Konsekuensi-Konsekuensi Negatif dari Modernisme dan Peralihan ke Posmodernisme: Bagian II

image_print

Modernisme dipahami sebagai suatu paham yang meyakini adanya kemajuan yang bersifat linier dan kebenaran yang absolut dan perencanaan yang rasional atas tatanan-tatanan sosial yang ideal, serta standarisasi pengetahuan dan produksi. Kemajuan ilmu pengetahuan  di masa lalu, terutama di dalam ilmu-ilmu alam atau sains tidak dapat dilepaskan dari pengaruh paham ini. Pada gilirannya, banyak kemajuan yang dihasilkan di dalam kehidupan di abad dua puluh.

Akan tetapi, modernisme mewariskan konsekuensi-konsekuensi  negatif juga. Konsekuensi-konsekuensi ini perlu disadari dan dikritisi agar masyarakat lebih siap menjalani kehidupan yang sejahtera di abad dua puluh satu.

Perubahan pola pikir mendasar tentang realitas kehidupan sosial pada akhirnya perlu dikembangkan agar mampu mengatasi keterbatasan-keterbatasan modernisme, bahkan mampu melampaui atau menemukan model baru yang lebih tepat untuk masyarakat masa kini dan masa depan. Ada kalangan yang menganjurkan alternatif pemahaman berupa posmodernisme.

I. Bambang Sugiharto (1996) di dalam bukunya, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat mencatat enam bentuk konsekuensi buruk dari modernisme. Konsekuensi-konsekuensi tersebut telah dikemukakan pada Bagian I ketika dibahas konsekuensi yang pertama.

Pada Bagian II ini akan dibahas tentang konsekuensi buruk kedua. Dikemukakan bahwasannya pandangan modernisme yang bersifat obyektivistik dan positivistik pada akhirnya menjadikan manusia dan masyarakat sebagai obyek dan dapat direkayasa layaknya mesin (Sugiharto, 1996).

Tulisan ini mendiskusikan pandangan kedua dengan penjelasan-penjelasan yang mendukung adanya kenyataan-kenyataan yang ada di dalam kehidupan masyarakat dan bisnis dewasa ini. Perhatian akan diarahkan pada dua bidang, yaitu dunia ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial di dalam masyarakat maupun di dalam perusahaan sebagai sistem sosial. Dikemukakan juga pemikiran kritis-kreatif-konstruktif terhadap hal-hal negatif tersebut dan adanya pengembangan kapabilitas kolektif yang menunjukkan perubahan mendasar. Dengan begitu dapat ditunjukkan peralihan yang cerdas dari modernisme ke posmodernisme.

Paradigma positivisme yang berakar pada ilmu-ilmu alam menghasilkan kemajuan sains yang luar biasa pada abad dua puluh. Kemajuan ilmu pengetahuan (sains) membawa banyak kemajuan di berbagai bidang ilmu.

Ilmu-ilmu sosial pun mengadopsi pendekatan ilmu-ilmu alam. Dalam ranah ini, sofistikasi ilmu-ilmu sosial ditunjukkan melalui kemampuan untuk menemukan kebenaran obyektif yang bersifat tunggal, stabil atau tahan uji sepanjang waktu, serta berlaku universal. Prosedur-prosedur statistik atau kuantifikasi yang ketat dijalankan. Ekonometrika berkembang di bidang ilmu ekonomi hingga pada tingkat yang menunjukkan persimpangan yang memisahkan ilmu ekonomi dari ilmu sosial. Psikometri menjadi andalan keilmiahan di bidang psikologi dan sosiometri di dalam kajian-kajian sosiologi. Di bidang manajemen, berkembang scientific management. Semuanya ini tentu saja membawa perkembangan penting bagi ilmu-ilmu sosial.

Tokoh-tokoh penting terdiri dari Aristoteles (penalaran deductif); Descartes (realisme); Galileo (metode saintifik); Auguste Comte (positivisme); Vienna Circle (positivisme logis); Francis Bacon (penalaran induktif); Karl Popper (postpositivist) (Mack, 2010:6).

Menurut Snape & Spencer (dalam Richie & Lewis, 2003:16) pandangan-pandangan positivisme mencakup hal-hal berikut. Pertama, dunia pada dasarnya tidak tergantung pada dan juga tidak dipengaruhi oleh peneliti. Kedua, fakta-fakta dan nilai-nilai merupakan dua hal yang terpisah, sehingga memungkinkan untuk dilakukan penelitian yang obyektif dan bebas-nilai. Ketiga, observasi merupakan wasit terakhir ketika terjadi perselisihan. Keempat, metode-metode ilmu alam (misalnya, pengujian hipotesis, penjelasan eksplanatif dan pemodelan) tepat untuk fenomena sosial karena perilaku manusia tunduk pada hukum-hukum keteraturan tertentu.

Pandangan-pandangan tadi ditopang oleh asumsi ontologis dan asumsi epistemologis dari positivisme. Dalam hal ontologi, positivisme menganut paham realisme, sedangkan di dalam hal epistemologi, positivisme meyakini   objektivisme (Scotland, 2012). Paradigma saintifik yang disebut Comte sebagai positivisme ini menunjukkan suatu pendirian bahwa realitas pada dasarnya bersifat apa adanya dan tidak dimediasi oleh pancaindera kita. Observasi tepat untuk dilakukan agar dapat dketahui makna yang terkandung di dalam realitas.  Pengetahuan yang dapat ditemukan (discoverable knowledge)  bersifat universal, yakni bersifat mutlak, bebas nilai, dan stabil sepanjang waktu.

Konsekuensi dari pendirian positivisme mendorong adanya penyelidikan-penyelidikan ilmiah untuk menyingkap hukum-hukum universal pada alam dan manusia dengan cara menempatkan keduanya sebagai obyek yang harus tunduk pada perlakuan-perlakuan yang diberikan. Demi obyektivitas, peneliti harus bertindak sebagai orang luar dan tidak melibatkan diri dengan pengalaman orang-orang yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian yang diklaim obyektif dilakukanlah rekayasa sosial menuju kondisi yang diprediksi dapat terjadi berdasarkan kajian ilmiah.

Keyakinan akan adanya satu-satunya kebenaran tunggal yang bersifat mutlak sudah disadari hanya akan menimbulkan hasil akhir berupa dominasi-marjinalisasi pihak yang satu terhadap pihak yang lain.  Konflik-konflik besar sampai dengan peperangan tidak dapat dilepaskan dari cara pandang tentang kebenaran monolitik. Konflik-konflik yang berakhir dengan penghancuran yang satu terhadap yang lain tidak jarang dapat dibuktikan adanya cara pandang yag meyakini adanya kebenaran final yang hanya dimiliki oleh pihak tertentu. Hal ini ada kalanya terjadi juga di dalam perusahaan. Masing-masing pihak berpandangan sebagai pemegang kebenaran sendiri sedangkan pihak lainnya salah sama sekali.

Penerapan model-model pembangunan negara-negara maju ke negara-negara berkembang begitu saja pernah dilakukan berdasarkan konsepsi postivisme. Kenyataannya, negara-negara sedang berkembang gagal memasuki tahapan tinggal landas berdasarkan program-program yang dikembangkan berdasarkan pengalaman-pengalam negara-negara maju telah gagal total.

Pada level perusahaan, pengelolaan dan tata kelola bisnis memang banyak mengambil inspirasi dari praktek-praktek bisnis dari negara-negara lain, tetapi tidak ada jaminan keberhasilan tanpa adanya adaptasi lokal. Bahkan, perusahaan-perusahaan yang berada di dalam industri yang sama dituntut untuk menemukan kunci suksesnya masing-masing. Artinya, modernisme dengan paradigma positivismenya semakin surut penarapannya.

Peralihan dari positivisme sudah sepantasnya terjadi karena ada keyakinan yang lebi hunggul, yakni bahwasannya kenyataan-kenyataan sosial senantiasa unik dan kontekstual. Semua fenomena sosial maupun fenomena alam yang bersifat sosial selalu memiliki makna yang ditentukan oleh orang-orang yang ada di dalam masyarakat atau komunitas.  Oleh karena itu, pengetahuan tentang masyarakat atau komunitas sesungguhnya merupakan suatu pencaharian melibatkan suatu  sebuah analisis tentang realitas sebagai konstruksi sosial (Berger & Luckmann, 1991).

Paradigma interpretivisme dan paradigma kritikal menawarkan cara pandang baru tentang alam dan realita sosial. Kedua paradigma ini  memiliki asumsi-asumsi ontologis dan epistemologis yang yang bertentangan dengan asumsi-asumsi positivisme.

Dari sisi ontologi, interpretivisme memiliki keyakinan-keyakinan sebagai berikut. Pertama, realitas dikonstruksi secara tidak langsung melalui interpretasi individual dan pada dasarnya bersifat subyektif.  Kedua, masyarakat memiliki maknanya sendiri mengenai realitas. Ketiga, peristiwa-peristiwa bersifat distingtif dan tidak dapat digeneralisasi. Keempat, terdapat sudut pandang yang jamak mengenao setiap persitiwa. Terakhir, hubungan-hubungan di dalam ilmu sosial ditentukan berdasarkan makna dan simbol yang mengandung makna tertentu (Mack, 2010).

Asumsi-asumsi epistemologis yang dikemukan oleh paradigma interpretivisme menantang asumsi-asumsi positivisme juga. Menurut paham ini, pengetahuan mestinya diperoleh melalui sebuah strategi yang menghargai perbedaan-perbedaan  di antara orang-orang dan juga di antara obyek-obyek alam. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar ditemukan makna subyektif yang ada pada mereka yang terlibat di dalam peristiwa tertentu.  Pengetahuan dikembangkan secara induktif untuk menemukan teori, dibangn berdasarkan situasi yang spesifik, bukan berdasarkan reduksi yang simplistik. Pengetahuan semacam ini diperoleh berdasarkan pengalam personal. (Mack, 2010).

Paham interpretivisme semakin berkembang berkat kontribusi beberapa tokoh penting. Beberapa di antaranya (Mack, 2010) adalah   Edmund Husserl, Arthur Schultz (fenomenologi); Wilhelm Dilthey, Han-Georg Gadamer (hermenetik); Herbert Blumer (symbolic interaction); serta Harold Garfinkel (etnometodologi).

Lebih jauh dari itu, paradigma kritis–termasuk di dalamnya, posmodernisme–memandang penting dilakukannya penerapan cara pikir dan perilaku yang  emansipatif dan egalitarian. Pengetahuan senantiasa perlu ditinjau secara kritis karena senantia bersifat politis, diskursif, dan melibatkan kekuasan. Pengakuan atas kebenaran yang jamak dan melibatkan kepentingan-kepentingan yang dapat bertentangan mendorong upaya bersama untuk menemukan posisi yang lebih tinggi yang mampu membingkai semua kebenaran laksana prisma. Ada kalanya diperlukan dekonstruksi kreatif atas metanarasi sehingga kebenaran-kebenaran dapat muncul ke permukaan dan ditemukan pemahaman yang lebih holistik.

Pemikiran-pemikiran kritis disumbangkan oleh banyak tokoh. Di antaranya (Mack 2010) adalah Theodor Adorno, Max Horkheimer, Herbert Marcuse, Erich Fromm (Frankfurt School dan Teori-teori kritis 1930-an); Karl Appel dan Jurgen Habermas (Teori-teori kritis 1970-an); Paulo Freire (critical pedagogy); Michel Foucault (strukturalisme);
Norman Fairclough (critical discourse analysis); Eve Kosofsky Sedgwick, Judith Butler (queer theory); Simone de Beauvoir, Betty Friedan (feminisme); Thomas Kuhn, Jacques Derrida (posmodernisme).

Pembahasan ini dapat diakhiri dengan suatu kesimpulan bahwa  modernisme dengan warisannya berupa saintisme telah menghasilkan suatu dunia yang tidak sehat. Dialog paradigma menjadi suatu kebutuhan agar  berbagai perspektif dapat menyumbangkan pemahaman secara optimal di dalam membangun dan memajukan dunia. Upaya-upaya untuk membaca ulang kebenaran secara kritis sebagaimana ditawarkan oleh paham intrepretivisme dan teori-teori kritikal memberikan harapan akan berkembangnya peradaban yang semakin manusiawi di dalam arti semakin menghargai kemanusiaan di dalam keberagaman (kebenaran).  E pluribus unum!

 

Referensi:

Berger, Peter L. & Luckmann, Thomas (1991). The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. New York: Penguin Books.

Mack, Lindsay (2010). “The Philosophical Underpinnings of Educational Research.” Polyglossia Volume 19, October 2010, pp. 6-11.

Scotland, James (2012). “Exploring the Philosophical Underpinnings of Research: Relating Ontology and Epistemology to the Methodology and Methods of the Scientific, Interpretive, and Critical Research Paradigms.”  English Language Teaching; Vol. 5, No. 9; 2012, pp. 9-16.

Snape, Dawn & Spencer, Liz (2003) “The Foundations of Qualitative Research.” Dalam Richie, Jane & Lewis Jane       (eds., 2003), Qualitative Research Practice: A Guide for Social Science Students and Researchers. London: SAGE Publications, pp. 1-23.

Sugiharto, I. Bambang (1996). Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat.

 

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *