Sudah siapkah SDM kita menerapkan e-Business?

Strategi Penyiapan SDM
Pengembangan SDM merupakan salah satu kunci strategis yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Untuk mempercepat pengembangan SDM di bidang TIK perlu ada sebuah proses learning based education dimana SDM langsung terlibat secara aktif dalam proses pengembangan dan implementasi TIK. Akan tetapi hal ini sangat tergantung dari sumber pendanaan yang akan diberikan pemerintah untuk pendayagunaan TIK. Selama belum ada pendanaan yang sifatnya terpadu untuk TIK, maka Kota/Kabuptan hanya dapat mengandalkan sukarelawan yang mau berkecimpung di dalam TIK yang pada saat ini terdapat di Bagian Pengolahan Data dan Elektronik di pemerintahan daerah baik di kota maupun di pedesaan. Konsekuensi yang harus diambil dengan kondisi ini adalah setiap daerah harus menyiapkan sendiri operator dan SDM untuk mengoperasikan jaringan komputernya.

Pada saatnya keadaan masyarakat Indonesia sudah sampai pada tahap menganggap e-Business itu sebagai hal yang biasa dan lumrah. Maka untuk mencapai hal tersebut harus dilakukan melalui tahapan-tahapan yang terencana. Di samping itu perlu dikaitkan dengan definisi e-Business itu sendiri. Pada dasarnya dilihat dari kosa katanya e-Business terdiri dari 2 kata, yaitu electronic dan business. Electronic merujuk pada sarananya yaitu penggunaan infrastruktur digital, sedangkan business sendiri merujuk pada aktivitas yang melibatkan pada berbagai pihak. Mulai dari pihak produsen, kemudian institusi, point of sale, sampai pada konsumennya. Komponen yang mengikat konsumen dan produsen dalam aktivitas ini adalah barang/produk, informasi, dan keuangan. Untuk itu ada 3 (tiga) komponen yang terkait dengan e-Business yang masuk dalam kerangka informasi atau infrastruktur informasi yaitu: 1) alur produk jasa overing; 2) alur informasi; dan 3) alur uang. Dan aktivitas terjadi di atas tulang punggung infrastruktur digital. Jika dilihat dari kondisi tersebut maka kesiapan SDM dapat diartikan bagaimana masyarakat dapat menggangap bahwa ketiga alur tadi sebagai hal biasa atau lumrah dan sudah menjadi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak lagi menganggap sebagai teknologi.

Kenyataan pada saat ini e-Business di Indonesia dapat digambarkan masih sebagai topi, artinya dari sisi tingkat kedewasaan (maturity), kepedulian (awareness), dan penggunaan masih beragam. Langkah yang wajar dan masuk akal adalah tidak menggunakan langkah yang liniear. Artinya tidak menyiapkan kesiapan orang dengan suatu kerangka pikir dari tidak mengetahui dan perduli (aware) kemudian dari aware menjadi menggunakan dan selanjutnya menjadi kebiasaan yang pada akhirnya menjadi bagian dari gaya hidup (life style). Penyiapan SDM ini tidak demikian, karena kenyataan di lapangan, kondisi di Indonesia mensyaratkan untuk melihat daerah secara berbeda dan melihat transaksi e-Business secara berbeda-beda pula, karena pendekatan e-Business sifatnya tidak monolitik atau tidak tunggal tetapi sifatnya tersebar. Jadi tantangan dalam penyiapan SDM adalah untuk pemahaman terlebih dahulu terhadap peta dari kondisi e-Business.

Identifikasi Stakeholder
Terdapat beberapa stakeholder atau pemangku kepentingan utama yaitu yang bertindak sebagai regulator. Disini harus dilihat bagaimana peran regulator untuk menjadi siap dalam e-Business. Stakeholder yang kedua adalah pelaku bisnis itu sendiri. Disini harus dilihat bagaimana pelaku bisnis ini siap untuk menjalankan e-Business. Stakeholder yang ketiga adalah masyarakat atau komunitas. Juga harus dilihat kesiapan masyarakat dalam menjalankan e-Business. Namun pada stakeholder yang ketiga ini perlu dipetakan lagi mengingat masing-masing komponen masyarakat memiliki perannya sendiri yang lebih khusus.

Pemerintah tidak hanya berperan sebagai regulator namun juga berperan sebagai inisiator, koordinator, dan fasilitator, sehingga bagaimana mendidik dan menyiapkan SDM untuk inisiator, reguator, dan fasilitator. Kesiapan SDM dari sisi ini dapat dilihat dari bagaimana di dalam pemerintah ada kelompok yang selalu siap sebagai inisiator dan fasilitator pekerjaan-pekerjaan e-Business, dan bagaimana pemerintah menyiapkan kelompok yang akan menjadi koordinator. Dalam hal ini perlu ada kebijakan khusus tentang peningkatan SDM disisi pemerintah, berdasarkan empat peran tersebut.

Dari pelaku bisnis, diperlukan kepastian, baik kepastian produk barang atau jasa, kepastian perlindungan terhadap kepentingan bisnisnya baik dari transaksi dan delivery produknya. Dalam hal ini yang paling penting adalah mengenai transaksi elektroniknya, yaitu bagaimana mempersiapkan transaksi ini dapat berlangsung. Kuncinya ada pada kepercayaan. Diperlukan SDM yang memang bekerja untuk membangun dan mengembangkan kepercayaan.

Kepercayaan di dalam e-Business itu adalah suatu masalah yang tidak mudah dengan bisnis biasa. Diketahui bahwa di dalam bisnis biasa berlaku kaidah pasar dan istilah ”Buyer Beware” atau “teliti sebelum membeli”. Teliti sebelum membeli menunjukkan bahwa ada faktor-faktor yang harus disepakati dulu. Dalam sistem bisnis internasional sudah ada mekanisme trust yakni mekanisme menggunakan kartu kredit. Kartu kredit ini dapat dipakai sebagai indikator trust. Dimana kalau orang bepergian kemana-mana di seluruh dunia, maka kartu kredit dapat digunakan untuk melakukan transaksi. Kartu kredit ini menunjukkan worthiness apakah seseorang itu layak untuk memperoleh hutang atau tidak. Jadi dalam kartu kredit tersebut sudah berlaku garansi dengan sebuah institusi yang sangat besar. Kartu kredit ini memberikan arti bahwa kalau seseorang memegang kartu kredit maka dengan sendirinya layak hutang. Dan data di kartu kredit tersebut sangat sederhana, ada Nama, kemudian ada Bank yang mengeluarkan kartu kredit tersebut, kemudian ada tanggal berlaku dan terakhir adalah kredit limit. Disini ada pola pikir yang terbentuk yaitu mengenai kepercayaan yang perlu dibangun dan disiapkan. Untuk keperluan tersebut perlu dilihat kesiapan SDM secara berkesinambungan melakukan agar kredit worthiness Indonesia terlindungi.

Pada kenyataannya kartu kredit Indonesia belum berlaku secara keseluruhan untuk melakukan transaksi e-Business, kalaupun berlaku masih terbatas. Dan ini menjadi masalah yang sangat riil didepan mata bahwa ini kembali pada penyiapan SDM yaitu orang-orang yang dapat melakukan pendekatan bisnis untuk mengembangkan trust ini. Orang-orang ini akan menjadi garantor atau assurance dan hal ini adalah yang paling pokok dibanding yang lain-lain. Ada perbedaan pokok bisnis tradisional dan bisnis elektronik. Bisnis elektronik tidak lagi mengenal batas-batas geografis atau batas-batas negara. Karena itu salah satu strategi dalam e-Business adalah menyiapkan orang-orang yang dapat membuat Indonesia menjadi salah satu respect countries. Dari sisi pelaku bisnis yang lain adalah penyiapan SDM yang siap menjalankan e-Business Supply Chain. Yang dimaksud dengan e-Business Supply Chain adalah seluruh mata rantai nilai, bagaimana produk atau jasa itu berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan bagaimana ini dapat diikuti dari kerangka e-Business.

Kemudian SDM lain yang perlu dipersiapkan adalah komunitas-komunitas e-Business dalam pengertian sebagai konsumennya. Hal berkaitan sekali dengan kegiatan SDM yang dapat membantu menyiapkan perilaku. Pengertian menyiapkan perilaku adalah menyiapkan sosial ekosistem untuk e-Business secara intensif. Karena sebetulnya kalau bicara e-Business, apa yang dilakukan adalah membuat rekayasa sosial, dimana life style atau gaya hidup itu diubah, dengan memanfaatkan kantung-kantung atau hot spot yang cocok untuk persiapan life style ini. Life style e-Business ini akan mudah dilakukan untuk tempat-tempat yang memang bisnis intensif. Karena itu perlu kesiapan SDM untuk mengetahui konservasi gaya hidup dari business to business, business to consumer, dan consumer to consumer.

Pada prinsipnya penyiapan SDM dilakukan dengan dua kelompok aktivitas, yaitu bersifat reaktif dan proaktif. Reaktif artinya e-Business sudah terjadi kemudian masyarakatnya baru disiapkan. Proaktif artinya sambil e-Business disiapkan masyarakatnya juga disiapkan. Hal tersebut tentu berkaitan dengan masalah usaha dan biaya. Pendekatan reaktif memerlukan platform teknologi dan offering-nya dilakukan terlebih dahulu baru kemudian masyarakat didisain untuk itu.

Sumber gambar: Google
Daftar Pustaka
Laudon, Kenneth dan Carol Traver. 2002. E-Commerce: Business, Technology, Sosiety. Prentice Hall
Groff, Todd R. dan Jones, Thomas P. 2003. Introduction to Knowledge Management: KM in Business. Butterworth-Heinemann
Depkominfo. 2003. Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government (Inpres no. 3 Tahun 2003). Depkominfo
Drucker, Peter Ferdinand, dkk. 1998. Harvard Business Review on Knowledge Management. Harvard Business School Press
Weill, Peter dan Michael R. Vitale. 2001. The E-Business Revolution. Harvard Business School Press
Dessler, Gary. 1997. Human Resource Management. Prentice Hall Inc., USA.