Diferensial (Turunan) dalam Ilmu Ekonomi dan Bisnis

Latar Belakang

Dalam ilmu ekonomi dikenal adanya suatu keseimbangan atas suatu kondisi ekonomi, baik itu keseimbangan pasar tertutup (price equilibrium dan quantity equilibrium), keseimbangan pendapatan nasional, atau kasus-kasus keseimbangan lainnya. Keseimbangan suatu kondisi ekonomi tentunya tidak akan senantiasa berada pada satu titik. Ia akan berubah seiring dengan adanya perubahan atas variabel-variabel yang mempengaruhinya, baik itu variabel dalam model (endogen) atau variabel luar model (eksogen).

Dalam sebuah model (persamaan), adanya perubahan nilai atas suatu variabel tentunya akan mempengaruhi nilai dari variabel lainnya. Seberapa besar tingkat perubahan (rate of change) suatu variabel akan mempengaruhi tingkat perubahan variabel lainnya sering diselesaikan dengan pendekatan diferensial. Secara umum diferensial membahas tentang pengaruh perubahan suatu variabel terhadap variabel lainnya dalam suatu persamaan matematika.

Pengertian :

Diferensial dapat diartikan sebagai tingkat perubahan suatu fungsi atas adanya perubahan variabel bebas dari fungsi tersebut.

Misalkan fungsi :

 

(dengan y sebagai variabel terikat dan x sebagai variabel bebasnya, artinya nilai y dipengaruhi oleh nilai x)

Maka diferensial dapat diartikan sebagai tingkat perubahan dari setiap variabel y sebagai tanggapan terhadap suatu perubahan dalam variabel x.

Dalam kasus ekonomi dapat dicontohkan sebagai berikut:

  • Misalkan pada fungsi permintaan, hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan tingkat harga. Adanya perubahan tingkat harga pada suatu titik tertentu akan mempengaruhi jumlah barang yang diminta. Pada setiap kasus dan setiap titik bisa sama ataupun berbeda, bergantung terhadap jenis fungsi permintaannya itu sendiri.
  • Contoh (klasik) lainnyadari suatu fungsi utility (kegunaan) atas segelas air.

Diferensial (turunan) fungsi dapat dinotasikan sebagai berikut:

Misalkan ada beberapa fungsi sebagai berikut:

Maka turunan dari fungsi-fungsi di atas dapat dituliskan sebagai berikut:

Secara matematis, untuk mencari persamaan dari suatu turunan fungsi dilakukan dengan pendekatan limit fungsi, tetapi dalam pembahasan ini, kita langsung menggunakan rumus dan aturan dalam turunan guna memudahkan penyelesaian fungsi turunan.

Rumus dan aturan-aturan dalam diferensial

1) Turunan dari fungsi konstan/konstanta

 dengan k = konstanta, maka 

2) Turunan fungsi x berpangkat n

 dengan n = sembarang bilangan, maka 

3) Turunan fungsi dengan koefisien c,

 maka 

4) Aturan penjumlahan dan pengurangan fungsi dalam turunan,

 maka 

5) Aturan perkalian fungsi dalam turunan,

 maka 

6) Aturan pembagian fungsi dalam turunan,

 maka 

7) Aturan rantai dalam turunan,

 maka 

atau

 maka 

Contoh :

Tentukan turunan dari fungsi-fungsi di bawah ini!

Penerapan Turunan

Di bawah ini, beberapa penerapan turunan (dalam melihat karakteristik fungsi) yang sering digunakan:

1. Kemonotonan,

Mengidentifikasi apakah fungsi (grafik fungsi) bergerak naik (ke atas) atau bergerak turun (ke bawah)

2. Titik Ekstrem (Maksimum/minimum)

Mengidentifikasi titik balik fungsi (jika ada)

3. Titik Belok

Mengidentifikasi kecekungan fungsi, apakah cekung ke atas atau ke bawah.

Sedangkan, penerapan diferensial (turunan) dalam ilmu bisnis & ekonomi (yang dipelajari) adalah sebagai berikut:

  1. Elastisitas
  2. Fungsi Marginal
  3. Analisis minimum (pada fungsi biaya)
  4. Analisis maksimal (pada fungsi laba dan pajak)

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

1. Kemonotonan

Suatu fungsi [misal f(x)] dikatakan mengalami :

> Kenaikan (naik) pada kurvanya disetiap titik x jika

; dan

> Penurunan (turun) pada kurvanya disetiap titik x jika

2. Titik Ekstrem

Titik ekstrem atau titik balik menggambarkan kondisi dimana suatu fungsi berada pada titik baliknya, apakah itu titik balik maksimum (kondisi dari naik ke turun) ataupun titik balik minimum (kondisi dari turun ke naik). Kedua titik ini (maksimum atau minimum) tercapai pada saat yang sama, yaitu pada saat turunan pertama fungsi tersebut sama dengan nol.

Fungsi f(x) mengalami titik balik (jika ada) pada saat:

3. Titik Belok

Titik belok menggabarkan kondisi perubahan arah kecekungan fungsi suatu kurva. Apakah kurva fungsi cekung ke atas atau cekung ke bawah. Apabila kondisi kurva fungsi cekung ke atas, maka pada kondisi tersebut terjadi titik balik minimum. Sedangkan, apabila kondisi kurva fungsi cekung ke bawah, maka pada kondisi tersebut terjadi titik balik maksimum.

    

Gambar 1. Kurva fungsi cekung ke bawah

Gambar 2. Kurva fungsi cekung ke atas

Titik belok terjadi pada saat turunan kedua fungsi tersebut sama dengan nol.

Fungsi f(x) mengalami titik belok (jika ada) pada saat:

 

Gambar 3. Kurva fungsi polinomial

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =




KONSEP DASAR MATEMATIKA (dalam Ekonomi & Bisnis)

Pendahuluan

Matematika merupakan suatu alat analisis yang digunakan dalam berbagai bidang ilmu, salah satunya ilmu ekonomi. Karena fungsinya sebagai salah satu alat (analisis), maka matematika bersifat pendukung. Keberadaan ilmu matematika diharapankan dapat memudahkan seseorang memahami ilmu yang diperlajarinya. Misalnya dalam ilmu ekonomi, perilaku pelaku ekonomi (konsumen) dimodelkan dalam sebuah fungsi matematika, sebagai implikasi dari teori-teori yang ada (hukum permintaan, teori utilitas dll). Ada beberapa kelebihan yang dimiliki matematika sebagai alat analisis, seperti :

  • “Bahasa” yang digunakan lebih ringkas dan tepat.
  • Kaya akan dalil-dalil matematis sehingga mempermudah pemakaiannya.
  • Mendorong kita untuk menyatakan asumsi-asumsi secara jelas.
  • Memungkinkan penyelesaian kasus dengan n

Meskipun demikian, pemakaian matematika sebagai alat analisis juga tidak luput dari kekurangan, salah satunya keterbatasan dalam hal asumsi yang dimiliki. Pemakaian asumsi menjadi keharusan dalam matematika, hal ini terlalu menyederhanakan permasalahan yang ada sehingga analsis terhadap permasalahan ekonomi terkadang menjadi terlalu sempit. Selain itu, pendekatan matematika dalam ekonomi juga mengharuskan segalanya dikuantitatifkan (numerikal). Memang pendekatan angka (kuantitatif) lebih bersifat universal, tapi tidak segala sesuatu dapat didekati dengan pendekatan angka.

Oleh karena itulah, pendekatan (alat analisis) dalam ilmu ekonomi seharusnya lebih komperhensif, tidak sebatas pada pendekatan secara matematik saja, tetapi juga memahami konteks keilmuan yang ada, sehingga analisis yang sifatnya kualitatif juga dapat dilakukan.

Dalam memahami alat matematika untuk analisis ekonomi ada beberapa hal dasar yang perlu dipahami, seperti: model matematika, bilangan, operasi aljabar, dan teknik-teknik lainnya seperti penyederhanaan dan pemfaktoran.

Model Matematika

Dalam matematika, model biasanya direpresentasikan oleh persamaan/fungsi matematis dan kurva/grafik. Dalam model matematik, ada beberapa unsur yang perlu dikenalkan, seperti: variabel, parameter dan konstanta.

  • Variabel diartikan sebagai sesuatu yang besarnya dapat berubah. Dalam ekonomi, misalnya harga, laba, pendapatan, biaya dan lain-lain.
  • Parameter biasa disebut sebagai koefisien dari suatu variabel. Singkatnya, angka yang menjelaskan karakter suatu variabel.
  • Konstanta merupakan besaran/angka yang nilainya tidak berubah. Contohnya k, 1000, dan lain-lain.

Sistem Bilangan

Penggunaan angka (bilangan) merupakan suatu keniscayaan di dalam matematika, oleh karena itu setidaknya kita mengenal dengan baik kategorisasi/pengelompokan bilangan itu sendiri. Guna memudahkan pengelompokan bilangan di bawah terdapat Bagan Sistem Bilangan.

Awal mulanya jenis bilangan yang dikenal adalah bilangan asli, setelah itu kita mengenal bilangan cacah dan akhirnya mengenal bilangan bulat. Bagan Sistem Bilangan memulai dari keberadaab bilangan bulat (karena bilangan cacah dan asli masuk dalam bilangan bulat) yang dilanjut dengan bilangan pecahan. Gabungan antara bilangan bilangan bulat dengan pecahan disebut dengan bilangan rasional. Setelah itu munculkah bilangan irrasional. Bilangan irrasional secara sederhana adalah bilangan dalam bentuk desimal yang tidak dapat dinyatakan dalam bentuk pecahan, misalnya . Gabungan bilangan rasional dan irrasional ini dikatakan sebagai bilangan real (nyata). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, ditemukan juga bilangan tidak nyata (imajiner), yaitu negatif akar () yang biasa disimbolkan dengan i.

  • Bilangan Bulat : …., -2, -1, 0, 1, 2, ….
  • Bilangan Pecahan :

  • Bilangan Rasional : perbandingan antara dua bilangan bulat.
  • Bilangan Irrasional : bilangan yang tidak dapat ditunjukkan sebagai perbandingan dua bilangan bulat. Misalnya : , π, dll.
  • Bilangan Nyata/Real : bilangan yang mengisi seluruh kekosongan antara bilangan bulat.
  • Bilangan Tak Nyata/Imajiner : merupakan akar dari bilangan negatif. Diyakini keberadaannya tapi tidak diketahui posisinya dalam garis bilangan, contohnya : ,  dll

Eksponen dan Radikal

Bilangan eksponen adalah bilangan berpangkat. Semua bilangan dapat dipangkatkan, tetapi tidak semua bilangan dapat menjadi pangkat. Hanya bilangan rasional saja yang dapat menjadi pangkat suatu bilangan.

Sifat-sifat Eksponen :

Operasi Aljabar

Operasi hitung yang dikenal dalam matematika ada empat; penjumlahan (+), pengurangan (-), perkalian (x) dan pembagian (:). Selain operasi hitung dikenal pula sifat-sifat yang terdapat dalam operasi hitung itu sendiri, seperti sifat komutatif, assosiatif, distributif, dan lain-lain. Tidak semua sifat berlaku dalam operasi hitung. Mungkin sifat tertentu hanya berlaku pada operasi tertentu saja dan operasi tertentu hanya memiliki beberapa sifat saja. Berikut akan dijelaskan sifat-sifat pada operasi aljabar.

  • Komutatif.

Sifat atau hukum komutatif merupakan sifat yang berlaku pada operasi penjumlahan dan perkalian. Dimana operasi kedua bilangan tidak ditentukan oleh urutannya.

  • Assosiatif

Sifat atau hukum assosiatif digunakan pada operasi penjumlahan dan perkalian yang terjadi pada lebih dari dua bilangan. Dimana hasilnya akan sama apabila operasi bilangan dilakukan dengan urutan yang berbeda.

  • Distributif

Sifat atau hukum distributif digunakan pada dua operasi yang berbeda.

  • Pembatalan

Sifat pembatalan biasa digunakan untuk menyederhanakan operasi hitung pada bilangan.

  • Unsur Penyama

Jika suatu bilangan dioperasikan dengan suatu bilangan lain menghasilkan bilangan itu sendiri, maka lain tersebut dikatakan sebagai unsur penyama bagi operasi hitung tersebut. Misalnya bilangan 0 merupakan unsur penyama bagi penjumlahan dan pengurangan. Sedangkan 1 merupakan unsur penyama bagi perkalian dan pembagian.

  • Kebalikan

Jika suatu bilangan dioperasikan dengan bilangan lainnya menghasilkan unsur penyamanya, maka bilangan lainnya itu merupakan kebalikan dari bilangan aslinya.

Pemfaktoran

Pemfaktoran merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menyederhanakan pernyataan matematika. Suatu faktor adalah satu diantara pengali-pengali yang terpisah dalam suatu hasil kali.

Proses pemfaktoran dimulai dengan cara mencari nilai-nilai bersama pada suatu pernyataan matematika. Berikut contoh-contohnya :




PAJAK DALAM ISLAM

A.   Pendahuluan

Secara konseptual jenis penerimaan pemerintah maupun alokasi belanja pemerintah dalam ekonomi konvensional maupun ekonomi Islam hampir sama.  Namun demikian, tujuan-tujuan yang dicapainya agak sedikit berbeda, mengingat prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah pengelolaan anggaran dalam Islam selalu ditujukan untuk mencapai maqashid syari’ah, sehingga segala sesuatunya harus berdasarkan pada perintah Al Qur’an dan Sunah nabi.  Sedangkan dalam ekonomi konvensional kebijakan anggaran hanya sebagai komplemen kebijakan moneter untuk pencapaian tujuan ekonomi makro.

Dalam anggaran pemerintahan suatu negara, sumber-bumber penerimaannya diperoleh dari berbagai sumber, dimana salah satunya adalah pajak. Begitu pula dalam pemerintahan Islam. Pajak menjadi salah satu komponen yang pada masa kenabian dijadikan sumber penerimaan negara. Penerimaan yang diperoleh dari pajak yang dibenankan kepada masyarakat hendaknya harus memperhatikan aspek-aspek keadilan, baik dalam rangka penarikannya maupun dalam rangka pengalokasianya.

Pajak sebagai sumber penerimaan negara Islam, dalam pelaksanaannya haruslah sejalan dengan maqashid syari’ah, untuk itu Islam meminimalisir segala bentuk rusaknya kemaslahatan akibat perberlakuan pajak. Hal ini dikarenakan seringnya pemberlakuaan pajak bukan meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru sebaliknya, membebani rakyat.

B.    Pengertian pajak secara umum

Pajak didefinisikan sebagai kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu (Inayat, 2003). Dari definisi ini dapat diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu:

  1. Pajak merupakan suatu bentuk pembayaran tunai, artinya seorang mukallaf harus membayar pajak berupa uang tunai dan tidak berupa barang.
  2. Pajak merupakan suatu kewajiban mengikat yang mengharuskan setiap individu untuk menunaikannya. Artinya ada pakasaan yang dapat dilakukan oleh negara kepada rakyatnya untuk menarik pajak tanpa perlu adanya suatu kompromi.
  3. Pajak haruslah digunakan untuk kepentingan umum.
  4. Pajak tidak menharuskan adanya imbalan secara langsung, artinya tidak ada syarat bagi wajib pajak untuk memperoleh imbalan yang langsung, tetapi imbalan ini berupa fasilitas yang manfaatnya dapat dirasakan oleh semua pihak.
  5. Pajak adalah tuntutan politik untuk keuangan negara. Artinya pajak ditentukan oleh suatu pemerintahan yang berkuasa pada masa itu.

Dari definisi di atas, terlihat bahwa pajak merupakan suatu keharusan bagi setiap warga negara yang tidak bisa ditawar lagi. Namun, dari definisi di atas bukan berarti pajak dapat disalahgunakan sebagai bentuk pemerasan penyelenggaraan negara kepada rakyatnya, walaupun hal ini sangat mungkin terjadi. Karena kalau dilihat dari sejarahnya, yaitu pada masa feodalisme terutama sebelum datangnya Islam, pajak memang digunakan sebagai suatu bentuk paksaan dari pihak yang berkuasa. Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, mengubah paradigma tersebut. Dengan tetap mengacu kepada definisi di atas, ada beberapa konsepi-konsepi yang perlu dipenuhi dalam penarikan pajak, dan konsep inilah yang menjadi acuan di semua negara di dunia saat ini sebagai suatu kaidah-kaidah dalam penetapan pajak.

 

C.   Kaidah-kaidah pembebanan pajak

Segala aktivitas mu’amalah yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah dalam rangka mewujudkan tercapainya maqashid syari’ah (tujuan syari’ah). Salah satu tujuan syari’ah adalah tercapainya kesejahteraan harta dan kesejahteraan pemilik harta. Keduanya haruslah tercapai sebuah kesepakatan yang mana dalam pembebanan pajak muncul teori-teori guna menjembatani kesepakatan tersebut. Adalah ekonom Inggris Adam Smith telah merancang kaidah-kaidah beban pajak dan memuat empat teori (Inayat, 2003), yaitu:

  1. Teori keadilan atau persamaan
  2. Teori keyakinan
  3. Teori ekonomi
  4. Teori keseimbangan

Jauh sebelum Adam Smith, para ulama telah membahas prinsip-prinsip pajak. Semua Khalifa Rasyidin terutama Umar, Ali dan Umar bin Abdul Aziz menekankan supaya pajak dikumpulkan dengan keadilan dan dengan cara yang sopan, serta tidak boleh melampaui kemampuan orang untuk membayar atau membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Peningkatan pajak yang adil bukan hanya akan menimbulkan peningkatan pendapatan tetapi juga pembangunan daerah.

Dari keempat teori yang diungkapkan oleh Adam Smith di atas, akan kita coba jelaskan satu persatu :

  1. Kaidah Keadilan dan Persamaan

Keadilan pajak adalah kewajiban pertama yang harus dijunjung tinggi keselamatannya, Adam Smith menjelaskan prinsip melalui komentarnya: “Wajib memberikan sumbangsih perlindungan pemerintah untuk menutupi kebutuhan pangan negara sesuai kemampuan mereka yang relatif, yaitu pemilik harta bisa menikmati hartanya dengan perlindungan pemerintah”.

Dari komentar di atas dapat dilihat bahwa perlindungan masyarakat dalam menutupi beban umum harus sesuai dengan kemampuan dan ketentuannya, dimana ukurannya terletak pada ukuran pemasukan dan inilah yang dimaksud dengan kewajiban pajak harus sesuai dengan kemampuan keuangan, oleh karena itu pajak dikenakan atas dasar kelebihan harta bukan modal harta.

Dalam kaitannya dengan aspek keadilan dikenal dua macam prinsip, yaitu prinsip kepuasan atas balas jasa yang diterima wajib pajak (benefit approach) dan prinsip yang berdasarkan kemampuan membayar pajak (ability to pay principle). Jika diukur dari prinsip kepuasan atas balas jasa yang diterima wajib pajak sangatlah sulit, hal ini dikarenakan relatifitas dari kepuasan itu sendiri.

Ada tiga macam cara untuk menggunakan pendekatan atas dasar kemampuan membayar, yaitu equal absolute sacrifice approach, equal propotional sacrifice approach, dan equal marginal sacrifice approach (Suparmoko, 2002).

Dalam konsep  equal absolute sacrifice dikehendaki agar pajak dibayar oleh wajib pajak sedemikian rupa sehingga beban riil wajib pajak itu secara absolute sama besarnya. Karena uang mempunyai sifat memberikan guna batas marginal yang menurun (diminishing marginal utility), pajak yang dipungut dari wajib pajak harus lebih besar untuk mereka yang penghasilannya lebih tinggi dan lebih kecil untuk mereka yang berpenghasilan rendah, sehingga secara absolute beban riil mereka sama besarnya.

Pendekatan yang lebih progresif sifatnya adalah prinsip pengenaan pajak yang mengunakan konsep equal propotional sacrifice. Dengan konsep ini wajib pajak dikenakan pajak sedemikian rupa sehingga beban riil yang hilang dari setiap wajib pajak sebanding atau proposional untuk semua wajib pajak.

Sedangkan dalam pendekatan equal marginal sacrifice, para wajib pajak dikenakan pajak sedemikian rupa sehingga penghasilannya setelah kena pajak akan memberikan marginal utility yang sama untuk unit uang yang terakhir. Tetapi kalau perbedaan penghasilan sangat besar antara wajib pajak yang satu dengan yang lain, maka besarnya jumlah pajak yang diinginkan itu dibebankan saja seluruhnya kepada wajib pajak yang penghasilannya tertinggi, dan wajib pajak yang penghasilannya rendah dibebaskan dari pengenaan pajak.

  1. Kaidah Kepercayaan atau Keyakinan

Menurut Adam Smith pajak harus berdasarkan keyakinan. Dengan demikian segala hal yang berkaitan dengan nilai harga, nisab, kadar, waktu dan tindakan-tindakan penghasilan yang berkaitan dengan pajak harus jelas. Wajib pajak harus didorong untuk tertib memenuhi kewajibannya dengan membayar tepat pada waktunya. Batasan pajak ada pada tindakan-tindakan untuk terjadinya perubahan atau keadilan, kecuali dalam keadaan sulit, maka seorang mukallaf ikut serta mengatur kebutuhan pangan dan kewajiban materi. Dan batasan-batasan itu tidak jelas bagi pajak yang bisa mendatangkan kedzaliman, kesewenang-wenangan, kerusakan, lebih-lebih lagi para pelaksana administrasi dan pelaksana perpajakan. Hal ini dapat menggoncangkan semangat kerja, situasi keuangan dan kepercayaan yang dipegang oleh pejabat perpajakan terhadap pajak yang dibayarkan oleh masyarakat.

Hal-hal di atas menjadikan masyarakat menghidari pajak dan menggagalkan politik keuangan pemerintah dalam merealisasikan sasaran dan tujuan pajak. Dari sini jelaslah bahwa kaidah keyakinan itu sangat penting dalam perpajakan yang juga untuk menjaga prinsip-prinsip keadilan dalam pajak.

Untuk menumbuhkan keyakinan para wajib pajak, maka pemerintah sebagai pihak penyelenggara pajak memiliki kewajiban memenuhi dua kondisi berikut (Chapra,2000); Pertama, penerimaan hasil-hasil pajak harus dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan pajak. Kedua, pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata diantara mereka yang wajib membayarnya. Selama tidak ada jaminan bahwa dana pajak yang dibayarkan kepada pemerintah akan dipergunakan secara jujur dan efektif untuk mewujudkan tujuan syari’ah, maka masyarakat tidak akan bersedia dengan pemerintah dalam usaha pengumpulan pajak dan mengabaikan berapa pun kewajiban-kewajiban moral untuk membayar pajak ditegaskan.

  1. Kaidah Keselarasan

Teori ini menghendaki agar hukum yang berkaitan dengan pajak itu sesuai dengan kondisi muslim mukallaf, khususnya yang berkaitan dengan batasan waktu dan sebab-sebab penarikan pajak. Dari segi batasan waktu penarikan pajak hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi keuangan dan kehidupan masyarakat seperti waktu penghasilan atau setelah memperoleh penghasilan. Pajak ditarik ketika panen atau ketika menjual barang produksi.

Dari segi sebab-sebab penarikan pajak dikehendaki adanya layanan penarikan pajak yang maksimal sesuai dengan keadaan muslim mukallaf. Oleh karenannya suatu kewajiban bagi penarik pajak untuk memberikan kemudahan bagi muslim mukallaf dalam membayar pajak.

  1. Kaidah Ekonomi

Kaidah ini menghendaki agar sikap pemborosan dan upaya maksimal dalam memperoleh hasil pajak atau sarana lain dalam perpajakan, seperti mata uang, transportasi dan inventarisasi, atau yang berkaitan dengan kebutuhan pembayar pajak dihindari sehingga manfaat pajak dapat direalisasikan dengan memperkaya hasil pajak.

Dalam buku Muhammad Abdul Mannan, “Ekonomi Islam: Teori dan Praktek”, ada yang harus diikuti dalam proses pengambilan pajak yang dilakukan pemerintah kepada rakyatnya, antara lain:

  • Negara harus meneliti dalam menetapkan pengambilan bermacam-macam pajak, maka hendaknya dipakai dasar keadilan dalam perpajakan, yaitu dengan mengambil dari setiap individu menurut kadar kemampuannya. Bagi yang tidak mampu agar dibebaskan dari pajak. Ketika negara mengambil kewajiban pembayaran dari harta lainnya yang diwajibkan Allah SWT, seperti zakat dan jizyah, maka harus menurut ukuran yang telah ditetapkan dengan benar karena semua itu telah ditentukan oleh Allah SWT.
  • Negara hendaknya memperhatikan hak dalam penentuan barang yang dikenakan kewajiban pembayaran harta umum, sehingga Baitul Maal tidak mengambil melebihi dari keuntungan seorang pengusaha dan pengusahan hendaknya tidak berbuat curang dalam memberikan haknya kepda Baitul Maal.
  • Negara harus memperhatikan pendapatan orang yang dikenakan kewajiban membayar harta umum, maka tidak ada sistem yang menzhalimi pengusaha.
  • Negara harus mendapatkan harta kekayaan umum dalam rentang waktu yang telah ditentukan, maka tidak mungkin zakat dan kharaj diambil sebelum berpenghasilan. Jadi tepatnya dimusim panen sesuai firman Allah, “Dan tunaikanlah haknya di hari memetiknya.” (Q.S. Al An’aam : 141)

 

D.   Sistem pengenaan pajak

Sistem pengenaan pajak yang ada pada masa kini mengacu kepada kaidah-kaidah pembebanan pajak yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut, sistem pengenaan pajak dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, sistem pajak yang progresif. Dimana sistem pengenaan pajak ini bertambah nilainya seiring dengan semakin tingginya dasar pajak (tax base) seperti tingkat penghasilan wajib pajak, harga barang mewah dan sebagainya, akan dikenai pungutan pajak yang semakin tinggi persentasenya. Sistem pajak progresif masih sesuai dengan semangat Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Sistem pengenaan pajak seperti ini sangat membantu menumbuhkan kesadaran wajib pajak untuk mengalokasikan harta yang dimilikinya kepada hal-hal yang sifatnya lebih produktif daripada membelanjakannya untuk barang-barang mewah.

Kedua, sistem pajak proposional, yaitu pengenaan tarif pajak berdasarkan persentase yang sama untuk nilai objek pajak yang berbeda-beda. Sistem ini tidak bisa diberlakukan untuk semua bentuk pajak, hanya pajak-pajak tertentu saja yang dapat mengunakan sistem ini. Meski demikian, sistem pengenaan pajak proposional masih sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan.

Ketiga, sistem pajak yang regresif yang mana kebalikan dari sistem pajak progresif. Semakin tinggi dasar pajaknya, maka akan semakin rendah persentase yang dibebankannya, tetapi jumlah yang dibayarkan tetap akan lebih besar untuk nilai pajak yang lebih besar pula. Sistem ini dapat diterapkan pada pengenaan pajak yang dialokasikan untuk hal-hal yang sifatnya produktif dan sosial, serta bergantung pada situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu.

Selain itu, dikenal pula pungutan pajak yang sifatnya langsung dan tidak langsung. Pengenaan pajak langsung artinya seluruh beban pajak dipikul oleh wajib pajak itu sendiri dan tidak dapat dialihkan kewajibannya kepada pihak lain. Sedangkan pajak tidak langsung artinya beban pajak dapat dialihkan kepada pihak lain, baik seluruh atau sebagian dari beban pajak tersebut.

Para ulama berpendapat bahwa pajak langsung lebih baik dipandang dari sudut Islam, yang menekankan keadilan. Sejumlah ulama seperti Syekh Hasan Al Banna, mantan pemimpin Ikhwanul Muslimin, Yusuf Qardhawi dan Al-Abbadi melihat sistem pajak progresif sangat sesuai dengan etos Islam karena membantu mereduksi kesenjangan pendapatan dan kekayaan.

E.    Sistem perpajak pada masa kejayaan Islam

Pajak merupakan sumber penerimaan primer negara pada masa Rasulullah SAW. dan Khulafa Rasyidin. Sumbernya bisa dari dalam negeri atau pajak perdagangan internasional. Pajak dalam negeri sendiri, banyak macamnya dari pajak penghasilan, pajak perseroan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan dan lain sebagainya. Adapun jenis-jenis pajak yang diberlakukan pada masa itu adalah sebagai berikut :

  1. Kharaj (Ibrahim, 2003)

Kharaj dapat diartikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh pemillik untuk diberikan pada pemerintah. Penetapan kharaj harus memperhatikan betul kemampuan kandungan tanah, karena ada tiga hal yang berbeda yang mempengaruhinya: pertama, jenis tanah; tanah yang bagus akan menyuburkan tanaman dan hasilnya lebih baik dibandingkan dengan tanah yang buruk. Kedua, jenis tanaman; ada tanaman yang harga jualnya tinggi dan yang harga jualnya rendah. Ketiga, pengelolaan tanah; jika biaya pengelolaan tanah tinggi, maka pajak tanah yang demikian tidak sebesar pajak tanah yang disirami dengan air hujan yang biayanya rendah.

Jadi kharaj adalah pajak atas tanah yang dimiliki kalangan nonmuslim di wilayah negara muslim. Tanah yang pemiliknya masuk Islam, maka tanah itu menjadi milik mereka dan dihitung sebagai tanah ‘usyr seperti tanah yang dikelola di kota Madinah dan Yaman. Dasar penentuannya adalah produktivitas tanah, bukan sekedar luas dan lokasi tanah. Artinya, mungkin saja terjadi,  untuk tanah yang bersebelahan, di satu sisi ditanam anggur dan lainnya kurma, maka hasil pajaknya juga berbeda.  Berdasarkan tiga kriteria di atas, pemerintah secara umum menentukan kharaj berdasarkan kepada:

  1. Karakteristik tanah/tingkat kesuburan tanah
  2. Jenis tanaman, termasuk daya jual dan jumlah
  3. Jenis irigasi
  4. Ketentuan besarnya kharaj ini sama dengan ’usyr.

Seperti dijelaskan di muka, kewajiban membayar kharaj akan gugur, kalau mereka masuk Islam, atau menjual tanah tersebut kepada orang Islam. Akan tetapi kalau mereka menjual tanah tersebut kepada pihak nonmuslim, maka kharaj tersebut tetap berlaku. Perbedaan antara tanah kharajiyah dan usyriyah adalah; kalau tanah kharjiyah, berarti yang dimiliki hanya kegunaannya, sedangkan lahannya tetap menjadi milik negara. Sementara kalau yang diberikan adalah tanah usyuriyah, maka yang dimiliki adalah tanah sekaligus kegunaannya.

Pada masa pemerintahan Nabi SAW., tanah-tanah kharaj sangatlah terbatas dan tidak membutuhkan. Barulah pada zaman khalifah pertama di belakangnya, luasnya serta banyaknya penghasilan tanah-tanah kharaj terdiri atas sebagian besar tanah Romawi dan seluruh tanah kerajaan Persi. Disanalah berlaku banyak sistem yang memerlukan penilaian dari pemungutan dan pengaturan tentang pendapatannya (Zakiy, 2002).

  1. ‘Usyr (Erfanie, 2005)

‘Usyr adalah pajak yang dipungut dari hasil pertanian, tarifnya tetap, yaitu 10 persen atas hasil panen dari lahan yang tidak beririgasi, dan 5 persen atas hasil panen dari lahan yang  beririgasi. Pajak ini bisa berupa uang, atau berupa bagian dari hasil pertanian itu sebagaimana tersirat dalam Al-Qur’an surat Al-An’am: 141;

وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَآأَثْمَرَ وَءَاتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berujung dan tidak berujung, pohon kurma, tanaman-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa, dan tidak (sama rasanya). Makanlah dari buahnya bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

Jadi usyr itu merupakan hasil tanah, yaitu pungutan yang diambil oleh negara dari pengelola tanah sebesar 1/10 dari hasil panen riil, apabila tanamannya diari dengan air tadah hujan, dengan pengairan alami. Dan negara akan mengmabil 1/20 dari hasil panen riil, apabila tanamannya diairi oleh orang atau yag lain dengan pengairan tehnis (buatan). Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir yang mengatakan:

Rasulullah SAW bersadba: “(Tanaman) apa saja yang diari oleh bengawan dan hujan (harus diambil) 1/10 (dari hasil panennya). Dan apa saja yang diairi dengan kincir air, maka (harus diambil) 1/20 (dari hasil panennya)”.

Pada prinsipnya, kharaj dan ‘ursy sama-sama pajak yang dikenakan kepada tanah yang dimiliki oleh seseorang. Hanya saja ketentuan yang diberlakukan akan berbeda berdasarkan atas kepemilikannya dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika tanah itu merupakan milik seorang muslim, maka ia akan dikenakan ‘ursy, tetapi jika tanah itu milik nonmuslim yang berada dalam kekuasaan negara Islam, maka ia akan dikenakan kharaj.

 Pajak konvensional seperti pajak bumi yang dipungut atas dasar hasil budidaya. Hasil pajak ini dipergunakan untuk membiayai sebagian besar anggaran militer di zaman Utsmaniyah. Tetapi sayangnya jenis pajak ini cendrung sebagai penghambat (disincentive) bagi produksi pertanian. Sistem pajak bumi yang lebih efisien ialah bila pajaknya didasarkan kepada potensi pertanian dan hasil yang sedang berjalan. Ini akan menggairahkan peningkatan produksi agar dapat membayar pajak dan menghasilkan surplus yang tidak dikenakan pajak, daripada menghambat produksi marginal. Namun demikian pemerintah, sekalipun sangat giat melakukan pendaftaran tanah, tidak pernah berupaya untuk memperkirakan potensi hasil budidaya, karena perkiraan semacam ini akan menimbulkan perdebatan. ‘Usyr ini dianggap sebagai zakat dan diserahkan kepada pemerintah, serta tidak dibagikan kecuali kepada 8 (delapan) ashnaf (kelompok) yang telah disebutkan di dalam Q.S. At-Taubah: 60.

  1. Khums

Khums atau sistem proporsional tax adalah prosentase tertentu dari rampasan perang yang diperoleh oleh tentara Islam sebagai ghanimah, yaitu harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran yang berakhir dengan kemenangan. Sistem pendistribusiannya disebut khumus (seperlima) setelah peperangan. Khums diserahkan kepada Baitul Mal demi kemakmuran negara dan kesejahteraan ummat.

Pendistribusiannya berdasarkan realita keadaan, dan hal ini diatur dalam Q.S. Al Anfaal: 41,

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُم مِّن شَيْءٍ فَأَنِّ للهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِن كُنتُمْ ءَامَنتُم بِاللهِ وَمَآأَنزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Ketahuilah sesunguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai  ghaninah (rampasan perang), sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul saw.,kerabat Rasul saw.,anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil. Sedang empat perlima (80 persen) dibagikan kepada mereka yang ikut berperang”

Menurut Imam Abu Ubaid, yang dimaksud khums bukan hanya hasil rampasan perang tetapi juga barang temuan dan barang tambang.

  1. Jizyah

Jizyah berupa pajak yang dibayar oleh kalangan nonmuslim sebagai kompensasi atas fasilitas sosial-ekonomi, layanan kesejahteraan, serta jaminan keamanan yang mereka terima dari negara Islam. Jizyah sama dengan poll tax karena kalangan nonmuslim tidak mengenal zakat fitrah.  Jumlah yang harus dibayar sama dengan jumlah minimum yang dibayarkan oleh pemeluk Islam.  Di zaman Rasulullah SAW. besarnya jizyah adalah 1 dinar pertahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Jizyah tidak ditetapkan dengan suatu jumlah tertentu, selain diserahkan kepada kebijakan dan ijtihad khalifah, dengan catatan tidak melebihi kemampuan orang yang berhak membayar ijtihad.

Dari Ibnu Abi Najih yang mengatakan: “Aku bertanya kepada Mujahid: Apa alasannya penduduk Syam dikenakan 4 (empat) dinar, sedangkan penduduk Yaman hanya 1 (satu) dinar? Mujahid menjawab: Hal itu hanyalah untuk mempermudah” (H.R. Bukhari)

Kewajiban membayar jizyah ini juga diatur dalam Qur’an surat At-Taubah: 29,

… حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

 “…sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk”.

Jizyah adalah pajak yang dikenakan per kepala, sebagaimana zakat fitrah yang dikenakan bagi seorang muslim. Jizjah wajib dipungut dari orang-orang nonmuslim, selama mereka tetap kufur, namun apabila mereka telah memeluk Islam, maka jizyah tersebut gugur dari mereka. Jizyah tersebut dikenakan atas orang, bukan atas harta sehingga dikenakan atas tiap orang non muslim, bukan atas hartanya.

  1. ‘Usyur

Dalam hal ini ‘usyur adalah pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam atau datang dari negara Islam itu sendiri. Pajak ini berbentuk bea impor yang dikenakan pada semua perdagangan, dibayar sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.

Permulaan ditetapkannya ‘usyur di negara Islam adalah pada masa khalifah Umar bin Khatab dengan alasan penegakan keadilan, karena ‘usyur dikenakan kepada pedagang muslim ketika mereka mendatangi daerah asing. Dalam rangka penetapan yang seimbang maka Umar memutuskan untuk memperlakukan pedagang nonmuslim dengan perlakuan yang sama jika mereka memasuki negara Islam. Tempat berlangsungnya pemungutan ‘usyur adalah pos perbatasan negara Islam, baik pintu masuk maupun pintu keluar layaknya bea cukai pada zaman ini.

  1. Nawaib/Daraib (Erfanie, 2005)

Merupakan pajak umum yang dibebankan atas warga negara untuk menanggung beban kesejahteraan sosial atau kebutuhan dana untuk situasi darurat. Pajak ini dibebankan pada kaum muslimin kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan hal ini terjadi pada masa perang Tabuk. Pajak ini dimasukan dalam Baitul Maal, dan dasar hukum atas kewajiban ini adalah Q.S. Ar-Ruum: 38,

فَئَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ذَلِكَ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Mengingat fungsi dari pemerintahan Islam yang modern tidak dapat lagi terbatas pada fungsi-fungsi seperti yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Islam dahulu, menjadi tidak realistis pula mengasumsikan bahwa pajak sekarang dapat dibatasi hanya pada golongan-golongan ekonomi tertentu seperti yang didiskusikan ulama-ulama klasik. Perekonomian pada saat tersebut terutama bertumpu pada pertanian, oleh karenanya, pajak sperti kharaj dan ushr juga merupakan pajak utama atas output-output pertanian; sedangkan pajak lainnya memberikan sumbangan yang relatif kecil. Corak perekonomian sekarang telah berubah, atau tengah berubah, dan sumber pendapatan yang lebih layak dan lebih terdiversifikasi telah tersedia bagi pemerintah yang modern. Oleh karena itu, sumber pendapatan lama seperti ghanimah dan jizyah mungkin sudah tidak relevan lagi pada masa modern ini dan mungkin harus dikesampingkan.

F.    Fungsi dan peranan pajak dalam Islam

Pada prinsipnya, dana pajak digunakan untuk kesejahteraan umum seluruh masyarakat dalam suatu negara. Sehingga pajak memiliki fungsi alokasi, distribusi dan stasbilisasi secara efektif. Selain dalam rangka menjaga keberlangsungan roda pemerintahan, pajak juga harus lebih diprioritaskan untuk hal-hal yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Jadi secara umum pajak mempunyai fungsi sebagai public service dan jaminan sosial bagi masyarakat.

Kesejahteraan merupakan tujuan pokok dari semua pengeluaran pemerintah, maka semua proyek infrastruktur sosial dan fisik yang membantu merealisasikan tujuan ini melalui pertumbuhan ekonomi yang cepat, penciptaan lapangan pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan pokok, dapat memberikan prioritas dari proyek-proyek yang tidak memiliki kontribusi demikian. Diantara proyek infrastruktur yang sangat diperlukan, menghapus kesulitan dan penderitaan yang disebabkan oleh kekurangan gizi, buta huruf, tuna wisma dan epidemi, kekurangan fasilitas kesehatan dan ketersediaan air bersih, haruslah memjadi prioritas utama.

Begitu juga dalam pembangunan suatu sistem transportasi publik yang efisien, perlu prioritas yang tinggi. Ketiadaannya menyebabkan kesulitan bagi mayoritas penduduk, berdampak buruk terhadap efisiensi pembangunan dan menimbulkan impor berlebihan terhadp mobil dan minyak. Dan sebagai salah satu solusi dari tingginya impor mobil dan minyak, pemerintah dapat membenahi sistem transportasi publik kearah yang lebih baik dengan pengadaan kendaraan publik dengan demikian tidak akan mengurangi tekanan terhadap sumber-sumber devisa, tetapi juga memberikan pelayanan transportasi yang lebih nyaman kepada mayoritas penduduk, dengan kemacetan dan polusi udara yang berkurang di kota.

Dalam rangka melakukan pemerataan di setiap bidang kehidupan, pembangunan pedesaan untuk meningkatkan produktivitas pertanaian, memperluas kewirausahaan dan kesempatan kerja, serta pemenuhan kebutuhan hidup rakya pedesaan hruslah diutamakan. Hal ini secara otomatis akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan kerena akan mengurangi kepadatan. Selain itu, peningkatan kemampuan untuk si miskin dalam rangka mencari mata pencaharian yang lebih baik dapat dilakukan suatu proses pelatiahn dan akses yang lebih baik kepada pendidikan dan keuangan.

Disamping itu, restrukturisasi sistem finansial dalam rangka pemberian pembiayaan kepada pengusaha di pedesaan dan di perkotaan untuk meningkatkan peluang usaha dan meningkatkan produksi barang dan jasa, juga menjadi syarat penting guna mendukung itu semua. Jadi secara umum, pajak haruslah dapat berdaya guna dalam rangka meingkatkan kesejahteraan umum.

G.   Dampak pajak dalam pemerintahan Islam

Berdasarkan atas fungsi dan peranan pajak dalam suatu pemerintahan Islam yang mengedepankan prinsip kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakatnya, maka kegunaan pajak dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Selain untuk meningkatkan taraf hidup suatu masyarakat, pajak juga menjadi tolak ukur riil akan tingkat kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Hal ini terlihat dari ada tidaknya infrastruktur yang diperuntukan bagi masyarakat secara umum. Suatu negara yang taraf hidupnya di atas tingkat rata-rata, pastilah tercukupi fasilitas-fasilitas umumnya, setelah fasilitas pribadi yang terpenuhi sebelumnya.

Terciptanya suatu pemerintahan yang baik dalam menjalakan usahanya sebagai khalifah di muka bumi, menjadi salah satu kegunaan yang dirasakan dari adanya pungutan pajak. Alokasi dana pajak dalam menjalankan roda pemerintahan sangatlah mendorong usaha-usaha percepatan ekonomi yang digalakan oleh pemerintah. Hal ini bisa dibuktikan dengan semakin meluasnya kesejahteraan yang merata bagi pengelola negara memungkinkan fasilitas pelayanan dalam rangka mengerakan roda perekonomian dengan kemudahan mendirikan usaha-usaha baru menjadikan masyarakat bergairah untuk senantiasa berusaha meningkatkan produktivitas usahanya.

Kebijakan pemungutan pajak terhadap setiap jenis usaha juga berhasil menciptakan kestabilan harga dan mengurangi inflasi. Pada saat stagnasi dan menurunnya Aggregate Demand dan Aggregate Supply, pajak mendorong stabilitas pendapatan dan produksi total. Kebijakan ini juga tidak menyebabkan penurunan harga maupun jumlah produksi (Karim, 2002). Salah satu contohnya adalah pada pengenaan pajak barang tambang dan galian (khums). Dampak ekonomi dari propotional tax (seperti khums) maupun lump-sum tax dapat diterangkan dengan analisis yang mengambarkan GDP long-run berbentuk garis lurus berupa tren perkembangan dan dengan actual GDP berbentuk fluktuatif (turun-naik) yang menggambarkan adanya business cycle. Bila kita menggunakan sistem proportional tax, amplitudonya menjadi lebih kecil atau automatic stabilizer.

Hal tersebut dapat dilihat dari persamaan di bawah ini :

Y = C + I + G

dengan :

C = a + b (1 – 0,2)y

C = a + 0,8by

maka :

pers-1-pdi

Dari persamaan di atas diketahui bahwa meskipun ekonomi mengalami booming, tingkatnya tidak akan terlalu tinggi, karena (0,8by) lebih kecil dari (by). Ketika perekonomian turun (down turn) akan ada ‘rem’ automatic stabilizer-nya.

Kita dapat menelaah ilustrasi grafik berikut:

gambar-1-pdi

Grafik. 1

Automatic Stabilizer dengan Proportional tax

Dari ilustrasi di atas diketahui bahwa  sehingga jika terjadi goncangan (shock), perekonomian yang menerapkan propotional tax akan mengalami goncangan yang lebih kecil, baik ketika kondisi perekonomian sedang booming, maupun ketika sedang turun (down turn). Sementara itu, jika diterapkan lump-sum tax, ketika perekonomian sengan mengalami kecenderungan naik akan terjadi bubbling, sedangkan ketika tren turun akan terjadi crash.

Melalui grafik dapat kita lihat ilustrasi business cycle tanpa dan dengan khums sebagai berikut :

gambar-2-pdi

Grafik. 1

Business cycle tanpa dan dengan khums

Selain dari dampak yang telah  disebutkan di atas, pengenaan pajak juga dapat berakibat buruk bagi perekonimian suatu negara. Hal ini terjadi manakala pengenaan pajak tidak sesuai proporsinya atau tidak seimbang dalam pengunaannya. Oleh karenanya sangat dianjurkan keseimbangan dalam penarikan besaran pajak oleh pemerintah, karena penarikan pajak yang terlalu berlebihan bukan berdampak kepada kesejahteraan masyarakat secama umum, namun dapat berdampak pengalokasian yang tidak tepat sehingga pada akhirnya dapat mengurangi kemauan berusaha yang diikuti menurunya produktivitas.

Kesimpulan

Pajak dalam pemerintahan Islam adalah suatu keniscayaan. Keberadaanya sangatlah dibutuhkan bagi terciptanya keseimbangan dalam anggaran belanja negara. Suatu sistem pemerintahan tidak mungkin dapat berjalan tanda adanya dukungan dari rakyatnya dan pajak merupakan salah satu bentuk dukungan rakyat yang berguna dalam rangka terciptanya suatu kesejahteraan umum. Pajak merupakan suatu proses timbal balik antara pengelola negara yang bertanggung jawab atas hajat hidup orang banyak dengan rakyatnya. Dalam Al Qur’an banyak diterangkan tentang kewajiban pajak, serta manfaat atas pemberlakuannya. Pemimpin-pemimpin terdahulu, baik Khulafa Rasyidin maupun zaman sesudahnya, juga menjalankan pemberlakuan pajak semasa pemerintahnya. Oleh karena itu, pajak menjadi suatu keharusan dalam Islam, bukan semata-mata karena kebutuhannya, tetapi juga karena tujuan pemberlakuaannya.

Bentuk-bentuk pungutan pajak yang ada pada masa kejayaan Islam, tidak semua yang relefan dengan keadaan pada masa sekarang, namun yang perlu diperhatikan dari pengambilan pajak dari negara kepada rakyatnya bukan berdasarkan bentuknya melainkan manfaat dan tujuan pemberlakuaannya.

Ada beberapa prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam pemberlakuan pajak yang sesuai dengan maqasi syari’ah, salah satunya adalah prinsip keadilan. Pemberlakuan pajak harus berdasarkan prinsip keadilan dari pengenaan pajak itu sendiri. Adil dalam penarikannya maupun adil dalam penggunaannya. Untuk itu, pajak bukan hanya merupakan kewajiban seorang mukallaf sebagai wajib pajak, tetapi juga merupakan tanggung jawab pengelola pajak untuk merealisasikan tujuan dari pajak, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahannya: Departemen Agama RI, 2000, Diponegoro, Bandung.

Chapra, Umer, 2000, Islam dan Tantangan Ekonomi, Gema Insani Press, Jakarta.

Chapra, Umer, 2001, The Future of Economics: An Islamic Perspective, edisi terjemahan, SEBI, Jakarta.

Erfanie, Sairi, 2005, Kebijakan Anggaran Pemerintah, dalam Buku “Kebijakan Ekonomi dalam Islam”, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Ibrahim, Quthb Muhammad, 2003, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khatab, Islam Ramatan.

Inayah, Gazi, 2003, Teori Komprehensip Tentang Zakat dan Pajak, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Karim, Adiwarman, 2002, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro, The International Institute of Islamic Thought Indonesia, Jakarta.

Mannan, Muhammad Abdul, 1992, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, Intermasa, Jakarta.

Marthon, Said Sa’ad, 2001, Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Zikrul Hakim, Jakarta.

Suparmoko, M., 2002, Ekonomi Publik: Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, ANDI, Yogyakarta.

Zakiy, Abdullah Al Kaaf, 2002, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, Pusaka Setia, Bandung.




Uji Normalitas

Uji Normalitas? Sebenarnya apa sih uji normalitas itu? Istilah ini (uji normalitas) biasa digunakan pada pengolahan data statistik. Ada yang menganggap uji normalitas sebagai suatu bentuk normal atau tidaknya data yang digunakan, bahkan ada pula yang menganggap ini adalah “uji kenormalan” suatu model.

Sebenarnya istilah “normalitas” dalam statistik itu biasa digunakan untuk menjelaskan jenis distribusi dari sebuah data. Suatu data memiliki kecenderungan terhadap suatu jenis distribusi, seperti : distribusi binomial, hypergeometri, poisson, normal, weilbul, dll. Jenis distribusi data dapat ditentukan dari karakteristik data itu sendiri, dapat pula dilakukan pengujian apakah data tersebut memiliki kecenderungan terhadap suatu distribusi (salah satunya distribusi normal).

Guna menguji sebuah data terdistribusi normal atau tidak dapat menggunakan beberapa cara (uji). Ada Uji Kolmogorov Smirnov (KS test), Jaque Berra Test, Anderson Darling Test, dll. Uji normalitas  (sebutan untuk menguji apakah sebuah data terdistribusi normal atau tidak) biasanya dilakukan sebagai persyaratan atas sebuah metode tertentu, misalnya dalam regresi linier sebagai salah satu persyaratan asumsi klasik, penentuan apakah menggunakan statistik parametrik nonparametrik, dll.

Bagaimana jika sebuah data tidak terdistribusi normal? Apakah data tersebut perlu dibuat (sedemikian rupa sehingga) menjadi terdistribusi normal? Pada beberapa metode, penggunaan distribusi normal bagi sebuah data merupakan suatu keharusan, tapi bagi metode lainnya tidak. Salah satu yg menjadi keharusan sebuah data (residualnya, bukan variabelnya) terdistribusi normal adalah dalam Regresi Linier (dengan OLS), dimana salah satu asumsi klasik (dalam Regresi Linier) mengharuskan residual model terdistribusi normal.




PERILAKU PRODUSEN : ETIKA DAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI ISLAM

 

Produksi merupakan urat nadi dari rangkaian aktivitas ekonomi, yang mana tidak akan pernah ada aktivitas konsumsi, distribusi ataupun perdagangan tanpa diawali oleh proses produksi. Untuk itulah aktivitas produksi sangat penting dalam kehidupan manusia. Kegiatan produksi adalah kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa. Untuk menghasilkan suatu barang atau jasa dibutuhkan keterlibatan banyak faktor produksi. Pada umumnya faktor produksi melibatkan alam, tenaga kerja, modal dan kewirausahaan/pengorganisasian. Keempat faktor produksi inilah yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam produksi masalah yang timbul juga bagaimana pengorganisasian faktor produksi serta penentuan harga input maupun output yang sesuai dengan tujuan dari produksi.

Dalam ekonomi konvensional, teori produksi ditujukan untuk memberikan pemahaman tentang perilaku perusahaan dalam membeli dan menggunakan masukan untuk produksi dan menjual keluaran atau produk. Teori produksi juga menjelaskan tentang perilaku produsen dalam memaksimalkan keuntungannya maupun mengoptimalkan efisiensi produksinya. Memaksimalkan keuntungan atau efisiensi produksi tidak akan terlepas dari dua hal; yakni struktur biaya produksi dan revenue yang didapat. Demikian juga dengan permodalan yang bisa didapat dari pinjaman tanpa kompensasi, dengan sistem bunga maupun dengan kerjasama.

Islam menolak sistem Pareto Optimum dan Given Demand Hypothesis sebagai prinsip dasar produksi yang Islami serta pentingnya orientasi terhadap kebajikan dan keadilan. Sehingga fokus utamanya adalah aktivitas produksi yang sesuai dengan dasar-dasar etos Islam.

Sebagaimana terdapat perbedaan yang mendasar dari perilaku seorang konsumen muslim dan non muslim, maka terdapat pula perbedaan yang mendasar dari perilaku seorang produsen muslim dan non muslim. Dalam setiap perilakunya, seorang muslim harus berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Kedua sumber inilah yang membedakan perilaku ekonomi seorang muslim dengan non muslim. Dari kedua sumber ini, diturunkan beberapa prinsip-prinsip dan tujuan seorang muslim menjalankan aktivitas produksi. Pandangan tentang alam dan manusia sebagai faktor produksi menjadi pusat perhatian dalam aktivitas produksi. Bagaimana memanfaatkan semua faktor produksi yang ada agar sesuai dengan tujuan manusia diciptakan di muka bumi yaitu sebagai khalifah yang beribadah kepada Allah menjadi rambu yang harus dipatuhi. Karena dengan begitulah segala persoalan ekonomi dapat terselesaikan.

 

Pinsip-prinsip dan Tujuan Produksi

Manusia diciptakan dimuka bumi tidak lain dan tidak bukan adalah untuk beribadah kepada Allah. Hal ini sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat Az-Zariyat ayat 56, yang artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Inilah prinsip dasar yang harus diperhatikan manusia sebagai mahluk, bahwa segala aktivitasnya adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, tidak lain dan tidak bukan. Begitu pula halnya dengan bekerja. Tidak ada aktivitas bekerja yang tidak pernah luput dari kerangka ibadah. Produksi yang merupakan salah satu bentuk dari kerja manusia juga harus mendasari aktivitasnya dalam koridor ibadah.

Dalam ayat lain Allah juga menerangkan bahwa manusia mempunyai tanggung jawab besar yang tidak dimiliki oleh mahluk lainnya di muka bumi ini, yaitu sebagai khalifah (pemimpin). Peranan manusia sebagai khalifah di muka bumi memerankan fungsi penting yang artinya ada sebuah amanah besar yang dibebankan kepada manusia untuk memakmurkan bumi. Allah yang telah menciptakan bumi dan langit, serta yang ada diantara keduanya memberikan mandat ini kepada manusia karena manusia memiliki kelebihan akal pikiran yang nantinya diharapkan dapat berguna untuk memanfaatkan segala sesuatu yang telah Allah karuniani ini.

Pemberian mandat dan amanah dari Allah kepada manusia mengenai bumi ini bertujuan agar manusia (1) dapat memanfaatkan isi bumi dan (2) memperoleh pendidikan agar manusia ingat nikmat yang telah dianugerahkan oleh-Nya. Amanah yang diberikan Allah kepada umat manusia ini pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bekerja dan mencari karunia Allah. Islam melarang bermalas-malasan namun Islam sangat mendorong umatnya untuk bekerja dan bekerja. (Muhammad, 2004)

Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi sebagai berikut: (Mustafa dkk, 2006)

  1. Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. Allah menciptakan bumi dan langit berserta segala apa yang ada di antara keduanya karena sifat Rahmaan dan Rahiim-Nya kepada manusia. Karenanya sifat tersebut juga harus melandasi aktivitas manusia dalam pemanfaatan bumi dan langit dan segala isinya.
  2. Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut Yusuf Qardhawi, Islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan. Akan tetapi Islam tidak membenarkan penuhanan terhadap hasil karya ilmu pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari Al-Qur’an dan Hadis.
  3. Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia. Nabi pemah bersabda: ”Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”.
  4. Dalam berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya agama Islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat. Dalam Islam tidak terdapat ajaran yang memerintahkan membiarkan segala urusan berjalan dalam kesulitannya, karena pasrah kepada keberuntungan atau kesialan, karena berdalih dengan ketetapan dan ketentuan Allah, atau karena tawakal kepada-Nya, sebagaimana keyakinan yang terdapat di dalam agama-agama selain Islam. Sesungguhnya Islam mengingkari itu semua dan menyuruh bekerja dan berbuat, bersikap hati-hati dan melaksanakan selama persyaratan. Tawakal dan sabar adalah konsep penyerahan hasil kepada Allah SWT. sebagai pemilih hak prerogatif yang menentukan segala sesuatu setelah segala usaha dan persyaratan dipenuhi dengan optimal.

Keadilan dan kebajikan bagi masyarakat secara keseluruhan sesungguhnya merupakan intisari ajaran Islam. Untuk itu kegiatan produksi tentu saja harus senantiasa berpedoman kepada nilai-nilai keadilan dan kebajikan bagi masyarakat. Shiddiqi (1992) menyebutkan 3 prinsip pokok produsen yang islami, yaitu :

  1. Memiliki komitmen yang penuh terhadap keadilan.
  2. Memiliki dorongan untuk melayani masyarakat (untuk mencapai kesejahteraan) sehingga segala keputusan  perusahaan  harus  mempertimbangkan hal ini.
  3. Optimalisasi keuntungan diperkenankan dengan batasan kedua prinsip di atas.

Produsen harus memiliki komitmen yang tinggi terhadap keadilan dan kebajikan, sehingga nilai-nilai ini harus menjadi pedoman bagi kegiatan ekonomi dan bisnisnya. Kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan juga harus menjadi tujuan dari kegiatan produksi, baik produksi secara makro maupun mikro. Dengan batasan kedua prinsip ini, maka produsen dapat memaksimumkan tingkat keuntungan yang ingin dicapainya. Dengan demikian, segala upaya memaksimalkan keuntungan tidak boleh dilakukan dengan meninggalkan prinsip keadilan dan kebajikan bagi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Sesungguhnya penerapan prinsip-prinsip produksi yang islami juga sangat kondusif bagi upaya produsen untuk mencapai keuntungan maksimum jangka panjang. Jika perusahaan mengutamakan keadilan dan kebajikan dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat, maka dengan sendirinya eksistensi perusahaan dalam jangka panjang akan lebih terjamin. Jadi tujuan keadilan dan kebajikan dalam poduksi akan berkorelasi positif dengan keuntungan yang dicapai perusahaan.

Selain itu, ada beberapa nilai yang dapat dijadikan oleh produsen, khususnya muslim, sebagai sandaran motivasi dalam melakukan proses produksi, yaitu: (Sa’ad Marthon, 2004)

Pertama; profit bukanlah merupakan satu-satunya elemen pendorong dalam berproduksi, tetapi kehalalan dalam menghasilkan suatu barang atau jasa dan keadilan dalam mengambil keuntungan merupakan motivasi penting dalam berproduksi.

Kedua; Produsen harus mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan dari proses produksinya. Artinya semua dampak sosial (social return) yang ditimbulkan dari proses produksi haruslah dapat tertanggulangi dengan baik. Selain itu, barang yang yang diproduksi juga harus merefleksikan kebutuhan dasar masyarakat.

Ketiga; produsen harus memperhatikan nilai-nilai spiritualisme, dimana nilai tersebut harus dijadikan penyeimbang dalam melakukan produksi. Artinya harus kembali lagi kepada hakekat penciptaan manusia dan niatan untuk mencari ridho Allah.

Dalam melakukan aktivitas ekonomi, baik itu produksi, konsumsi ataupun perdagangan, motivasi yang sifatnya individualistis sangat dijauhkan. Oleh karena itu, Islam secara khas menekankan bahwa setiap kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial. Dimana kegiatan produksi yang dapat menghasilkan kebutuhan untuk dikonsumsi dan juga keuntungan bagi si produsen harus dapat berkontribusi terhadap kehidupan sosial.

Melalui konsep inilah, kegiatan produksi harus bergerak di atas dua garis optimalisasi. Tingkatan optimal pertama adalah mengupayakan berfungsinya sumber daya insani ke arah pencapaian kondisi full employment, di mana setiap orang bekerja dan menghasilkan suatu karya kecuali mereka yang ‘udzur syar’i seperti sakit dan lumpuh. Optimalisasi berikutnya adalah dalam hal memproduksi kebutuhan primer (dharuriyyah), lalu kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan kebutuhan tersier (tahsiniyyat) secara proporsional. Tentu saja Islam harus memastikan hanya memproduksi sesuatu yang halal dan bermanfaat buat masyarakat (thayyib). Target yang harus dicapai secara bertahap adalah kecukupan setiap individu, swasembada ekonomi umat dan kontribusi untuk mencukupi umat dan bangsa lain. (Mustafa dkk, 2006)

Sedangkan Shiddiqi (1992) menyebutkan beberapa tujuan kegiatan produksi adalah sebagai berikut :

  1. Pemenuhan sarana kebutuhan manusia pada takaran moderat.
  2. Menemukan kebutuhan masyarakat.
  3. Persediaan terhadap kemungkinan-kemungkinan di masa depan.
  4. Persediaan bagi generasi mendatang.
  5. Pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah.

Tujuan pertama menimbulkan dua implikasi. Pertama, produsen hanya menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan dan bukan keinginan. dari konsumen. Barang dan jasa yang dihasilkan harus memiliki manfaat riil bagi kehidupan yang Islami, bukan sekedar memberikan kepuasan yang maksimum bagi konsumen. Kedua, kuantitas produksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar.

Produsen juga dituntut untuk proaktif dan kreatif dalam menemukan berbagai barang dan jasa yang memang dibutuhkan oleh manusia. Terkadang konsumen tidak menyadari apa yang dibutuhkan. Dengan demikian produsen diharapkan dapat menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan di masa mendatang.

Konsep pembangunan yang berkesinambungan adalah konsep yang memberikan persediaan yang memadai bagi generasi mendatang. Dengan demikian kegiatan eksplorasi alam juga sebaiknya menyediakan untuk generasi mendatang. Sedangkan tujuan yang terakhir yaitu berorientasi kepada kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah memberikan implikasi yang luas sebab produksi tidak akan selalu menghasilkan keuntungan material. Ibadah juga kadang membu- tuhkan pengorbanan material. Kegiatan produksi tetap harus berlangsung meski pun ia tidak memberikan keuntungan materi, sebab ia akan memberikan keuntungan yang lebih besar berupa pahala di akhirat nanti.

 

Faktor-faktor Produksi

Pada dasarnya tidak ada sebuah kesepakatan tentang klasifikasi faktor produksi, baik di kalangan ekonom konvensional maupun ahli ekonomi Islam. Perbedaannya disebabkan karena ketidaksamaan tentang definisi, karakteristik, maupun peran dari masing-masing faktor produksi dalam menghasilkan output.

Permasalahan ekonomi dalam faktor produksi pada dasarnya mencakup dua hal, yaitu :

  1. Bagaimana hubungan antar satu faktor produksi dengan faktor produksi lainnya, termasuk apa yang lebih penting dan apa yang lebih dahulu berperan dalam produksi.
  2. Bagaiman menentukan harga, yaitu harga faktor produksi itu sendiri maupun kaitan antara faktor produksi dengan harga output produksi.

Produksi merupakan suatu proses yang mentransformasikan input menjadi output. Segala jenis input yang masuk dalam proses produksi untuk menghasilkan output disebut faktor produksi. Ilmu ekonomi menggolongkan faktor produksi ke dalam capital (termasuk di dalamnya tanah, gedung, mesin-mesin, dan inventori/persediaan), materials (bahan baku dan pendukung, yakni semua yang dibeli perusahaan untuk menghasilkan output termasuk listrik, air dan bahan baku produksi), serta manusia (Labor). Input dapat dipisah-pisahkan dalam kelompok yang lebih kecil lagi. Manusia sebagai faktor produksi misalnya bisa dibedakan menjadi manusia terampil dan tidak terampil. Juga dapat digolongkan ke dalam­nya adalah entrepreneurship (kewirausahaan) dari pemilik dan pengelola perusahaan. Kewirausahaan sendiri dimaksudkan sebagai kemampuan untuk mengendalikan organisasi usaha, mengambil risiko untuk menciptakan kegiatan usaha. Selain faktor-faktor di atas, manajemen juga merupakan satu faktor produksi tersendiri. (Mustafa dkk, 2006)

Menurut Yusuf Qardhawi, faktor produksi yang utama menurut. Al-Qur’an adalah alam dan kerja manusia. Produksi merupakan perpaduan harmonis antara alam dengan manusia. Alam adalah kekayaan yang telah diciptakan Allah untuk kepentingan manusia, ditaklukkan-Nya untuk merealisasikan cita-cita dan tujuan manusia. Kerja adalah segala kemampuan dan kesungguhan yang dikerahkan manusia baik jasmani maupun akal pikiran, untuk mengolah kekayaan alam ini bagi kepentingannya. Tidak dimasukkannya modal sebagai salah satu faktor produksi dikarenakan modal adalah bentuk alat dan prasarana yang merupakan hasil dari kerja. Modal adalah kerja yang disimpan. Atas dasar itu maka unsur yang paling penting dan rukun yang paling besar dalam proses produksi adalah amal (kerja) usaha, dengannya bumi diolah dan dikeluarkan segala kebaikan dan kemanfaatannya sehingga menghasilkan produksi yang baik.

Dalam Al-Qur’an digambarkan kisah penciptaan Adam antara lain pada Surat al-Baqarah ayat 30 dan 31 yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhamnu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertashih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirma “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”. Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya”

Dari pemaparan ayat di atas dapat dilihat bahwa ilmu juga merupakan faktor produksi terpenting dalam pandangan Islam. Teknik produksi, mesin serta sistem manajemen merupakan buah dan ilmu dan kerja.

Terdapat  2 prinsip dasar yang harus dijadikan pedoman dalam penentuan harga faktor produksi, yaitu: (1) Nilai keadilan (justice) dan (2) Pertimbangan kelangkaan (scarcity).

Penentuan harga faktor produksi haruslah adil, sebab keadilan merupakan salah satu prinsip dasar dalam semua transaksi yang Islami. Kelangkaan mengacu pada kondisi relatif antara permintaan suatu barang atau jasa terhadap penawarannya. Mekanisme pasar akan menghasilkan harga yang mencerminkan kelangkaannya. Pertimbangan kelangkaan berarti penempatan harga pasar sebagai harga dari faktor produksi tersebut.

 

Faktor-faktor produksi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

  • Tanah/Alam

Alam adalah faktor produksi yang bersifat asli. Tanah dan segala zat yang dikandung di dalamnya maupun dipermukaannya, udara dan segala yang ada diangkasa adalah faktor produksi yang sangat penting. Alam juga merupakan faktor produksi asal, sebab dari alamlah kemudian segala jenis kegiatan produksi berlangsung. Isu yang menyangkut tentang sumber daya alam ini , yaitu :

  1. Ketersediaan sumber alam dalam jangka panjang.
  2. Bagaimana menentukan harga sumber daya alam karena manusia tinggal mengeskplorasikannya.
  3. Bagaimana menjaga kelestarian alam karena bersifat dapat habis.

Islam juga membolehkan pemilikan tanah dan sumber-sumber alam yang lain dan membolehkan penggunaannya untuk beraktivitas produksi, dengan syarat hak miliknya merupakan tugas sosial dan khilafat dari Allah atas milik-Nya, dengan mengikuti perintah-perintah Tuhan dalam usaha memperoleh milik. (Abdul Muhsin dalam Muhammad, 2004)

Tanah memiliki dua karakteristik, yaitu: (1) tanah sebagai sumber daya alam; dan (2) tanah sebagai sumber daya yang dapat habis.(Mannan, 1992)

Tanah sebagai sumber daya alam yang penggunaannya akan memberikan kontribusi pada dua komponen penghasilan, yai­tu: (a) penghasilan dari sumber-sumber daya alam sendiri (yakni sewa ekonomis murni), dan (b) penghasilan dari perbaikan dalam penggunaan sumber-sumber daya alam melalui kerja manusia dan modal. Sementara karakteristik kedua bahwa Islam memandang, sumber daya yang dapat habis adalah milik generasi kini maupun generasi masa yang akan datang. Generasi kini tidak berhak menyalahgunakan sumber-sumber daya yang dapat habis sehingga menimbulkan bahaya bagi generasi yang akan datang.(Muhammad, 2004)

M.A. Mannan melontarkan kebijaksanaan pedoman dalam mengelola tanah sebagai sumber daya, yaitu:

  • Pembangunan pertanian pada negara-negara Muslim dapat ditingkatkan melalui metode penanaman yang intensif dan ekstensif jika dilengkapi dengan suatu program pendidikan moral berdasarkan ajaran Islam.
  • Penghasilan yang diperoleh dari penggunaan sumber daya yang dapat habis harus lebih digunakan untuk pembangunan lembaga-lembaga sosial (seperti: sekolah, rumah sakit) dan untuk infrastruktur fisik daripada konsumsi saat sekarang.
  • Sewa ekonomis murni boleh lebih digunakan untuk memenuhi tingkat pengeluaran konsumsi sekarang.

 

  • Tenaga Kerja

Secara umum para ahli ekonomi sependapat bahwa tenaga kerja itulah produsen satu-satunya dan tenaga kerjalah pangkal produktivitas dari semua faktor-faktor produksi yang lain. Alam maupun tanah takkan bisa menghasilkan apa-apa tanpa tenaga kerja. Kekayaan alam semesta dapat berubah menjadi hasil produksi yang bernilai karena jasa tenaga kerja. Tenaga kerja meliputi buruh maupun manajerial. Karakter terpenting tenaga kerja dibandingkan dibandingkan dengan faktor produksi lain adalah karena mereka adalah manusia. Isu yang menyangkut hal ini adalah :

  1. Bagaimana hubungan antara tenaga kerja dengan faktor produksi lain.
  2. Bagaimana memberi “harga” atas tenaga kerja.
  3. Bagaimana menghargai unsur-unsur keadilan, kejiwaan, moralitas dan unsur-unsur kemanusiaan lain dari tenaga kerja.

Dalam memandang faktor tenaga kerja inilah terdapat sejumlah perbedaan. Faham ekonomi sosialis misalnya memang mengakui faktor tenaga kerja merupakan faktor penting. Namun paham ini tidak memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap hak milik individu, sehingga faktor tenaga kerja atau manusia turun derajatnya menjadi sekadar pekerja atau kelas pekerja. Sedangkan paham kapitalis, yang saat ini menguasai dunia, memandang modal atau kapital sebagai unsur yang terpenting, dan oleh sebab itu, para pemilik modal atau para kapitalislah yang menduduki tempat yang sangat strategis dalam ekonomi kapitalis.

Pemahaman terhadap peran manusia dalam proses produksi oleh para ekonomi konvensional tampak berevolusi. Semula manusia hanya dipandangdan sisi jumlah fisiknya ketika dipandang sebagai ’tenaga kerja’ atau labor. Sadar bahwa di samping ’tenaga’ manusia juga memiliki aspek ’keterampilan’ yang sifatnya lebih nonfisik, kemudian dibedakan antara tenaga kerja terampil dan tidak terampil. Selanjutnya dibedakan pula manusia antara pemilik, pengelola, dan pekerja seperti yang baru saja dibahas. Manusia sebagai faktor produksi, dalam pandangan Islam, harus dilihat dalam konteks fungsi manusia secara umum yakni sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagai makhluk Allah yang paling sempurna, manusia memiliki unsur rohani dan unsur materi, yang keduanya saling melengkapi. Karenanya unsur rohani tidak dapat dipisahkan dalam mengkaji proses produksi dalam hal bagaimana manusia memandang faktor-faktor produksi yang lain menurut cara pandang Al- Qur’an dan Hadis. (Mustafa dkk, 2006)

Menurut M.A. Mannan dikatakan bahwa dalam Islam, buruh (tenaga kerja) digunakan dalam arti yang lebih luas namun juga lebih terbatas. Lebih luas, karena hanya memandang pada penggunaan jasa buruh diluar batas-batas pertimbangan keuangan. Terbatas dalam arti bahwa seorang pekerja tidak secara mutlak bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya dengan tenaga kerjanya itu.

 

  • Modal

Modal adalah kekayaan yang memberi penghasilan kepada pemiliknya. Atau kekayaan yang menghasilkan suatu hasil yang akan digunakan untuk menghasilkan suatu kekayaan lain. (Ahmad Ibrahim dalam Muhammad, 2004)

Awalnya pengertian modal mencakup segala kekayaan baik dalam wujud uang maupun bukan uang misalnya gedung, mesin dan lain-lain. Pada masa ini pengertian modal meluas mencakup segala wawasan, ketrampilan, pengetahuan dan kekayaan manusia (human capital) yang sangat berguna bagi kegiatan produksi. Isu terpenting tentang modal adalah bagaimana menentukan harganya, dimana dalam ekonomi konvensional harga ini dapat berupa bunga (untuk modal uang) dan sewa.

Di dalam sistem Islam modal (sebagai hak milik) adalah amanah dari Allah yang wajib dikelola secara baik. Manusia atau para pengusaha hanya diamanahi oleh Allah untuk mengelola harta atau modal itu sehingga modal itu dapat berkembang. Terhadap perlakuan modal sebagai salah satu faktor produksi, Islam memiliki terapi sebagai berikut: (Muhammad, 2004)

  • Islam mengharamkan penimbunan dan menyuruh membelanjakannya, juga Islam menyuruh harta yang belum produktif segera diputar, jangan sampai termakan oleh zakat.
  • Di samping Islam mengizinkan hak milik atas modal, Islam mengajarkan untuk berusaha dengan cara-cara lain agar modal tersebut jangan sampai terpusat pada beberapa tangan saja.
  • Islam mengharamkan peminjaman modal dengan cara menarik bunga.
  • Islam mengharamkan penguasaan dan kepemilikan modal selain dengan cara-cara yang diizinkan syari’ah, seperti: kerja, hasil akad jual beli, hasil pemberian, wasiat dan waris.
  • Islam mewajibkan zakat atas harta simpanan atau harta pro­duktif dalam bentuk dagang pada setiap ulang tahun. Tidak boleh menggunakan modal dalam produksi secara boros.

Modal tidak termasuk faktor produksi yang pokok dalam Islam, melainkan hanya sebagai sarana produksi yang menghasilkan dan juga sebagai suatu perwujudan tanah dan tenaga kerja sesudahnya. Modal sendiri merupakan suatu hasil dari kerja mengelola alam yang tersimpan. Jadi jelaslah bahwa memang modal bukan suatu yang dapat berdiri sendiri, tetapi merupakan akibat dari faktor produksi lainya. Namun hal ini tidak pula dapat mengesampingkan modal sebagai faktor produksi, tetapi posisinya tidak diutamakan, segaimana utamanya tenaga kerja, sumber daya alam dan ilmu itu sendiri.

 

  • Wirausaha

Wirausaha (entrepreneur) pada dasarnya dapat dikatakan sebagai motor penggerak kegiatan produksi. Kegiatan produksi berjalan karena adanya gagasan, upaya dan motivasi untuk mendapatkan manfaat sekaligus bersedia menanggung segala resiko. Tenaga kerja dapat digantikan dengan mesin, tidak demikian dengan wirausahawan.

Wirausaha dapat juga diartikan sebagai pengorganisasian faktor-faktor produksi yang ada atau dengan kata lain manajemen. Manajemen disini tentunya tidak lepas dari pengertian manusia sebagai mahluk ciptaan Allah yang diberikan kemampuan akal. Dari akal inilah manusia memiliki ilmu yang akhirnya dapat mengelola sumber daya alam dan manusia dengan baik.

Mana­jemen adalah upaya mulai sejak timbulnya ide usaha dan barang apa yang ingin diproduksi/berapa dan kualitasnya bagaimana dalam angan-angan si manajer. Kemudian ide tersebut dipikir-pikirnya dan dicarikan apa saja keperluannya yang termasuk dalam faktor-faktor produksi sebelumnya. Islam menyuruh melakukan manajemen dan mengharuskan kepada manajer untuk mengikuti jalan keadilan dan menjauhi jalan yang akan membahayakan masyarakat. Atas dasar tersebut manajer Islam mengharamkan untuk mengatur produksi barang-barang yang haram dan tidak membolehkan perencanaan produksi barang-ba­rang seperti ini.

 

Fungsi Produksi

Atas dasar-dasar yang matang tentang perilaku produsen yang sesuai dengan syari’at Islam, maka kita dapat melihat suatu fungsi produksi yang mencerminkan perilaku produsen Islami. Menurut Muhammad Abdul Mannan (1992), perilaku produksi tidak hanya menyandarkan pada kondisi permintaan pasar melainkan juga berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Pendapat ini didukung oleh M.M. Metwally (1992) yang menyatakan bahwa fungsi kepuasan perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh variabel tingkal keuntungan tetapi juga oleh variabel pengeluaran yang bersifat charity atau good deeds. Sehingga fungsi utilitas dari pengusaha muslim adalah sebagai berikut:

umax

Di mana:

F   =  tingkat keuntungan

G  =  tingkat pengeluaran untuk good deeds/charity

 

Menurut Metwally, pengeluaran perusahaan untuk charity akan meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan, karena G akan menghasilkan efek penggandaan (multiplier effects) terhadap kenaikan kemampuan beli masyarakat. Kenaikan kemampuan beli masyarakat itu pada gilirannya akan meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan.

Fungsi daya guna tersebut merupakan fungsi dari jumlah keuntungan dan jumlah pengeluaran untuk sedekah, dengan kendala keuntungan setelah pembayaran zakat, yang besarnya kurang dari tingkat minimum yang aman buat perusahaan.

Tingkat keuntungan diperoleh dari pengurangan pendapatan total dengan biaya produksi dan sedekah yang dapat disebut dengan keuntungan bersih sebelum zakat. Selain itu ada variabel zakat yang besarnya bergantung kepada keuntungan bersih. Metwally menambahkan variabel tambahan pengeluaran dari keuntungan. Jadi tingkat keuntungan (F) dapat dituliskan sebagai berikut:

laba

Dimana:

a    =  tingkat zakat

b    =  tingkat pengeluaran lain

R   =  pendapatan total

C   =  biaya produksi

S    =  sedekah

Tujuan suatu aktivitas produksi adalah memaksimumkan fungsi daya guna/utilitas dengan kendala keuntungan minimum yang dapat diterima. Kondisi optimum terjadi pada saat penerimaan marginal (marginal revenue) sama dengan biaya marginal (marginal cost). Fungsi daya guna produksi yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biaya dan pendapatan, melainkan juga dipengaruhi oleh variabel sedekah dan zakat, memberikan dampak yang jika dilihat sekilas akan mengurangi produksi.

Namun tidaklah demikian, Metwally mengatakan bahwa terwujudnya keseimbangan dalam produksi yang Islami terjadi pada saat penerimaan marginal sama dengan biaya marginal seperti halnya kondisi produksi non Islam. Ini tidak berarti akan menghasilkan tingkat produksi yang sama pada perusahaan dengan produksi Islami dengan perusahaan produksi non Islam. Tingkat produksi islami lebih besar jika dibandingkan dengan produksi non Islam pada struktur biaya yang sama. Hal ini dikarenakan adanya variabel S (sedekah) yang secara imlpisit mempengaruhi fungsi produksi yang mendorong kemampuan daya beli masyarakat yang senantiasa meningkat sehingga produksi juga akan terus ditingkatkan.

Berikut ini akan digambarkan perbedaan keseimbangan produksi Islami dan non Islam. Digambar ini akan dilihat perbedaan jumlah produksinya. Walaupun produksi Islami mengakibatkan tingkat harga (p’) yang lebih tinggi tetapi jumlah produksinya (q’) lebih tinggi pula. Ini menunjukkan bahwa tingkat harga yang tinggi pada produksi Islami tidak menguragi daya beli masyarakat bahkan aktivitas produksi lebih terpacu.

graf-keseimbangan-perusahaan-islam

Grafik 1

Keseimbangan suatu perusahaan Islam dan non Islam

 

Kesimpulan

Sama halnya dengan aktivitas ekonomi lainnya, konsumsi dan distribusi, aktivitas produksi yang merupakan aktivitas hulu dari suatu kegiatan ekonomi harus selalu berpegang pada prinsip-prinsip Islam. Prinsip-prinsip Islam yang menekankan keseimbangan juga berlaku dalam bidang produksi. Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai sumbernya menganjurkan diperhatikannya nilai-nilai moral dalam melakukan aktivitas produksi. Tidak hanya keuntungan semata yang ingin dicapai oleh suatu perusahaan Islami melaikan juga kemaslahatan bagi semua elemen kehidupan.

Prinsip-prinsip yang sangat ditekankan dalam menjalankan suatu proses produksi adalah keseimbangan dan keadilan. Adanya usaha untuk memaksimumkan keuntungan perusahaan juga harus diikuti dengan adanya usaha mensejahteraan mereka yang terkait secara langsung maupun tidak dengan aktivitas produksi. Keuntungan yang ingin dicapai oleh perusahaan seharusnya tidak terbatas pada keuntungan duniawi semata tetapi juga memperhatikan keuntungan yang bersifat ukhrowi dengan adanya tanggung jawab sosial kepada masyarakat dan lingkungan. Dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas produksi hendaknya dapat diperhitungkan sehingga adanya suatu mekanisme tanggung jawab didalamnya.

Faktor-faktor produksi menjadi suatu bahasan yang tidak kalah penting. Perbedaan prinsip menjadikan sudut pandang yang berbeda dalam melihat faktor-faktor produksi yang ada. Dalam Islam, faktor produksi sebenarnya hanyalah alam dan manusia itu sendiri. Tanah, air, udara dan segala sesuatu yang ada dibumi merupakan bagian dari faktor alam. Sedangkan manusia yang diberikan kemampuan akal menurunkan faktor produksi seperti tenaga kerja dan manajerial sebagai suatu keahlian dalam mengelola faktor-faktor produksi. Faktor modal hakekatnya hanyalah hasil dari kerja manusia yang disimpan untuk kelanjutan proses produksi selanjutnya.

Dari penjabaran inilah, fungsi produksi Islami dapat diturunkan sebagai reperensentasi yang memudahkan kita untuk mempelajari mekanisme-mekanisme apa yang mempengaruhi aktivitas ekonomi lainnya baik itu secara mikro maupun makro. Terlihat bahwa fungsi produksi Islami mencapai keseimbangan yang lebih tinggi yang juga berdampak pada tingkat harga dan jumlah produksi yang lebih tinggi pula. Kesemuanya itu mengindikasikan adanya suatu perubahan kearah yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Wallahu’alam …

 

Daftar Pustaka

Karim, Adiwarman A., 2002, Ekonomi Mikro Islam, The International Institute of Islamic Thought Indonesia, Jakarta.

M.B. Hendrie Anto, 2003,  Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Kampus Fakultas Ekonomi UII, Jogjakarta

Mannan, Muhammad Abdul, 1992, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, Intermasa, Jakarta.

Marthon, Said Sa’ad, 2001, Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Zikrul Hakim, Jakarta.

Metwally, M.M., 1995, Teori dan Model Ekonomi Islam, Pt Bangkit Daya Insani, Jakarta.

Muhammad, 2004, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, BPFE, Yogyakarta.

Nasution, Mustafa Edwin, Nurul Huda, dkk., 2006, Pengenalan Ekslusif Ilmu Ekonomi Islam, Kencana Pranada Group, Jakarta.

Qardhawi, Yusuf, 2004, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Robbani Press, Jakarta.




PERILAKU KONSUMEN : FUNGSI UTILITAS DAN MASLAHAH

Kajian dalam ilmu ekonomi tidak pernah lepas dari bahasan tentang perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Konsumsi sebagai suatu bentuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia menjadi suatu bahasan yang mendasari kajian-kajian ilmu ekonomi tentang perilaku manusia dalam menjaga eksistensi hidupnya. Konsep permintaan yang dibahas dalam kajian ilmu ekoknomi mikro, didasari dari pemikiran manusia yang senantiasa membutuhkan sesuatu untuk dikonsumsi. Aktivitas manusia untuk menantiasa melakukan konsumsi mempunyai berbagai alasan yang rasional dan masuk akal. Atas berbagai alasan itulah seorang konsumen melakukan aktivitas konsumsi.

Berbagai alasan yang coba dirumuskan para ahli ilmu ekonomi, menghasilkan beberapa teori tentang motif konsumsi manusia, salah satunya adalah bagaimana meningkatkan kepuasan konsumsi akan barang/jasa secara optimal. Dari beberapa konsep perilaku konsumsi manusia, konsep tentang utilitas lah yang banyak dipakai sebagai acuan para ekonom konvensional (barat) dalam merumuskan konsep-konsep ekonomi kedepannya, salah satunya menjadi dasar pemikiran tentang teori permintaan yang diawali oleh kendala anggaran (budget constraint) dan kurva kepuasan (indefference curve).

Dalam perjalannya, teori utilitas banyak menghasilkan polemik di dalam masyarakat dunia. Munculnya usaha-usaha untuk senantiasa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dunia didasari dari kekurangan konsep utilitas sehingga menimbulkan gerakan-gerakan pemikiran baru tentang perlunya distribusi pendapatan. Selain itu, konsep ini mulai tergantikan dengan konsep preferensi yang tidak lain dan tidak bukan merupakan turunan dari konsep utilitas itu sendiri.

Islam sejak pertama kali dibawa ke muka bumi sudah memiliki konsep yang komperhensif dan mendalam tentang hidup dan kehidupan, mulai dari masalah sosial, politik dan ekonomi (muamalat). Secara umum, dalam rangka menjaga kelangsungan hidup manusia, Islam mengajarkan tentang konsep maslahah, yaitu suatu konsep kemaslahatan (kebaikan bersama) bagi seluruh mahluk hidup. Konsep maslahah dapat diterapkan pula dalam kaitannya tentang perilaku konsumsi manusia.

Pada tulisan kali ini akan coba dibahas perbandingan antara konsep utilitas yang ditawarkan oleh ekonomi konvensional dengan konsep maslahah yang menjadi acuan bagi ekonomi Islam. Tulisan ini, sebelumnya akan memaparkan tentang prinsip dan tujuan konsumsi manusia serta akan melihat sejauh mana rasionalitas yang dimilikinya memainkan peranan dalam aktivitas konsumsi.

 

Prinsip dan Tujuan Konsumsi

Manusia sebagai mahluk hidup membutuhkan sesuatu untuk dikonsumsi guna kelangsungan hidupnya dimuka bumi. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia, ada beberapa hal dasar  yang menyebabkan manusia melakukan kegiatan konsumsi itu sendiri. Hal itu tentunya tidak lepas dari hasrat manusia untuk senantiasa mendapatkan tingkat kepuasan (utilitas) yang optimum dalam konsumsi. Salah satu tujuan dasar dari konsumsi itu sendiri adalah memenuhi kebutuhan hidup yang terbatas oleh beberapa kendala sehingga tercapai suatu kondisi dimana manusia itu merasakan kepuasan atau utilitas yang optimum.

Dalam perkembangannya, pengukuran terhadap nilai utilitas yang terdapat dalam suatu komoditas tidak lagi menggunakan standar angka atau nilai, akan tetapi menggunakan peningkatan atau preferensi. Artinya dalam menentukan besar-kecilnya tingkat kepuasan suatu barang/jasa tidak lagi menggunakan angka, tetapi melakukan komparasi dengan barang lain untuk menentukan selera pasar. Dalam perkembangannya preferensi seseorang terhadap sebuah komoditas sangatlah beragam, dimana sangat dipengaruhi oleh keyakinan dan pemahaman manusia terhadap kehidupan. Ada tiga unsur yang mempengaruhi perilaku seorang konsumen dalam berkonsumsi, yaitu: rasionalitas, kebebasan ekonomi dan utilitas.

Dalam membahas teori perilaku konsumen dalam berkonsumsi, diasumsikan bahwa seorang konsumen merupakan sosok yang cerdas. Dalam artian, konsumen tersebut mengetahui secara detail tentang income dan kebutuhan yang ada dalam hidupnya serta pengetahuan terhadap jenis, karakteristik dan keistimewaan komoditas yang ada. Dengan harapan, komoditas yang telah dikonsumsi oleh konsurnen dapat mendatangkan tingkat utility yang memuaskan. Perilaku seorang konsumen, terkadang dipengaruhi oleh lingkungan sosial, budaya, politik dan ekonomi dalam menentukan komoditas dan jasa yang harus dikonsumsi. Dewasa ini, banyak kita temukan seorang konsumen yang mengkonsumsi komoditas baru, tetapi tidak dilandasi oleh pengetahuan tentang komoditas tersebut. Keinginan konsumen terhadap komoditas tersebut bisa terjadi, dikarenakan adanya advertising (iklan) yang dapat mempengaruhi dan membuat image baru tentang sebuah produk.

Dalam analisa ekonomi kapitalisme, perilaku seorang konsumen sangat dipengaruhi oleh nilai kebebasan dalam berekonomi dan kondisi pasar yang perfect competition (persaingan sempurna). Asumsi yang ditawarkan sistem tersebut sangat idealis. Akan tetapi sulit untuk direalisasikan dalam dunia ekonomi nyata. Dalam konsep ekonomi Islam, seorang konsumen diberi kebebasan untuk melakukan tawar-menawar dan menentukan kesepakatan dalam sebuah transaksi, tetapi tidak bersifat mutlak. Kebebasan dalam sistem ekonomi Islam merupakan kebebasan yang diwarnai oleh nilai-nilai agama yang bertujuan untuk mewujudkan dialektika kemaslahatan individu dan masyarakat. Sebagai illustrasi, dalam sistem kapitalisme, manusia merupakan pemilik hakiki atas harta kekayaan yang dimiliki, sehingga ia mempunyai kebebasan untuk melakukan transaksi atas harta tersebut sesuai dengan kehendaknya. Dalam ekonomi Islam, harta kekayaan hanyalah merupakan titipan Allah, sehingga transaksi yang dilakukan oleh seseorang harus berdasarkan norma dan kaidah syari’ah. Apabila terjadi pelanggaran atas batasan syariah, transaksi yang dilakukan batal, karena dianggap hal itu menimbulkan kemudharatan dalam kehidupan masyarakat.

Perilaku seorang konsumen sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan keyakinan dalam menjalani hidup. Dalam kehidupan banyak sekali nilai-nilai ekonomi yang ditawarkan oleh sistem ekonomi yang ada. Dalam kapitalisme, seorang konsumen merupakan perwujudan materi, dimana segala perilaku konsumsi yang ada harus bersandarkan atas nilai-nilai materi. Tujuan utama konsumen adalah mencapai nilai materi secara optimal, dan hal tersebut merupakan tujuan akhir dalam berekonomi. Seorang konsumen dapat dikatakan berhasil, jika mampu mendapatkan utility ataupun return yang maksimal atas segala pengorbanan yang telah dilakukan.

Sedangkan, Muhammad (2004) menyebutkan sedikitnya ada tiga prinsip umum yang mendasari perilaku ekonomi seorang muslim. Pertama, percaya pada hari akhir. Kedua, konsep Islam tentang keberhasilan. Ketiga, konsep Islam tentang kaya.

1. Percaya pada Hari Akhir (The Belief in the Last Day)

Ajaran Islam mengajarkan kepada umatnya untuk percaya pada Hari Akhir/Kiamat dan kehidupan di akhirat dengan percaya kepada Allah. Ini adalah rentangan waktu kehidupan seorang muslim mulai dari lahir sampai meninggal dunia. Kehidupan sebelum mati dan kehidupan sesudah mati adalah saling berhubungan dalam pola yang berurutan. Dengan demikian seseorang yang melakukan konsumsi akan memiliki efek terhadap dua alam kehidupan, pertama adalah berhubungan dengan pilihan selama kehidupan di dunia, dan kedua adalah efek terhadap kehidupan yang akan datang (akhi­rat). Oleh karena itu utilitas yang diperoleh dari sesuatu yang dipilih merupakan keseluruhan nilai yang ada saat ini dalam mempengaruhi dua alam tersebut. Selanjutnya sejumlah pilihan atas pendapatan seseorang yang diperoleh di dunia seharusnya dapat menambah semua keuntungan yang akan digunakan untuk bekal kehi­dupan di akhirat. Sebagai contoh pengeluaran untuk hal-hal kebajikan, seperti infak, sedekah, dan semacamnya, merupakan bekal yang sangat baik bagi manusia untuk kehidupan di akhirat.

2. Konsep Islam tentang Keberhasilan (The Islamic Concept of Success)

Sukses menurut Islam adalah suatu sikap konsen terhadap Allah dan bukan hanya keadaan akumulasi kekayaan. Konsep keberhasilan dalam Islam senantiasa dikaitkan dengan nilai-nilai moral. Siddiqi (1986) mengatakan “keberhasilan terletak dalam kebaikan. Dengan perilaku manusia yang semakin sesuai dengan pembakuan-pembakuan moral dan semakin tinggi kebaikannya, maka dia se­makin berhasil. Selama hidupnya, pada setiap fase keberadaan, pada setiap langkah, individu Muslim selalu berusaha berbuat selaras dengan nilai-nilai moral”.

Menurut ajaran Islam, sebagai seorang hamba Allah, manusia harus secara positif menggunakan kemampuannya dan sumber daya yang diberikan oleh Allah secara baik. Hal ini mencakup semua aktivitas selama hidup di dunia dalam memenuhi kebutuhannya, akan tetapi ia tidak diperbolehkan untuk mengeksploitasi terhadap makhluk Allah. Oleh karena itu dalam memanfaatkan alam dan sumber daya yang ada harus dilakukan secara baik yang kesemuanya dilakukan sebagai suatu kewajiban terhadap Allah (ibadah).

3. Konsep Islam tentang Kaya (The Islamic Concept of Riches)

Konsep harta, kekayaan dan pendapatan dalam Islam merupakan suatu konsep yang unik. Harta, kekayaan atau pendapatan menurut istilah dalam Islam disebut dengan mal. Mal apakah ia dipandang sebagai kekayaan atau pendapatan, keduanya adalah karunia dari Allah. Mal bukanlah suatu laknat. Surga bukan hanya terbuka bagi orang miskin, tetapi surga juga dan sama terbuka bagi orang yang kaya. Karena harta atau kekayaan sebagai karunia Allah, maka ia harus digunakan untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan manusia. Oleh karena itu dalam hal pembelanjaan harta, Rasulullah mengajarkan:

Suatu ketika Nabi (Muhammad SAW) bertanya kepada para sahabatnya: “Kepada siapakah di antara kamu harta milik ahli warisnya lebih berharga daripada miliknya sendiri? Mereka menjawab: Setiap orang menganggap harta miliknya sendiri lebih berharga daripada milik ahli warisnya”. Kemudian Nabi bersabda: “hartamu adalah apa yang kamu pergunakan dan harta ahli warismu adalah yang tidak kamu pergunakan.”

Itulah sebabnya ketika harta merupakan alat untuk membeli barang dan jasa yang akan mendatangkan kepuasan, maka harta tersebut akan dibelanjakan untuk barang-barang yang bermanfaat bukan yang dilarang.

 

Rasionalitas dalam Prilaku Islami

Dalam ekonomi Islam, pemenuhan kebutuhan akan sandang, pangan dan papan harus dilandasi nilai-nilai spiritualisme dan adanya keseimbangan dalam pengelolaan harta kekayaan. Selain itu, kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya harus berdasarkan batas kecukupan (had al kifayah), baik atas kebutuhan pribadi maupun keluarga.

Setiap konsumen dalam melakukan aktivitas konsumsinya memiliki kecerdasan tersendiri. Kecerdasan ini, merupakan salah satu asumsi yang digunakan dalam mempelajari perilaku konsumen. Kecerdasan yang dimaksud disini adalah kemampuan seseorang dalam mengetahui secara detail tentang pendapatan dan kebutuhan yang ada dalam hidupnya serta pengetahuan terhadap jenis, karakteristik dan keistimewaan komoditas yang ada. Selain itu, perilaku konsumsi seseorang juga dipengaruhi oleh lingkuangan sosial, budaya, politik dan ekonomi.

Konsep ekonomi Islam tidak memberikan kekuasan mutlak terhadap kecerdasan manusia dalam aktivitas konsumsinya. Karena selain diberikan kemampuan akal, manusia juga diberikan beberapa petunjuk dan kaidah serta jalan menuju kebaikan dan kebenaran. Dengan akal pikiran dan hidayah dari Allah, konsumen dapat lebih cerdas dalam menentukan pilihannya.

Allah telah menurunkan aturan-aturan yang dapat digunakan manusia sebagai pedoman dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Sepanjang konsumen dapat berpegang teguh terhadap aturan dan kaidah syari’ah dalam berkonsumsi, maka konsumen tersebut dikatakan mempunyai rasionalitas (kecerdasan). Konsep rasionalitas dalam ekonomi Islam berdasarkan atas nilai-nilai syari’ah dan berusaha untuk mengakomodasi kebutuhan material dan spiritual demi tegaknya sebuah kemaslahatan.

Menurut Marthon (2001), ada beberapa aturan yang dapat dijadikan sebagai pegangan untuk mewujudkan rasionalitas dalam berkonsumsi:

  1. Tidak boleh bermewah-mewahan

Tarf adalah sebuah sikap berlebihan dan bermewah-mewahan dalam menikmati keindahan dan kenikmatan dunia (Mu’jam Alfadz al-Qur’an Al-Karim, 1401 H). Islam sangat membeci tarf, karena merupakan perbuatan yang menyebabkan turunnya azab dan rusaknya sebuah kehidupan umat. Tarf juga merupakan sebuah prilaku konsumen yang jauh dari nilai-nilai syari’ah, bahkan merupakan indikator terhadap rusak dan goncangnya tatanan hidup masyarakat. Hal tersebut merupakan sunatullah dalam kehidupan dunia, apabila kemaksiatan dan kemungkaran telah merabak dalam kehidupan masyarakat, kerusakan dan kehancuran merupakan sebuah keniscayaan.

وَأَصْحَابُ الشِّمَالِ مَآأَصْحَابُ الشِّمَالِ {41} فِي سَمُومٍ وَحَمِيمٍ {42} وَظِلٍّ مِّن يَحْمُومٍ {43} لاَّبَارِدٍ وَلاَكَرِيمٍ {44} إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُتْرَفِينَ {45}

Artinya: ”Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan) angin yang amat panas dan ait panas yang mendidih, dan dalam naungan asap yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan. Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewah-mewahan.” (QS. Al-Waqi’ah: 41-45)

Rasullah SAW bersabda, (diriwayatkan oleh Abdurahman bin Ja’far): ”Sejelek-jeleknya umatku adalah orang yang dilahirkan dalam kenikmatan dan bermewah-mewahan, mempunyai makanan yang bermacam-macam, pakaian yang berbeda corak dan warna, kendaraan segala tipe, serta sombong dalam omongan dan perkataan.” (As-Suyuthi, jilid II)

Dampak negatif dari hidup bermewah-mewahan adalah adanya stagnansi peredaran sumber daya ekonomi serta terjadi distorsi dalam pendistribusiannya. Selain itu, dana investasi akan terkuras demi memenuhi kebutuhan konsumsi, hingga akhirnya terjadi kerusakan dalam setiap sendi perekonomian.

Qardhawi (2004) dalam bukunya Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, menjelaskan bahwa batasan Islam tentang pembelajaan ada dua kriteria, Pertama, batasan yang terkait dengan kriteria sesuatu yang dibelanjakan, cara dan sifatnya. Artinya batasan-batasan yang dirumuskan oleh Islam mengenai konsumsi yang terkait dengan cara dan macam tanpa melihat kepada kuantitas sesuatu yang dibelanjakan, yaitu pembelanjaan yang diharamkan Islam seperti: khamar, rokok, judi dan patung-patung yang telah diharamkan oleh Rasul SAW. Hal ini, dikarenakan setiap pembelanjaan dalam hal-hal yang diharamkan addalah suatu perbuatan yang berlebih-lebihan dan pemborosan yang dilarang Islam, meskipun hanya satu dirham dan meskipun seseorang itu memiliki harta yang berlimpah.

Kedua, batasan yang terkait kuantitas dan ukuran, yaitu membelanjakan harta yang diperlukannya dari yang tidak dapat ditanggung oleh pendapatannya. Sebagai contoh, seseorang yang pendapatannya tujuh membelanjakannya sepuluh, padahal yang ia belanjakan bukan sesuatu yang mendesak (bukan primer), artinya ia terpaksa meminjam padahal utang itu adalah keresahan di waktu malam dan kehinaan di waktu siang.

  1. Pelarangan Israf, Tabdzir dan Safih

Israf adalah melampaui batas hemat dan keseimbangan dalam berkonsumsi, israf merupakan perilaku di bawah tarf. Tabdzir adalah melakukan konsumsi secara berlebihan dan tidak proporsional. Syari’ah Islam melarang perbuatan tersebut, karena dapat menyebabkan distorsi dalam distribusi harta kekayaan yang seharusnya tetap terjaga demi kemaslahatan hidup masyarakat. Ulama fiqh mendefinisikan, safih adalah orang yang tidak cerdas (rusyd), dimana ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syariah dan senantiasa menuruti hawa nafsunya. Muhammad Al ‘Arabi menambahkan, safih harus ada pembatasan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan safih berada. Makna safih tidak bisa disimpelkan dengan orang yang tidak cerdas, sebab segala perbuatannya dapat menyebabkan kemudlaratan bagi pribadi dan masyarakat. Akan tetapi, pemahaman safih harus disesuaikan dengan perubahan zaman dan lingkungan safih. Seorang safih pada zaman dahulu kemungkinan bukan merupakan orang safih pada saat ini, dikarenakan adanya perubahan standar. (Ali A. Rasul, Daar al-Fikr).

Terhadap harta orang-orang safih, negara mempunyai hak terhadap penyitaan, apabila kondisi menuntut akan hal tersebut.

Allah berfirman:

وَلاَتُؤْتُوا السُّفَهَآءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا

Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berikanlah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS. An-Nisaa’: 5)

Beberapa penulis menganjurkan diadakannya larangan atas beberapa barang mewah tertentu atau membebaninya dengan pajak yang berat untuk menghalang-halangi konsumsinya, lebih-lebih bila kondisi ekonomi masyarakat tidak mengizinkan pengeluaran bagi sumber-sumber yang sudah langka untuk membuat barang itu. Baqir al Sadr menganjurkan agar  bahan-bahan tertentu tidak dialihkan ke dalam produksi barang-barang mewah, selama produksi barang-barang yang dibutuhkan umum belum tercapai jumlah memadai.

Konsumen harus menghindari diri dari sikap berlebihan, yang menjerumuskan sebagai pengeluaran yang tidak berguna di atas keperluan untuk memenuhi kebutuhan. Berlebihan adalah dalam pengertian di atas standar pemakaian rata-rata dalam suatu masyarakat, yakni suatu suatu pemikiran yang meninggalkan standar ini secara berlebih-lebihan harus tidak diperbolehkan.

  1. Keseimbangan dalam Berkonsumsi

Aturan dan kaidah berkonsumsi dalam sistem Ekonomi Islam menganut paham keseimbangan dalam berbagai aspek. Konsumsi yang dijalankan oleh seorang muslim tidak boleh mengorbankan kemaslahatan individu dan masyarakat. Selain itu, tidak diperbolehkannya mendikotomikan antara kenikmatan dunia dan akhirat. Bahkan sikap ekstrim pun harus dijauhkan dalam berkonsumsi. Larangan atas sikap tarf dan israf, bukan berarti mengajak seorang muslim untuk bersikap bakhil dan kikir. Akan tetapi mengajak kepada konsep keseimbangan, karena sebaik-baiknya perkara adalah tengah-tengahnya.

Allah berfirman:

وَلاَتَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَتَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا

Artinya: “Dan Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal .” (QS. Al-Israa’: 29)

وَالَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS.  Al-Furqan: 67)

Rasulullah bersabda: “Makanlah, minumlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah kalian, tanpa israf dan menimbulkan kerusakan.” (As Suyuthi, Jilid II) Dan Rasulullah bersabda : “Bersikap zuhud bukan berarti mengharamkan sesuatu yanghalal.” (As-Suyuthi, ibid)

Berdasarkan uraian ayat dan hadist di atas, seorang konsumen dituntut untuk berkonsumsi secara seimbang (I’tidal), dikarenakan hal tersebut berdampak positif bagi kehidupan individu dan masyarakat, baik dalam etika maupun dalam aspek sosial dan ekonomi. Dari aspek ekonomi dapat dipahami, bahwa proteksi (bakhil) dapat mendorong seseorang untuk mengurangi konsumsi yang sedang dilakukan, sedangkan sifat konsumtif (royal) dapat menyebabkan sumber-sumber ekonomi yang ada tidak optimal, bahkan dapat mematikan sektor investasi.

Mannan (1992) dalam bukunya Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, menjelaskan beberapa prinsip konsumsi dalam Islam, salah satunya prinsip kesederhanaan yang mengatur perilaku manusia mengenai makan dan minum adalah sikap yang tidak berlebihan yang berarti janganlah makan secara berlebihan.

يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Artinya: ”Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki) Masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)

Arti penting ayat ini adalah kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila isi perut diisi secara berlebihan tentu akan ada pengaruhnya pada pencernaan. Praktek memantangkan jenis makanan tertentu, dengan tegas tidak dibolehkan dalam Islam.

Kesederhanaan merupakan salah satu etika konsumsi yang penting dalam ekononi Islam. Sederhana dalam konsumsi mempunyai arti jalan tengah dalam berkonsumsi. Diantara dua cara hidup yang ”ekstrim” antara paham materialistis dan zuhud. Ajaran Al-Qur’an menegaskan bahwa dalam berkonsumsi manusia dianjurkan untuk tidak boros dan tidak kikir.

وَالَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)

Fungsi tujuan seorang konsumen muslim berbeda dengan konsumen non muslim. Seseorang konsumen muslim tidak hanya mencapai kepuasan dari konsumsi barang dan pengusahaan barang tahan lama. Perilaku konsumen muslim berpusat sekitar kepuasan yang dikehendaki oleh Tuhan seperti yang diungkapkan dalam Al-Qur’an. Jadi fungsi konsumsi seorang muslim bukan hanya sebagai fungsi jumlah barang yang dikonsumsinya saja melainkan juga terkandung di dalamnya fungsi sedekah yang mencakup infak dan zakat.

  1. Larangan Berkonsumsi atas Barang dan Jasa yang Membahayakan

Syari’ah Islam mengharamkan konsumsi atas barang dan jasa yang berdampak negatif terhadap kehidupan sosial dan ekonomi, yang di dalamnya sarat dengan kemudlaratan bagi individu dan masyarakat serta ekosistem masyarakat bumi. Konsumsi terhadap komoditas dan jasa yang dapat membahayakan kesehatan dan tatanan kehidupan sosial, sangat berdampak bagi kehidupan ekonomi. Seperti halnya narkoba, minuman keras, judi dan penyakit sosial lainnya dapat menimbulkan tindakan kriminal yang dapat meresahkan kehidupan masyarakat. Dengan begitu, alokasi dana dalam kegiatan ekonomi akan sedikit terkuras untuk menangani tindakan kriminal dan memulihkan stabilitas keamanan, sehingga kehidupan ekonomi tidak akan berjalan secara optimal.

Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءاَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسُُ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (arak), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90)

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,” (QS. Al-Maidah: 3)

Allah berfirman (larangan menuruti hawa nafsu):

أَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ

Artinya: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan Umunya dan Allah telah mengunci manpendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa ]samu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)

Komoditas dan jasa yang dikonsurnsi seseorang (muslim), harus diperbolehkan secara hukum (syar’i). Dalam artian, barang dan jasa tersebut masuk dalam kategori thayyibah (baik lagi bermanfaat). Selain itu, kebutuhan yang ada juga diperbolehkan secara hukum (syar’i). Komoditas yang diperbolehkan secara hukum (syar’i) manifestasi dari thayyibah dan rizki, seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Thayyibah adalah segala komoditas yang bersifat hasan (baik secara syar’i), bersih dan suci. Adapun rizki adalah segala pemberian dan nikmat Tuhan.

 

Fungsi Utilitas dan Maslahah

Teori Nilai Guna (Utility)

Teori ekonomi konvensional mengambarkan tingkat kepuasan seseorang terhadap suatu barang/jasa demi memuaskan keinginannya sebagai utilitas. Suatu aktivitas ekonomi untuk menghasilkan sesuatu didorong karena adanya kegunaan dalam sesuatu itu. Manakala sesuatu itu memiliki kegunaan bagi seseorang maka ia akan melakukan aktivitas untuk mengkonsumsi sesuatu itu. Utilitas juga menggambarkan nilai guna atas suatu barang. Jadi suatu barang/jasa memiliki satuan nilai yang dapat diukur dengan fungsi utilitas.

Fungsi utilitas digambarkan oleh kurva indefference. Fungsi utilitas juga menggambarkan adanya tingkat kepuasan mengkonsumsi sejumlah barang/jasa pada jumlah tertentu. Semakin banyak jumlah yang dikonsumsi, maka akan semakin besar pula tingkat kepuasan yang didapatnya. Namun hal ini tidaklah berlaku seterusnya. Dalam teori utilitas dikenal juga konsep penurunan utilitas marjinal (diminishing marginal utiliity) yang menjelaskan adanya penurunan kepuasan (utilitas) pada setiap tambahan yang diberikan. Hal ini juga berimplikasi akan adanya suatu kepuasan total yang maksimal terhadap konsumsi suatu barang/jasa. Selain teori-teori yang dijelaskan di atas ada beberapa lagi teori turunan yang menjelaskan tentang fungsi utilitas.

Dalam perkembangannya, teori tentang utilitas memicu timbulnya gerakan-gerakan pemikiran, seperti aliran utilitarianisme (utilitarianism) yang menghendaki adanya usaha dari pemerintah untuk memaksimalkan utilitas total dari setiap anggota masyarakatnya dengan jalan pendistribusian pendapatan dari kalangan kaya kepada masyarakat miskin. Selain itu ada juga aliran liberalisme dan libertarianisme yang tidak jauh berbeda pemikirannya dengan paham utilitarian, yang menghendandaki adanya usaha memaksimalkan utilitas total setiap anggota masyarakat.

Konsep Maslahah

Mashalahah dalam ilmu ushul fiqh memiliki beberapa pengertian, tetapi secara esensi kandungannya adalah sama. Imam al-Ghazali, mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah ”mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.”

Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemashlahatan harus senantiasa sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun hal itu bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Hal ini dikarenakan kemashlahatan manusia tidak selamanya sejalan dengan tujuan syara’ bahkan lebih didasarkan kepada hawa nafsu. Sama halnya dengan konsumsi yang dilakukan oleh manusia. Karena konsumsi merupakan dorongan hawa nafsu sudah dapat dipastikan bahwa keinginan manusia untuk konsumsi selalu didorong oleh keinginan hawa nafsu. Oleh sebab itulah yang dijadikan patokan dalam menentukan kemashlahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.

Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, lanjut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tersebut, maka baru dapat dikatakan maslahah.

Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemashlahatan itu dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

  1. Maslahah al-Dharuriyyah, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Artinya tanpa ini manusia tidak akan dapat hidup. Kemashlahatan seperti ini ada lima, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan dan (5) memelihara harta.
  2. Maslahah al-Hajiyyah, yaitu kemashlahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemashlahatan pokok. Artinya kemashlahatan ini mendukung tercapainya kemashlahatan pokok yang dalam penerapannya berbentuk keringanan untuk mempertahankan kebutuhan dasar manusia. Contohnya seperti berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik.
  3. Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemashlahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Tanpa terpenuhinya kemashlahatan ini manusia masih dapat melanjutkan hidupnya, tetapi kemashlahatan ini juga mendukung tercapainya kemashlahatan lainnya. Misalnya, dianjurkan memakan makanan yang bergizi dan berpakaian yang bagus.

Lebih jauh, Abduh Wahab Khallaf (1994) dalam buku Ilmu Ushul Fiqh mengatakan, ”yang terpenting dari tiga tujuan pokok ini adalah darury dan wajib dipelihara. Hajiyi boleh ditinggalkan apabila memeliharanya merusak hukum darury, dan tahsiny boleh ditinggalkan apabila dalam menjaganya merusak hukum darury dan tahsiny.

Utilitas versus Maslahah

Dari konsep mashlahat terlihat bahwa ada aturan-aturan yang baku, berupa aturan illahiyah yang hakekatnya menjaga kebaikan manusia juga. Namun hal ini tidaklah menjadikan manusia dalam rangka melakukan aktivitas konsumsi menjadi kaku dan terkungkung, bahkan sebaliknya, manusia akan senantiasa terjaga dan terpelihara dirinya dari sesuatu yang mengancam kelangsungan hidupnya. Karena ini hanyalah panduan umum yang menjadi acuan dalam penerapan perilaku konsumsi manusia. Lain halnya dengan konsep utilitas yang digagas oleh ekonom konvensional. Secara logika memang konsep utilitas sangatlah masuk akal dan manusiawi. Adanya hasrat atau keinginan yang dapat diukur oleh suatu satuan nilai, yang biasa disebut dengan nilai guna, menjadikan adanya ukuran yang jelas dalam mempelajari perilaku konsumen. Namun konsep ini tidak dipagari oleh nilai-nilai dasar kemanusiaan dan moralitas, sehingga dalam penerapannya sangatlah materealis dan mengesampingkan sesuatu yang tidak dapat diukur oleh materi, seperti pahala dan akhirat.

Dalam buku Ekonomi Mikro dalam Prespektif Islam, Muhammad (2004) mengutip tulisan Fahim Khan, ”Theory of Consumer Behavior in an Islamic Perspective”, tentang beberapa keunggulan konsep maslahah, yaitu:

  1. Maslahah adalah subyektif dalam arti bahwa individu akan menilai mana yang paling baik untuk dirinya atas barang/jasa yang maslahah bagi dirinya. Tetapi kriteria untuk menentukan maslahah adalah tidak meninggalkan faktor subyektif seperti dalam kasus utilitas. Kriteria subyektifitas maslahah adalah maqasid syari’ah, yang telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan kriteria subyektifitas utilitas sangatlah menuruti keinginan manusia itu sendiri.
  2. Maslahah individu akan terisi dengan maslahah sosial dan tidak seperti kepuasan individu yang seringkali akan menimbulkan konflik kepuasan sosial.
  3. Konsep maslahah ditekankan pada semua aktivitas ekonomi dalam suatu masyarakat. Jadi konsep maslahah ditekankan pada masalah konsumsi, produksi dan tukar-menukar, tidak seperti pada teori konvensional dimana kepuasan hanya berkaitan dengan masalah konsumsi dan keuntungan bersinggungan dengan masalah produksi. Demikian juga maslahah tetap berhubungan dengan tujuan aktivitas ekonomi, apakah itu dilakukan pada tingkat individu maupun tingkat negara?

Dalam hal ini tidak mungkin membandingkan kepuasan yang diperoleh orang A pada saat mengkonsumsi suatu makanan yang baik (katakanlah buah apel) dengan kepuasan yang didapat oleh orang B yang mengkonsumsi barang yang sama dalam waktu yang sama.

 

Kesimpulan

Dari sekian banyak pemaparan yang telah dijelaskan di atas, terlihat bahwa konsep utilitas memiliki porsinya tersendiri jika dibandingkan dengan konsep maslahah dalam ekonomi Islam. Konsep utilitas yang dipahami selama ini dijadikan tolak ukur dalam aktivitas konsumsi manusia, padahal kalau kita kaji lebih dalam lagi ada hal yang seharusnya lebih mendasari seseorang dalam aktivitas konsumsinya, yaitu lebih melihat kemaslahatan akan barang/jasa yang dikonsumsinya. Utilitas dalam ekonomi Islam hanyalah sebagai alat bantu yang dapat mengukur sesuatu dengan satuan nilai tertentu sehingga menjadikan adanya standar bagi konsumsi manusia, namun hal itu bukan tujuan dari konsumsi itu sendiri.

Utilitas dalam ekonomi Islam tidak semata-mata terbatas pada materi yang sifatnya keduniawian semata, tetapi juga harus melihat faktor-faktor yang bersifat keakhiratan (ukhrowi). Sehingga prinsip dan tujuan konsumsi yang digariskan oleh Islam tidaklah sempit kepada hal-hal yang bersifat kebendaan dan untuk kepentingan pribadi semata namun juga kepada kepentingan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dianjurkannya sedekah sebagai suatu sarana untuk pemerataan konsumsi menjadi suatu keharusan. Tidak berlebih-lebihan dalam mengkonsumsikan suatu barang/jasa serta tidak mengkonsumsi barang/jasa yang dilarang syari’ah sangat diperhatikan selain guna menjaga kemaslahatan individu, masyarakat dan lingkungan. Selain itu, dianjurkan pula untuk selalu bersikap sederhana dalam hidup, karena itu merupakan salah satu ciri dari umat Islam sebagai ummatan washatan (umat menengah). Wallahu’alam…

 

Daftar Pustaka

Al Qur’an dan Terjemahannya: Departemen Agama RI, 2000, Diponegoro, Bandung.

Abdul Wahhab Khallaf, 1994, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa M.Zuhri dan Ahmad Qarib, Dina Utama Semarang (Toha Putera Group), Semarang.

Chapra, Umer, 2001, The Future of Economics: An Islamic Perspective, edisi terjemahan, SEBI, Jakarta.

Haroen, Nasrun, 2001, Ushul Fiqh 1, PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta.

Husain, Abdullah Abdul at-Tariqi, 2004, Ekonomi Islam; Prinsip, Dasar dan Tujuan, Magistra Insani Press, Yogyakarta.

Mankiw, N. Gregory, 2000, Pengatar Ekonomi Jilid II, Erlangga, Jakarta.

Mannan, Muhammad Abdul, 1992, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, Intermasa, Jakarta.

Marthon, Said Sa’ad, 2001, Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Zikrul Hakim, Jakarta.

Metwally, M.M., 1995, Teori dan Model Ekonomi Islam, PT Bangkit Daya Insani, Jakarta.

Muhammad, 2004, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, BPFE, Yogyakarta.

Qardhawi, Yusuf, 2004, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Robbani Press, Jakarta.

Siddiqi, M. Nejatullah, 1986, Pemikiran Ekonomi Islam; Suatu Penelitian Kepustakaan Masa Kini, LIPPM, Jakarta.




Matematika Ekonomi S1 Manajemen

Matematika adalah salah satu alat atau bahasa untuk menggambarkan suatu keadaan atau mendekati suatu permasalahan, termasuk masalah ekonomi dan bisnis. Sebagai alat, matematika akan mempengaruhi ketajaman, efisiensi dan daya generalisasi analisa ekonomi dan bisnis, matematika mempunyai daya kemampuan tersebut oleh daya abstraksi yang tinggi. Hubungan variabel yang rumit dapat disederhanakan dengan menggunakan simbol-simbol matematika. Matematika sangat besar kegunaannya dalam penjabaran dan pengembangan teori ekonomi dan bisnis. Disamping itu matematika sangat berguna dalam pemanfaatan bisnis untuk diproses dan kemudian  disimpulkan hasilnya. Pembahasan meliputi fungsi linier dan non linier, terapan fungsi, dasar-dasar matriks dan terapannya dalam ekonomi, programasi liner dengan metode grafik dan simpleks.

Itulah gambaran tentang Deskripsi Mata Kuliah Matematika Ekonomi. Setelah mengikuti Mata Kuliah Matematika Ekonomi ada dua hal utama yang diharapkan dapat dicapai oleh mahasiswa, yaitu:

  1. Mahasiswa mampu menggunakan aplikasi matematika, seperti : persamaan, pertidaksamaan, fungsi linier dan kuadratik, matriks dan terapannya, serta programasi linier dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi dan bisnis.
  2. Mahasiswa mampu melakukan analisis terhadap permasalah ekonomi yang bersifat teoritis maupun aplikatif dengan pendekatan matematika baik secara analitik maupun grafis.

Berikut ini adalah soal-soal yang dapat digunakan sebagai latihan dalam Mata Kuliah ini:

latihan-soal-matematika-ekonomi

Selamat Belajar!!!!




Regresi Linier Berganda (dengan EViews )

Regresi Linier Berganda yang akan disimulasikan pada bagian ini menggunakan pendekatan Ordinary Least Squares (OLS). Penjelasan akan dibagi menjadi 4 (empat) tahapan, yaitu:

  • Persiapan Data (Tabulasi Data)
  • Estimasi Model Regresi Linier (Berganda)
  • Pengujian Asumsi Klasik
  • Uji Kelayakan Model (Goodness of Fit Model)
  • Intepretasi Model Regresi Linier (Berganda)

Persiapan data dimaksudkan untuk melakukan input data ke dalam software EViews. Setelah data di-input kedalam software EViews, maka langkah selanjutnya adalah melakukan estimasi (pendugaan) model (persamaan) regresi linier, baru dilanjutkan dengan pengujian asumsi klasik. Pengujian asumsi klasik dilakukan setelah model regresi diestimasi, bukan sebelum model diestimasi. Tidak mungkin pengujian asumsi klasik dilakukan sebelum model regresi diestimasi, karena pengujian asumsi klasik yang meliputi normalitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi membutuhkan data residual model yang didapat setelah model terbentuk. Apabila model yang terbentuk tidak memenuhi asumsi klasik yang disyaratkan, maka dibutuhkan modifikasi/ transformasi/penyembuhan terhadap data ataupun model regresi. Pada bagian ini akan dibahas solusi yang harus ditempuh apabila tidak dipenuhinya asumsi klasik dalam model regresi linier, terutama heteroskedastisitas. Tahap terakhir dari bagian ini akan dijelaskan bagaimana melihat layak tidaknya model dan menginterpretasikan model yang terbentuk. Berikut rincian tahap-tahap yang dilakukan dalam regresi linier berganda :

Selanjutnya dapat dilihat di link berikut ini: Regresi Linier Berganda (Eviews)




Regresi Linier Berganda (dengan Software SPSS)

Regresi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mencari pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Metode regresi yang paling sering digunakan biasanya adalah regresi linier dengan pendekatan OLS. Pada kesempatan ini penulis mencoba membuat sebuah tutorial untuk pengolahan data regresi linier berganda dengan Software SPSS.

Regresi Linier Berganda yang akan disimulasikan pada bagian ini menggunakan pendekatan Ordinary Least Squares (OLS). Penjelasan akan dibagi menjadi 4 (empat) tahapan, yaitu:
1) Persiapan Data (Tabulasi Data)
2) Estimasi Model Regresi Linier (Berganda)
3) Pengujian Asumsi Klasik
4) Uji Kelayakan Model (Goodness of Fit Model)
5) Intepretasi Model Regresi Linier (Berganda)
Persiapan data dimaksudkan untuk melakukan input data ke dalam software SPSS. Setelah data di-input kedalam software SPSS, maka langkah selanjutnya adalah melakukan estimasi (pendugaan) model (persamaan) regresi linier, baru dilanjutkan dengan pengujian asumsi klasik. Pengujian asumsi klasik dilakukan setelah model regresi diestimasi, bukan sebelum model diestimasi. Tidak mungkin pengujian asumsi klasik dilakukan sebelum model regresi diestimasi, karena pengujian asumsi klasik yang meliputi normalitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi membutuhkan data residual model yang didapat setelah model terbentuk. Apabila model yang terbentuk tidak memenuhi asumsi klasik yang disyaratkan, maka dibutuhkan modifikasi/transformasi/ penyembuhan terhadap data ataupun model regresi. Pada bagian ini tidak dibahas langkah-langkah yang harus ditempuh apabila tidak dipenuhinya asumsi klasik dalam model regresi linier. Pada bagian ini data yang digunakan untuk mengestimasi model regresi linier dengan OLS telah memenuhi semua asumsi klasik. Tahap terakhir dari bagian ini akan dijelaskan bagaimana melihat layak tidaknya model dan menginterpretasikan model yang terbentuk.

Selengkapnya silahkan baca:

Regresi Linier Berganda (SPSS)




PELATIHAN PENULISAN ARTIKEL ILMIAH NASIONAL

Berikut ini adalah materi lengkap Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah Nasional yang diselenggarakan DIKTI Tahun 2014 :

Sesi 2 EVALUASI DIRI NASKAH, STRATEGI PEMILIHAN BERKALA, PENGUASAAN PETUNJUK PENULISAN

Sesi 3 Etika Penulisan Karya Ilmiah

Sesi 4 Judul, Baris Kepemilikan, Abstrak, Dan Kata Kunci Untuk Artikel Ilmiah

Sesi 6 Material, Pendahuluan & Metode

Sesi 6 Pendahuluan dan Metode.ppt

Sesi 7 Hasil, Pembahasan & Simpulan

Sesi 8 Teknik Ilustrasi dalam Penulisan Artikel Ilmiah

Sesi 9 Pengacuan dalam Penulisan Artikel untuk Terbitan Berkala

Sesi 10 Bahasa Artikel Ilmiah

Sesi 11 Swasunting Artikel Ilmiah dan Daftar Cek Zotero untuk penulisan ilmiah 2014