematangan pribadi dan model mental yang sehat serta selalu mau belajar dan meningkatkan kapabilitas individual dan kolektif; (3) pengorganisasian yang fleksibel dan kenyal sehingga memampukan organisasi mampu menghadapi kompleksitas dan turbulensi lingkungan bisnis; (4) pengetahuan yang dapat diciptakan, disimpan, didesiminasikan, dan didayagunakan secara unggul; dan (5) penggunaan teknologi yang mampu mendukung pembelajaran dan penciptaan pengetahuan serta pelayanan yang bernilai tambah unggul, khususnya pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi.

Dengan menekankan perubahan paradigma di dalam menilai perkembangan bisnis, Peter M. Senge (1990) memperkenalkan organisasi pembelajar sebagai organisasi dimana orang-orang senantiasa belajar bersama untuk menciptakan hal-hal yang benar-benar mereka inginkan. Definisi selengkapnya adalah sebagai berikut:

 

…. a learning organization is “an organization where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning how to learn together (Senge, 1990).

Penekanan atas penggunakan paradigma organisme yang hidup di dalam memahami organisasi pembelajar menghasilkan suatu pendekatan yang berpusat pada disiplin pemikiran kesisteman (systems thinking). Secara utuh, hal ini saling terkait dengan empat disiplin lainnya berupa personal mastery, mental models, team learning, shared vision.

Kondisi Organisasi dan Upaya Transformasi Menjadi Organisasi Pembelajar

Seorang pakar organisasi pembelajar membagi organiasi menjadi empat kelompok berdasarkan kecenderungannya pada pembelajaran kolektif. Kelompok I, organisasi pembelajar, yaitu organisasi yang pimpinan dan para staf sama-sama memiliki kemauan dan kemampuan yang berkembang baik dalam melakukan pembelajaran kolektif.

Kelompok II, organisasi yang mengalami kekecewaaan (frustrated organization). Pimpinan pada organisasi sangat baik di dalam pembelajaran organisasi tetapi karyawan-karyawannya tidak mampu melakukannya.

kelompok III, organisasi yang menimbulkan kekecewaan (frustrating organization). Pada organisasi ini, situasi sebaliknya terjadi. Para staf sangat baik di dalam melakukan pembelajaran kolektif namun hal ini tidak dapat diimbangi oleh kelompok pimpinan. Kelompok pimpinan justru sangat yakin dan lebih terampil dalam menerapkan pendekatan organisasi yang berakar pada birokrasi.

Kelompok IV, organisasi yang stagnan. Organisasi ditandai oleh ketidakmampuan belajar kolektif baik di kalangan pimpinan maupun di kalangan staf. Organisasi ini tentu lebih berat situasinya di dalam menghadapi persaingan yang semakin meningkat.

 

Pertanyaannya adalah bagaimana transformasi dapat dilakukan terhadap masing-masing organisasi dari tiga kelompok yang bukan-organisasi pembelajar? Secara teoretis, dapat dikatakan bahwa transformasi hendaknya dilakukan secara holistik: baik dari segi sisi lunak maupun dari sisi keras; baik pada level mikro (individu) maupun pada level makro (keseluruhan organisasi).

Upaya-upaya yang perlu dilakukan adalah melalui perubahan paradigma dari segenap kalangan di dalam organisasi. Perubahan pola pikir kolektif juga perlu dilakukan. Hal ini dapat dilakukan melalui upaya memperjelas visi, misi, dan nilai-nilai organisasi agar selaras dengan perkembangan zaman. Selanjtunya dilakukan pembelajaran dalam tim yang didasari oleh kesaling-percayaan dan keterbukaan. Perubahan sistem penugasan, penilaian kinerja, sistem perngupahan, dan budaya organisasi sangat diperlukan untuk mengekspresikan penghargaan yang tinggi terhadap manusia sebagai aset yang paling penting dan mewujdukan rasa keadilan di dalam organisasi.

Pada akhirnya, pemimpin merupakan presedens atau pihak yang sangat menentukan. Mereka harus mampu menjadi menjalankan tugas-tugas  servant ledaership.  Mereka bertanggung jawab untuk mengembangkan suatu kepemimpinan yang menyeluruh (overall leadership). Ketika setiap individu menerima tanggung jawab sebagai pemimpin di bagiannya masing-masing, maka organiasi memiliki kekenyalan yang diperlukan untuk beradaptasi dan unggul dalam lingkungan yang senantiasa berubah dengan cepat.