Globish dan Lingomixaholic

image_print

 

Sempat senyum-senyum saat lobi kampus tadi melihat beberapa mahasiswa yang berbicara menggunakan Bahasa Inggris dicampur-campur  Bahasa Indonesia dengan menggunakan logat Cinta Laura sambil memonyong-monyongkan mulutnya.  Duh jangankan mahasiswa, dosen2 muda seperti saya dan teman-teman sebaya (eh Alhamdulillah masih merasa muda 🙂 ) juga masih suka ikut-ikutan pake logatnya Chinca Lawra. Bahkan, satu atau dua kali menggunakannya di kelas untuk mencairkan suasana.

Diakui atau tidak, bahasa campuran antara Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia sangat lekat dalam keseharian kita. Tidak hanya di warung kopi dan di meja makan,  bahkan di acara-acara formal pun bahasa campuran ini acap kali diucapkan entah sengaja atau tidak. Sempat dalam suatu acara formal tanpa sengaja saya menulis kalimat-kalimat atau kata-kata yang diucapkan oleh pembicara. Hasilnya adalah satu halaman penuh berisi kalimat-kalimat dari bahasa bahasa campur-campur, misalnya “Pemikiran-pemikiran itu harus diframe ulang….”; “Kita punya dream yang besar….”.

Maraknya penggunaan bahasa campur-campur ini sempat menyita perhatian The Newyork Times yang dalam salah satu artikelnya menyatakan bahwa orang Indonesia saat ini cenderung lebih menyukai penggunaan Bahasa Inggris dan menomor duakan penggunaan Bahasa Indonesia. Terlepas dari sudut pandang dalam artikel itu, dalam beberapa kesempatan saya melihat bahwa banyak orang yang merasa “keren” menyelipkan kosa kata atau kalimat-kalimat berbahasa Inggris. Namun, kadang penggunaan bahasa Inggris yang diselipkan ini juga sering terjadi saat seseorang merasa sulit menemukan padanan suatu kata di dalam Bahasa Indonesia.

Lingomixaholic adalah istilah bagi para pengguna bahasa yang sangat gemar mencampur-campurkan bahasa, terutama Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris. Secara pribadi saya melihat fenomena ini sebagai konsekuensi logis dari mendunianya Bahasa Inggris. Terlebih lagi, kemajuan di bidang teknologi informasi mengharuskan hampir semua orang memahami Bahasa Inggris, yang pada akhirnya mendorong kemunculan Globish (Global English), yakni bahasa Inggris yang dapat digunakan oleh siapapun di belahan dunia manapun.

Dalam berbahasa sebenarnya telah lama orang mengenal bahasa pijin dan bahasa kreol. Bahasa pijin digunakan oleh orang dari berbagai suku untuk mempermudah komunikasi, dengan mengabaikan aturan tata bahasa, misalnya pijin Inggris di Singapura. Bahasa pijin tidak memiliki penutur asli. Namun, saat bahasa pijin memiliki penutur asli, bahasa tersebut dinamakan bahasa kreol.

Kembali kepada kegemaran mencampur-campurkan kosa kata bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang menurut saya sah-sah saja. Saya sangat sepakat dengan pendapat seorang teman yang mengatakan bahwa “mencintai Bahasa Indonesia bukan berarti kita menutup diri mempelajari bahasa lain”. Mempelajari juga akan berimbas pada penggunaan bahasa yang lebih baik.  Dan ternyata, kalimat-kalimat seperti “Pemikiran-pemikiran itu harus dibingkai ulang” dan “Kita memiliki mimpi yang besar” terdengar lebih indah daripada “pemikiran-pemikiran itu harus diframe ulang” dan “Kita memiliki dream yang besar”. (NF)

 

About Nani Fitriani
walker, cofee lover, outstanding dreamer 🙂

Nani Fitriani

walker, cofee lover, outstanding dreamer :)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *