“Berdamai dengan Stres”
Siapa yang tidak kenal kata stres? Barto mengalami stres ketika modal pinjaman sudah jatuh tempo, tetapi sepatu dagangan belum laku. Pedri stres ketika harus menyelesaikan skripsi. Roma stes ketika terjebak di tengah jalanan di Bekasi ketika menuju ke tempat kerja di Gatot Subroto. Basil uring-
uringan ketika pekerjaan di kantor menumpuk. Karto, Pedri, Roma, dan Basil semua mengalami stres. Rekan-rekan dosen merasakan tekanan yang besar ketika harus menyelesaikan Laporan Penelitian sebagai salah satu tugas rutin tahunan setiap deadline. Stres dialami setiap orang. Secara umum, sumber stres berkaitan dengan pekerjaan seseorang (Morgan cs, 1996).
Lalu, darimana kita tahu bahwa kita sedang mengalami stres? Secara sederhana, stres dapat dideteksi dari fenomena yang dialami, seperti detak jantung yang berdebar-debar, berkeringat dingin, rambut rontok pada suatu ketika, jerawat bermunculan tanpa bisa dicegah, uring-uringan, dan masih banyak lagi muncul keluhan yang semuanya itu bisa dikategorikan sebagai keluhan fisiologis. Selain itu, ada keluhan yang dapat dikategorikan sebagai keluhan psikologis, seperti tidak bisa tidur, makan serasa sekam, dan gelisah. Ada juga beberapa orang yang mengalami perut mules ketika sedang stres. Perut mules dikategorikan sebagai keluhan psikosomatis. Setelah diperiksa secara medis, tidak ditemukan penyakit yang menyebabkan perut mules tadi.
Secara umum, stres dikatakan sebagai tekanan yang dirasakan mengganggu, sehingga yang bersangkutan tidak dapat maksimal dalam melakukan tugas-tugas kesehariannya.
Sekarang, mengapa Pedri stres ketika ujian skripsi? Berbeda dengan Merlon yang tampak santai padahal dia sedang sidang skripsi? Mengapa dua orang tersebut menunjukkan sikap yang berbeda ketika stres? Perbedaan coping to stress pada masing-masing orang ditentukan oleh faktor personal dan situasional. Krakteristik, kepribadian, intelegensi, sikap kerja, pengalaman personal, dan values berpengaruh pada cara-cara yang dipilih untuk mengatasi stres. Faktor kepemimpinan dan situasi sosial juga memberikan pengaruh pada cara-cara mengatasi stres (Morgan cs, 1996). Maka, itulah alasan mengapa ada orang yang survive ketika melakukan coping to stress, dan ada orang yang kewalahan ketika stres.
Lalu, pertanyaannya, apakah stres itu diperlukan? Ya, stres itu diperlukan, sejauh stres bersifat fungsional. Artinya, stres itu fungsional, ketika stres dapat memicu produktivitas pribadi. Dan sebaliknya, stres menjadi kontra produktif, ketika stres bersifat disfungsional. Stres membuat seseorang semakin terpuruk.
Pengetahuan yang dimiliki, diperkuat dengan karakteristik pantang menyerah, serta pengalaman menghadapi kesulitan dalam kehidupan, membantu seseorang untuk mampu mengalahkan stres yang dialami. Beragam cara dapat dilakukan untuk mengatasi stres, seperti lakukan hobi lari di lintasan perumahan, atau menanam sayur di halaman. Prinsipnya, stres harus disalurkan melalui kegiatan yang bermanfaat. Penyaluran energi yang menyesakkan ini dapat dilakukan secara individual maupun komunal.
Nah, mari berdamai dengan stres …
Note:
Ide tulisan dengan judul yang sama pernah dimuat di buletin Empower, Media Komunikasi Civitas Akademika Stimik Perbanas, Jakarta, September 2003.
Sumber Bacaan:
Morgan, Clifford T. , Richard A. King, John R. Weisz & John Schopler. 1996. Introduction to psychology. New York: McGraw