diskresi dan penegakkan hukum

image_print

Tulisan berikut terinspirasi dari Buku yang ditulis Prof. Dr. Marwan Effendi (2012) tentang diskresi, penemuan hukum, korporasi dan tax amnesty dalam penegakkan hukum.

Antara hukum dengan masyarakat tidak bisa dipisahkan, bahkan ada satu istilah yang disebut ubi societas ibi ius yang artinya dimana ada masyarakat disana ada hukum.

Masyarakat mengharapkan hukum dapat menjadi sarana dalam penegakkan hukum, bukan menjadi alat untuk kepentingan penguasa atau kepentingan politik namun faktor diluar hukum seringkali lebih kuat pengaruhnya sehingga aplikasi hukum didalam masyarakat menjadi tercederai.

Dalam pembangunan hukum, penegakkan hukum mempunyai fungsi strategis karena menjadi tumpuan harapan masyarakat kepada aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum, dan dalam pengertian makro penegakkan hukum tidak hanya ada saat litigasi dipengadilan tetapi ada dalam semua aspek kehidupan masyarakat

Ekspektasi masyarakat terhadap penegakkan hukum sangat besar khususnya di era reformasi saat ini dimana hukum digaungkan sebagai panglima. Berkaitan dengan ini maka perbedaan pendapat terus terjadi tentang mana yang lebih utama, antara keadilan dengan kepastian hukum? Apakah keadilan lebih penting dibandingkan kepastian hukum ataukah kepastian hukum lebih penting dibandingkan keadilan (sementara konsep keadilan memiliki dimensi yang sangat luas).

Ekspektasi masyarakat yang tinggi secara tidak langsung dapat menyebabkan munculnya berbagai diskresi dalam hukum. Diskresi ,menurut Thomas J. Aaron adalah suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinan serta lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum. Demikian juga pengertian tentang diskresi yang dikemukakan oleh Wayne La Farve yang menyebutkan diskresi sebagai pengambilan keputusan yang sangat terikat oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang peranan. Dengan demikian diskresi bisa dikatakan sebagai pelengkap dan aturan yang secara formal tertulis dalam undang Undang. Sedangkan yang berkaitan dengan diskresi adalah pengertian tentang kebijakan dan kebijaksanaan. Menurut Hikmahanto, kebijakan berbeda dengan kebijaksanaan. Meski keduanya terkait dengan pengambilan keputusan. Kebijakan merupakan basis untuk pengambilan keputusan sedangkan kebijaksaan merupakan keputusan yang bersumber dari diskresi (discretion) yang dimiliki oleh pejabat yang berwenang (Marwan effendi, 2012:7)

Diskresi dapat diambil oleh pejabat publik karena mengutamakan dicapainya tujuan sehinga legalitas hukum sedikit diabaikan, namun secara umum ada tiga syarat dari diskresi dilakukan:
1. demi kepentingan umum
2. masih dalam lingkup wewenangnya
3. tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik
Ketiga syarat tersebut diatas sebenarnya lebih ditekankan sebagai upaya untuk menemukan hukum (rechtvinding) karena pejabat umum (apalagi hakim) tidak bisa mengatakan hukumnya belum ada, dan diskresi dalam bidang hukum pidana tentu berbeda dengan diskresi dalam bidang hukum administrasi Negara, apalagi diskresi dalam Hukum ekonomi.

Diskresi tidak sama dengan exeptie (kekecualian) sehingga jika dikaitkan dengan konsep yang ada didalam hukum islam maka exeptie bentuknya bisa berupa ruksoh (keringanan bukan meniadakan atau mengesampingkan) bahkan terhadap hal yang prinsip seperti shalat (ada ruksohnya). Sedangkan diskresi adalah hasil ijtihad dalam tataran fiqih (tidak dalam tataran syariah apalagi aqidah) yang tujuannya untuk kemashalahatan dan sesuai dengan “arahan” dari Nabi Muhammad SAW sebagai figur sentral dalam Islam.
Secara umum, yang perlu dicatat adalah apapun bentuk diskresi yang diambil dan dalam lingkup hukum apapun tetap harus bertujuan dalam kerangka dicapainya tujuan hukum yaitu keadilan dan kepastian hukum. Wallahu a’lam bishowab

About Andi Fariana

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *