Linking & Connecting Words

Here some files about linking and connecting words

Academic Phrasebank

Linking Words

Sentence Starters

 




Mengembangkan Personal Mastery Sebagai Landasan Spiritual Learning Organization

Pendahuluan

Organisasi merupakan temuan manusia yang monumental. Hingga saat ini, keluarga sebagai organisasi paling tua di sektor kebudayaan telah menjadi basis yang tidak tergantikan di dalam hal kultivasi kehidupan dan kebudayaan umat manusia. Perusahaan-perusahaan bisnis dalam segala ukurannya telah mendorong berkembangnya perekonomian di seluruh dunia sejak kaum Quakers mempraktekkannya atau bahkan lebih tua dari itu hingga dewasa ini. Organisasi-organisasi politik-pemerintahan dalam segala bentuk dan ragamnya memainkan peranan yang sangat nyata bagi pengaturan kehidupan publik.

Organisasi boleh dibilang begitu pervasif dalam kehidupan manusia. Karya-karya besar sulit dibayangkan terlaksana tanpa organisasi dan pengorganisasian yang hebat. Bagi manusia moderen, apakah ada ruang kehidupannya yang tidak diisi dengan mengandalkan dukungan dari organisasi-organisasi? Jika dihitung-hitung sejak awal hingga penghujung hari, manakah kebutuhan manusia moderen yang tidak bergayutan dengan produk-produk atau jasa-jasa dari organisasi-organisasi? Sejak awal kehidupan hingga akhir hayat, jarang didapati ada ruang-ruang yang sungguh-sungguh bebas dari kehadiran organisasi-organisasi, entah secara langsung dan disadari maupun secara tidak langsung dan tidak disadari.

Organisasi-organisasi menentukan perkembangan peradaban umat manusia: semakin maju dan berkembang secara positif, stagnan, atau mundur dan membuat manusia terancam mengalami degradasi bahkan kehancuran. Perusahaan-perusahaan kecil dapat dibawanya bertumbuh menjadi raksasa-raksasa bisnis, tetapi dapat juga dibuatnya lenyap tanpa bekas secara mendadak. Lembaga-lembaga pendidikan yang diorganisasikan dengan baik telah menyediakan tempat pembelajaran yang mampu mengembangkan dan mendiseminsasikan ilmu pengetahuan bagi perkembangan peserta pembelajaran dan masyarakat secara keseluruhan. Sejumlah negara bertumbuh semakin makmur dan sejahtera lantaran organisasi dan pengorganisasian pemerintahannya cerdas dan selaras dengan spirit kehidupan sesuai dengan peerkembangan zamannya. Sebaliknya, negara-negara atau pemerintahan-pemerintahan duniawi tertentu di masa lampau menjadi lenyap juga karena organisasi dan pengorganisasiannya bermasalah. Keluarga-keluarga dapat menjadi tenpat persemaian kehidupan yang penuh kebahagiaan dan damai di kala pengorganisasiannya memadai dan sebaliknya menjadi sarana kehancuran mental-fisik-spiritual ketika penataannya tidak peduli dengan azas pro-life. Dunia di era globalisasi dapat dijadikan suatu desa kecil penuh harmoni, tetapi dapat juga dijadikan lautan api yang menyiksa jiwa-jiwa dari para penghuni planet bumi. Perang besar atau damai yang berdimensi luas senantiasa melibatkan organisasi dan pengorganisasian.

Mengakhiri abad keduapuluh dan memasuki abad keduapuluh satu, organisasi-organisasi dan pengorganisasian di abad keduapuluh tidak lagi memadai. Para ahli menggagas berbagai alternatif organisasi atau pengorganisasian. Semuanya pada akhirnya bermuara pada organisasi pembelajar (learning organization), yang terutama dipopulerkan oleh Peter M. Senge (1990), melalui karyanya The Fifth Discipline.

Learning organization (LO) mencerminkan organisasi dan pengorganisasian yang paling mampu menjawab kebutuhan masyarakat pengetahuan (knowledge society) seperti yang dialami saat ini. Kehidupan yang bergerak maju karena informasi dan pengetahuan sebagai modal utamanya menuntut suatu organisasi yang lebih cerdas di dalam memudahkan pengembangan, perolehan, distribusi, dan pendayagunaan pengetahuan secara unggul.

Bagi Senge (1990:14), LO merupakan “… suatu organisasi yang mampu secara terus-menerus memperluas kapasitasnya untuk menciptakan masa depannya.” Dikatakannya bahwa melalui pembelajaran, anggota-anggotanya dapat menciptakan kembali dirinya secara terus-menerus. Dengan begitu, LO mampu melakukan pembaharuan internal terus-menerus sehingga tercipta inovasi-inovasi yang memungkinkan disediakannya tanggapan-tanggapan yang paling tepat bagi masyarakat. Penggambaran seperti ini jauh mengatasi dengan tepat kelemahan-kelemahan yang ada pada organisasi birokratis  yang pernah berjaya di abad keduapuluh.

Peter M. Senge (1990) mengemukakan lima disiplin yang terpadu dari sebuah LO. Disiplin-disiplin itu terdiri dari personal mastery, model mental (mental models), pembelajaran tim (team learning), visi bersama (shared vision), dan berpikir kesisteman (sytems thinking). Disiplin di dalam hal ini dimaksudkan sebuah tingkat profesiensi tertentu. Disiplin-disiplin ini memerlukan pengembangan terus-menerus.

Tulisan ini berisi uraian tentang personal mastery. Pertama-tama akan disinggung kembali tentang apa yang dimaksdukan dengan personal mastery (PM). Selanjutnya akan diuraikan beberapa cara yang perlu dilakukan untuk mengembangkan PM secara berkelanjutan. Pada bagian akhir, akan dikemukakan beberapa implikasi bagi organisasi, dalam hal ini bagi para manajer guna mendukung perkembangan PM dari orang-orang yang terlibat.

Apa sesungguhnya Personal Mastery?

Senge (1990:126) memaksudkan personal mastery sebagai disiplin pertumbuhan dan pembelajaran pribadi. Dijelaskannya bahwa orang-orang yang memiliki tingkat PM yang tinggi sangat diperlukan bagi pembelajaran organisasi (organizational learning, OL).  Pernyataannya menarik untuk disimak. “… People with high levels of personal mastery are continually expanding their ability to create the results in life they truly seek. From their quest for continual learning comes the spirit of the learning organization.” (Senge, 1990:126).

Menegaskan pandangannya di atas, PM diyakninya sebagai sebuah landasan esensial bagi LO, bahkan dikatakan sebagai fondasi spiritual bagi LO (Senge, 1990:412). Dalam konteks ini, PM merupakan sebuah disiplin yang ditandai oleh upaya terus-menerus yang dilakukan untuk memperjelas dan memperdalam visi pribadi, memusatkan energi, mengembangkan kesabaran, dan memahami realitas dengan obyektif (Senge, 1990:142).

Menurut Senge (1990:412). ada dua gerakan di dalam diri yang akan terjadi ketika PM telah menjadi sebuah kemampuan yang tinggi. Pertama, orang akan senantiasa tergerak untuk mencari tahu apa yang hal terpenting dalam hidup seseorang dan memusatkan perhatian atau seluruh hidup untuk hal tersebut. Visi pribadi yang luhur perlu dibangun dengan sebaik-baiknya.  Kedua, orang dengan PM yang telah menyatu di dalam diri akan senantiasa berupaya untuk untuk melihat kenyataan yang ada saat ini dengan lebih jernih. Hal ini penting agar kita dapat terhindar dari kepuasan semu dan kelambanan di dalam menyadari masalah-masalah yang dapat menghambat pencapaian visi pribadi yang luhur.

Ketika terjadi kesenjangan di antara apa yang ideal, yaitu visi pribadi yang luhur dan kenyataan saat ini terjadilah situasi “tegangan kreatif” (“creative tension”). Kesenjangan ini semestinya menjadi sumber motivasi untuk pembelajaran. Kondisi yang ada perlu diubah agar semakin mendekati visi pribadi. Perubahan yang nyata bagi organisasi dapat dihasilkan ketika keinginan yang kuat untuk berubah timbul dari dalam hati dan pikiran yang jernih dari setiap pribadi yang bergabung di dalam organisasi.

Orang-orang yang memiliki PM yang tinggi tidak akan pernah berhenti belajar. Mereka tidak pernah merasa telah tuntas dalam menguasai sesuatu ketrampilan. Mereka bagaikan orang-orang yang sedang di dalam perjalanan atau pencaharian tanpa henti menuju tujuan hidup yang bermutu tinggi.

Beberapa ciri pokok dari orang-orang  yang memiliki PM tinggi di antaranya adalah adanya perasaan terpanggil untuk mengerjakan sesuatu hal penting yang dicerminkan oleh visi pribadinya; mau menerima kenyataan yang ada dan berusaha memperbaikinya terus-menerus; memiliki keinginan yang kuat untuk mencari tahu tentang keadaan yang ada dan cara-cara untuk memperbaikinya secara mendasar; merasakan satu kesatuan dengan orang-orang lain dan kehidupan itu sendiri tanpa kehilangan keyakinan diri atas keunikan dirinya; menempatkan diri sebagai bagian dari proses kreatif yang luas dan tidak dapat mengendalikannya secara sepihak (Senge, 1990:412).

Karakter orang-orang dengan PM yang tinggi menunjukkan ciri pembelajar seumur hidup. Kehidupan yang lebih baik menuntut inisiatif, ketekunan, dan kesediaan untuk melewati kesulitan-kesulitan di dalam mengusahakan perubahan. Di sisi lain diperlukan juga kemampuan untuk kemampuan untuk menghadapi ketidak-pastian di masa depan. Perubahan organisasi sering melibatkan pertimbangan mengenai kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak yang ada kalanya bertolak belakang dan memerlukan sinkronisasi  yang tidak mudah. Semuanya ini relevan dengan situasi dunia saat ini yang lebih cednderung pada kondisi kompleksitas dinamis (dynamic complexity), terutama karena dipicu oleh perkembangan teknologi informasi dan teknologi.

Gambaran di atas menunjukkan adanya kemampuan untuk pembelajaran seumur hidup yang mengintegrasikan pembelajaran dalam konteks kecerdasan inetektual, emosional, spiritual. Adversity quotient dan kemampuan untuk memahami bekerjanya kekuasaan dan seni penggunaan politik organisasi untuk kebaikan umum pun tidak dapat diabaikan.

Bagaimana Mengembangkan Personal Mastery?

Peter M. Senge (1990) mengemukakan beberapa prinsip dan praktik yang dapat digunakan untuk mengembangkan PM. Pertama, perlu dikembangkan sebuah visi pribadi yang jelas dan menantang. Visi ini perlu dikembangkan berdasarkan misi (purpose) yang luhur. Untuk membedakan keduanya, Senge menjelaskan,

… Purpose is similar to a direc tion, a general heading. Vision is a specific destination, a picture of a
desired future. Purpose is abstract. Vision is concrete. Purpose is “advancing man’s capability to explore the heavens.” Vision is “a man on the moon by the end of the 1960s.” Purpose is “being the best I can be,” “excellence.” Vision is breaking four minutes in the mile.”(Senge, 1990:412).

Kedua, kemampuan untuk mengelola tegangan kreatif perlu ditingkatkan terus-menerus. Ketika keadaan yang ada jauh lebih rendah dari visi yang dicanangkan, orang dapat memilih untuk mengubah keadaan agar semakin menuju kondisi yang ditargetkan pada visi atau sebaliknya menurunkan visi. Pembelajaran berkembangan dengan baik pada pilihan yang pertama. Dorongan untuk menekan kesenjangan terjadi karena manusia menginginkan kondisi yang nyaman. Di sini dibutuhkan kemampuan untuk bertekun dan menunggu sampai tindakan-tindakan yang diambil memberikan hasil positif.

Ketiga, perlu dikembangkan kemampuan untuk menangani “konflik struktural” di dalam diri sendiri. Konflik ini terjadi karena di satu sisi kita berkomitmen tinggi terhadap sebuah visi yang ideal, luhur, dan mampu membawa kita kepada jati diri yang sempurna. Namun di sisi yang lain, muncul bisikan dari dalam batin kita sendiri yang menyebabkan  keragu-raguan  untuk mewujudkan visi tersebut. Sistem pendidikan kita sejak kecil tidak jarang menekankan ketidakberdayaan (powerlessness) kita untuk mencapai hal-hal besar. Juga sering ditanamkan dalam diri kita tentang  ketidak-layakan (unworthiness) kita untuk meraih visi yang besar.  Ibarat putri duyung mendamba, kita boleh saja memiliki cita-cita luhur untuk memberi dampak positif bagi lingkungan sekitar dan kehidupan tetapi suara batin kita menahan laju kita dari dalam. Diperlukan suatu upaya resolusi konflik struktural. Pemeriksaan yang cermat dapat menunjukkan mengapa kedua hal ini terjadi. Selanjutnya diperlukan suatu penyeimbangan agar beban-beban yang dialami dapat dilepaskan dan kita memasuki tingkatan baru dan merasa layak dan mampu untuk mewujudkan visi dalam kesatuan yang harmonis dengan lingkungan. Melalui latihan-latihan terus-menerus, keyakinan diri akan semakin bertumbuh dan sebaliknya ketakutan semakin dapat ditekan. sebagaimana diketahui umum, ketakutan adalah musuh utama bagi perubahan.

Keempat, perlu dikembangkan komitmen terhadap kebenaran secara terus-menerus. Upaya-upaya untuk memperbaiki pemahaman kita mengenai berbagai peristiwa sangat diperlukan agar kita dapat menemukan solusi yang tepat atas permasalahan-permasalahan. Teori-teori yang kita anut perlu dikritisi dengan menilai daya tahannya di dalam menjelaskan situasi-situasi yang terjadi berdasarkan fakta. Dinamika yang kompleks memerlukan fleksibilitas di dalam penerapan teori-teori. Sulit ditemukan satu-satunya teori yang mampu menjawab semua permasalahan secara tuntas. Kemampuan berpikir kritis-konstruktif dapat membantu kita untuk memastikan kebenaran yang dapat diterima dan dijadikan acuan di dalam menetapkan langkah untuk mewujudkan visi pribadi yang telah disusun.

Kelima, alam bawah sadar penting untuk dikenali dan didayagunakan secara optimal. Konon alam bawah sadar manusia itu seperti samudra raya dengan kekuatan yang dahsyat. Berhubung alam bawah sadar tidak memiliki tujuan sendiri, maka kekuatan ini hanya bisa dimanfaatkan jika tersambung dengan alam sadar manusia. Kegiatan-kegiatan menyepi dan bersemedi yang berkembang pada masa lalu mungkin memiliki relevansi dengan upaya peningkatan kapasitas diri ini: Pemeriksaan yang cermat atas alam bawah sadar dan pengintegrasiannya dengan alam sadar. Ketika kemampuan ini dimanfaatkan untuk mencapai visi dan misi dapat disediakan energi yang cukup untuk mencapai hasil yang optimal dengan mengatasi hambatan-hambatan yang ditemui. Per ardua ad astra!

Terakhir, PM perlu diintegrasikan dengan kamampuan berpikir kesisteman (ST). Kemampuan untuk melakukan pembelajaran terus-menerus dapat dipertahankan melalui perpaduan antara akal dan intuisi, senantiasa melihat keterkaitan diri kita dengan lingkungan yang lebih luas (dunia), pengembangan kepedulian (compassion), dan perhatian yang besar terhadap keseluruhan. Dengan cara ini, pencapaian visi pribadi memiliki makna karena adanya dampak positif yang dapat diberikan kepada sesama dan lingkungan yang lebih luas. Kesabaran, ketekunan, dan rasa syukur yang sehat juga dapat diperoleh dengan memahami bahwa tindakan-tindakan individual dapat memiliki rangkaian yang panjang agar tiba pada hasil yang nyata. Di sisi lain, perkembangan ini memberikan harapan untuk bertindak karena keyakinan bahwa setiap tindakan lokal yang positif dapat berdampak global. Oleh karena itu, masing-masing individu akan semakin terdorong untuk mengambil tanggung jawab penuh atas bagiannya masing-masing meskipun kelihatannya sederhana karena pengetahuan akan dampak luas yang akan dihasilkan pada seluruh sistem. So, think globabally, act locally!

Penutup: Implikasi Manajerial 

Para pemimpin, khususnya yang mengampu jabatan manajerial dapat menempuh dua hal untuk mendukung perkembangan PM dari para karyawan atau anggota. Pertama, perlu dikembangkan budaya organisasi yang menghargai komitmen pada peningkatan PM secara terus-menerus. Hal ini dapat diwujudkan melalui sistem pengakuan, pelatihan, dan kesejahteraan yang diberikan kepada karyawan. Perusahaan-perusahaan tertentu mulai memberlakukan pemanfaatan istirahat siang untuk saat-saat teduh atau menyediakan sesi-sesi retret, refleksi, atau cuti untuk kegiatan religius–seperti ibadah ke tanah suci dan sebagainya.

Kedua, dapat dikembangkan pendekatan pembelajaran berdasarkan model (vicarious learning). Kearifan-kearifan lokal atau tokoh-tokoh ideal dalam perkembangan PM dapat dijadikan contoh bagi para karyawan. Para pemimpin seyogyanya menjadi contoh atau model dengan pertama-tama menjadi orang yang berkomitmen pada upaya untuk memajukan PM-nya sendiri. Pengalaman-pengalaman pribadi mereka dapat dibagikan kepada para karyawan sehingga tercipta pembelajaran kelompok dalam disiplin PM. Action speaks louder than words.

Harapan saya, uraian ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Tidak ada jalan tunggal menuju kematangan pribadi, tetapi sharingini dapat berguna karena setiap pribadi memiliki tanggung jawab atas upaya menyempurnakan dirinya sendiri terus-menerus menuju tingkatan yang paling ideal. Dengan gerakan ini, niscaya semua organisasi ciptaan manusia dapat berkembang menjadi organisasi-organisasi pembelajar yang unggul. Semoga.

 

 

 




Kualitas Karya Ilmiah

 

Karya ilmiah  adalah hasil penelitian atau pemikiran yang dipublikasikan dan ditulis dengan memenuhi kaidah ilmiah dan etika keilmuan. Hal ini berarti selain jurnal sebagai tempat publikasi, kualitas dan teknik penulisan artikel ilmiah/gaya selingkung merupakan parameter penting yang diperhatikan dalam penulisan

Kriteria Kualitas Karya Ilmiah

I. Originalitas

  1. Apakah research question dan kesimpulan adalah baru dan spesifik?
  2. Apakah metoda yang digunakan merupakan metoda yang persis sama dengan metoda yang tersedia dalam publikasi (published literature) untuk memecahkan masalah yang berbeda
  3. Apakah metoda yang digunakan merupakan pengembangan metoda dari metoda yang tersedia dalam litertur
  4. Apakah metoda yang digunakan merupakan metoda yang benar-benar baru pda masalah baru?
  5. Apakah karya ilmiah ini pernah dimuat dalam publikasi lain? Catatan: Bila ya, “karya ilmiah” ini tidak bisa dinilai; bila tidak, makalah ini diberi nilai 5
  6. Apakah terdapat idea, kalimat atau paragraf yang bukan bersumber dari penulis tetapi tidak disebutkan sumbernya dengan cara yang benar? Catatan: Bila ya, makalah ini tidak bisa dinilai, dan proses penilaian dihentikan; bila tidak, makalah ini diberi nilai 5

 

II. Keberlanjutan (sesuai dengan research roadmap)

  1. Apakah penulis memiliki track record atau reputasi yang baik dalam bidang ini?
  2. Apakah topik bahasan dalam karya ilmiah ini merupakan kelanjutan dari topik bahasan pada karya ilmiah (riset) yang dilakukan sebelumnya oleh penulis?
  3. Apakah topik bahasan dalam karya ilmiah ini memiliki potensi untuk pengembangan lebih lanjut?

 

III. Kontribusi (manfaat)

  1. Apakah topik bahasan dalam karya ilmiah ini memiliki manfaat atau dampak (kontribusi) yang nyata (significant) bagi pengembangan ilmu atau penerapan?
  2. Apakah kontribusi bagi keilmuan atau penerapan dijelaskan dengan baik dalam karya ilmiah ini?

 

IV. Metodologi

  1. Apakah latar belakang “kenapa” riset ini dilakukan dijelaskan dengan baik?
  2. Apakah pertanyaan penelitian (research question) diungkapkan dengan jelas?
  3. Apakah research question masuk akal dan tidak mengada-ada (reasonable/make sense)?
  4. Apakah tujuan riset (hasil yang diharapkan) diungkapkan dengan jelas pada karya ilmiah ini?
  5. Apakah landasan teori (literature survey dan state of the art) yang terkait erat dengan riset ini diungkapkan dengan jelas?
  6. Apakah hipotesis diungkapkan dengan jelas (meskipun mungkin tidak dinyatakan secara eksplisit)?
  7. Apakah hipotesis dibangun dari landasan teori?
  8. Apakah metoda dan pendekatan yang digunakan untuk menjawab research question (membuktikan hipotesis) diungkapkan dengan jelas?
  9. Apakah keterbatasan metoda yang digunakan diungkapkan dengan jelas?
  10. Apakah metoda dan pendekatan yang digunakan untuk menjawab research question sudah tepat?
  11. Apakah alasan (justification) pemilihan metoda dan pendekatan yang digunakan (dari seluruh metoda dan pendekatan yang tersedia) diungkapkan dengan jelas dan masuk akal?
  12. Apakah rancangan eksperimen (experimental design) sudah tepat?
  13. Apakah data statistik yang digunakan seragam dan cukup?
  14. Apakah metoda pengumpulan data (sample) tepat?
  15. Apakah rumusan matematika benar?
  16. Apakah teknik matematik/analitik yang digunakan sudah benar?
  17. Apakah model telah terbukti verified dan valid?

 

V. Diskusi/pembahasan

  1. Apakah diskusi dan pembahasan dalam karya ilmiah ini diformulasikan dengan baik dan jelas?
  2. Apakah hasil riset dan kesimpulan diungkapkan dengan jelas?
  3. Apakah hasil riset menjawab research question dan sesuai dengan tujuan riset?
  4. Apakah kontribusi hasil diungkapkan dengan jelas?
  5. Apakah dapat dibedakan dengan jelas antara hipotesis, data/fakta dan hasil riset?
  6. Apakah dijelaskan bagaimana dan dari mana hasil riset itu diperoleh?
  7. Apakah interpretasi hasil telah tepat dan memadai?
  8. Apakah kontradiksi, perbedaan dan keselarasan yang ditunjukkan oleh hasil riset dibandingkan dengan hasil yang ditunjukkan oleh riset lain didiskusikan dengan baik?
  9. Apakah generalisasi hasil didiskusikan dengan baik?
  10. Apakah aspek kebaruan dan tingkat kepentingan dari hasil riset diberi tekanan?

 

VI. Referensi

  1. Apakah terdapat literatur dalam teks yang tidak tercantum dalam daftar referensi?
  2. Apakah terdapat literatur dalam daftar referensi yang tidak pernah disebut dalam teks?
  3. Apakah referensi cukup komprehensif untuk bahasan yang didiskusikan dalam makalah/laporan?
  4. Apakah literatur yang digunakan relevance dengan topik bahasan (permasalahan) dalam karya ilmiah ini?
  5. Apakah referensi menunjukkan keterkaitan riset ini dengan riset internasional
  6. Apakah referensi yang digunakan merupakan referensi baru (up to date)?
  7. Apakah cara penulisan referensi sudah tepat dan memudahkan penelusuran kronologis perkembangan keilmuan?
  8. Apakah referensi hanya terdiri atas riset atau publikasi yang dilakukan sendiri atau satu kelompok peneliti tertentu saja?
  9. Apakah referensi hanya terdiri atas makalah/buku dalam publikasi lokal atau unpublished literature
  10. Apakah referensi mudah diakses oleh pembaca?

 

VII. Judul/abstrak

  1. Apakah judul jelas dan dapat dipahami dengan baik (tidak ada pengulangan kata, padat)?
  2. Apakah judul menggambarkan isi karya ilmiah secara keseluruhan (komprehensif)
  3. Apakah judul sudah memadai (tidak terlalu pendek sehingga terlalu umum atau tidak terlalu panjang sehingga terlalu rinci)
  4. Apakah jumlah kata dalam abstrak memadai (jelas) tapi ringkas dan padat?
  5. Apakah abstrak menjelaskan secara ringkas tentang signifikansi masalah, research question, tujuan, metoda, hasil dan kesimpulan?
  6. Apakah hal yang diungkapkan dalam abstrak ini konsisten dengan isi makalah?
  7. Apakah kata kunci (keywords) merepresentasikan topik bahasan?

 

VIII. Kesimpulan/saran

  1. Apakah kesimpulan telah ditulis dengan jelas dan eksplisit?
  2. Apakah kesimpulan telah menunjukkan pernyataan ringkas dari temuan riset?
  3. Apakah kesimpulan menggambarkan hasil dari riset, atau merupakan pernyataan yang berasal dari literatur (published literature); artinya, pernyataan dalam kesimpulan bisa dibuat tanpa perlu melakukan riset ini
  4. Apakah saran pengembangan, tindak lanjut atau rekomendasi implementasi dikemukakan dalam kesimpulan/saran
  5. Apakah saran realistik (tidak mengada-ada, bisa dilakukan dan mempunyai relevansi dengan riset ini)

 

IX. Organisasi makalah/laporan

  1. Apakah struktur karya ilmiah (bab, sub-bab dan uraian masing-masing) berimbang, jelas dan memadai untuk menjelaskan segala hal tentang riset ini?
  2. Apakah pernyataan dan kalimat dalam karya ilmiah ini presisi dan memadai, serta tidak ada pengulangan kata/kalimat yang tidak perlu atau ungkapan yang tidak relevan?
  3. Apakah jumlah halaman memadai (tidak terlalu pendek) atau tidak berlebihan?
  4. Apakah bahasa Indonesia/bahasa Inggeris yang digunakan baik dan benar (mengikuti kaidah bahasa)
  5. Apakah gambar dan tabel dapat dimengerti dengan baik?
  6. Apakah kombinasi antara gambar/tabel dan teks berimbang?
  7. Apakah terdapat gambar/tabel yang tidak diperlukan dalam karya ilmiah ini?
  8. Apakah notasi, singkatan (abbreviation) dijelaskan terlebih dahulu sebelum notasi/singkatan tersebut digunakan?
  9. Apakah terdapat ketidakcocokan/ketidaksesuaian (discrepancy) antara teks, gambar dan tabel dalam karya ilmiah ini?

 

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen

Kopertis Wilayah IV. Maret 2011. Kelengkapan Dokumen Penilaian Karya Ilmiah untuk Usulan Kenaikan Jabatan Fungsional. doc – Kualitas Karya Ilmiah.pdf

 

 

 




Sertifikat kompetensi kerja

dr-susi-pudjiastuti

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, pada hari Sabtu, 3 Desember 2016. Yang bersangkutan sebelumnya menerima sertifikat kompetensi profesi bidang pembangunan kelautan dan perikanan dengan jenjang kualifikasi level 9 dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Sertifikat ini setingkat gelar doktoral di bidang akademik.

Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, sertifikat kompetensi kerja diterbitkan oleh lembaga sertifikasi profesi terakreditasi yang menerangkan bahwa seseorang telah menguasai kompetensi kerja tertentu sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.

Liputan 6. Menteri Susi Raih Sertifikat Kompetensi Setingkat Doktoral

 




Dosen Tidak Harus S2

Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menyebut dosen untuk pendidikan vokasi tidak perlu bergelar (strata) S2 (6/12/2016). Dosen di perguruan tinggi vokasi yang dibutuhkan yakni yang siap memberikan ilmu untuk diaplikasikan di dunia kerja. Sehingga, menurutnya, yang terpenting dari pengajar perguruan tinggi vokasi yakni kompetensi, selain akademik.

Hal ini tidak melanggar peraturan yang berlaku. Sebab kualifikasi minimal dosen tetap harus setara S2, yang nantinya akan dibuktikan dengan sertifikat kompetensi dari tim penilai yg setarakan kompetensi yg bersangkutan setara S2.

Penyetaraan RPL (Rekognisi Pembelajaran Lampau) dengan jenjang KKNI telah berlaku secara Nasional untuk seluruh jalur pendidikan. Kualifikasi minimal dosen masih tetap minimal S2, cuma gelar vokasi dan gelar akademik tidak mesti diperoleh seluruhnya dari kampus, apabila memiliki kompetensi dapat disetarakan (RPL) sesuai jenjang KKNI yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi (Perpres no. 8 tahun 2012 dan lampirannya).  Tentang RPL dan CP (capaian pembelajaran) dapat dirujuk ke Permenristekdikti 26/2016 pasal 2 huruf b: “mendapatkan pengakuan CP untuk disetarakan dengan kualifikasi tertentu.”

UU dan PP dosen juga menekankan memiliki KUALIFIKASI MINIMAL S2, BUKAN wajib MENYANDANG GELAR S2. Perguruan tinggi bila perlu juga dapat memberikan gelar doktor kehormatan apabila  kompetensi yang bersangkutan dianggap sudah setara S3. Lihat ketentuannya.

Rujukan
http://www.kopertis12.or.id/2016/12/07/kemristekdikti-tak-wajibkan-dosen-vokasi-bergelar-s2.html
Holy Chaniago

Guru besar tidak tetap dan doktor kehormatan




Edhi Juwono – Aset = Keberhasilan?

Dulu kebanyakan orang melihat keberhasilah sebuah organisasi atau individu di dasarkan pada aset yang dimiliki olehnya. Namun, artikel yang ditulis oleh Prof. Rhenald Kasali berikut ini mungkin dapat mengubah pandangan tersebut.

Coba Simak artikelnya tersebut                                                                                                                                   di sini: http://www.rumahperubahan.co.id/blog/2016/12/01/memanfaatkan-bukan-memiliki/ 




PAJAK DALAM ISLAM

A.   Pendahuluan

Secara konseptual jenis penerimaan pemerintah maupun alokasi belanja pemerintah dalam ekonomi konvensional maupun ekonomi Islam hampir sama.  Namun demikian, tujuan-tujuan yang dicapainya agak sedikit berbeda, mengingat prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah pengelolaan anggaran dalam Islam selalu ditujukan untuk mencapai maqashid syari’ah, sehingga segala sesuatunya harus berdasarkan pada perintah Al Qur’an dan Sunah nabi.  Sedangkan dalam ekonomi konvensional kebijakan anggaran hanya sebagai komplemen kebijakan moneter untuk pencapaian tujuan ekonomi makro.

Dalam anggaran pemerintahan suatu negara, sumber-bumber penerimaannya diperoleh dari berbagai sumber, dimana salah satunya adalah pajak. Begitu pula dalam pemerintahan Islam. Pajak menjadi salah satu komponen yang pada masa kenabian dijadikan sumber penerimaan negara. Penerimaan yang diperoleh dari pajak yang dibenankan kepada masyarakat hendaknya harus memperhatikan aspek-aspek keadilan, baik dalam rangka penarikannya maupun dalam rangka pengalokasianya.

Pajak sebagai sumber penerimaan negara Islam, dalam pelaksanaannya haruslah sejalan dengan maqashid syari’ah, untuk itu Islam meminimalisir segala bentuk rusaknya kemaslahatan akibat perberlakuan pajak. Hal ini dikarenakan seringnya pemberlakuaan pajak bukan meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru sebaliknya, membebani rakyat.

B.    Pengertian pajak secara umum

Pajak didefinisikan sebagai kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu (Inayat, 2003). Dari definisi ini dapat diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu:

  1. Pajak merupakan suatu bentuk pembayaran tunai, artinya seorang mukallaf harus membayar pajak berupa uang tunai dan tidak berupa barang.
  2. Pajak merupakan suatu kewajiban mengikat yang mengharuskan setiap individu untuk menunaikannya. Artinya ada pakasaan yang dapat dilakukan oleh negara kepada rakyatnya untuk menarik pajak tanpa perlu adanya suatu kompromi.
  3. Pajak haruslah digunakan untuk kepentingan umum.
  4. Pajak tidak menharuskan adanya imbalan secara langsung, artinya tidak ada syarat bagi wajib pajak untuk memperoleh imbalan yang langsung, tetapi imbalan ini berupa fasilitas yang manfaatnya dapat dirasakan oleh semua pihak.
  5. Pajak adalah tuntutan politik untuk keuangan negara. Artinya pajak ditentukan oleh suatu pemerintahan yang berkuasa pada masa itu.

Dari definisi di atas, terlihat bahwa pajak merupakan suatu keharusan bagi setiap warga negara yang tidak bisa ditawar lagi. Namun, dari definisi di atas bukan berarti pajak dapat disalahgunakan sebagai bentuk pemerasan penyelenggaraan negara kepada rakyatnya, walaupun hal ini sangat mungkin terjadi. Karena kalau dilihat dari sejarahnya, yaitu pada masa feodalisme terutama sebelum datangnya Islam, pajak memang digunakan sebagai suatu bentuk paksaan dari pihak yang berkuasa. Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, mengubah paradigma tersebut. Dengan tetap mengacu kepada definisi di atas, ada beberapa konsepi-konsepi yang perlu dipenuhi dalam penarikan pajak, dan konsep inilah yang menjadi acuan di semua negara di dunia saat ini sebagai suatu kaidah-kaidah dalam penetapan pajak.

 

C.   Kaidah-kaidah pembebanan pajak

Segala aktivitas mu’amalah yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah dalam rangka mewujudkan tercapainya maqashid syari’ah (tujuan syari’ah). Salah satu tujuan syari’ah adalah tercapainya kesejahteraan harta dan kesejahteraan pemilik harta. Keduanya haruslah tercapai sebuah kesepakatan yang mana dalam pembebanan pajak muncul teori-teori guna menjembatani kesepakatan tersebut. Adalah ekonom Inggris Adam Smith telah merancang kaidah-kaidah beban pajak dan memuat empat teori (Inayat, 2003), yaitu:

  1. Teori keadilan atau persamaan
  2. Teori keyakinan
  3. Teori ekonomi
  4. Teori keseimbangan

Jauh sebelum Adam Smith, para ulama telah membahas prinsip-prinsip pajak. Semua Khalifa Rasyidin terutama Umar, Ali dan Umar bin Abdul Aziz menekankan supaya pajak dikumpulkan dengan keadilan dan dengan cara yang sopan, serta tidak boleh melampaui kemampuan orang untuk membayar atau membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Peningkatan pajak yang adil bukan hanya akan menimbulkan peningkatan pendapatan tetapi juga pembangunan daerah.

Dari keempat teori yang diungkapkan oleh Adam Smith di atas, akan kita coba jelaskan satu persatu :

  1. Kaidah Keadilan dan Persamaan

Keadilan pajak adalah kewajiban pertama yang harus dijunjung tinggi keselamatannya, Adam Smith menjelaskan prinsip melalui komentarnya: “Wajib memberikan sumbangsih perlindungan pemerintah untuk menutupi kebutuhan pangan negara sesuai kemampuan mereka yang relatif, yaitu pemilik harta bisa menikmati hartanya dengan perlindungan pemerintah”.

Dari komentar di atas dapat dilihat bahwa perlindungan masyarakat dalam menutupi beban umum harus sesuai dengan kemampuan dan ketentuannya, dimana ukurannya terletak pada ukuran pemasukan dan inilah yang dimaksud dengan kewajiban pajak harus sesuai dengan kemampuan keuangan, oleh karena itu pajak dikenakan atas dasar kelebihan harta bukan modal harta.

Dalam kaitannya dengan aspek keadilan dikenal dua macam prinsip, yaitu prinsip kepuasan atas balas jasa yang diterima wajib pajak (benefit approach) dan prinsip yang berdasarkan kemampuan membayar pajak (ability to pay principle). Jika diukur dari prinsip kepuasan atas balas jasa yang diterima wajib pajak sangatlah sulit, hal ini dikarenakan relatifitas dari kepuasan itu sendiri.

Ada tiga macam cara untuk menggunakan pendekatan atas dasar kemampuan membayar, yaitu equal absolute sacrifice approach, equal propotional sacrifice approach, dan equal marginal sacrifice approach (Suparmoko, 2002).

Dalam konsep  equal absolute sacrifice dikehendaki agar pajak dibayar oleh wajib pajak sedemikian rupa sehingga beban riil wajib pajak itu secara absolute sama besarnya. Karena uang mempunyai sifat memberikan guna batas marginal yang menurun (diminishing marginal utility), pajak yang dipungut dari wajib pajak harus lebih besar untuk mereka yang penghasilannya lebih tinggi dan lebih kecil untuk mereka yang berpenghasilan rendah, sehingga secara absolute beban riil mereka sama besarnya.

Pendekatan yang lebih progresif sifatnya adalah prinsip pengenaan pajak yang mengunakan konsep equal propotional sacrifice. Dengan konsep ini wajib pajak dikenakan pajak sedemikian rupa sehingga beban riil yang hilang dari setiap wajib pajak sebanding atau proposional untuk semua wajib pajak.

Sedangkan dalam pendekatan equal marginal sacrifice, para wajib pajak dikenakan pajak sedemikian rupa sehingga penghasilannya setelah kena pajak akan memberikan marginal utility yang sama untuk unit uang yang terakhir. Tetapi kalau perbedaan penghasilan sangat besar antara wajib pajak yang satu dengan yang lain, maka besarnya jumlah pajak yang diinginkan itu dibebankan saja seluruhnya kepada wajib pajak yang penghasilannya tertinggi, dan wajib pajak yang penghasilannya rendah dibebaskan dari pengenaan pajak.

  1. Kaidah Kepercayaan atau Keyakinan

Menurut Adam Smith pajak harus berdasarkan keyakinan. Dengan demikian segala hal yang berkaitan dengan nilai harga, nisab, kadar, waktu dan tindakan-tindakan penghasilan yang berkaitan dengan pajak harus jelas. Wajib pajak harus didorong untuk tertib memenuhi kewajibannya dengan membayar tepat pada waktunya. Batasan pajak ada pada tindakan-tindakan untuk terjadinya perubahan atau keadilan, kecuali dalam keadaan sulit, maka seorang mukallaf ikut serta mengatur kebutuhan pangan dan kewajiban materi. Dan batasan-batasan itu tidak jelas bagi pajak yang bisa mendatangkan kedzaliman, kesewenang-wenangan, kerusakan, lebih-lebih lagi para pelaksana administrasi dan pelaksana perpajakan. Hal ini dapat menggoncangkan semangat kerja, situasi keuangan dan kepercayaan yang dipegang oleh pejabat perpajakan terhadap pajak yang dibayarkan oleh masyarakat.

Hal-hal di atas menjadikan masyarakat menghidari pajak dan menggagalkan politik keuangan pemerintah dalam merealisasikan sasaran dan tujuan pajak. Dari sini jelaslah bahwa kaidah keyakinan itu sangat penting dalam perpajakan yang juga untuk menjaga prinsip-prinsip keadilan dalam pajak.

Untuk menumbuhkan keyakinan para wajib pajak, maka pemerintah sebagai pihak penyelenggara pajak memiliki kewajiban memenuhi dua kondisi berikut (Chapra,2000); Pertama, penerimaan hasil-hasil pajak harus dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan pajak. Kedua, pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata diantara mereka yang wajib membayarnya. Selama tidak ada jaminan bahwa dana pajak yang dibayarkan kepada pemerintah akan dipergunakan secara jujur dan efektif untuk mewujudkan tujuan syari’ah, maka masyarakat tidak akan bersedia dengan pemerintah dalam usaha pengumpulan pajak dan mengabaikan berapa pun kewajiban-kewajiban moral untuk membayar pajak ditegaskan.

  1. Kaidah Keselarasan

Teori ini menghendaki agar hukum yang berkaitan dengan pajak itu sesuai dengan kondisi muslim mukallaf, khususnya yang berkaitan dengan batasan waktu dan sebab-sebab penarikan pajak. Dari segi batasan waktu penarikan pajak hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi keuangan dan kehidupan masyarakat seperti waktu penghasilan atau setelah memperoleh penghasilan. Pajak ditarik ketika panen atau ketika menjual barang produksi.

Dari segi sebab-sebab penarikan pajak dikehendaki adanya layanan penarikan pajak yang maksimal sesuai dengan keadaan muslim mukallaf. Oleh karenannya suatu kewajiban bagi penarik pajak untuk memberikan kemudahan bagi muslim mukallaf dalam membayar pajak.

  1. Kaidah Ekonomi

Kaidah ini menghendaki agar sikap pemborosan dan upaya maksimal dalam memperoleh hasil pajak atau sarana lain dalam perpajakan, seperti mata uang, transportasi dan inventarisasi, atau yang berkaitan dengan kebutuhan pembayar pajak dihindari sehingga manfaat pajak dapat direalisasikan dengan memperkaya hasil pajak.

Dalam buku Muhammad Abdul Mannan, “Ekonomi Islam: Teori dan Praktek”, ada yang harus diikuti dalam proses pengambilan pajak yang dilakukan pemerintah kepada rakyatnya, antara lain:

  • Negara harus meneliti dalam menetapkan pengambilan bermacam-macam pajak, maka hendaknya dipakai dasar keadilan dalam perpajakan, yaitu dengan mengambil dari setiap individu menurut kadar kemampuannya. Bagi yang tidak mampu agar dibebaskan dari pajak. Ketika negara mengambil kewajiban pembayaran dari harta lainnya yang diwajibkan Allah SWT, seperti zakat dan jizyah, maka harus menurut ukuran yang telah ditetapkan dengan benar karena semua itu telah ditentukan oleh Allah SWT.
  • Negara hendaknya memperhatikan hak dalam penentuan barang yang dikenakan kewajiban pembayaran harta umum, sehingga Baitul Maal tidak mengambil melebihi dari keuntungan seorang pengusaha dan pengusahan hendaknya tidak berbuat curang dalam memberikan haknya kepda Baitul Maal.
  • Negara harus memperhatikan pendapatan orang yang dikenakan kewajiban membayar harta umum, maka tidak ada sistem yang menzhalimi pengusaha.
  • Negara harus mendapatkan harta kekayaan umum dalam rentang waktu yang telah ditentukan, maka tidak mungkin zakat dan kharaj diambil sebelum berpenghasilan. Jadi tepatnya dimusim panen sesuai firman Allah, “Dan tunaikanlah haknya di hari memetiknya.” (Q.S. Al An’aam : 141)

 

D.   Sistem pengenaan pajak

Sistem pengenaan pajak yang ada pada masa kini mengacu kepada kaidah-kaidah pembebanan pajak yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut, sistem pengenaan pajak dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, sistem pajak yang progresif. Dimana sistem pengenaan pajak ini bertambah nilainya seiring dengan semakin tingginya dasar pajak (tax base) seperti tingkat penghasilan wajib pajak, harga barang mewah dan sebagainya, akan dikenai pungutan pajak yang semakin tinggi persentasenya. Sistem pajak progresif masih sesuai dengan semangat Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Sistem pengenaan pajak seperti ini sangat membantu menumbuhkan kesadaran wajib pajak untuk mengalokasikan harta yang dimilikinya kepada hal-hal yang sifatnya lebih produktif daripada membelanjakannya untuk barang-barang mewah.

Kedua, sistem pajak proposional, yaitu pengenaan tarif pajak berdasarkan persentase yang sama untuk nilai objek pajak yang berbeda-beda. Sistem ini tidak bisa diberlakukan untuk semua bentuk pajak, hanya pajak-pajak tertentu saja yang dapat mengunakan sistem ini. Meski demikian, sistem pengenaan pajak proposional masih sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan.

Ketiga, sistem pajak yang regresif yang mana kebalikan dari sistem pajak progresif. Semakin tinggi dasar pajaknya, maka akan semakin rendah persentase yang dibebankannya, tetapi jumlah yang dibayarkan tetap akan lebih besar untuk nilai pajak yang lebih besar pula. Sistem ini dapat diterapkan pada pengenaan pajak yang dialokasikan untuk hal-hal yang sifatnya produktif dan sosial, serta bergantung pada situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu.

Selain itu, dikenal pula pungutan pajak yang sifatnya langsung dan tidak langsung. Pengenaan pajak langsung artinya seluruh beban pajak dipikul oleh wajib pajak itu sendiri dan tidak dapat dialihkan kewajibannya kepada pihak lain. Sedangkan pajak tidak langsung artinya beban pajak dapat dialihkan kepada pihak lain, baik seluruh atau sebagian dari beban pajak tersebut.

Para ulama berpendapat bahwa pajak langsung lebih baik dipandang dari sudut Islam, yang menekankan keadilan. Sejumlah ulama seperti Syekh Hasan Al Banna, mantan pemimpin Ikhwanul Muslimin, Yusuf Qardhawi dan Al-Abbadi melihat sistem pajak progresif sangat sesuai dengan etos Islam karena membantu mereduksi kesenjangan pendapatan dan kekayaan.

E.    Sistem perpajak pada masa kejayaan Islam

Pajak merupakan sumber penerimaan primer negara pada masa Rasulullah SAW. dan Khulafa Rasyidin. Sumbernya bisa dari dalam negeri atau pajak perdagangan internasional. Pajak dalam negeri sendiri, banyak macamnya dari pajak penghasilan, pajak perseroan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan dan lain sebagainya. Adapun jenis-jenis pajak yang diberlakukan pada masa itu adalah sebagai berikut :

  1. Kharaj (Ibrahim, 2003)

Kharaj dapat diartikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh pemillik untuk diberikan pada pemerintah. Penetapan kharaj harus memperhatikan betul kemampuan kandungan tanah, karena ada tiga hal yang berbeda yang mempengaruhinya: pertama, jenis tanah; tanah yang bagus akan menyuburkan tanaman dan hasilnya lebih baik dibandingkan dengan tanah yang buruk. Kedua, jenis tanaman; ada tanaman yang harga jualnya tinggi dan yang harga jualnya rendah. Ketiga, pengelolaan tanah; jika biaya pengelolaan tanah tinggi, maka pajak tanah yang demikian tidak sebesar pajak tanah yang disirami dengan air hujan yang biayanya rendah.

Jadi kharaj adalah pajak atas tanah yang dimiliki kalangan nonmuslim di wilayah negara muslim. Tanah yang pemiliknya masuk Islam, maka tanah itu menjadi milik mereka dan dihitung sebagai tanah ‘usyr seperti tanah yang dikelola di kota Madinah dan Yaman. Dasar penentuannya adalah produktivitas tanah, bukan sekedar luas dan lokasi tanah. Artinya, mungkin saja terjadi,  untuk tanah yang bersebelahan, di satu sisi ditanam anggur dan lainnya kurma, maka hasil pajaknya juga berbeda.  Berdasarkan tiga kriteria di atas, pemerintah secara umum menentukan kharaj berdasarkan kepada:

  1. Karakteristik tanah/tingkat kesuburan tanah
  2. Jenis tanaman, termasuk daya jual dan jumlah
  3. Jenis irigasi
  4. Ketentuan besarnya kharaj ini sama dengan ’usyr.

Seperti dijelaskan di muka, kewajiban membayar kharaj akan gugur, kalau mereka masuk Islam, atau menjual tanah tersebut kepada orang Islam. Akan tetapi kalau mereka menjual tanah tersebut kepada pihak nonmuslim, maka kharaj tersebut tetap berlaku. Perbedaan antara tanah kharajiyah dan usyriyah adalah; kalau tanah kharjiyah, berarti yang dimiliki hanya kegunaannya, sedangkan lahannya tetap menjadi milik negara. Sementara kalau yang diberikan adalah tanah usyuriyah, maka yang dimiliki adalah tanah sekaligus kegunaannya.

Pada masa pemerintahan Nabi SAW., tanah-tanah kharaj sangatlah terbatas dan tidak membutuhkan. Barulah pada zaman khalifah pertama di belakangnya, luasnya serta banyaknya penghasilan tanah-tanah kharaj terdiri atas sebagian besar tanah Romawi dan seluruh tanah kerajaan Persi. Disanalah berlaku banyak sistem yang memerlukan penilaian dari pemungutan dan pengaturan tentang pendapatannya (Zakiy, 2002).

  1. ‘Usyr (Erfanie, 2005)

‘Usyr adalah pajak yang dipungut dari hasil pertanian, tarifnya tetap, yaitu 10 persen atas hasil panen dari lahan yang tidak beririgasi, dan 5 persen atas hasil panen dari lahan yang  beririgasi. Pajak ini bisa berupa uang, atau berupa bagian dari hasil pertanian itu sebagaimana tersirat dalam Al-Qur’an surat Al-An’am: 141;

وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَآأَثْمَرَ وَءَاتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berujung dan tidak berujung, pohon kurma, tanaman-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa, dan tidak (sama rasanya). Makanlah dari buahnya bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

Jadi usyr itu merupakan hasil tanah, yaitu pungutan yang diambil oleh negara dari pengelola tanah sebesar 1/10 dari hasil panen riil, apabila tanamannya diari dengan air tadah hujan, dengan pengairan alami. Dan negara akan mengmabil 1/20 dari hasil panen riil, apabila tanamannya diairi oleh orang atau yag lain dengan pengairan tehnis (buatan). Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir yang mengatakan:

Rasulullah SAW bersadba: “(Tanaman) apa saja yang diari oleh bengawan dan hujan (harus diambil) 1/10 (dari hasil panennya). Dan apa saja yang diairi dengan kincir air, maka (harus diambil) 1/20 (dari hasil panennya)”.

Pada prinsipnya, kharaj dan ‘ursy sama-sama pajak yang dikenakan kepada tanah yang dimiliki oleh seseorang. Hanya saja ketentuan yang diberlakukan akan berbeda berdasarkan atas kepemilikannya dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika tanah itu merupakan milik seorang muslim, maka ia akan dikenakan ‘ursy, tetapi jika tanah itu milik nonmuslim yang berada dalam kekuasaan negara Islam, maka ia akan dikenakan kharaj.

 Pajak konvensional seperti pajak bumi yang dipungut atas dasar hasil budidaya. Hasil pajak ini dipergunakan untuk membiayai sebagian besar anggaran militer di zaman Utsmaniyah. Tetapi sayangnya jenis pajak ini cendrung sebagai penghambat (disincentive) bagi produksi pertanian. Sistem pajak bumi yang lebih efisien ialah bila pajaknya didasarkan kepada potensi pertanian dan hasil yang sedang berjalan. Ini akan menggairahkan peningkatan produksi agar dapat membayar pajak dan menghasilkan surplus yang tidak dikenakan pajak, daripada menghambat produksi marginal. Namun demikian pemerintah, sekalipun sangat giat melakukan pendaftaran tanah, tidak pernah berupaya untuk memperkirakan potensi hasil budidaya, karena perkiraan semacam ini akan menimbulkan perdebatan. ‘Usyr ini dianggap sebagai zakat dan diserahkan kepada pemerintah, serta tidak dibagikan kecuali kepada 8 (delapan) ashnaf (kelompok) yang telah disebutkan di dalam Q.S. At-Taubah: 60.

  1. Khums

Khums atau sistem proporsional tax adalah prosentase tertentu dari rampasan perang yang diperoleh oleh tentara Islam sebagai ghanimah, yaitu harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran yang berakhir dengan kemenangan. Sistem pendistribusiannya disebut khumus (seperlima) setelah peperangan. Khums diserahkan kepada Baitul Mal demi kemakmuran negara dan kesejahteraan ummat.

Pendistribusiannya berdasarkan realita keadaan, dan hal ini diatur dalam Q.S. Al Anfaal: 41,

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُم مِّن شَيْءٍ فَأَنِّ للهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِن كُنتُمْ ءَامَنتُم بِاللهِ وَمَآأَنزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Ketahuilah sesunguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai  ghaninah (rampasan perang), sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul saw.,kerabat Rasul saw.,anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil. Sedang empat perlima (80 persen) dibagikan kepada mereka yang ikut berperang”

Menurut Imam Abu Ubaid, yang dimaksud khums bukan hanya hasil rampasan perang tetapi juga barang temuan dan barang tambang.

  1. Jizyah

Jizyah berupa pajak yang dibayar oleh kalangan nonmuslim sebagai kompensasi atas fasilitas sosial-ekonomi, layanan kesejahteraan, serta jaminan keamanan yang mereka terima dari negara Islam. Jizyah sama dengan poll tax karena kalangan nonmuslim tidak mengenal zakat fitrah.  Jumlah yang harus dibayar sama dengan jumlah minimum yang dibayarkan oleh pemeluk Islam.  Di zaman Rasulullah SAW. besarnya jizyah adalah 1 dinar pertahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Jizyah tidak ditetapkan dengan suatu jumlah tertentu, selain diserahkan kepada kebijakan dan ijtihad khalifah, dengan catatan tidak melebihi kemampuan orang yang berhak membayar ijtihad.

Dari Ibnu Abi Najih yang mengatakan: “Aku bertanya kepada Mujahid: Apa alasannya penduduk Syam dikenakan 4 (empat) dinar, sedangkan penduduk Yaman hanya 1 (satu) dinar? Mujahid menjawab: Hal itu hanyalah untuk mempermudah” (H.R. Bukhari)

Kewajiban membayar jizyah ini juga diatur dalam Qur’an surat At-Taubah: 29,

… حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

 “…sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk”.

Jizyah adalah pajak yang dikenakan per kepala, sebagaimana zakat fitrah yang dikenakan bagi seorang muslim. Jizjah wajib dipungut dari orang-orang nonmuslim, selama mereka tetap kufur, namun apabila mereka telah memeluk Islam, maka jizyah tersebut gugur dari mereka. Jizyah tersebut dikenakan atas orang, bukan atas harta sehingga dikenakan atas tiap orang non muslim, bukan atas hartanya.

  1. ‘Usyur

Dalam hal ini ‘usyur adalah pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam atau datang dari negara Islam itu sendiri. Pajak ini berbentuk bea impor yang dikenakan pada semua perdagangan, dibayar sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.

Permulaan ditetapkannya ‘usyur di negara Islam adalah pada masa khalifah Umar bin Khatab dengan alasan penegakan keadilan, karena ‘usyur dikenakan kepada pedagang muslim ketika mereka mendatangi daerah asing. Dalam rangka penetapan yang seimbang maka Umar memutuskan untuk memperlakukan pedagang nonmuslim dengan perlakuan yang sama jika mereka memasuki negara Islam. Tempat berlangsungnya pemungutan ‘usyur adalah pos perbatasan negara Islam, baik pintu masuk maupun pintu keluar layaknya bea cukai pada zaman ini.

  1. Nawaib/Daraib (Erfanie, 2005)

Merupakan pajak umum yang dibebankan atas warga negara untuk menanggung beban kesejahteraan sosial atau kebutuhan dana untuk situasi darurat. Pajak ini dibebankan pada kaum muslimin kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan hal ini terjadi pada masa perang Tabuk. Pajak ini dimasukan dalam Baitul Maal, dan dasar hukum atas kewajiban ini adalah Q.S. Ar-Ruum: 38,

فَئَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ذَلِكَ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Mengingat fungsi dari pemerintahan Islam yang modern tidak dapat lagi terbatas pada fungsi-fungsi seperti yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Islam dahulu, menjadi tidak realistis pula mengasumsikan bahwa pajak sekarang dapat dibatasi hanya pada golongan-golongan ekonomi tertentu seperti yang didiskusikan ulama-ulama klasik. Perekonomian pada saat tersebut terutama bertumpu pada pertanian, oleh karenanya, pajak sperti kharaj dan ushr juga merupakan pajak utama atas output-output pertanian; sedangkan pajak lainnya memberikan sumbangan yang relatif kecil. Corak perekonomian sekarang telah berubah, atau tengah berubah, dan sumber pendapatan yang lebih layak dan lebih terdiversifikasi telah tersedia bagi pemerintah yang modern. Oleh karena itu, sumber pendapatan lama seperti ghanimah dan jizyah mungkin sudah tidak relevan lagi pada masa modern ini dan mungkin harus dikesampingkan.

F.    Fungsi dan peranan pajak dalam Islam

Pada prinsipnya, dana pajak digunakan untuk kesejahteraan umum seluruh masyarakat dalam suatu negara. Sehingga pajak memiliki fungsi alokasi, distribusi dan stasbilisasi secara efektif. Selain dalam rangka menjaga keberlangsungan roda pemerintahan, pajak juga harus lebih diprioritaskan untuk hal-hal yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Jadi secara umum pajak mempunyai fungsi sebagai public service dan jaminan sosial bagi masyarakat.

Kesejahteraan merupakan tujuan pokok dari semua pengeluaran pemerintah, maka semua proyek infrastruktur sosial dan fisik yang membantu merealisasikan tujuan ini melalui pertumbuhan ekonomi yang cepat, penciptaan lapangan pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan pokok, dapat memberikan prioritas dari proyek-proyek yang tidak memiliki kontribusi demikian. Diantara proyek infrastruktur yang sangat diperlukan, menghapus kesulitan dan penderitaan yang disebabkan oleh kekurangan gizi, buta huruf, tuna wisma dan epidemi, kekurangan fasilitas kesehatan dan ketersediaan air bersih, haruslah memjadi prioritas utama.

Begitu juga dalam pembangunan suatu sistem transportasi publik yang efisien, perlu prioritas yang tinggi. Ketiadaannya menyebabkan kesulitan bagi mayoritas penduduk, berdampak buruk terhadap efisiensi pembangunan dan menimbulkan impor berlebihan terhadp mobil dan minyak. Dan sebagai salah satu solusi dari tingginya impor mobil dan minyak, pemerintah dapat membenahi sistem transportasi publik kearah yang lebih baik dengan pengadaan kendaraan publik dengan demikian tidak akan mengurangi tekanan terhadap sumber-sumber devisa, tetapi juga memberikan pelayanan transportasi yang lebih nyaman kepada mayoritas penduduk, dengan kemacetan dan polusi udara yang berkurang di kota.

Dalam rangka melakukan pemerataan di setiap bidang kehidupan, pembangunan pedesaan untuk meningkatkan produktivitas pertanaian, memperluas kewirausahaan dan kesempatan kerja, serta pemenuhan kebutuhan hidup rakya pedesaan hruslah diutamakan. Hal ini secara otomatis akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan kerena akan mengurangi kepadatan. Selain itu, peningkatan kemampuan untuk si miskin dalam rangka mencari mata pencaharian yang lebih baik dapat dilakukan suatu proses pelatiahn dan akses yang lebih baik kepada pendidikan dan keuangan.

Disamping itu, restrukturisasi sistem finansial dalam rangka pemberian pembiayaan kepada pengusaha di pedesaan dan di perkotaan untuk meningkatkan peluang usaha dan meningkatkan produksi barang dan jasa, juga menjadi syarat penting guna mendukung itu semua. Jadi secara umum, pajak haruslah dapat berdaya guna dalam rangka meingkatkan kesejahteraan umum.

G.   Dampak pajak dalam pemerintahan Islam

Berdasarkan atas fungsi dan peranan pajak dalam suatu pemerintahan Islam yang mengedepankan prinsip kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakatnya, maka kegunaan pajak dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Selain untuk meningkatkan taraf hidup suatu masyarakat, pajak juga menjadi tolak ukur riil akan tingkat kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Hal ini terlihat dari ada tidaknya infrastruktur yang diperuntukan bagi masyarakat secara umum. Suatu negara yang taraf hidupnya di atas tingkat rata-rata, pastilah tercukupi fasilitas-fasilitas umumnya, setelah fasilitas pribadi yang terpenuhi sebelumnya.

Terciptanya suatu pemerintahan yang baik dalam menjalakan usahanya sebagai khalifah di muka bumi, menjadi salah satu kegunaan yang dirasakan dari adanya pungutan pajak. Alokasi dana pajak dalam menjalankan roda pemerintahan sangatlah mendorong usaha-usaha percepatan ekonomi yang digalakan oleh pemerintah. Hal ini bisa dibuktikan dengan semakin meluasnya kesejahteraan yang merata bagi pengelola negara memungkinkan fasilitas pelayanan dalam rangka mengerakan roda perekonomian dengan kemudahan mendirikan usaha-usaha baru menjadikan masyarakat bergairah untuk senantiasa berusaha meningkatkan produktivitas usahanya.

Kebijakan pemungutan pajak terhadap setiap jenis usaha juga berhasil menciptakan kestabilan harga dan mengurangi inflasi. Pada saat stagnasi dan menurunnya Aggregate Demand dan Aggregate Supply, pajak mendorong stabilitas pendapatan dan produksi total. Kebijakan ini juga tidak menyebabkan penurunan harga maupun jumlah produksi (Karim, 2002). Salah satu contohnya adalah pada pengenaan pajak barang tambang dan galian (khums). Dampak ekonomi dari propotional tax (seperti khums) maupun lump-sum tax dapat diterangkan dengan analisis yang mengambarkan GDP long-run berbentuk garis lurus berupa tren perkembangan dan dengan actual GDP berbentuk fluktuatif (turun-naik) yang menggambarkan adanya business cycle. Bila kita menggunakan sistem proportional tax, amplitudonya menjadi lebih kecil atau automatic stabilizer.

Hal tersebut dapat dilihat dari persamaan di bawah ini :

Y = C + I + G

dengan :

C = a + b (1 – 0,2)y

C = a + 0,8by

maka :

pers-1-pdi

Dari persamaan di atas diketahui bahwa meskipun ekonomi mengalami booming, tingkatnya tidak akan terlalu tinggi, karena (0,8by) lebih kecil dari (by). Ketika perekonomian turun (down turn) akan ada ‘rem’ automatic stabilizer-nya.

Kita dapat menelaah ilustrasi grafik berikut:

gambar-1-pdi

Grafik. 1

Automatic Stabilizer dengan Proportional tax

Dari ilustrasi di atas diketahui bahwa  sehingga jika terjadi goncangan (shock), perekonomian yang menerapkan propotional tax akan mengalami goncangan yang lebih kecil, baik ketika kondisi perekonomian sedang booming, maupun ketika sedang turun (down turn). Sementara itu, jika diterapkan lump-sum tax, ketika perekonomian sengan mengalami kecenderungan naik akan terjadi bubbling, sedangkan ketika tren turun akan terjadi crash.

Melalui grafik dapat kita lihat ilustrasi business cycle tanpa dan dengan khums sebagai berikut :

gambar-2-pdi

Grafik. 1

Business cycle tanpa dan dengan khums

Selain dari dampak yang telah  disebutkan di atas, pengenaan pajak juga dapat berakibat buruk bagi perekonimian suatu negara. Hal ini terjadi manakala pengenaan pajak tidak sesuai proporsinya atau tidak seimbang dalam pengunaannya. Oleh karenanya sangat dianjurkan keseimbangan dalam penarikan besaran pajak oleh pemerintah, karena penarikan pajak yang terlalu berlebihan bukan berdampak kepada kesejahteraan masyarakat secama umum, namun dapat berdampak pengalokasian yang tidak tepat sehingga pada akhirnya dapat mengurangi kemauan berusaha yang diikuti menurunya produktivitas.

Kesimpulan

Pajak dalam pemerintahan Islam adalah suatu keniscayaan. Keberadaanya sangatlah dibutuhkan bagi terciptanya keseimbangan dalam anggaran belanja negara. Suatu sistem pemerintahan tidak mungkin dapat berjalan tanda adanya dukungan dari rakyatnya dan pajak merupakan salah satu bentuk dukungan rakyat yang berguna dalam rangka terciptanya suatu kesejahteraan umum. Pajak merupakan suatu proses timbal balik antara pengelola negara yang bertanggung jawab atas hajat hidup orang banyak dengan rakyatnya. Dalam Al Qur’an banyak diterangkan tentang kewajiban pajak, serta manfaat atas pemberlakuannya. Pemimpin-pemimpin terdahulu, baik Khulafa Rasyidin maupun zaman sesudahnya, juga menjalankan pemberlakuan pajak semasa pemerintahnya. Oleh karena itu, pajak menjadi suatu keharusan dalam Islam, bukan semata-mata karena kebutuhannya, tetapi juga karena tujuan pemberlakuaannya.

Bentuk-bentuk pungutan pajak yang ada pada masa kejayaan Islam, tidak semua yang relefan dengan keadaan pada masa sekarang, namun yang perlu diperhatikan dari pengambilan pajak dari negara kepada rakyatnya bukan berdasarkan bentuknya melainkan manfaat dan tujuan pemberlakuaannya.

Ada beberapa prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam pemberlakuan pajak yang sesuai dengan maqasi syari’ah, salah satunya adalah prinsip keadilan. Pemberlakuan pajak harus berdasarkan prinsip keadilan dari pengenaan pajak itu sendiri. Adil dalam penarikannya maupun adil dalam penggunaannya. Untuk itu, pajak bukan hanya merupakan kewajiban seorang mukallaf sebagai wajib pajak, tetapi juga merupakan tanggung jawab pengelola pajak untuk merealisasikan tujuan dari pajak, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahannya: Departemen Agama RI, 2000, Diponegoro, Bandung.

Chapra, Umer, 2000, Islam dan Tantangan Ekonomi, Gema Insani Press, Jakarta.

Chapra, Umer, 2001, The Future of Economics: An Islamic Perspective, edisi terjemahan, SEBI, Jakarta.

Erfanie, Sairi, 2005, Kebijakan Anggaran Pemerintah, dalam Buku “Kebijakan Ekonomi dalam Islam”, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Ibrahim, Quthb Muhammad, 2003, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khatab, Islam Ramatan.

Inayah, Gazi, 2003, Teori Komprehensip Tentang Zakat dan Pajak, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Karim, Adiwarman, 2002, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro, The International Institute of Islamic Thought Indonesia, Jakarta.

Mannan, Muhammad Abdul, 1992, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, Intermasa, Jakarta.

Marthon, Said Sa’ad, 2001, Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Zikrul Hakim, Jakarta.

Suparmoko, M., 2002, Ekonomi Publik: Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, ANDI, Yogyakarta.

Zakiy, Abdullah Al Kaaf, 2002, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, Pusaka Setia, Bandung.




Berpikir Linier

screen-shot-2016-11-11-at-07-53-27

Berpikir linier adalah proses pemikiran mengikuti siklus yang diketahui atau tahap demi tahap meningkat dimana respon terhadap setiap tahap harus ada sebelum tahap yang lain dilakukan. Berbagai model desain pembelajaran buku teks digital, antarmuka pengguna dan data visualisasi membuktikan penerapan konsep berpikir linier. Proses linier diterapkan dalam desain pembelajaran ketika setiap langkah dipandu oleh tujuan pembelajaran yang telah terdefinisikan dengan baik, misalnya kejadian A (penyebab) mengarah ke kejadian B (dampak), yang mengarah ke C, kemudian mengarah ke D, dan lain-lain.

Sesuai tujuan pembelajaran maka materi belajar disusun dalam desain pelajaran secara logis terintegrasi. Ada dua metode yang digunakan yaitu instruksi/petunjuk yang dibantu komputer CAI – Computer Aided Instruction) dan penilaian berbasis komputer (Computer-based Assessment), dimana keduanya digunakan dalam desain dari materi buku teks digital. Para peserta didik harus membaca materi lalu selanjutnya memilih satu jenis atau lebih item-item pilihan ganda untuk penilaian. Kriteria visualisasi data sangat sederhana yaitu pemberian pengetahuan, pertanyaan terkait dengan materi yang disajikan dan tes sumatif pada akhir bab. Peserta didik hanya perlu membaca, melihat atau mendengar isi/materi dan kemudian memilih jawaban yang benar.

Isi dari buku teks digital dapat mencakup simulasi fenomena-fenomena dunia nyata, percobaan-percobaan yang berbahaya, atau situasi tidak mudah diamati oleh pengguna; dimana hal ini merupakan manifestasi nyata dari teori. Namun, kemungkinan deviasi (error) yang terjadi akan cukup besar: pertama, karena jawabannya dapat ditemukan dalam materi yang disajikan, dan kedua, setidaknya satu jawaban yang benar berarti probabilitas 25%. Selain itu, item-item pilihan ganda dan esai memiliki banyak keterbatasan: yaitu faktor menebak yang tinggi, minimalisasi umpan balik, dll. Dalam beberapa kasus buku teks “mengindikasikan” apakah respon itu benar atau tidak, dan juga menyimpan catatan dari jumlah upaya, kemajuan belajar dll, tetapi tidak dapat memberikan kerangka yang cukup untuk bahan diskusi.

Setelah pembelajaran interaktif mengalami revolusi, teks memiliki nilai tambah melalui penggunaan hypertext dan teks multimodal. Hypertext adalah teks yang berisi link ke bagian lain dari teks (atau elemen grafis) dan di mana peserta didik dapat melompat dari mana saja ke mana saja. Teks multimodal adalah teks-teks yang mengkomunikasikan pesan dengan menggunakan lebih dari satu saluran komunikasi. Beberapa prinsip komponen komunikasi dari teks adalah tertulis atau lisan, intonasi, gambar (foto, diagram, gambar), dan aspek gambar seperti warna, ketajaman fokus, komposisi ruang, logo, kop surat perusahaan, toko atau petunjuk jalan; gerak tubuh, gerakan wajah, tindakan dan lain-lain.

Aspek negatif dari hypertext telah dijelaskan oleh Solway (2011), bahwa beragamnya hypertext akan mengalihkan perhatian dan membaca menjadi tidak fokus karena pembaca cenderung melalang buana kemana-mana. Fakta bahwa hypertext tidak memiliki struktur linier, tentunya bertentangan dengan target hasil dari belajar menggunakan buku teks versi berbasis web yang diperkirakan dirancang atas dasar pola berpikir secara linier. Buku teks berbasis web tentunya menawarkan fitur multimedia yang kuat, banyak sumber belajar yang lebih interaktif, dan adanya berbagai fitur seperti pembacaan audio, lini masa interaktif, gambar diberi catatan, kegiatan interaktif, dan sumber daya lainnya. Namun pada dasarnya, buku teks berbasis web ini hanyalah tambahan sumber belajar di dalam kelas. Perbedaan besarnya adalah bahwa banyak fitur yang dapat menarik siswa lepas perhatian (dari satu teks menuju teks lain di halaman browser lain), membuat catatan anotasi buku teks digital juga lebih sulit. Selain itu, buku teks ini memiliki dua kelemahan utama, pertama mereka tidak cukup interaktif. Konten dibaca/disajikan dalam format statis atau terdaftar halaman demi halaman akibat dipicu oleh berbagai format masukan untuk teks, audio atau video, seperti PDF, WMA, MP3, WMV. Kedua, buku teks berbasis web bersifat non-adaptif, yaitu, peserta didik yang berbeda dengan cara belajar yang berbeda (misalnya peserta didik berkebutuhan khusus atau cacat ) akan mendapatkan bahan yang sama dalam format yang sama.

Kriteria visualisasi data yang berbasis pada pola berpikir linier membutuhkan kemampuan untuk menampilkan konten secara holistik (materi secara keseluruhan), untuk dapat nantinya dievaluasi. Namun, teks digital tidak menjadi meningkat kualitasnya hanya adanya fitur-fitur multimedia, sehingga pengaruhnya masih kalah dibanding contoh-contoh praktis. Makna kongkrit dari realisasi, konsistensi, dan perluasan arti yang secara susah payah berusaha diarahkan (oleh visualiasi data) akan tetap tersebar dan terjadi dislokasi ketika kita sedang membaca.

Ditulis ulang oleh Pratiwi_Partono Rudianto

Daftar Pustaka

Barron, A. (1990). Complexity regularization with applications to artificial neural networks. In: Roussa, G. (ed.), Nonparametric Functional Estimation. 561–576.

Blum, L.F., Cucker, F., Shub, M., Smale. S. (1998). Complexity and Real Computation. Springer-Verlag.

Brandstädter, K. (2012). Assessing system thinking through different concept mapping practices. International Journal of Science Education, 34(14), 2147–2170.

Solway, D. (2011). On hypertext, or back to the Landau. Academic Questions, 24(3), 341–350.

Wang, W., Zhai, J. (2013). Multi-disciplinary internet-based platform in optimizing college English teach­ing. In: International Conference on Information, Business and Education Technology (ICIBIT 2013). 1037–1042.




AKSES UNIVERSAL ( KONEKSI TAK BERBATAS)

screen-shot-2016-09-05-at-9-46-42-am

AKSES UNIVERSAL ( KONEKSI TAK BERBATAS)

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah kehidupan manusia menjadi komunitas yang beragam dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Sejauh ini bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan dengan baik dalam dunia pendidikan? Bagaimana desainer instruksional dapat mengadopsi dan mengintegrasi teknologi tersebut dalam kurikulum dan bahan pembelajaran yang komprehensif. Ketrampilan apa yang dibutuhkan desainer dan pengajar agar proses instruksional dapat terlaksana dengan lebih baik, efektif dan optimal.

 

Internet sebagai koneksi tidak berbatas yang berisi sumber belajar dan pola baru yang mempengaruhi dunia pendidikan dilihat dari akses universal, komunitas digital, keberagaman bahasa dan budaya, serta transformasi Internet dalam bentuk aplikasi dan utilisasi. Selain sisi positif akses internet, juga dibahas sisi negatif dan perlunya mitigasi resiko yang ada dan langkah sosialisasi yang dapat meningkatkan ‘awareness’, terutama kaum remaja, agar tidak termanipulasi oleh media baru yang diciptakan melalui internet tersebut.

 

Dilihat dari perkembangan pengguna Interenet dunia yang ekplosiv, maka akses universal ini menjadi bagian dari pendidikan. Bagaimana mengakses dengan baik, bagaimana berperilaku di Internet, kode etik apa yang harus diperhatikan, apa ekses penggunaan Internet dan lain-lain. Dengan demikian dunia pendidikan, selain mengarahkan cara penggunaan akses yang baik dan sehat, juga memanfaatkan semua sumber daya yang ada untuk pengingaktan edukasi, memberikan kemudahan, menjadi katalisator proses belajar, dan menjadi tempat belajar yang optimal dan menyenangkan.

 

Meningkatnya penggunaan peralatan mobile yang dapat mengakses internet memberikan arahan baru bagi desainer instruksional untuk menjadikan internet sebagai tempat belajar yang mobile. Selain itu desainer dapat memanfaatkan media sosial sebagai media komunikasi atar pengajar dan pembelajar, juga pembelajar dengan pembelajar lainnya (yang disebut sebagai ‘peer to peer comuunication’). Walaupun demikian, terdapat sisi negatif internet seperti cyber bully, cyber crime dan lainnya yang harus diantisipasi dan difilter dengan baik oleh penggunanya.

 

Akses internet di Indonesia meningkat tajam sejalan dengan perkembangan infrastruktur komunikasi di seluruh penjuru Indonesia, termasuk pedesaan. Demografi pengguna Internet tahun 2015 (sumber APJII 2015) menunjukkan angka mendekati 100 juta pengguna, yang berarti hampir separuh penduduk Indonesia sudah mengenal internet dengan baik. Indonesia adalah negara dengan pengguna Internet terbanyak di ASEAN.

 

Sejauh ini institusi sekolah dan perguruan tinggi telah mengadakan infrastruktur jaringan dengan peningkatan lab komputer dengan fasilitas akses Internet sehingga dapat mengambil informasi dan sumber belajar dari seluruh dunia. Tidak hanya mengambil, tapi juga para siswa ikut berkontribusi dalam memperkaya internet dengan membagi pengathuan dan ketrampilan (knowledge sharing).

 

Walaupun secara infrastruktur sudah siap, namun faktor kesinambungan juga harus dimiliki. Banyak lab komputer tidak berfungsi karena minimnya pengetahuan pengajar dan administrator sistem dalam merawat peralatan yang ada. Untuk mendapatkan akses universal yang berkelanjutan perlu dilakukan preventive maintenance dan pengetahuan sistem operasi dengan baik. Selain itu karena Internet dapat bersifat anonymous, maka faktor keamanan penggunaan harus dimiliki dengan biak. Agar tidak terjadi penerobosan dan hacking yang dapat terjadi setiap saat, pengelola jaringan harus dapat membuat sistem yang handal dan defensif. Kesiapan tenaga pengajar dan sekolah dalam menangani hal tersebut merupakan prioritas penting. Selain itu perkembangan teknologi hardware dan software membuat institusi harus terus menerus meremajakan peralatan dan pengetahuannya agar tetap terkini (up-to-date).

 

Penggunaan internet secara masiv ini memberikan banyaknya sumber belajar yang mudah diakses, baik berupa informasi, bahan belajar, tutorial, dan lainnya. Tanpa disadari melalui search-engine telah terbentuk budaya “search and found”, yang mengubah proses belajar mengajar kearah yang cepat dan lebih baik. Sumber belajar tidak lagi bersifat lokal, namun sudah meluas menjadi internasional, dan multi-lingual. Desainer instruksional mulai mengubah materi pembelajaran dengan menggunakan teori belajar connectivism, yang merupakan perluasan dari teori constructivism dengan menggunakan koneksi tidak berbatas. Pengajar dan pembelajar menggunakan koneksi ini sebagai media pembelajaran yang bersifat interaktif, real-time, komunikasi online atupun oflfline antar pengajar dengan pembelajar, maupuan pembelajar dengan lainnya (peer-to-peer). Dari sini terbentuk kolaborasi yang dapat meningkatkan kinerja instruksional.

 

Internet tidak saja sebagai sumber belajar, tetapi juga menjadi tempat para pembelajar untuk menulis artikel, baik bersifat ilmiah, kritis, dan lainnya untuk memperkaya informasi yang bermanfaat . Desain Insruksional harus menyesuaikan dengan kondisi ini dan mendorong sekaligus menggalakkan aktifitas tersebut. Namun demikian harus diingat, bahwa kontribusi bahan pengajaran di Internet dapat juga bersifat anonymous, artinya kualitas dari sumber belajar tidak dijamin, bisa tersisip hal negatif dengan tujuan yang berbeda, sehingga pembelajar di Internet harus ekstra hati-hati agar tidak dimanupulasi oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.

Ditulis oleh Pratiwi_Ifik Arifin _Agnes Novita

Daftar Pustka
Trends Shaping Education 2016_OECD




Edhi Juwono – Masukan dan Luaran?

Belakangan ini beredar penggunaan istilah “luaran” sebagai istilah atau kata yang diterjemahkan dari “output‘”

Coba kita telaah apakah penggunaan istilah “luaran” tepat untuk “output“. Salah satu cara yang paling mudah adalah dengan melihat antonim atau lawan katanya. Antonim dari “output” adalah “input“.

Istilah “input” diterjemahkan sebagai “masukan”. Selanjutnya, kata masukan berasal dari kata masuk, dan antonim dari kata “masuk” adalah “keluar”. Jika kita menggunakan kata “luaran”, kata istilah ini berasal dari kata “luar”. Antonim dari kata “luar” adalah “dalam”. Jadi, jika kita menggunakan istilah “luaran” sebagai terjemahan dari “output“, seyogianya kita akan menggunakan istlah “dalaman” sebagai penerjemah kata “input“.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, selama kita masih menggunakan istilah “masukan”–untuk menerjemahkan kata input, seyogianya kita menggunakan istilah “keluaran” sebagai kata terjemahan dari “output‘.