Terjebak dalam “Kotak Sampah”

image_print

Tulisan ini terinspirasi dari pengalaman yang pernah saya alami saat menggunakan salah satu media sosial yang saya pakai. Analoginya begini, ada seseorang yang membuang sampah di halaman rumah saya. Saya pun keberatan, dan meminta yang bersangkutkan untuk mengambil kembali sampahnya, sambil mengingatkan bahwa buang sampah di halaman orang lain itu tidak benar etikanya. Alih-alih mengambil sampahnya, orang tersebut malah menuduh saya tidak suka dengan isi sampah tersebut. Sekali lagi saya sampaikan, bahwa saya tidak peduli dengan isi bungkusan sampah tersebut, tapi tindakannya membuang sampah di rumah orang lain itu bukan tindakan yang baik. Orang tersebut menjadi kalap, dan menimbuni rumah saya dengan sampah-sampah yang lain. Dan ternyata dia adalah orang yang memang suka membawa-bawa sampah kemana-mana.

Pada titik ini saya ingat satu hal yang pernah dipelajari pada mata kuliah Jaringan Komputer, yaitu Protokol. Protokol adalah seperangkat aturan yang disepakati oleh semua pengguna jaringan, sehingga apapun jenis perangkat seluler yang digunakan semua masih tetap dapat komunikasi. Nah, dalam contoh di atas, saya dan dan tetangga tersebut sudah dalam protokol yang berbeda. Bagi saya etika itu penting, buat dia don’t care. Protokol yang berbeda, ditambah dengan “agenda pribadi” seringkali bikin jaka sembung naik gojek, gak nyambung jek :D. Akhirnya saya memutuskan untuk menyudahi komunikasi itu, karena hanya akan membuang waktu.

Sedikit kembali ke sejarah munculnya media sosial. Pada awalnya orang menggunakan website untuk menyebar luaskan informasi. Akan tetapi informasi melalui web hanya akan dapat dibaca kalau orang tersebut membuka website tersebut (disebut dengan Pull Technology). Sedangkan teknologi Web 2.0 yang diadopsi oleh media sosial, memungkinkan informasi muncul di timeline media sosial kita tanpa kita minta (dikenal dengan istilah Push Technology). Apakah semua informasi yang muncul itu sesuai dengan yang kita butuhkan? Belum tentu, atau kadang malah informasi yang tidak kita sukai juga. Lama-lama laman media sosial kita seperti “timbunan sampah”. Dan informasi yang justru mungkin berguna buat kita tertutup oleh sampah tersebut.

Berita baiknya adalah, beberapa media sosial akhirnya melengkapi dengan fitur yang membantu kita untuk memilih informasi apa saja yang akan muncul di timeline kita. Misal Hide Post dan Unfollow, yang walau mungkin tidak dapat mengurangi semuanya, tapi setidaknya informasi yang masuk ke timeline kita bisa lebih terseleksi.

Apa kejadian ini hanya menimpa media sosial saja? Tidak! Saat ini ada yang lebih parah, yaitu Group Whatapp (WA). Terkadang group hampir mirip tempat sampah, semua informasi yang diterima, dengan mudah disebarkan, tanpa melihat apakah informasi tersebut diperlukan oleh anggota group, atau bahkan hoax sekalipun. Apalagi dengan embel-embel kalimat “siapa tahu ada yang memerlukan” atau “silakan untuk dicek kembali”, seolah-olah si pengirim pesan sudah merasa bebas dari kewajiban untuk melakukan verifikasi kebenaran informasi tersebut. Dan maaf, group-group yang anggotanya bahkan orang-orang terdidik atau mempunyai latar belakang IT pun tidak luput dari fenomena seperti ini. Dan yang lebih parah, kadang kita “terjebak” dalam group-group tersebut, karena untuk keluar dari group tersebut rasanya tidak mungkin atau tidak enak. Bisa jadi itu group kolega kerja, keluarga, atau alasannya lainnya. Itulah kenapa saya ambil judul “terjebak dalam kotak sampah”.

Mungkin saya sedikit mengingatkan, bahwa Netiquett (etika dalam berinternet) itu menyatakan bahwa etika yang berlaku di dunia nyata itu juga berlaku di dunia maya. Hanya karena tidak bertemu secara fisik, bukan berarti orang bisa semena-mena bertindak di dunia maya. Sopan santun, norma, dan kaidah lainnya pun berlaku. Komunikasi yang sifatnya kasual di dunia maya pun, tetap harus mengikuti tata krama yang baik. Apalagi, apapun yang diposting di laman media sosial kita atau informasi yang kita teruskan di group, tentunya mencerminkan karakter orangnya. Tentunya kita tidak mau kan, disebut sebagai penyebar “sampah” :D.

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menggunakan media sosial ini dengan cerdas. Jadi kalau sekarang semua orang sudah gampang menggunakan smartphone, ya jangan hanya phone-nya aja yang “smart”, pemilik atau penggunanya pun harus “smart”, bukan begitu? 😀 Mungkin hal-hal yang sudah sering kita dengar ini bisa kita praktekkan, sebelum meneruskan informasi baik di laman media sosial maupun group:

1. Cek relevansi informasi dengan group yang kita ikuti. Apakah group yang kita ikuti sifatnya homogen atau anggotanya heterogen. Misal mengirim pesan yang disertai dengan ayat-ayat Al Quran yang panjang, mungkin kurang pas kalau dikirim ke group yang anggotanya heterogen. Sedangkan quote atau pesan-pesan yang sifatnya universal lebih cocok untuk diteruskan. Kalau group komunitas jalan-jalan, ya tidak perlu diteruskan informasi politik, walapun informasi tersebut yang sedang hits saat ini.
2. Posting foto yang relevan dengan nama group, seperti acara-acara yang melibatkan anggota di group tersebut. Tahanlah diri untuk tidak memasang foto-foto pribadi di group, kecuali memang ada informasi tambahan yang dirasa tepat untuk group. Foto pribadi sebaiknya dipasang di laman pribadi. Terkadang ada orang dengan tingkat keeksisan terlalu tinggi yang dengan pedenya menyebar foto-foto pribadi di group, dan ternyata orang seperti ini banyak ya hihihihi…
3. Telusuri kebenaran informasi sebelum diteruskan. Apapun itu alasanya, hoax adalah sebagian dari fitnah. Tentunya kita gak mau kan menjadi penyebar fitnah. Fitnah itu bisa lebih kejam dari fitnes loh hahhahhaa…. Istilahnya adalah Tabayyun. Cek sumber berita, banyak situs di internet yang dapat kita pakai untuk mengecek kebenaran informasi, bisa juga pakai Google. Tahan dulu jempol kita, jangan terburu-buru untuk Like atau Share.
4. Setelah melewati tahap Tabayyun, sekali lagi tahan…., pikir dulu deh, walaupun toh berita itu benar, kira-kira bermanfaat gak sih, kira-kira akan bikin ribut gak sih, atau mungkin ada yang gak suka. Barangkali setelah kita timbang-timbang toh manfaatnya tidak banyak, mungkin bisa dipertimbangkan untuk tidak dilanjutnya.

Oh well…, kalau di Fisika kita kenal istilah kecepatan cahaya itu bisa lebih cepat dari kecepatan suara, tapi sekarang semuanya lewat, karena dibalap dengan kecepatan jempol hahhaha… Moga-moga tulisan Budos kali ini bisa sedikit menambah wawasan untuk berinternet dengan lebih cerdas. Cuma kalau sudah dipraktekkan tapi masih banyak sampah bertebaran, ya sudahlah, mungkin pilihan Unfriend atau Left sudah saatnya diperlukan :D. Selamat beraktivitas…., jangan lupa piknik :D.

Sumber gambar Google

About Mardiana Sukardi
I have several middle names, including: shopping and travelling 😀

Mardiana Sukardi

I have several middle names, including: shopping and travelling :D

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *