Guru besar tidak tetap dan doktor kehormatan

image_print

Belakangan gelar guru besar (GB) tidak tetap diberikan kepada beberapa tokoh seperti SBY dari Universitas Pertahanan Nasional sebelum beliau mengakhiri tugasnya sebagai presiden, Otto Hasibuan dari Universitas Jayabaya, serta Chairul Tanjung dari Universitas Airlanga.

Landasan peraturannya adalah Surat Dirjen Dikti no. 454/E/KP/2013 tanggal 27 Februari 2013, Pasal 72 ayat 5 UU Nomor 12 Tahun 2012 bahwa Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik Profesor atas usul Perguruan Tinggi, dan  Permendikbud Nomor 40 Tahun 2012 bahwa Menteri dapat menetapkan seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa untuk diangkat sebagai Profesor/Guru Besar Tidak Tetap pada perguruan tinggi berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.

1. Seseorang yang dicalonkan sebagai Guru Besar Tidak Tetap bukan berasal dari akademisi.
2. Calon Guru Besar Tidak Tetap memiliki karya yang bersifat “tacit knowledge” yang memiliki potensi dikembangkan menjadi “explicit knowledge” di perguruan tinggi dan bermanfaat untuk kesejahteraan umat manusia.
3. Calon Guru Besar Tidak Tetap diajukan oleh perguruan tinggi setelah melalui Rapat Senat Perguruan Tinggi kepada Menteri dengan dilampiri karya-karya yang bersangkutan.
4. Romo Mangunwijaya (lingkungan/pemukiman), dan Abdulrahman Wahid (pluralisme) merupakan contoh sosok yang layak sebagai Guru Besar Tidak Tetap.

GB tidak tetap tersebut berstatus dosen tidak tetap, tidak dituntut untuk kerja penuh waktu, tidak ada beban kerja dosen, tidak ada tunjangan dan tidak ada batas pensiunnya. Dengan demikian menjadi kewajiban bagi perguruan tinggi pengusul untuk memanfaatkan GB tidak tetap itu sehingga dapat mengembangkan “tacit knowledge” menjadi “explicit knowledge”.

Guru besar tidak tetap seperti Gus Dur yg dikatakan Dirjen Dikti layak itu, belum punya ijazah sarjana.

Guru Besar tidak tetap

Disamping itu juga diberitakan bahwa Chairul Tanjung menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Airlangga. Bedanya dengan guru besar tidak tetap, salah satu syarat DR HC adalah memiliki gelar akademik paling rendah sarjana (S1) atau setara dengan level 6 dalam KKNI (Permendikbud 21/2013). Yang memberikan gelar juga program doktor yang menyelenggarakan bidang ilmu pengetahuan yang sama dengan bidang ilmu pengetahuan yang menjadi ruang lingkup jasa/karya ybs.

Landasan peraturannya: permen_tahun2013_nomor21 Doktor Kehormatan

Tanggal 18 Oktober 2016 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Gelar Doktor Kehormatan telah  dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dalam peraturan ini dikatakan bahwa “Gelar doktor kehormatan (Doctor Honoris Causa) merupakan gelar kehormatan yang diberikan oleh perguruan tinggi yang memiliki program Doktor dengan peringkat terakreditasi A atau unggul kepada perseorangan yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan.”

Peraturan yang baru: permenristekdikti-65-2016-gelar-doktor-kehormatan

You may also like...

1 Response

  1. 8 December 2016

    […] UU dan PP dosen juga menekankan memiliki KUALIFIKASI MINIMAL S2, BUKAN wajib MENYANDANG GELAR S2. Perguruan tinggi bila perlu juga dapat memberikan gelar doktor kehormatan apabila  kompetensi yang bersangkutan dianggap sudah setara S3. Lihat ketentuannya. […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *