pemberian kesaksian
Di dalam proses penyelesaian sengketa perdata (bisnis), salah satu hal penting adalah proses pembuktian. Pembuktian berarti suatu proses memberikan keyakinan kepada hakim tentang adanya suatu peristiwa. Pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi suatu peristiwa yang pernah terjadi dimasa lampau sebagai suatu peristiwa yang diyakini kebenarannya. Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1866 disebutkan beberapa bentuk alat bukti yang dapat dipergunakan. Salah satu yang menarik adalah pembuktian dengan keterangan saksi.
Sebagai salah satu bentuk alat bukti maka saksi memiliki kedudukan yang penting karena seorang saksi memiliki syarat-syarat tertentu untuk bisa memberikan kesaksiannya. Syarat tersebut antara lain, saksi haruslah pihak ketiga yang berada ditempat peristiwa terjadi atau benar-benar mengetahui peristiwa yang menjadi pokok sengketa, selain itu saksi juga harus menyampaikan kesaksiannya secara langsung dan secara lisan. Syarat-syarat ini mengisyaratkan bahwa pemberian keterangan saksi bukan suatu perkara yang sederhana karena seorang saksi harus berkata benar (didahului kewajiban saksi untuk sumpah) dan diyakini oleh hakim bahwa saksi tidak sebagai orang yang berada dalam tekanan atau terpaksa.
Ada satu istilah di dalam Hukum yang disebut testimonium de auditu yaitu istilah yang dipakai bagi suatu keterangan yang diberikan saksi bukan karena saksi mengetahui sendiri atau mengalami sendiri peristiwa/kejadian yang dipersaksikannya, tetapi saksi mendapat keterangan dari orang lain. Prof. Sudikno Mertokusumo memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan testimonium de auditu adalah keterangan saksi di depan hakim berdasarkan keterangan yang diberikan oleh pihak ketiga tersebut. Dengan kata lain, keterangan yang diberikan saksi di depan persidangan merupakan hal-hal yang didengar atau dilihat atau dialami oleh orang lain. Keterangan semacam ini bukanlah merupakan kesaksian (lihat Pasal 1907 KUHPerdata: tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya. Pendapat maupun dugaan khusus yang diperoleh dengan memakai pikiran bukanlah suatu kesaksian), namun testimonium de auditu tetap dapat dipergunakan sebagai persangkaan (yang juga merupakan alat bukti) dan ini merupakan kewenangan hakim.
Sebagai pembanding mengenai keterangan saksi, ternyata di dalam Hukum Islam, keterangan saksi sudah dipergunakan sebagai alat bukti sejak masa Khalifah Umar Bin Khatab, sedangkan di dalam Al Qur’an perihal saksi atau memberikan persaksian ditemukan sekitar 75 ayat. Salah satu ayat yang populer tentang saksi terdapat di dalam QS 5: 8 yang berbunyi…hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah dan menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil… Ayat ini menarik karena perintah memberikan kesaksian secara adil disandingkan dengan perintah menegakkan kebenaran. Dapatkah kemudian dikatakan bahwa proses pemberian keterangan dari seorang saksi secara adil sebenarnya juga dalam rangka menegakkan kebenaran?. Jika hal ini benar demikian, maka menjadi penting untuk tidak memberikan kesaksian apabila tidak dalam kerangka menegakkan kebenaran (atau memberikan kesaksian hanya semata-mata untuk kepentingan tertentu dengan cara memberikan kesaksian palsu atau keterangan yang tidak diketahui kebenarannya, atau karena kebencian terhadap suatu golongan). wallahu a’lam