PERILAKU KONSUMEN : FUNGSI UTILITAS DAN MASLAHAH

Kajian dalam ilmu ekonomi tidak pernah lepas dari bahasan tentang perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Konsumsi sebagai suatu bentuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia menjadi suatu bahasan yang mendasari kajian-kajian ilmu ekonomi tentang perilaku manusia dalam menjaga eksistensi hidupnya. Konsep permintaan yang dibahas dalam kajian ilmu ekoknomi mikro, didasari dari pemikiran manusia yang senantiasa membutuhkan sesuatu untuk dikonsumsi. Aktivitas manusia untuk menantiasa melakukan konsumsi mempunyai berbagai alasan yang rasional dan masuk akal. Atas berbagai alasan itulah seorang konsumen melakukan aktivitas konsumsi.

Berbagai alasan yang coba dirumuskan para ahli ilmu ekonomi, menghasilkan beberapa teori tentang motif konsumsi manusia, salah satunya adalah bagaimana meningkatkan kepuasan konsumsi akan barang/jasa secara optimal. Dari beberapa konsep perilaku konsumsi manusia, konsep tentang utilitas lah yang banyak dipakai sebagai acuan para ekonom konvensional (barat) dalam merumuskan konsep-konsep ekonomi kedepannya, salah satunya menjadi dasar pemikiran tentang teori permintaan yang diawali oleh kendala anggaran (budget constraint) dan kurva kepuasan (indefference curve).

Dalam perjalannya, teori utilitas banyak menghasilkan polemik di dalam masyarakat dunia. Munculnya usaha-usaha untuk senantiasa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dunia didasari dari kekurangan konsep utilitas sehingga menimbulkan gerakan-gerakan pemikiran baru tentang perlunya distribusi pendapatan. Selain itu, konsep ini mulai tergantikan dengan konsep preferensi yang tidak lain dan tidak bukan merupakan turunan dari konsep utilitas itu sendiri.

Islam sejak pertama kali dibawa ke muka bumi sudah memiliki konsep yang komperhensif dan mendalam tentang hidup dan kehidupan, mulai dari masalah sosial, politik dan ekonomi (muamalat). Secara umum, dalam rangka menjaga kelangsungan hidup manusia, Islam mengajarkan tentang konsep maslahah, yaitu suatu konsep kemaslahatan (kebaikan bersama) bagi seluruh mahluk hidup. Konsep maslahah dapat diterapkan pula dalam kaitannya tentang perilaku konsumsi manusia.

Pada tulisan kali ini akan coba dibahas perbandingan antara konsep utilitas yang ditawarkan oleh ekonomi konvensional dengan konsep maslahah yang menjadi acuan bagi ekonomi Islam. Tulisan ini, sebelumnya akan memaparkan tentang prinsip dan tujuan konsumsi manusia serta akan melihat sejauh mana rasionalitas yang dimilikinya memainkan peranan dalam aktivitas konsumsi.

 

Prinsip dan Tujuan Konsumsi

Manusia sebagai mahluk hidup membutuhkan sesuatu untuk dikonsumsi guna kelangsungan hidupnya dimuka bumi. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia, ada beberapa hal dasar  yang menyebabkan manusia melakukan kegiatan konsumsi itu sendiri. Hal itu tentunya tidak lepas dari hasrat manusia untuk senantiasa mendapatkan tingkat kepuasan (utilitas) yang optimum dalam konsumsi. Salah satu tujuan dasar dari konsumsi itu sendiri adalah memenuhi kebutuhan hidup yang terbatas oleh beberapa kendala sehingga tercapai suatu kondisi dimana manusia itu merasakan kepuasan atau utilitas yang optimum.

Dalam perkembangannya, pengukuran terhadap nilai utilitas yang terdapat dalam suatu komoditas tidak lagi menggunakan standar angka atau nilai, akan tetapi menggunakan peningkatan atau preferensi. Artinya dalam menentukan besar-kecilnya tingkat kepuasan suatu barang/jasa tidak lagi menggunakan angka, tetapi melakukan komparasi dengan barang lain untuk menentukan selera pasar. Dalam perkembangannya preferensi seseorang terhadap sebuah komoditas sangatlah beragam, dimana sangat dipengaruhi oleh keyakinan dan pemahaman manusia terhadap kehidupan. Ada tiga unsur yang mempengaruhi perilaku seorang konsumen dalam berkonsumsi, yaitu: rasionalitas, kebebasan ekonomi dan utilitas.

Dalam membahas teori perilaku konsumen dalam berkonsumsi, diasumsikan bahwa seorang konsumen merupakan sosok yang cerdas. Dalam artian, konsumen tersebut mengetahui secara detail tentang income dan kebutuhan yang ada dalam hidupnya serta pengetahuan terhadap jenis, karakteristik dan keistimewaan komoditas yang ada. Dengan harapan, komoditas yang telah dikonsumsi oleh konsurnen dapat mendatangkan tingkat utility yang memuaskan. Perilaku seorang konsumen, terkadang dipengaruhi oleh lingkungan sosial, budaya, politik dan ekonomi dalam menentukan komoditas dan jasa yang harus dikonsumsi. Dewasa ini, banyak kita temukan seorang konsumen yang mengkonsumsi komoditas baru, tetapi tidak dilandasi oleh pengetahuan tentang komoditas tersebut. Keinginan konsumen terhadap komoditas tersebut bisa terjadi, dikarenakan adanya advertising (iklan) yang dapat mempengaruhi dan membuat image baru tentang sebuah produk.

Dalam analisa ekonomi kapitalisme, perilaku seorang konsumen sangat dipengaruhi oleh nilai kebebasan dalam berekonomi dan kondisi pasar yang perfect competition (persaingan sempurna). Asumsi yang ditawarkan sistem tersebut sangat idealis. Akan tetapi sulit untuk direalisasikan dalam dunia ekonomi nyata. Dalam konsep ekonomi Islam, seorang konsumen diberi kebebasan untuk melakukan tawar-menawar dan menentukan kesepakatan dalam sebuah transaksi, tetapi tidak bersifat mutlak. Kebebasan dalam sistem ekonomi Islam merupakan kebebasan yang diwarnai oleh nilai-nilai agama yang bertujuan untuk mewujudkan dialektika kemaslahatan individu dan masyarakat. Sebagai illustrasi, dalam sistem kapitalisme, manusia merupakan pemilik hakiki atas harta kekayaan yang dimiliki, sehingga ia mempunyai kebebasan untuk melakukan transaksi atas harta tersebut sesuai dengan kehendaknya. Dalam ekonomi Islam, harta kekayaan hanyalah merupakan titipan Allah, sehingga transaksi yang dilakukan oleh seseorang harus berdasarkan norma dan kaidah syari’ah. Apabila terjadi pelanggaran atas batasan syariah, transaksi yang dilakukan batal, karena dianggap hal itu menimbulkan kemudharatan dalam kehidupan masyarakat.

Perilaku seorang konsumen sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan keyakinan dalam menjalani hidup. Dalam kehidupan banyak sekali nilai-nilai ekonomi yang ditawarkan oleh sistem ekonomi yang ada. Dalam kapitalisme, seorang konsumen merupakan perwujudan materi, dimana segala perilaku konsumsi yang ada harus bersandarkan atas nilai-nilai materi. Tujuan utama konsumen adalah mencapai nilai materi secara optimal, dan hal tersebut merupakan tujuan akhir dalam berekonomi. Seorang konsumen dapat dikatakan berhasil, jika mampu mendapatkan utility ataupun return yang maksimal atas segala pengorbanan yang telah dilakukan.

Sedangkan, Muhammad (2004) menyebutkan sedikitnya ada tiga prinsip umum yang mendasari perilaku ekonomi seorang muslim. Pertama, percaya pada hari akhir. Kedua, konsep Islam tentang keberhasilan. Ketiga, konsep Islam tentang kaya.

1. Percaya pada Hari Akhir (The Belief in the Last Day)

Ajaran Islam mengajarkan kepada umatnya untuk percaya pada Hari Akhir/Kiamat dan kehidupan di akhirat dengan percaya kepada Allah. Ini adalah rentangan waktu kehidupan seorang muslim mulai dari lahir sampai meninggal dunia. Kehidupan sebelum mati dan kehidupan sesudah mati adalah saling berhubungan dalam pola yang berurutan. Dengan demikian seseorang yang melakukan konsumsi akan memiliki efek terhadap dua alam kehidupan, pertama adalah berhubungan dengan pilihan selama kehidupan di dunia, dan kedua adalah efek terhadap kehidupan yang akan datang (akhi­rat). Oleh karena itu utilitas yang diperoleh dari sesuatu yang dipilih merupakan keseluruhan nilai yang ada saat ini dalam mempengaruhi dua alam tersebut. Selanjutnya sejumlah pilihan atas pendapatan seseorang yang diperoleh di dunia seharusnya dapat menambah semua keuntungan yang akan digunakan untuk bekal kehi­dupan di akhirat. Sebagai contoh pengeluaran untuk hal-hal kebajikan, seperti infak, sedekah, dan semacamnya, merupakan bekal yang sangat baik bagi manusia untuk kehidupan di akhirat.

2. Konsep Islam tentang Keberhasilan (The Islamic Concept of Success)

Sukses menurut Islam adalah suatu sikap konsen terhadap Allah dan bukan hanya keadaan akumulasi kekayaan. Konsep keberhasilan dalam Islam senantiasa dikaitkan dengan nilai-nilai moral. Siddiqi (1986) mengatakan “keberhasilan terletak dalam kebaikan. Dengan perilaku manusia yang semakin sesuai dengan pembakuan-pembakuan moral dan semakin tinggi kebaikannya, maka dia se­makin berhasil. Selama hidupnya, pada setiap fase keberadaan, pada setiap langkah, individu Muslim selalu berusaha berbuat selaras dengan nilai-nilai moral”.

Menurut ajaran Islam, sebagai seorang hamba Allah, manusia harus secara positif menggunakan kemampuannya dan sumber daya yang diberikan oleh Allah secara baik. Hal ini mencakup semua aktivitas selama hidup di dunia dalam memenuhi kebutuhannya, akan tetapi ia tidak diperbolehkan untuk mengeksploitasi terhadap makhluk Allah. Oleh karena itu dalam memanfaatkan alam dan sumber daya yang ada harus dilakukan secara baik yang kesemuanya dilakukan sebagai suatu kewajiban terhadap Allah (ibadah).

3. Konsep Islam tentang Kaya (The Islamic Concept of Riches)

Konsep harta, kekayaan dan pendapatan dalam Islam merupakan suatu konsep yang unik. Harta, kekayaan atau pendapatan menurut istilah dalam Islam disebut dengan mal. Mal apakah ia dipandang sebagai kekayaan atau pendapatan, keduanya adalah karunia dari Allah. Mal bukanlah suatu laknat. Surga bukan hanya terbuka bagi orang miskin, tetapi surga juga dan sama terbuka bagi orang yang kaya. Karena harta atau kekayaan sebagai karunia Allah, maka ia harus digunakan untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan manusia. Oleh karena itu dalam hal pembelanjaan harta, Rasulullah mengajarkan:

Suatu ketika Nabi (Muhammad SAW) bertanya kepada para sahabatnya: “Kepada siapakah di antara kamu harta milik ahli warisnya lebih berharga daripada miliknya sendiri? Mereka menjawab: Setiap orang menganggap harta miliknya sendiri lebih berharga daripada milik ahli warisnya”. Kemudian Nabi bersabda: “hartamu adalah apa yang kamu pergunakan dan harta ahli warismu adalah yang tidak kamu pergunakan.”

Itulah sebabnya ketika harta merupakan alat untuk membeli barang dan jasa yang akan mendatangkan kepuasan, maka harta tersebut akan dibelanjakan untuk barang-barang yang bermanfaat bukan yang dilarang.

 

Rasionalitas dalam Prilaku Islami

Dalam ekonomi Islam, pemenuhan kebutuhan akan sandang, pangan dan papan harus dilandasi nilai-nilai spiritualisme dan adanya keseimbangan dalam pengelolaan harta kekayaan. Selain itu, kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya harus berdasarkan batas kecukupan (had al kifayah), baik atas kebutuhan pribadi maupun keluarga.

Setiap konsumen dalam melakukan aktivitas konsumsinya memiliki kecerdasan tersendiri. Kecerdasan ini, merupakan salah satu asumsi yang digunakan dalam mempelajari perilaku konsumen. Kecerdasan yang dimaksud disini adalah kemampuan seseorang dalam mengetahui secara detail tentang pendapatan dan kebutuhan yang ada dalam hidupnya serta pengetahuan terhadap jenis, karakteristik dan keistimewaan komoditas yang ada. Selain itu, perilaku konsumsi seseorang juga dipengaruhi oleh lingkuangan sosial, budaya, politik dan ekonomi.

Konsep ekonomi Islam tidak memberikan kekuasan mutlak terhadap kecerdasan manusia dalam aktivitas konsumsinya. Karena selain diberikan kemampuan akal, manusia juga diberikan beberapa petunjuk dan kaidah serta jalan menuju kebaikan dan kebenaran. Dengan akal pikiran dan hidayah dari Allah, konsumen dapat lebih cerdas dalam menentukan pilihannya.

Allah telah menurunkan aturan-aturan yang dapat digunakan manusia sebagai pedoman dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Sepanjang konsumen dapat berpegang teguh terhadap aturan dan kaidah syari’ah dalam berkonsumsi, maka konsumen tersebut dikatakan mempunyai rasionalitas (kecerdasan). Konsep rasionalitas dalam ekonomi Islam berdasarkan atas nilai-nilai syari’ah dan berusaha untuk mengakomodasi kebutuhan material dan spiritual demi tegaknya sebuah kemaslahatan.

Menurut Marthon (2001), ada beberapa aturan yang dapat dijadikan sebagai pegangan untuk mewujudkan rasionalitas dalam berkonsumsi:

  1. Tidak boleh bermewah-mewahan

Tarf adalah sebuah sikap berlebihan dan bermewah-mewahan dalam menikmati keindahan dan kenikmatan dunia (Mu’jam Alfadz al-Qur’an Al-Karim, 1401 H). Islam sangat membeci tarf, karena merupakan perbuatan yang menyebabkan turunnya azab dan rusaknya sebuah kehidupan umat. Tarf juga merupakan sebuah prilaku konsumen yang jauh dari nilai-nilai syari’ah, bahkan merupakan indikator terhadap rusak dan goncangnya tatanan hidup masyarakat. Hal tersebut merupakan sunatullah dalam kehidupan dunia, apabila kemaksiatan dan kemungkaran telah merabak dalam kehidupan masyarakat, kerusakan dan kehancuran merupakan sebuah keniscayaan.

وَأَصْحَابُ الشِّمَالِ مَآأَصْحَابُ الشِّمَالِ {41} فِي سَمُومٍ وَحَمِيمٍ {42} وَظِلٍّ مِّن يَحْمُومٍ {43} لاَّبَارِدٍ وَلاَكَرِيمٍ {44} إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُتْرَفِينَ {45}

Artinya: ”Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan) angin yang amat panas dan ait panas yang mendidih, dan dalam naungan asap yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan. Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewah-mewahan.” (QS. Al-Waqi’ah: 41-45)

Rasullah SAW bersabda, (diriwayatkan oleh Abdurahman bin Ja’far): ”Sejelek-jeleknya umatku adalah orang yang dilahirkan dalam kenikmatan dan bermewah-mewahan, mempunyai makanan yang bermacam-macam, pakaian yang berbeda corak dan warna, kendaraan segala tipe, serta sombong dalam omongan dan perkataan.” (As-Suyuthi, jilid II)

Dampak negatif dari hidup bermewah-mewahan adalah adanya stagnansi peredaran sumber daya ekonomi serta terjadi distorsi dalam pendistribusiannya. Selain itu, dana investasi akan terkuras demi memenuhi kebutuhan konsumsi, hingga akhirnya terjadi kerusakan dalam setiap sendi perekonomian.

Qardhawi (2004) dalam bukunya Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, menjelaskan bahwa batasan Islam tentang pembelajaan ada dua kriteria, Pertama, batasan yang terkait dengan kriteria sesuatu yang dibelanjakan, cara dan sifatnya. Artinya batasan-batasan yang dirumuskan oleh Islam mengenai konsumsi yang terkait dengan cara dan macam tanpa melihat kepada kuantitas sesuatu yang dibelanjakan, yaitu pembelanjaan yang diharamkan Islam seperti: khamar, rokok, judi dan patung-patung yang telah diharamkan oleh Rasul SAW. Hal ini, dikarenakan setiap pembelanjaan dalam hal-hal yang diharamkan addalah suatu perbuatan yang berlebih-lebihan dan pemborosan yang dilarang Islam, meskipun hanya satu dirham dan meskipun seseorang itu memiliki harta yang berlimpah.

Kedua, batasan yang terkait kuantitas dan ukuran, yaitu membelanjakan harta yang diperlukannya dari yang tidak dapat ditanggung oleh pendapatannya. Sebagai contoh, seseorang yang pendapatannya tujuh membelanjakannya sepuluh, padahal yang ia belanjakan bukan sesuatu yang mendesak (bukan primer), artinya ia terpaksa meminjam padahal utang itu adalah keresahan di waktu malam dan kehinaan di waktu siang.

  1. Pelarangan Israf, Tabdzir dan Safih

Israf adalah melampaui batas hemat dan keseimbangan dalam berkonsumsi, israf merupakan perilaku di bawah tarf. Tabdzir adalah melakukan konsumsi secara berlebihan dan tidak proporsional. Syari’ah Islam melarang perbuatan tersebut, karena dapat menyebabkan distorsi dalam distribusi harta kekayaan yang seharusnya tetap terjaga demi kemaslahatan hidup masyarakat. Ulama fiqh mendefinisikan, safih adalah orang yang tidak cerdas (rusyd), dimana ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syariah dan senantiasa menuruti hawa nafsunya. Muhammad Al ‘Arabi menambahkan, safih harus ada pembatasan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan safih berada. Makna safih tidak bisa disimpelkan dengan orang yang tidak cerdas, sebab segala perbuatannya dapat menyebabkan kemudlaratan bagi pribadi dan masyarakat. Akan tetapi, pemahaman safih harus disesuaikan dengan perubahan zaman dan lingkungan safih. Seorang safih pada zaman dahulu kemungkinan bukan merupakan orang safih pada saat ini, dikarenakan adanya perubahan standar. (Ali A. Rasul, Daar al-Fikr).

Terhadap harta orang-orang safih, negara mempunyai hak terhadap penyitaan, apabila kondisi menuntut akan hal tersebut.

Allah berfirman:

وَلاَتُؤْتُوا السُّفَهَآءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا

Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berikanlah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS. An-Nisaa’: 5)

Beberapa penulis menganjurkan diadakannya larangan atas beberapa barang mewah tertentu atau membebaninya dengan pajak yang berat untuk menghalang-halangi konsumsinya, lebih-lebih bila kondisi ekonomi masyarakat tidak mengizinkan pengeluaran bagi sumber-sumber yang sudah langka untuk membuat barang itu. Baqir al Sadr menganjurkan agar  bahan-bahan tertentu tidak dialihkan ke dalam produksi barang-barang mewah, selama produksi barang-barang yang dibutuhkan umum belum tercapai jumlah memadai.

Konsumen harus menghindari diri dari sikap berlebihan, yang menjerumuskan sebagai pengeluaran yang tidak berguna di atas keperluan untuk memenuhi kebutuhan. Berlebihan adalah dalam pengertian di atas standar pemakaian rata-rata dalam suatu masyarakat, yakni suatu suatu pemikiran yang meninggalkan standar ini secara berlebih-lebihan harus tidak diperbolehkan.

  1. Keseimbangan dalam Berkonsumsi

Aturan dan kaidah berkonsumsi dalam sistem Ekonomi Islam menganut paham keseimbangan dalam berbagai aspek. Konsumsi yang dijalankan oleh seorang muslim tidak boleh mengorbankan kemaslahatan individu dan masyarakat. Selain itu, tidak diperbolehkannya mendikotomikan antara kenikmatan dunia dan akhirat. Bahkan sikap ekstrim pun harus dijauhkan dalam berkonsumsi. Larangan atas sikap tarf dan israf, bukan berarti mengajak seorang muslim untuk bersikap bakhil dan kikir. Akan tetapi mengajak kepada konsep keseimbangan, karena sebaik-baiknya perkara adalah tengah-tengahnya.

Allah berfirman:

وَلاَتَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَتَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا

Artinya: “Dan Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal .” (QS. Al-Israa’: 29)

وَالَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS.  Al-Furqan: 67)

Rasulullah bersabda: “Makanlah, minumlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah kalian, tanpa israf dan menimbulkan kerusakan.” (As Suyuthi, Jilid II) Dan Rasulullah bersabda : “Bersikap zuhud bukan berarti mengharamkan sesuatu yanghalal.” (As-Suyuthi, ibid)

Berdasarkan uraian ayat dan hadist di atas, seorang konsumen dituntut untuk berkonsumsi secara seimbang (I’tidal), dikarenakan hal tersebut berdampak positif bagi kehidupan individu dan masyarakat, baik dalam etika maupun dalam aspek sosial dan ekonomi. Dari aspek ekonomi dapat dipahami, bahwa proteksi (bakhil) dapat mendorong seseorang untuk mengurangi konsumsi yang sedang dilakukan, sedangkan sifat konsumtif (royal) dapat menyebabkan sumber-sumber ekonomi yang ada tidak optimal, bahkan dapat mematikan sektor investasi.

Mannan (1992) dalam bukunya Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, menjelaskan beberapa prinsip konsumsi dalam Islam, salah satunya prinsip kesederhanaan yang mengatur perilaku manusia mengenai makan dan minum adalah sikap yang tidak berlebihan yang berarti janganlah makan secara berlebihan.

يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Artinya: ”Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki) Masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)

Arti penting ayat ini adalah kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila isi perut diisi secara berlebihan tentu akan ada pengaruhnya pada pencernaan. Praktek memantangkan jenis makanan tertentu, dengan tegas tidak dibolehkan dalam Islam.

Kesederhanaan merupakan salah satu etika konsumsi yang penting dalam ekononi Islam. Sederhana dalam konsumsi mempunyai arti jalan tengah dalam berkonsumsi. Diantara dua cara hidup yang ”ekstrim” antara paham materialistis dan zuhud. Ajaran Al-Qur’an menegaskan bahwa dalam berkonsumsi manusia dianjurkan untuk tidak boros dan tidak kikir.

وَالَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)

Fungsi tujuan seorang konsumen muslim berbeda dengan konsumen non muslim. Seseorang konsumen muslim tidak hanya mencapai kepuasan dari konsumsi barang dan pengusahaan barang tahan lama. Perilaku konsumen muslim berpusat sekitar kepuasan yang dikehendaki oleh Tuhan seperti yang diungkapkan dalam Al-Qur’an. Jadi fungsi konsumsi seorang muslim bukan hanya sebagai fungsi jumlah barang yang dikonsumsinya saja melainkan juga terkandung di dalamnya fungsi sedekah yang mencakup infak dan zakat.

  1. Larangan Berkonsumsi atas Barang dan Jasa yang Membahayakan

Syari’ah Islam mengharamkan konsumsi atas barang dan jasa yang berdampak negatif terhadap kehidupan sosial dan ekonomi, yang di dalamnya sarat dengan kemudlaratan bagi individu dan masyarakat serta ekosistem masyarakat bumi. Konsumsi terhadap komoditas dan jasa yang dapat membahayakan kesehatan dan tatanan kehidupan sosial, sangat berdampak bagi kehidupan ekonomi. Seperti halnya narkoba, minuman keras, judi dan penyakit sosial lainnya dapat menimbulkan tindakan kriminal yang dapat meresahkan kehidupan masyarakat. Dengan begitu, alokasi dana dalam kegiatan ekonomi akan sedikit terkuras untuk menangani tindakan kriminal dan memulihkan stabilitas keamanan, sehingga kehidupan ekonomi tidak akan berjalan secara optimal.

Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءاَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسُُ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (arak), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90)

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,” (QS. Al-Maidah: 3)

Allah berfirman (larangan menuruti hawa nafsu):

أَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ

Artinya: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan Umunya dan Allah telah mengunci manpendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa ]samu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)

Komoditas dan jasa yang dikonsurnsi seseorang (muslim), harus diperbolehkan secara hukum (syar’i). Dalam artian, barang dan jasa tersebut masuk dalam kategori thayyibah (baik lagi bermanfaat). Selain itu, kebutuhan yang ada juga diperbolehkan secara hukum (syar’i). Komoditas yang diperbolehkan secara hukum (syar’i) manifestasi dari thayyibah dan rizki, seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Thayyibah adalah segala komoditas yang bersifat hasan (baik secara syar’i), bersih dan suci. Adapun rizki adalah segala pemberian dan nikmat Tuhan.

 

Fungsi Utilitas dan Maslahah

Teori Nilai Guna (Utility)

Teori ekonomi konvensional mengambarkan tingkat kepuasan seseorang terhadap suatu barang/jasa demi memuaskan keinginannya sebagai utilitas. Suatu aktivitas ekonomi untuk menghasilkan sesuatu didorong karena adanya kegunaan dalam sesuatu itu. Manakala sesuatu itu memiliki kegunaan bagi seseorang maka ia akan melakukan aktivitas untuk mengkonsumsi sesuatu itu. Utilitas juga menggambarkan nilai guna atas suatu barang. Jadi suatu barang/jasa memiliki satuan nilai yang dapat diukur dengan fungsi utilitas.

Fungsi utilitas digambarkan oleh kurva indefference. Fungsi utilitas juga menggambarkan adanya tingkat kepuasan mengkonsumsi sejumlah barang/jasa pada jumlah tertentu. Semakin banyak jumlah yang dikonsumsi, maka akan semakin besar pula tingkat kepuasan yang didapatnya. Namun hal ini tidaklah berlaku seterusnya. Dalam teori utilitas dikenal juga konsep penurunan utilitas marjinal (diminishing marginal utiliity) yang menjelaskan adanya penurunan kepuasan (utilitas) pada setiap tambahan yang diberikan. Hal ini juga berimplikasi akan adanya suatu kepuasan total yang maksimal terhadap konsumsi suatu barang/jasa. Selain teori-teori yang dijelaskan di atas ada beberapa lagi teori turunan yang menjelaskan tentang fungsi utilitas.

Dalam perkembangannya, teori tentang utilitas memicu timbulnya gerakan-gerakan pemikiran, seperti aliran utilitarianisme (utilitarianism) yang menghendaki adanya usaha dari pemerintah untuk memaksimalkan utilitas total dari setiap anggota masyarakatnya dengan jalan pendistribusian pendapatan dari kalangan kaya kepada masyarakat miskin. Selain itu ada juga aliran liberalisme dan libertarianisme yang tidak jauh berbeda pemikirannya dengan paham utilitarian, yang menghendandaki adanya usaha memaksimalkan utilitas total setiap anggota masyarakat.

Konsep Maslahah

Mashalahah dalam ilmu ushul fiqh memiliki beberapa pengertian, tetapi secara esensi kandungannya adalah sama. Imam al-Ghazali, mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah ”mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.”

Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemashlahatan harus senantiasa sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun hal itu bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Hal ini dikarenakan kemashlahatan manusia tidak selamanya sejalan dengan tujuan syara’ bahkan lebih didasarkan kepada hawa nafsu. Sama halnya dengan konsumsi yang dilakukan oleh manusia. Karena konsumsi merupakan dorongan hawa nafsu sudah dapat dipastikan bahwa keinginan manusia untuk konsumsi selalu didorong oleh keinginan hawa nafsu. Oleh sebab itulah yang dijadikan patokan dalam menentukan kemashlahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.

Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, lanjut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tersebut, maka baru dapat dikatakan maslahah.

Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemashlahatan itu dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

  1. Maslahah al-Dharuriyyah, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Artinya tanpa ini manusia tidak akan dapat hidup. Kemashlahatan seperti ini ada lima, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan dan (5) memelihara harta.
  2. Maslahah al-Hajiyyah, yaitu kemashlahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemashlahatan pokok. Artinya kemashlahatan ini mendukung tercapainya kemashlahatan pokok yang dalam penerapannya berbentuk keringanan untuk mempertahankan kebutuhan dasar manusia. Contohnya seperti berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik.
  3. Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemashlahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Tanpa terpenuhinya kemashlahatan ini manusia masih dapat melanjutkan hidupnya, tetapi kemashlahatan ini juga mendukung tercapainya kemashlahatan lainnya. Misalnya, dianjurkan memakan makanan yang bergizi dan berpakaian yang bagus.

Lebih jauh, Abduh Wahab Khallaf (1994) dalam buku Ilmu Ushul Fiqh mengatakan, ”yang terpenting dari tiga tujuan pokok ini adalah darury dan wajib dipelihara. Hajiyi boleh ditinggalkan apabila memeliharanya merusak hukum darury, dan tahsiny boleh ditinggalkan apabila dalam menjaganya merusak hukum darury dan tahsiny.

Utilitas versus Maslahah

Dari konsep mashlahat terlihat bahwa ada aturan-aturan yang baku, berupa aturan illahiyah yang hakekatnya menjaga kebaikan manusia juga. Namun hal ini tidaklah menjadikan manusia dalam rangka melakukan aktivitas konsumsi menjadi kaku dan terkungkung, bahkan sebaliknya, manusia akan senantiasa terjaga dan terpelihara dirinya dari sesuatu yang mengancam kelangsungan hidupnya. Karena ini hanyalah panduan umum yang menjadi acuan dalam penerapan perilaku konsumsi manusia. Lain halnya dengan konsep utilitas yang digagas oleh ekonom konvensional. Secara logika memang konsep utilitas sangatlah masuk akal dan manusiawi. Adanya hasrat atau keinginan yang dapat diukur oleh suatu satuan nilai, yang biasa disebut dengan nilai guna, menjadikan adanya ukuran yang jelas dalam mempelajari perilaku konsumen. Namun konsep ini tidak dipagari oleh nilai-nilai dasar kemanusiaan dan moralitas, sehingga dalam penerapannya sangatlah materealis dan mengesampingkan sesuatu yang tidak dapat diukur oleh materi, seperti pahala dan akhirat.

Dalam buku Ekonomi Mikro dalam Prespektif Islam, Muhammad (2004) mengutip tulisan Fahim Khan, ”Theory of Consumer Behavior in an Islamic Perspective”, tentang beberapa keunggulan konsep maslahah, yaitu:

  1. Maslahah adalah subyektif dalam arti bahwa individu akan menilai mana yang paling baik untuk dirinya atas barang/jasa yang maslahah bagi dirinya. Tetapi kriteria untuk menentukan maslahah adalah tidak meninggalkan faktor subyektif seperti dalam kasus utilitas. Kriteria subyektifitas maslahah adalah maqasid syari’ah, yang telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan kriteria subyektifitas utilitas sangatlah menuruti keinginan manusia itu sendiri.
  2. Maslahah individu akan terisi dengan maslahah sosial dan tidak seperti kepuasan individu yang seringkali akan menimbulkan konflik kepuasan sosial.
  3. Konsep maslahah ditekankan pada semua aktivitas ekonomi dalam suatu masyarakat. Jadi konsep maslahah ditekankan pada masalah konsumsi, produksi dan tukar-menukar, tidak seperti pada teori konvensional dimana kepuasan hanya berkaitan dengan masalah konsumsi dan keuntungan bersinggungan dengan masalah produksi. Demikian juga maslahah tetap berhubungan dengan tujuan aktivitas ekonomi, apakah itu dilakukan pada tingkat individu maupun tingkat negara?

Dalam hal ini tidak mungkin membandingkan kepuasan yang diperoleh orang A pada saat mengkonsumsi suatu makanan yang baik (katakanlah buah apel) dengan kepuasan yang didapat oleh orang B yang mengkonsumsi barang yang sama dalam waktu yang sama.

 

Kesimpulan

Dari sekian banyak pemaparan yang telah dijelaskan di atas, terlihat bahwa konsep utilitas memiliki porsinya tersendiri jika dibandingkan dengan konsep maslahah dalam ekonomi Islam. Konsep utilitas yang dipahami selama ini dijadikan tolak ukur dalam aktivitas konsumsi manusia, padahal kalau kita kaji lebih dalam lagi ada hal yang seharusnya lebih mendasari seseorang dalam aktivitas konsumsinya, yaitu lebih melihat kemaslahatan akan barang/jasa yang dikonsumsinya. Utilitas dalam ekonomi Islam hanyalah sebagai alat bantu yang dapat mengukur sesuatu dengan satuan nilai tertentu sehingga menjadikan adanya standar bagi konsumsi manusia, namun hal itu bukan tujuan dari konsumsi itu sendiri.

Utilitas dalam ekonomi Islam tidak semata-mata terbatas pada materi yang sifatnya keduniawian semata, tetapi juga harus melihat faktor-faktor yang bersifat keakhiratan (ukhrowi). Sehingga prinsip dan tujuan konsumsi yang digariskan oleh Islam tidaklah sempit kepada hal-hal yang bersifat kebendaan dan untuk kepentingan pribadi semata namun juga kepada kepentingan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dianjurkannya sedekah sebagai suatu sarana untuk pemerataan konsumsi menjadi suatu keharusan. Tidak berlebih-lebihan dalam mengkonsumsikan suatu barang/jasa serta tidak mengkonsumsi barang/jasa yang dilarang syari’ah sangat diperhatikan selain guna menjaga kemaslahatan individu, masyarakat dan lingkungan. Selain itu, dianjurkan pula untuk selalu bersikap sederhana dalam hidup, karena itu merupakan salah satu ciri dari umat Islam sebagai ummatan washatan (umat menengah). Wallahu’alam…

 

Daftar Pustaka

Al Qur’an dan Terjemahannya: Departemen Agama RI, 2000, Diponegoro, Bandung.

Abdul Wahhab Khallaf, 1994, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa M.Zuhri dan Ahmad Qarib, Dina Utama Semarang (Toha Putera Group), Semarang.

Chapra, Umer, 2001, The Future of Economics: An Islamic Perspective, edisi terjemahan, SEBI, Jakarta.

Haroen, Nasrun, 2001, Ushul Fiqh 1, PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta.

Husain, Abdullah Abdul at-Tariqi, 2004, Ekonomi Islam; Prinsip, Dasar dan Tujuan, Magistra Insani Press, Yogyakarta.

Mankiw, N. Gregory, 2000, Pengatar Ekonomi Jilid II, Erlangga, Jakarta.

Mannan, Muhammad Abdul, 1992, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, Intermasa, Jakarta.

Marthon, Said Sa’ad, 2001, Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Zikrul Hakim, Jakarta.

Metwally, M.M., 1995, Teori dan Model Ekonomi Islam, PT Bangkit Daya Insani, Jakarta.

Muhammad, 2004, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, BPFE, Yogyakarta.

Qardhawi, Yusuf, 2004, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Robbani Press, Jakarta.

Siddiqi, M. Nejatullah, 1986, Pemikiran Ekonomi Islam; Suatu Penelitian Kepustakaan Masa Kini, LIPPM, Jakarta.