Konsekuensi-Konsekuensi Negatif dari Modernisme dan Peralihan ke Posmodernisme: Bagian II

Modernisme dipahami sebagai suatu paham yang meyakini adanya kemajuan yang bersifat linier dan kebenaran yang absolut dan perencanaan yang rasional atas tatanan-tatanan sosial yang ideal, serta standarisasi pengetahuan dan produksi. Kemajuan ilmu pengetahuan  di masa lalu, terutama di dalam ilmu-ilmu alam atau sains tidak dapat dilepaskan dari pengaruh paham ini. Pada gilirannya, banyak kemajuan yang dihasilkan di dalam kehidupan di abad dua puluh.

Akan tetapi, modernisme mewariskan konsekuensi-konsekuensi  negatif juga. Konsekuensi-konsekuensi ini perlu disadari dan dikritisi agar masyarakat lebih siap menjalani kehidupan yang sejahtera di abad dua puluh satu.

Perubahan pola pikir mendasar tentang realitas kehidupan sosial pada akhirnya perlu dikembangkan agar mampu mengatasi keterbatasan-keterbatasan modernisme, bahkan mampu melampaui atau menemukan model baru yang lebih tepat untuk masyarakat masa kini dan masa depan. Ada kalangan yang menganjurkan alternatif pemahaman berupa posmodernisme.

I. Bambang Sugiharto (1996) di dalam bukunya, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat mencatat enam bentuk konsekuensi buruk dari modernisme. Konsekuensi-konsekuensi tersebut telah dikemukakan pada Bagian I ketika dibahas konsekuensi yang pertama.

Pada Bagian II ini akan dibahas tentang konsekuensi buruk kedua. Dikemukakan bahwasannya pandangan modernisme yang bersifat obyektivistik dan positivistik pada akhirnya menjadikan manusia dan masyarakat sebagai obyek dan dapat direkayasa layaknya mesin (Sugiharto, 1996).

Tulisan ini mendiskusikan pandangan kedua dengan penjelasan-penjelasan yang mendukung adanya kenyataan-kenyataan yang ada di dalam kehidupan masyarakat dan bisnis dewasa ini. Perhatian akan diarahkan pada dua bidang, yaitu dunia ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial di dalam masyarakat maupun di dalam perusahaan sebagai sistem sosial. Dikemukakan juga pemikiran kritis-kreatif-konstruktif terhadap hal-hal negatif tersebut dan adanya pengembangan kapabilitas kolektif yang menunjukkan perubahan mendasar. Dengan begitu dapat ditunjukkan peralihan yang cerdas dari modernisme ke posmodernisme.

Paradigma positivisme yang berakar pada ilmu-ilmu alam menghasilkan kemajuan sains yang luar biasa pada abad dua puluh. Kemajuan ilmu pengetahuan (sains) membawa banyak kemajuan di berbagai bidang ilmu.

Ilmu-ilmu sosial pun mengadopsi pendekatan ilmu-ilmu alam. Dalam ranah ini, sofistikasi ilmu-ilmu sosial ditunjukkan melalui kemampuan untuk menemukan kebenaran obyektif yang bersifat tunggal, stabil atau tahan uji sepanjang waktu, serta berlaku universal. Prosedur-prosedur statistik atau kuantifikasi yang ketat dijalankan. Ekonometrika berkembang di bidang ilmu ekonomi hingga pada tingkat yang menunjukkan persimpangan yang memisahkan ilmu ekonomi dari ilmu sosial. Psikometri menjadi andalan keilmiahan di bidang psikologi dan sosiometri di dalam kajian-kajian sosiologi. Di bidang manajemen, berkembang scientific management. Semuanya ini tentu saja membawa perkembangan penting bagi ilmu-ilmu sosial.

Tokoh-tokoh penting terdiri dari Aristoteles (penalaran deductif); Descartes (realisme); Galileo (metode saintifik); Auguste Comte (positivisme); Vienna Circle (positivisme logis); Francis Bacon (penalaran induktif); Karl Popper (postpositivist) (Mack, 2010:6).

Menurut Snape & Spencer (dalam Richie & Lewis, 2003:16) pandangan-pandangan positivisme mencakup hal-hal berikut. Pertama, dunia pada dasarnya tidak tergantung pada dan juga tidak dipengaruhi oleh peneliti. Kedua, fakta-fakta dan nilai-nilai merupakan dua hal yang terpisah, sehingga memungkinkan untuk dilakukan penelitian yang obyektif dan bebas-nilai. Ketiga, observasi merupakan wasit terakhir ketika terjadi perselisihan. Keempat, metode-metode ilmu alam (misalnya, pengujian hipotesis, penjelasan eksplanatif dan pemodelan) tepat untuk fenomena sosial karena perilaku manusia tunduk pada hukum-hukum keteraturan tertentu.

Pandangan-pandangan tadi ditopang oleh asumsi ontologis dan asumsi epistemologis dari positivisme. Dalam hal ontologi, positivisme menganut paham realisme, sedangkan di dalam hal epistemologi, positivisme meyakini   objektivisme (Scotland, 2012). Paradigma saintifik yang disebut Comte sebagai positivisme ini menunjukkan suatu pendirian bahwa realitas pada dasarnya bersifat apa adanya dan tidak dimediasi oleh pancaindera kita. Observasi tepat untuk dilakukan agar dapat dketahui makna yang terkandung di dalam realitas.  Pengetahuan yang dapat ditemukan (discoverable knowledge)  bersifat universal, yakni bersifat mutlak, bebas nilai, dan stabil sepanjang waktu.

Konsekuensi dari pendirian positivisme mendorong adanya penyelidikan-penyelidikan ilmiah untuk menyingkap hukum-hukum universal pada alam dan manusia dengan cara menempatkan keduanya sebagai obyek yang harus tunduk pada perlakuan-perlakuan yang diberikan. Demi obyektivitas, peneliti harus bertindak sebagai orang luar dan tidak melibatkan diri dengan pengalaman orang-orang yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian yang diklaim obyektif dilakukanlah rekayasa sosial menuju kondisi yang diprediksi dapat terjadi berdasarkan kajian ilmiah.

Keyakinan akan adanya satu-satunya kebenaran tunggal yang bersifat mutlak sudah disadari hanya akan menimbulkan hasil akhir berupa dominasi-marjinalisasi pihak yang satu terhadap pihak yang lain.  Konflik-konflik besar sampai dengan peperangan tidak dapat dilepaskan dari cara pandang tentang kebenaran monolitik. Konflik-konflik yang berakhir dengan penghancuran yang satu terhadap yang lain tidak jarang dapat dibuktikan adanya cara pandang yag meyakini adanya kebenaran final yang hanya dimiliki oleh pihak tertentu. Hal ini ada kalanya terjadi juga di dalam perusahaan. Masing-masing pihak berpandangan sebagai pemegang kebenaran sendiri sedangkan pihak lainnya salah sama sekali.

Penerapan model-model pembangunan negara-negara maju ke negara-negara berkembang begitu saja pernah dilakukan berdasarkan konsepsi postivisme. Kenyataannya, negara-negara sedang berkembang gagal memasuki tahapan tinggal landas berdasarkan program-program yang dikembangkan berdasarkan pengalaman-pengalam negara-negara maju telah gagal total.

Pada level perusahaan, pengelolaan dan tata kelola bisnis memang banyak mengambil inspirasi dari praktek-praktek bisnis dari negara-negara lain, tetapi tidak ada jaminan keberhasilan tanpa adanya adaptasi lokal. Bahkan, perusahaan-perusahaan yang berada di dalam industri yang sama dituntut untuk menemukan kunci suksesnya masing-masing. Artinya, modernisme dengan paradigma positivismenya semakin surut penarapannya.

Peralihan dari positivisme sudah sepantasnya terjadi karena ada keyakinan yang lebi hunggul, yakni bahwasannya kenyataan-kenyataan sosial senantiasa unik dan kontekstual. Semua fenomena sosial maupun fenomena alam yang bersifat sosial selalu memiliki makna yang ditentukan oleh orang-orang yang ada di dalam masyarakat atau komunitas.  Oleh karena itu, pengetahuan tentang masyarakat atau komunitas sesungguhnya merupakan suatu pencaharian melibatkan suatu  sebuah analisis tentang realitas sebagai konstruksi sosial (Berger & Luckmann, 1991).

Paradigma interpretivisme dan paradigma kritikal menawarkan cara pandang baru tentang alam dan realita sosial. Kedua paradigma ini  memiliki asumsi-asumsi ontologis dan epistemologis yang yang bertentangan dengan asumsi-asumsi positivisme.

Dari sisi ontologi, interpretivisme memiliki keyakinan-keyakinan sebagai berikut. Pertama, realitas dikonstruksi secara tidak langsung melalui interpretasi individual dan pada dasarnya bersifat subyektif.  Kedua, masyarakat memiliki maknanya sendiri mengenai realitas. Ketiga, peristiwa-peristiwa bersifat distingtif dan tidak dapat digeneralisasi. Keempat, terdapat sudut pandang yang jamak mengenao setiap persitiwa. Terakhir, hubungan-hubungan di dalam ilmu sosial ditentukan berdasarkan makna dan simbol yang mengandung makna tertentu (Mack, 2010).

Asumsi-asumsi epistemologis yang dikemukan oleh paradigma interpretivisme menantang asumsi-asumsi positivisme juga. Menurut paham ini, pengetahuan mestinya diperoleh melalui sebuah strategi yang menghargai perbedaan-perbedaan  di antara orang-orang dan juga di antara obyek-obyek alam. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar ditemukan makna subyektif yang ada pada mereka yang terlibat di dalam peristiwa tertentu.  Pengetahuan dikembangkan secara induktif untuk menemukan teori, dibangn berdasarkan situasi yang spesifik, bukan berdasarkan reduksi yang simplistik. Pengetahuan semacam ini diperoleh berdasarkan pengalam personal. (Mack, 2010).

Paham interpretivisme semakin berkembang berkat kontribusi beberapa tokoh penting. Beberapa di antaranya (Mack, 2010) adalah   Edmund Husserl, Arthur Schultz (fenomenologi); Wilhelm Dilthey, Han-Georg Gadamer (hermenetik); Herbert Blumer (symbolic interaction); serta Harold Garfinkel (etnometodologi).

Lebih jauh dari itu, paradigma kritis–termasuk di dalamnya, posmodernisme–memandang penting dilakukannya penerapan cara pikir dan perilaku yang  emansipatif dan egalitarian. Pengetahuan senantiasa perlu ditinjau secara kritis karena senantia bersifat politis, diskursif, dan melibatkan kekuasan. Pengakuan atas kebenaran yang jamak dan melibatkan kepentingan-kepentingan yang dapat bertentangan mendorong upaya bersama untuk menemukan posisi yang lebih tinggi yang mampu membingkai semua kebenaran laksana prisma. Ada kalanya diperlukan dekonstruksi kreatif atas metanarasi sehingga kebenaran-kebenaran dapat muncul ke permukaan dan ditemukan pemahaman yang lebih holistik.

Pemikiran-pemikiran kritis disumbangkan oleh banyak tokoh. Di antaranya (Mack 2010) adalah Theodor Adorno, Max Horkheimer, Herbert Marcuse, Erich Fromm (Frankfurt School dan Teori-teori kritis 1930-an); Karl Appel dan Jurgen Habermas (Teori-teori kritis 1970-an); Paulo Freire (critical pedagogy); Michel Foucault (strukturalisme);
Norman Fairclough (critical discourse analysis); Eve Kosofsky Sedgwick, Judith Butler (queer theory); Simone de Beauvoir, Betty Friedan (feminisme); Thomas Kuhn, Jacques Derrida (posmodernisme).

Pembahasan ini dapat diakhiri dengan suatu kesimpulan bahwa  modernisme dengan warisannya berupa saintisme telah menghasilkan suatu dunia yang tidak sehat. Dialog paradigma menjadi suatu kebutuhan agar  berbagai perspektif dapat menyumbangkan pemahaman secara optimal di dalam membangun dan memajukan dunia. Upaya-upaya untuk membaca ulang kebenaran secara kritis sebagaimana ditawarkan oleh paham intrepretivisme dan teori-teori kritikal memberikan harapan akan berkembangnya peradaban yang semakin manusiawi di dalam arti semakin menghargai kemanusiaan di dalam keberagaman (kebenaran).  E pluribus unum!

 

Referensi:

Berger, Peter L. & Luckmann, Thomas (1991). The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. New York: Penguin Books.

Mack, Lindsay (2010). “The Philosophical Underpinnings of Educational Research.” Polyglossia Volume 19, October 2010, pp. 6-11.

Scotland, James (2012). “Exploring the Philosophical Underpinnings of Research: Relating Ontology and Epistemology to the Methodology and Methods of the Scientific, Interpretive, and Critical Research Paradigms.”  English Language Teaching; Vol. 5, No. 9; 2012, pp. 9-16.

Snape, Dawn & Spencer, Liz (2003) “The Foundations of Qualitative Research.” Dalam Richie, Jane & Lewis Jane       (eds., 2003), Qualitative Research Practice: A Guide for Social Science Students and Researchers. London: SAGE Publications, pp. 1-23.

Sugiharto, I. Bambang (1996). Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat.

 




Edhi Juwono – Aset = Keberhasilan?

Dulu kebanyakan orang melihat keberhasilah sebuah organisasi atau individu di dasarkan pada aset yang dimiliki olehnya. Namun, artikel yang ditulis oleh Prof. Rhenald Kasali berikut ini mungkin dapat mengubah pandangan tersebut.

Coba Simak artikelnya tersebut                                                                                                                                   di sini: http://www.rumahperubahan.co.id/blog/2016/12/01/memanfaatkan-bukan-memiliki/ 




PAJAK DALAM ISLAM

A.   Pendahuluan

Secara konseptual jenis penerimaan pemerintah maupun alokasi belanja pemerintah dalam ekonomi konvensional maupun ekonomi Islam hampir sama.  Namun demikian, tujuan-tujuan yang dicapainya agak sedikit berbeda, mengingat prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah pengelolaan anggaran dalam Islam selalu ditujukan untuk mencapai maqashid syari’ah, sehingga segala sesuatunya harus berdasarkan pada perintah Al Qur’an dan Sunah nabi.  Sedangkan dalam ekonomi konvensional kebijakan anggaran hanya sebagai komplemen kebijakan moneter untuk pencapaian tujuan ekonomi makro.

Dalam anggaran pemerintahan suatu negara, sumber-bumber penerimaannya diperoleh dari berbagai sumber, dimana salah satunya adalah pajak. Begitu pula dalam pemerintahan Islam. Pajak menjadi salah satu komponen yang pada masa kenabian dijadikan sumber penerimaan negara. Penerimaan yang diperoleh dari pajak yang dibenankan kepada masyarakat hendaknya harus memperhatikan aspek-aspek keadilan, baik dalam rangka penarikannya maupun dalam rangka pengalokasianya.

Pajak sebagai sumber penerimaan negara Islam, dalam pelaksanaannya haruslah sejalan dengan maqashid syari’ah, untuk itu Islam meminimalisir segala bentuk rusaknya kemaslahatan akibat perberlakuan pajak. Hal ini dikarenakan seringnya pemberlakuaan pajak bukan meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru sebaliknya, membebani rakyat.

B.    Pengertian pajak secara umum

Pajak didefinisikan sebagai kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu (Inayat, 2003). Dari definisi ini dapat diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu:

  1. Pajak merupakan suatu bentuk pembayaran tunai, artinya seorang mukallaf harus membayar pajak berupa uang tunai dan tidak berupa barang.
  2. Pajak merupakan suatu kewajiban mengikat yang mengharuskan setiap individu untuk menunaikannya. Artinya ada pakasaan yang dapat dilakukan oleh negara kepada rakyatnya untuk menarik pajak tanpa perlu adanya suatu kompromi.
  3. Pajak haruslah digunakan untuk kepentingan umum.
  4. Pajak tidak menharuskan adanya imbalan secara langsung, artinya tidak ada syarat bagi wajib pajak untuk memperoleh imbalan yang langsung, tetapi imbalan ini berupa fasilitas yang manfaatnya dapat dirasakan oleh semua pihak.
  5. Pajak adalah tuntutan politik untuk keuangan negara. Artinya pajak ditentukan oleh suatu pemerintahan yang berkuasa pada masa itu.

Dari definisi di atas, terlihat bahwa pajak merupakan suatu keharusan bagi setiap warga negara yang tidak bisa ditawar lagi. Namun, dari definisi di atas bukan berarti pajak dapat disalahgunakan sebagai bentuk pemerasan penyelenggaraan negara kepada rakyatnya, walaupun hal ini sangat mungkin terjadi. Karena kalau dilihat dari sejarahnya, yaitu pada masa feodalisme terutama sebelum datangnya Islam, pajak memang digunakan sebagai suatu bentuk paksaan dari pihak yang berkuasa. Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, mengubah paradigma tersebut. Dengan tetap mengacu kepada definisi di atas, ada beberapa konsepi-konsepi yang perlu dipenuhi dalam penarikan pajak, dan konsep inilah yang menjadi acuan di semua negara di dunia saat ini sebagai suatu kaidah-kaidah dalam penetapan pajak.

 

C.   Kaidah-kaidah pembebanan pajak

Segala aktivitas mu’amalah yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah dalam rangka mewujudkan tercapainya maqashid syari’ah (tujuan syari’ah). Salah satu tujuan syari’ah adalah tercapainya kesejahteraan harta dan kesejahteraan pemilik harta. Keduanya haruslah tercapai sebuah kesepakatan yang mana dalam pembebanan pajak muncul teori-teori guna menjembatani kesepakatan tersebut. Adalah ekonom Inggris Adam Smith telah merancang kaidah-kaidah beban pajak dan memuat empat teori (Inayat, 2003), yaitu:

  1. Teori keadilan atau persamaan
  2. Teori keyakinan
  3. Teori ekonomi
  4. Teori keseimbangan

Jauh sebelum Adam Smith, para ulama telah membahas prinsip-prinsip pajak. Semua Khalifa Rasyidin terutama Umar, Ali dan Umar bin Abdul Aziz menekankan supaya pajak dikumpulkan dengan keadilan dan dengan cara yang sopan, serta tidak boleh melampaui kemampuan orang untuk membayar atau membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Peningkatan pajak yang adil bukan hanya akan menimbulkan peningkatan pendapatan tetapi juga pembangunan daerah.

Dari keempat teori yang diungkapkan oleh Adam Smith di atas, akan kita coba jelaskan satu persatu :

  1. Kaidah Keadilan dan Persamaan

Keadilan pajak adalah kewajiban pertama yang harus dijunjung tinggi keselamatannya, Adam Smith menjelaskan prinsip melalui komentarnya: “Wajib memberikan sumbangsih perlindungan pemerintah untuk menutupi kebutuhan pangan negara sesuai kemampuan mereka yang relatif, yaitu pemilik harta bisa menikmati hartanya dengan perlindungan pemerintah”.

Dari komentar di atas dapat dilihat bahwa perlindungan masyarakat dalam menutupi beban umum harus sesuai dengan kemampuan dan ketentuannya, dimana ukurannya terletak pada ukuran pemasukan dan inilah yang dimaksud dengan kewajiban pajak harus sesuai dengan kemampuan keuangan, oleh karena itu pajak dikenakan atas dasar kelebihan harta bukan modal harta.

Dalam kaitannya dengan aspek keadilan dikenal dua macam prinsip, yaitu prinsip kepuasan atas balas jasa yang diterima wajib pajak (benefit approach) dan prinsip yang berdasarkan kemampuan membayar pajak (ability to pay principle). Jika diukur dari prinsip kepuasan atas balas jasa yang diterima wajib pajak sangatlah sulit, hal ini dikarenakan relatifitas dari kepuasan itu sendiri.

Ada tiga macam cara untuk menggunakan pendekatan atas dasar kemampuan membayar, yaitu equal absolute sacrifice approach, equal propotional sacrifice approach, dan equal marginal sacrifice approach (Suparmoko, 2002).

Dalam konsep  equal absolute sacrifice dikehendaki agar pajak dibayar oleh wajib pajak sedemikian rupa sehingga beban riil wajib pajak itu secara absolute sama besarnya. Karena uang mempunyai sifat memberikan guna batas marginal yang menurun (diminishing marginal utility), pajak yang dipungut dari wajib pajak harus lebih besar untuk mereka yang penghasilannya lebih tinggi dan lebih kecil untuk mereka yang berpenghasilan rendah, sehingga secara absolute beban riil mereka sama besarnya.

Pendekatan yang lebih progresif sifatnya adalah prinsip pengenaan pajak yang mengunakan konsep equal propotional sacrifice. Dengan konsep ini wajib pajak dikenakan pajak sedemikian rupa sehingga beban riil yang hilang dari setiap wajib pajak sebanding atau proposional untuk semua wajib pajak.

Sedangkan dalam pendekatan equal marginal sacrifice, para wajib pajak dikenakan pajak sedemikian rupa sehingga penghasilannya setelah kena pajak akan memberikan marginal utility yang sama untuk unit uang yang terakhir. Tetapi kalau perbedaan penghasilan sangat besar antara wajib pajak yang satu dengan yang lain, maka besarnya jumlah pajak yang diinginkan itu dibebankan saja seluruhnya kepada wajib pajak yang penghasilannya tertinggi, dan wajib pajak yang penghasilannya rendah dibebaskan dari pengenaan pajak.

  1. Kaidah Kepercayaan atau Keyakinan

Menurut Adam Smith pajak harus berdasarkan keyakinan. Dengan demikian segala hal yang berkaitan dengan nilai harga, nisab, kadar, waktu dan tindakan-tindakan penghasilan yang berkaitan dengan pajak harus jelas. Wajib pajak harus didorong untuk tertib memenuhi kewajibannya dengan membayar tepat pada waktunya. Batasan pajak ada pada tindakan-tindakan untuk terjadinya perubahan atau keadilan, kecuali dalam keadaan sulit, maka seorang mukallaf ikut serta mengatur kebutuhan pangan dan kewajiban materi. Dan batasan-batasan itu tidak jelas bagi pajak yang bisa mendatangkan kedzaliman, kesewenang-wenangan, kerusakan, lebih-lebih lagi para pelaksana administrasi dan pelaksana perpajakan. Hal ini dapat menggoncangkan semangat kerja, situasi keuangan dan kepercayaan yang dipegang oleh pejabat perpajakan terhadap pajak yang dibayarkan oleh masyarakat.

Hal-hal di atas menjadikan masyarakat menghidari pajak dan menggagalkan politik keuangan pemerintah dalam merealisasikan sasaran dan tujuan pajak. Dari sini jelaslah bahwa kaidah keyakinan itu sangat penting dalam perpajakan yang juga untuk menjaga prinsip-prinsip keadilan dalam pajak.

Untuk menumbuhkan keyakinan para wajib pajak, maka pemerintah sebagai pihak penyelenggara pajak memiliki kewajiban memenuhi dua kondisi berikut (Chapra,2000); Pertama, penerimaan hasil-hasil pajak harus dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan pajak. Kedua, pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata diantara mereka yang wajib membayarnya. Selama tidak ada jaminan bahwa dana pajak yang dibayarkan kepada pemerintah akan dipergunakan secara jujur dan efektif untuk mewujudkan tujuan syari’ah, maka masyarakat tidak akan bersedia dengan pemerintah dalam usaha pengumpulan pajak dan mengabaikan berapa pun kewajiban-kewajiban moral untuk membayar pajak ditegaskan.

  1. Kaidah Keselarasan

Teori ini menghendaki agar hukum yang berkaitan dengan pajak itu sesuai dengan kondisi muslim mukallaf, khususnya yang berkaitan dengan batasan waktu dan sebab-sebab penarikan pajak. Dari segi batasan waktu penarikan pajak hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi keuangan dan kehidupan masyarakat seperti waktu penghasilan atau setelah memperoleh penghasilan. Pajak ditarik ketika panen atau ketika menjual barang produksi.

Dari segi sebab-sebab penarikan pajak dikehendaki adanya layanan penarikan pajak yang maksimal sesuai dengan keadaan muslim mukallaf. Oleh karenannya suatu kewajiban bagi penarik pajak untuk memberikan kemudahan bagi muslim mukallaf dalam membayar pajak.

  1. Kaidah Ekonomi

Kaidah ini menghendaki agar sikap pemborosan dan upaya maksimal dalam memperoleh hasil pajak atau sarana lain dalam perpajakan, seperti mata uang, transportasi dan inventarisasi, atau yang berkaitan dengan kebutuhan pembayar pajak dihindari sehingga manfaat pajak dapat direalisasikan dengan memperkaya hasil pajak.

Dalam buku Muhammad Abdul Mannan, “Ekonomi Islam: Teori dan Praktek”, ada yang harus diikuti dalam proses pengambilan pajak yang dilakukan pemerintah kepada rakyatnya, antara lain:

  • Negara harus meneliti dalam menetapkan pengambilan bermacam-macam pajak, maka hendaknya dipakai dasar keadilan dalam perpajakan, yaitu dengan mengambil dari setiap individu menurut kadar kemampuannya. Bagi yang tidak mampu agar dibebaskan dari pajak. Ketika negara mengambil kewajiban pembayaran dari harta lainnya yang diwajibkan Allah SWT, seperti zakat dan jizyah, maka harus menurut ukuran yang telah ditetapkan dengan benar karena semua itu telah ditentukan oleh Allah SWT.
  • Negara hendaknya memperhatikan hak dalam penentuan barang yang dikenakan kewajiban pembayaran harta umum, sehingga Baitul Maal tidak mengambil melebihi dari keuntungan seorang pengusaha dan pengusahan hendaknya tidak berbuat curang dalam memberikan haknya kepda Baitul Maal.
  • Negara harus memperhatikan pendapatan orang yang dikenakan kewajiban membayar harta umum, maka tidak ada sistem yang menzhalimi pengusaha.
  • Negara harus mendapatkan harta kekayaan umum dalam rentang waktu yang telah ditentukan, maka tidak mungkin zakat dan kharaj diambil sebelum berpenghasilan. Jadi tepatnya dimusim panen sesuai firman Allah, “Dan tunaikanlah haknya di hari memetiknya.” (Q.S. Al An’aam : 141)

 

D.   Sistem pengenaan pajak

Sistem pengenaan pajak yang ada pada masa kini mengacu kepada kaidah-kaidah pembebanan pajak yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut, sistem pengenaan pajak dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, sistem pajak yang progresif. Dimana sistem pengenaan pajak ini bertambah nilainya seiring dengan semakin tingginya dasar pajak (tax base) seperti tingkat penghasilan wajib pajak, harga barang mewah dan sebagainya, akan dikenai pungutan pajak yang semakin tinggi persentasenya. Sistem pajak progresif masih sesuai dengan semangat Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Sistem pengenaan pajak seperti ini sangat membantu menumbuhkan kesadaran wajib pajak untuk mengalokasikan harta yang dimilikinya kepada hal-hal yang sifatnya lebih produktif daripada membelanjakannya untuk barang-barang mewah.

Kedua, sistem pajak proposional, yaitu pengenaan tarif pajak berdasarkan persentase yang sama untuk nilai objek pajak yang berbeda-beda. Sistem ini tidak bisa diberlakukan untuk semua bentuk pajak, hanya pajak-pajak tertentu saja yang dapat mengunakan sistem ini. Meski demikian, sistem pengenaan pajak proposional masih sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan.

Ketiga, sistem pajak yang regresif yang mana kebalikan dari sistem pajak progresif. Semakin tinggi dasar pajaknya, maka akan semakin rendah persentase yang dibebankannya, tetapi jumlah yang dibayarkan tetap akan lebih besar untuk nilai pajak yang lebih besar pula. Sistem ini dapat diterapkan pada pengenaan pajak yang dialokasikan untuk hal-hal yang sifatnya produktif dan sosial, serta bergantung pada situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu.

Selain itu, dikenal pula pungutan pajak yang sifatnya langsung dan tidak langsung. Pengenaan pajak langsung artinya seluruh beban pajak dipikul oleh wajib pajak itu sendiri dan tidak dapat dialihkan kewajibannya kepada pihak lain. Sedangkan pajak tidak langsung artinya beban pajak dapat dialihkan kepada pihak lain, baik seluruh atau sebagian dari beban pajak tersebut.

Para ulama berpendapat bahwa pajak langsung lebih baik dipandang dari sudut Islam, yang menekankan keadilan. Sejumlah ulama seperti Syekh Hasan Al Banna, mantan pemimpin Ikhwanul Muslimin, Yusuf Qardhawi dan Al-Abbadi melihat sistem pajak progresif sangat sesuai dengan etos Islam karena membantu mereduksi kesenjangan pendapatan dan kekayaan.

E.    Sistem perpajak pada masa kejayaan Islam

Pajak merupakan sumber penerimaan primer negara pada masa Rasulullah SAW. dan Khulafa Rasyidin. Sumbernya bisa dari dalam negeri atau pajak perdagangan internasional. Pajak dalam negeri sendiri, banyak macamnya dari pajak penghasilan, pajak perseroan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan dan lain sebagainya. Adapun jenis-jenis pajak yang diberlakukan pada masa itu adalah sebagai berikut :

  1. Kharaj (Ibrahim, 2003)

Kharaj dapat diartikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh pemillik untuk diberikan pada pemerintah. Penetapan kharaj harus memperhatikan betul kemampuan kandungan tanah, karena ada tiga hal yang berbeda yang mempengaruhinya: pertama, jenis tanah; tanah yang bagus akan menyuburkan tanaman dan hasilnya lebih baik dibandingkan dengan tanah yang buruk. Kedua, jenis tanaman; ada tanaman yang harga jualnya tinggi dan yang harga jualnya rendah. Ketiga, pengelolaan tanah; jika biaya pengelolaan tanah tinggi, maka pajak tanah yang demikian tidak sebesar pajak tanah yang disirami dengan air hujan yang biayanya rendah.

Jadi kharaj adalah pajak atas tanah yang dimiliki kalangan nonmuslim di wilayah negara muslim. Tanah yang pemiliknya masuk Islam, maka tanah itu menjadi milik mereka dan dihitung sebagai tanah ‘usyr seperti tanah yang dikelola di kota Madinah dan Yaman. Dasar penentuannya adalah produktivitas tanah, bukan sekedar luas dan lokasi tanah. Artinya, mungkin saja terjadi,  untuk tanah yang bersebelahan, di satu sisi ditanam anggur dan lainnya kurma, maka hasil pajaknya juga berbeda.  Berdasarkan tiga kriteria di atas, pemerintah secara umum menentukan kharaj berdasarkan kepada:

  1. Karakteristik tanah/tingkat kesuburan tanah
  2. Jenis tanaman, termasuk daya jual dan jumlah
  3. Jenis irigasi
  4. Ketentuan besarnya kharaj ini sama dengan ’usyr.

Seperti dijelaskan di muka, kewajiban membayar kharaj akan gugur, kalau mereka masuk Islam, atau menjual tanah tersebut kepada orang Islam. Akan tetapi kalau mereka menjual tanah tersebut kepada pihak nonmuslim, maka kharaj tersebut tetap berlaku. Perbedaan antara tanah kharajiyah dan usyriyah adalah; kalau tanah kharjiyah, berarti yang dimiliki hanya kegunaannya, sedangkan lahannya tetap menjadi milik negara. Sementara kalau yang diberikan adalah tanah usyuriyah, maka yang dimiliki adalah tanah sekaligus kegunaannya.

Pada masa pemerintahan Nabi SAW., tanah-tanah kharaj sangatlah terbatas dan tidak membutuhkan. Barulah pada zaman khalifah pertama di belakangnya, luasnya serta banyaknya penghasilan tanah-tanah kharaj terdiri atas sebagian besar tanah Romawi dan seluruh tanah kerajaan Persi. Disanalah berlaku banyak sistem yang memerlukan penilaian dari pemungutan dan pengaturan tentang pendapatannya (Zakiy, 2002).

  1. ‘Usyr (Erfanie, 2005)

‘Usyr adalah pajak yang dipungut dari hasil pertanian, tarifnya tetap, yaitu 10 persen atas hasil panen dari lahan yang tidak beririgasi, dan 5 persen atas hasil panen dari lahan yang  beririgasi. Pajak ini bisa berupa uang, atau berupa bagian dari hasil pertanian itu sebagaimana tersirat dalam Al-Qur’an surat Al-An’am: 141;

وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَآأَثْمَرَ وَءَاتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berujung dan tidak berujung, pohon kurma, tanaman-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa, dan tidak (sama rasanya). Makanlah dari buahnya bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

Jadi usyr itu merupakan hasil tanah, yaitu pungutan yang diambil oleh negara dari pengelola tanah sebesar 1/10 dari hasil panen riil, apabila tanamannya diari dengan air tadah hujan, dengan pengairan alami. Dan negara akan mengmabil 1/20 dari hasil panen riil, apabila tanamannya diairi oleh orang atau yag lain dengan pengairan tehnis (buatan). Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir yang mengatakan:

Rasulullah SAW bersadba: “(Tanaman) apa saja yang diari oleh bengawan dan hujan (harus diambil) 1/10 (dari hasil panennya). Dan apa saja yang diairi dengan kincir air, maka (harus diambil) 1/20 (dari hasil panennya)”.

Pada prinsipnya, kharaj dan ‘ursy sama-sama pajak yang dikenakan kepada tanah yang dimiliki oleh seseorang. Hanya saja ketentuan yang diberlakukan akan berbeda berdasarkan atas kepemilikannya dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika tanah itu merupakan milik seorang muslim, maka ia akan dikenakan ‘ursy, tetapi jika tanah itu milik nonmuslim yang berada dalam kekuasaan negara Islam, maka ia akan dikenakan kharaj.

 Pajak konvensional seperti pajak bumi yang dipungut atas dasar hasil budidaya. Hasil pajak ini dipergunakan untuk membiayai sebagian besar anggaran militer di zaman Utsmaniyah. Tetapi sayangnya jenis pajak ini cendrung sebagai penghambat (disincentive) bagi produksi pertanian. Sistem pajak bumi yang lebih efisien ialah bila pajaknya didasarkan kepada potensi pertanian dan hasil yang sedang berjalan. Ini akan menggairahkan peningkatan produksi agar dapat membayar pajak dan menghasilkan surplus yang tidak dikenakan pajak, daripada menghambat produksi marginal. Namun demikian pemerintah, sekalipun sangat giat melakukan pendaftaran tanah, tidak pernah berupaya untuk memperkirakan potensi hasil budidaya, karena perkiraan semacam ini akan menimbulkan perdebatan. ‘Usyr ini dianggap sebagai zakat dan diserahkan kepada pemerintah, serta tidak dibagikan kecuali kepada 8 (delapan) ashnaf (kelompok) yang telah disebutkan di dalam Q.S. At-Taubah: 60.

  1. Khums

Khums atau sistem proporsional tax adalah prosentase tertentu dari rampasan perang yang diperoleh oleh tentara Islam sebagai ghanimah, yaitu harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran yang berakhir dengan kemenangan. Sistem pendistribusiannya disebut khumus (seperlima) setelah peperangan. Khums diserahkan kepada Baitul Mal demi kemakmuran negara dan kesejahteraan ummat.

Pendistribusiannya berdasarkan realita keadaan, dan hal ini diatur dalam Q.S. Al Anfaal: 41,

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُم مِّن شَيْءٍ فَأَنِّ للهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِن كُنتُمْ ءَامَنتُم بِاللهِ وَمَآأَنزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Ketahuilah sesunguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai  ghaninah (rampasan perang), sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul saw.,kerabat Rasul saw.,anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil. Sedang empat perlima (80 persen) dibagikan kepada mereka yang ikut berperang”

Menurut Imam Abu Ubaid, yang dimaksud khums bukan hanya hasil rampasan perang tetapi juga barang temuan dan barang tambang.

  1. Jizyah

Jizyah berupa pajak yang dibayar oleh kalangan nonmuslim sebagai kompensasi atas fasilitas sosial-ekonomi, layanan kesejahteraan, serta jaminan keamanan yang mereka terima dari negara Islam. Jizyah sama dengan poll tax karena kalangan nonmuslim tidak mengenal zakat fitrah.  Jumlah yang harus dibayar sama dengan jumlah minimum yang dibayarkan oleh pemeluk Islam.  Di zaman Rasulullah SAW. besarnya jizyah adalah 1 dinar pertahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Jizyah tidak ditetapkan dengan suatu jumlah tertentu, selain diserahkan kepada kebijakan dan ijtihad khalifah, dengan catatan tidak melebihi kemampuan orang yang berhak membayar ijtihad.

Dari Ibnu Abi Najih yang mengatakan: “Aku bertanya kepada Mujahid: Apa alasannya penduduk Syam dikenakan 4 (empat) dinar, sedangkan penduduk Yaman hanya 1 (satu) dinar? Mujahid menjawab: Hal itu hanyalah untuk mempermudah” (H.R. Bukhari)

Kewajiban membayar jizyah ini juga diatur dalam Qur’an surat At-Taubah: 29,

… حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

 “…sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk”.

Jizyah adalah pajak yang dikenakan per kepala, sebagaimana zakat fitrah yang dikenakan bagi seorang muslim. Jizjah wajib dipungut dari orang-orang nonmuslim, selama mereka tetap kufur, namun apabila mereka telah memeluk Islam, maka jizyah tersebut gugur dari mereka. Jizyah tersebut dikenakan atas orang, bukan atas harta sehingga dikenakan atas tiap orang non muslim, bukan atas hartanya.

  1. ‘Usyur

Dalam hal ini ‘usyur adalah pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam atau datang dari negara Islam itu sendiri. Pajak ini berbentuk bea impor yang dikenakan pada semua perdagangan, dibayar sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.

Permulaan ditetapkannya ‘usyur di negara Islam adalah pada masa khalifah Umar bin Khatab dengan alasan penegakan keadilan, karena ‘usyur dikenakan kepada pedagang muslim ketika mereka mendatangi daerah asing. Dalam rangka penetapan yang seimbang maka Umar memutuskan untuk memperlakukan pedagang nonmuslim dengan perlakuan yang sama jika mereka memasuki negara Islam. Tempat berlangsungnya pemungutan ‘usyur adalah pos perbatasan negara Islam, baik pintu masuk maupun pintu keluar layaknya bea cukai pada zaman ini.

  1. Nawaib/Daraib (Erfanie, 2005)

Merupakan pajak umum yang dibebankan atas warga negara untuk menanggung beban kesejahteraan sosial atau kebutuhan dana untuk situasi darurat. Pajak ini dibebankan pada kaum muslimin kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan hal ini terjadi pada masa perang Tabuk. Pajak ini dimasukan dalam Baitul Maal, dan dasar hukum atas kewajiban ini adalah Q.S. Ar-Ruum: 38,

فَئَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ذَلِكَ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Mengingat fungsi dari pemerintahan Islam yang modern tidak dapat lagi terbatas pada fungsi-fungsi seperti yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Islam dahulu, menjadi tidak realistis pula mengasumsikan bahwa pajak sekarang dapat dibatasi hanya pada golongan-golongan ekonomi tertentu seperti yang didiskusikan ulama-ulama klasik. Perekonomian pada saat tersebut terutama bertumpu pada pertanian, oleh karenanya, pajak sperti kharaj dan ushr juga merupakan pajak utama atas output-output pertanian; sedangkan pajak lainnya memberikan sumbangan yang relatif kecil. Corak perekonomian sekarang telah berubah, atau tengah berubah, dan sumber pendapatan yang lebih layak dan lebih terdiversifikasi telah tersedia bagi pemerintah yang modern. Oleh karena itu, sumber pendapatan lama seperti ghanimah dan jizyah mungkin sudah tidak relevan lagi pada masa modern ini dan mungkin harus dikesampingkan.

F.    Fungsi dan peranan pajak dalam Islam

Pada prinsipnya, dana pajak digunakan untuk kesejahteraan umum seluruh masyarakat dalam suatu negara. Sehingga pajak memiliki fungsi alokasi, distribusi dan stasbilisasi secara efektif. Selain dalam rangka menjaga keberlangsungan roda pemerintahan, pajak juga harus lebih diprioritaskan untuk hal-hal yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Jadi secara umum pajak mempunyai fungsi sebagai public service dan jaminan sosial bagi masyarakat.

Kesejahteraan merupakan tujuan pokok dari semua pengeluaran pemerintah, maka semua proyek infrastruktur sosial dan fisik yang membantu merealisasikan tujuan ini melalui pertumbuhan ekonomi yang cepat, penciptaan lapangan pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan pokok, dapat memberikan prioritas dari proyek-proyek yang tidak memiliki kontribusi demikian. Diantara proyek infrastruktur yang sangat diperlukan, menghapus kesulitan dan penderitaan yang disebabkan oleh kekurangan gizi, buta huruf, tuna wisma dan epidemi, kekurangan fasilitas kesehatan dan ketersediaan air bersih, haruslah memjadi prioritas utama.

Begitu juga dalam pembangunan suatu sistem transportasi publik yang efisien, perlu prioritas yang tinggi. Ketiadaannya menyebabkan kesulitan bagi mayoritas penduduk, berdampak buruk terhadap efisiensi pembangunan dan menimbulkan impor berlebihan terhadp mobil dan minyak. Dan sebagai salah satu solusi dari tingginya impor mobil dan minyak, pemerintah dapat membenahi sistem transportasi publik kearah yang lebih baik dengan pengadaan kendaraan publik dengan demikian tidak akan mengurangi tekanan terhadap sumber-sumber devisa, tetapi juga memberikan pelayanan transportasi yang lebih nyaman kepada mayoritas penduduk, dengan kemacetan dan polusi udara yang berkurang di kota.

Dalam rangka melakukan pemerataan di setiap bidang kehidupan, pembangunan pedesaan untuk meningkatkan produktivitas pertanaian, memperluas kewirausahaan dan kesempatan kerja, serta pemenuhan kebutuhan hidup rakya pedesaan hruslah diutamakan. Hal ini secara otomatis akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan kerena akan mengurangi kepadatan. Selain itu, peningkatan kemampuan untuk si miskin dalam rangka mencari mata pencaharian yang lebih baik dapat dilakukan suatu proses pelatiahn dan akses yang lebih baik kepada pendidikan dan keuangan.

Disamping itu, restrukturisasi sistem finansial dalam rangka pemberian pembiayaan kepada pengusaha di pedesaan dan di perkotaan untuk meningkatkan peluang usaha dan meningkatkan produksi barang dan jasa, juga menjadi syarat penting guna mendukung itu semua. Jadi secara umum, pajak haruslah dapat berdaya guna dalam rangka meingkatkan kesejahteraan umum.

G.   Dampak pajak dalam pemerintahan Islam

Berdasarkan atas fungsi dan peranan pajak dalam suatu pemerintahan Islam yang mengedepankan prinsip kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakatnya, maka kegunaan pajak dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Selain untuk meningkatkan taraf hidup suatu masyarakat, pajak juga menjadi tolak ukur riil akan tingkat kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Hal ini terlihat dari ada tidaknya infrastruktur yang diperuntukan bagi masyarakat secara umum. Suatu negara yang taraf hidupnya di atas tingkat rata-rata, pastilah tercukupi fasilitas-fasilitas umumnya, setelah fasilitas pribadi yang terpenuhi sebelumnya.

Terciptanya suatu pemerintahan yang baik dalam menjalakan usahanya sebagai khalifah di muka bumi, menjadi salah satu kegunaan yang dirasakan dari adanya pungutan pajak. Alokasi dana pajak dalam menjalankan roda pemerintahan sangatlah mendorong usaha-usaha percepatan ekonomi yang digalakan oleh pemerintah. Hal ini bisa dibuktikan dengan semakin meluasnya kesejahteraan yang merata bagi pengelola negara memungkinkan fasilitas pelayanan dalam rangka mengerakan roda perekonomian dengan kemudahan mendirikan usaha-usaha baru menjadikan masyarakat bergairah untuk senantiasa berusaha meningkatkan produktivitas usahanya.

Kebijakan pemungutan pajak terhadap setiap jenis usaha juga berhasil menciptakan kestabilan harga dan mengurangi inflasi. Pada saat stagnasi dan menurunnya Aggregate Demand dan Aggregate Supply, pajak mendorong stabilitas pendapatan dan produksi total. Kebijakan ini juga tidak menyebabkan penurunan harga maupun jumlah produksi (Karim, 2002). Salah satu contohnya adalah pada pengenaan pajak barang tambang dan galian (khums). Dampak ekonomi dari propotional tax (seperti khums) maupun lump-sum tax dapat diterangkan dengan analisis yang mengambarkan GDP long-run berbentuk garis lurus berupa tren perkembangan dan dengan actual GDP berbentuk fluktuatif (turun-naik) yang menggambarkan adanya business cycle. Bila kita menggunakan sistem proportional tax, amplitudonya menjadi lebih kecil atau automatic stabilizer.

Hal tersebut dapat dilihat dari persamaan di bawah ini :

Y = C + I + G

dengan :

C = a + b (1 – 0,2)y

C = a + 0,8by

maka :

pers-1-pdi

Dari persamaan di atas diketahui bahwa meskipun ekonomi mengalami booming, tingkatnya tidak akan terlalu tinggi, karena (0,8by) lebih kecil dari (by). Ketika perekonomian turun (down turn) akan ada ‘rem’ automatic stabilizer-nya.

Kita dapat menelaah ilustrasi grafik berikut:

gambar-1-pdi

Grafik. 1

Automatic Stabilizer dengan Proportional tax

Dari ilustrasi di atas diketahui bahwa  sehingga jika terjadi goncangan (shock), perekonomian yang menerapkan propotional tax akan mengalami goncangan yang lebih kecil, baik ketika kondisi perekonomian sedang booming, maupun ketika sedang turun (down turn). Sementara itu, jika diterapkan lump-sum tax, ketika perekonomian sengan mengalami kecenderungan naik akan terjadi bubbling, sedangkan ketika tren turun akan terjadi crash.

Melalui grafik dapat kita lihat ilustrasi business cycle tanpa dan dengan khums sebagai berikut :

gambar-2-pdi

Grafik. 1

Business cycle tanpa dan dengan khums

Selain dari dampak yang telah  disebutkan di atas, pengenaan pajak juga dapat berakibat buruk bagi perekonimian suatu negara. Hal ini terjadi manakala pengenaan pajak tidak sesuai proporsinya atau tidak seimbang dalam pengunaannya. Oleh karenanya sangat dianjurkan keseimbangan dalam penarikan besaran pajak oleh pemerintah, karena penarikan pajak yang terlalu berlebihan bukan berdampak kepada kesejahteraan masyarakat secama umum, namun dapat berdampak pengalokasian yang tidak tepat sehingga pada akhirnya dapat mengurangi kemauan berusaha yang diikuti menurunya produktivitas.

Kesimpulan

Pajak dalam pemerintahan Islam adalah suatu keniscayaan. Keberadaanya sangatlah dibutuhkan bagi terciptanya keseimbangan dalam anggaran belanja negara. Suatu sistem pemerintahan tidak mungkin dapat berjalan tanda adanya dukungan dari rakyatnya dan pajak merupakan salah satu bentuk dukungan rakyat yang berguna dalam rangka terciptanya suatu kesejahteraan umum. Pajak merupakan suatu proses timbal balik antara pengelola negara yang bertanggung jawab atas hajat hidup orang banyak dengan rakyatnya. Dalam Al Qur’an banyak diterangkan tentang kewajiban pajak, serta manfaat atas pemberlakuannya. Pemimpin-pemimpin terdahulu, baik Khulafa Rasyidin maupun zaman sesudahnya, juga menjalankan pemberlakuan pajak semasa pemerintahnya. Oleh karena itu, pajak menjadi suatu keharusan dalam Islam, bukan semata-mata karena kebutuhannya, tetapi juga karena tujuan pemberlakuaannya.

Bentuk-bentuk pungutan pajak yang ada pada masa kejayaan Islam, tidak semua yang relefan dengan keadaan pada masa sekarang, namun yang perlu diperhatikan dari pengambilan pajak dari negara kepada rakyatnya bukan berdasarkan bentuknya melainkan manfaat dan tujuan pemberlakuaannya.

Ada beberapa prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam pemberlakuan pajak yang sesuai dengan maqasi syari’ah, salah satunya adalah prinsip keadilan. Pemberlakuan pajak harus berdasarkan prinsip keadilan dari pengenaan pajak itu sendiri. Adil dalam penarikannya maupun adil dalam penggunaannya. Untuk itu, pajak bukan hanya merupakan kewajiban seorang mukallaf sebagai wajib pajak, tetapi juga merupakan tanggung jawab pengelola pajak untuk merealisasikan tujuan dari pajak, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahannya: Departemen Agama RI, 2000, Diponegoro, Bandung.

Chapra, Umer, 2000, Islam dan Tantangan Ekonomi, Gema Insani Press, Jakarta.

Chapra, Umer, 2001, The Future of Economics: An Islamic Perspective, edisi terjemahan, SEBI, Jakarta.

Erfanie, Sairi, 2005, Kebijakan Anggaran Pemerintah, dalam Buku “Kebijakan Ekonomi dalam Islam”, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Ibrahim, Quthb Muhammad, 2003, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khatab, Islam Ramatan.

Inayah, Gazi, 2003, Teori Komprehensip Tentang Zakat dan Pajak, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Karim, Adiwarman, 2002, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro, The International Institute of Islamic Thought Indonesia, Jakarta.

Mannan, Muhammad Abdul, 1992, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, Intermasa, Jakarta.

Marthon, Said Sa’ad, 2001, Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Zikrul Hakim, Jakarta.

Suparmoko, M., 2002, Ekonomi Publik: Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, ANDI, Yogyakarta.

Zakiy, Abdullah Al Kaaf, 2002, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, Pusaka Setia, Bandung.




Identifikasi Reputasi Jurnal Internasional

Hal-hal yang dilakukan oleh Tim PAK Kemristekdikti untuk menilai suatu jurnal internasional antara lain:

  1. Mengunjungi laman jurnal yang bersangkutan
  2. Diperiksa mengenai
    • Konsistensi jumlah artikel tiap issue terbitan
    • Konsistensi bulan waktu penerbitan pada setiap volume
    • Apakah artikel yang diterbitkan masuk dalam cakupan bidang ilmu yang tertulis pada ‘subject area and category’
    • Apakah jurnal direview dengan benar
  3. Dicek ke http://www.scimagojr.com
  4. Ditelusuri apakah masuk https://scholarlyoa.com/publishers/
  5. Ditelusuri pula alamat fisik pengelola  jurnalnya melalui https://www.google.com/maps
  6. Email pengelola bila menggunakan gmail akan menimbulkan kecurigaan
  7. Anggota editorial board diperiksa karya ilmiahnya, antara lain melalui https://www.scopus.com/feedback/author/home.uri#/
  8. Dilacak pula ke https://scholar.google.com/ asal muasal anggota editorial board serta bidang ilmunya

Rujukan

PAK Kemristekdikti. 5 Desember 2016. [4] Informasi Seputar PAK




Kemudahan mencari lokasi Pariwisata di Indonesia berbasis Android denganTeknologi Location Based Service(LBS)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “wisata” merupakan kata kerja yang berarti: (a) bepergian bersama-sama, (b) Pariwisata dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan “bepergian bersama-sama”. Wisatawan berarti orang yang melakukan wisata, atau orang yang bepergian. Tourisme berasal dari kata Inggris “tourism” yang digunakan sebagai padanan kata “pariwisata”. Objek wisata menyangkut tempat, lokasi, atau segala sesuatu yang menjadi daya tarik untuk dikunjungi, dipelajari atau dilihat oleh wisatawan.

Indonesia memiliki potensi untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai salah satu andalan pendapatan untuk pembangunan nasional. Hal ini mengingat Indonesia memiliki beberapa keunikan yang disukai oleh para touris, baik local maupun manca negara, antara lain:

  1. keragaman dan keindahan alam
  2. keragaman suku dan adat istiadat
  3. keragaman seni dan hasil kerajinan rakyat
  4. Budaya dan wisata kulinernya.

Pada zaman modern ini teknologi informasi sudah banyak berkembang. Mobile phone merupakan  salah satu teknologi yang sangat mendukung kemudahan bagi penggunanya untuk mengakses informasi secara online di internet. Salah satunya adalah teknologi LBS (Location Based Service). LBS (Location Based Service) adalah layanan pada aplikasi mobile yang tergantung pada posisi geografis atau lokasi sebuah mobile phone berada yang dapat mengirimkan informasi dengan fungsi tertentu yang diakses dengan perangkat mobile phone melalui jaringan mobile phone.

Salah satu mobile phone yang mendukung teknologi LBS (Location Based Service)adalah yang menggunakan Sistem Operasi Android karena didukung dengan adanya perangkat GPS (Global Positioning System). Hal ini didukung oleh  Sistem Operasi Android memiliki dua hal penting yang berhubungan GPS (Global Positioning System)yaitu Location Manager atau API (Application Programming Interface) Maps dan Location Providers atau API Location.

Aplikasi android yang menggunakan teknologi LBS (Location Based Service) yang menyajikan informasi wisata sudah banyak ditemukan, contohnya aplikasi Nusantara Beta. Aplikasi ini menyajikan informasi wisata nusantara beserta informasi rute menuju lokasi wisata.

Untuk membantu penyebaran  informasi wisata yang dimiliki Indonesia ada juga aplikasi pencarian dan penyebaran wisata nusantara berbasis android dengan teknologi LBS (Location Based Service). Aplikasi ini dapat memberikan informasi objek wisata yang dimiliki Indonesia beserta lokasinya. Pengguna dapat mengetahui objek wisata yang terdapat disekitar lokasi pengguna berada dan juga dapat melihat rute menuju objek wisata tersebut. Selain mendatkan informasi objek wisata, pengguna juga dapat menambahkan data dengan mendaftarkan lokasi wisata kedalam aplikasi sehingga pengguna lain dapat mengetahui objek wisata tersebut. Kemudian pengguna juga dapat melihat foto, video dan keterangan dari objek wisata. Aplikasi ini juga akan menyediakan fitur bahasa sehingga pengguna dapat memilih menggunakan bahasa Indonesia atau Inggris. Dengan begini, wisatawan lokal dan  luar negeri dapat menerima dan juga dapat menyebarkan informasi wisata sehingga seluruh objek wisata Indonesia dapat diekspos dan diketahui oleh para wisatawan.

Location Based Service (LBS) adalah  kumpulan aplikasi yang memanfaatkan ilmu posisi geografi perangkat mobile. LocationBasedService (LBS) atau layanan berbasis lokasi adalah sebuah layanan informasi yang dapat diakses dengan perangkat bergerak melalui jaringan dan mampu menampilkan posisi secara geografis keberadaan perangkat bergerak tersebut. LocationBasedService (LBS) atau layanan berbasis lokasi ini diterapkan dalam sebuah platform android. Android adalah sistem operasi bergerak (mobileoperatingsystem) yang mengadopsi sistem operasi Linux, namun telah dimodifikasi”. Dua metodologi yang diimplementasikan pada LBS adalah:

  • Memproses lokasi data pada server dan memberikan informasi lokasi tersebut pada klien.
  • Mencari lokasi data sebuah perangkat mobile yang dapat digunakan secara langsung.

Dua unsur utama LBS adalah :

  1. Location Manager (LM) : Menyediakan tools/source untuk LBS, Aplication Programming Interface (API) Maps menyediakan fasilitas untuk menampilkan, memanipulasi peta beserta feature lainnya seperti tampilan satelit, street (jalan), maupun gabungannya. Paket ini berada pada com.google.android.maps.
  2. LocationProviders (API Location) : Menyediakan teknologi pencarian lokasi yang digunakan oleh device/perangkat. API Location berhubungan dengan data GPS (Global Positioning System) dan data lokasi real-time. API Location berada pada paket android yaitu android.location. Lokasi dan rute menuju suatu lokasi tertentu dapat ditentukan dengan menggunakan Location manager.

      Global Possitioning System (GPS) adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat, dengan nama resminya NAVSTAR GPS (Navigation Satellite Timing and Ranging Global Possitioning System). GPS dikembangkan pertama kali oleh Departemen pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1978 dan secara resmi GPS dinyatakan operasional pada tahun 1994.

Cara kerja sistem ini menggunakan sejumlah satelit yang berada di orbit bumi, yang memancarkan sinyalnya ke bumi dan ditangkap oleh sebuah alat penerima. Ada tiga bagian penting dari sistim ini, yaitu bagian kontrol, bagian angkasa, dan bagian pengguna. Bagian kontrol bertugas untuk mengontrol setiap satelit navigasi yang beredar di luar angkasa. Antara bagian kontrol dan baagian angkasa dapat saling komunikasi, sedangkan untuk bagian pengguna hanya bersifat sebagai receiver.

Android adalah sistem operasi berbasis Linux yang terus berkembang dan diberi nama serialnya dengan nama makanan, yang terakhir saat ini diberi nama nougat, yang dirancang untuk perangkat seluler layar sentuh seperti telepon pintar dan komputer tablet, sama fungsinya seperti Symbian di Nokia, ios di Apple, blackberry , & windows phone. Android awalnya dikembangkan oleh Android .Inc, dengan dukungan finansial dari google, yang kemudian mengakuisisinya pada tahun 2005, yang saat ini sudah digunakan oleh sebagian besar masyarakat yang ada d dunia.




Berpikir Linier

screen-shot-2016-11-11-at-07-53-27

Berpikir linier adalah proses pemikiran mengikuti siklus yang diketahui atau tahap demi tahap meningkat dimana respon terhadap setiap tahap harus ada sebelum tahap yang lain dilakukan. Berbagai model desain pembelajaran buku teks digital, antarmuka pengguna dan data visualisasi membuktikan penerapan konsep berpikir linier. Proses linier diterapkan dalam desain pembelajaran ketika setiap langkah dipandu oleh tujuan pembelajaran yang telah terdefinisikan dengan baik, misalnya kejadian A (penyebab) mengarah ke kejadian B (dampak), yang mengarah ke C, kemudian mengarah ke D, dan lain-lain.

Sesuai tujuan pembelajaran maka materi belajar disusun dalam desain pelajaran secara logis terintegrasi. Ada dua metode yang digunakan yaitu instruksi/petunjuk yang dibantu komputer CAI – Computer Aided Instruction) dan penilaian berbasis komputer (Computer-based Assessment), dimana keduanya digunakan dalam desain dari materi buku teks digital. Para peserta didik harus membaca materi lalu selanjutnya memilih satu jenis atau lebih item-item pilihan ganda untuk penilaian. Kriteria visualisasi data sangat sederhana yaitu pemberian pengetahuan, pertanyaan terkait dengan materi yang disajikan dan tes sumatif pada akhir bab. Peserta didik hanya perlu membaca, melihat atau mendengar isi/materi dan kemudian memilih jawaban yang benar.

Isi dari buku teks digital dapat mencakup simulasi fenomena-fenomena dunia nyata, percobaan-percobaan yang berbahaya, atau situasi tidak mudah diamati oleh pengguna; dimana hal ini merupakan manifestasi nyata dari teori. Namun, kemungkinan deviasi (error) yang terjadi akan cukup besar: pertama, karena jawabannya dapat ditemukan dalam materi yang disajikan, dan kedua, setidaknya satu jawaban yang benar berarti probabilitas 25%. Selain itu, item-item pilihan ganda dan esai memiliki banyak keterbatasan: yaitu faktor menebak yang tinggi, minimalisasi umpan balik, dll. Dalam beberapa kasus buku teks “mengindikasikan” apakah respon itu benar atau tidak, dan juga menyimpan catatan dari jumlah upaya, kemajuan belajar dll, tetapi tidak dapat memberikan kerangka yang cukup untuk bahan diskusi.

Setelah pembelajaran interaktif mengalami revolusi, teks memiliki nilai tambah melalui penggunaan hypertext dan teks multimodal. Hypertext adalah teks yang berisi link ke bagian lain dari teks (atau elemen grafis) dan di mana peserta didik dapat melompat dari mana saja ke mana saja. Teks multimodal adalah teks-teks yang mengkomunikasikan pesan dengan menggunakan lebih dari satu saluran komunikasi. Beberapa prinsip komponen komunikasi dari teks adalah tertulis atau lisan, intonasi, gambar (foto, diagram, gambar), dan aspek gambar seperti warna, ketajaman fokus, komposisi ruang, logo, kop surat perusahaan, toko atau petunjuk jalan; gerak tubuh, gerakan wajah, tindakan dan lain-lain.

Aspek negatif dari hypertext telah dijelaskan oleh Solway (2011), bahwa beragamnya hypertext akan mengalihkan perhatian dan membaca menjadi tidak fokus karena pembaca cenderung melalang buana kemana-mana. Fakta bahwa hypertext tidak memiliki struktur linier, tentunya bertentangan dengan target hasil dari belajar menggunakan buku teks versi berbasis web yang diperkirakan dirancang atas dasar pola berpikir secara linier. Buku teks berbasis web tentunya menawarkan fitur multimedia yang kuat, banyak sumber belajar yang lebih interaktif, dan adanya berbagai fitur seperti pembacaan audio, lini masa interaktif, gambar diberi catatan, kegiatan interaktif, dan sumber daya lainnya. Namun pada dasarnya, buku teks berbasis web ini hanyalah tambahan sumber belajar di dalam kelas. Perbedaan besarnya adalah bahwa banyak fitur yang dapat menarik siswa lepas perhatian (dari satu teks menuju teks lain di halaman browser lain), membuat catatan anotasi buku teks digital juga lebih sulit. Selain itu, buku teks ini memiliki dua kelemahan utama, pertama mereka tidak cukup interaktif. Konten dibaca/disajikan dalam format statis atau terdaftar halaman demi halaman akibat dipicu oleh berbagai format masukan untuk teks, audio atau video, seperti PDF, WMA, MP3, WMV. Kedua, buku teks berbasis web bersifat non-adaptif, yaitu, peserta didik yang berbeda dengan cara belajar yang berbeda (misalnya peserta didik berkebutuhan khusus atau cacat ) akan mendapatkan bahan yang sama dalam format yang sama.

Kriteria visualisasi data yang berbasis pada pola berpikir linier membutuhkan kemampuan untuk menampilkan konten secara holistik (materi secara keseluruhan), untuk dapat nantinya dievaluasi. Namun, teks digital tidak menjadi meningkat kualitasnya hanya adanya fitur-fitur multimedia, sehingga pengaruhnya masih kalah dibanding contoh-contoh praktis. Makna kongkrit dari realisasi, konsistensi, dan perluasan arti yang secara susah payah berusaha diarahkan (oleh visualiasi data) akan tetap tersebar dan terjadi dislokasi ketika kita sedang membaca.

Ditulis ulang oleh Pratiwi_Partono Rudianto

Daftar Pustaka

Barron, A. (1990). Complexity regularization with applications to artificial neural networks. In: Roussa, G. (ed.), Nonparametric Functional Estimation. 561–576.

Blum, L.F., Cucker, F., Shub, M., Smale. S. (1998). Complexity and Real Computation. Springer-Verlag.

Brandstädter, K. (2012). Assessing system thinking through different concept mapping practices. International Journal of Science Education, 34(14), 2147–2170.

Solway, D. (2011). On hypertext, or back to the Landau. Academic Questions, 24(3), 341–350.

Wang, W., Zhai, J. (2013). Multi-disciplinary internet-based platform in optimizing college English teach­ing. In: International Conference on Information, Business and Education Technology (ICIBIT 2013). 1037–1042.




AKSES UNIVERSAL ( KONEKSI TAK BERBATAS)

screen-shot-2016-09-05-at-9-46-42-am

AKSES UNIVERSAL ( KONEKSI TAK BERBATAS)

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah kehidupan manusia menjadi komunitas yang beragam dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Sejauh ini bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan dengan baik dalam dunia pendidikan? Bagaimana desainer instruksional dapat mengadopsi dan mengintegrasi teknologi tersebut dalam kurikulum dan bahan pembelajaran yang komprehensif. Ketrampilan apa yang dibutuhkan desainer dan pengajar agar proses instruksional dapat terlaksana dengan lebih baik, efektif dan optimal.

 

Internet sebagai koneksi tidak berbatas yang berisi sumber belajar dan pola baru yang mempengaruhi dunia pendidikan dilihat dari akses universal, komunitas digital, keberagaman bahasa dan budaya, serta transformasi Internet dalam bentuk aplikasi dan utilisasi. Selain sisi positif akses internet, juga dibahas sisi negatif dan perlunya mitigasi resiko yang ada dan langkah sosialisasi yang dapat meningkatkan ‘awareness’, terutama kaum remaja, agar tidak termanipulasi oleh media baru yang diciptakan melalui internet tersebut.

 

Dilihat dari perkembangan pengguna Interenet dunia yang ekplosiv, maka akses universal ini menjadi bagian dari pendidikan. Bagaimana mengakses dengan baik, bagaimana berperilaku di Internet, kode etik apa yang harus diperhatikan, apa ekses penggunaan Internet dan lain-lain. Dengan demikian dunia pendidikan, selain mengarahkan cara penggunaan akses yang baik dan sehat, juga memanfaatkan semua sumber daya yang ada untuk pengingaktan edukasi, memberikan kemudahan, menjadi katalisator proses belajar, dan menjadi tempat belajar yang optimal dan menyenangkan.

 

Meningkatnya penggunaan peralatan mobile yang dapat mengakses internet memberikan arahan baru bagi desainer instruksional untuk menjadikan internet sebagai tempat belajar yang mobile. Selain itu desainer dapat memanfaatkan media sosial sebagai media komunikasi atar pengajar dan pembelajar, juga pembelajar dengan pembelajar lainnya (yang disebut sebagai ‘peer to peer comuunication’). Walaupun demikian, terdapat sisi negatif internet seperti cyber bully, cyber crime dan lainnya yang harus diantisipasi dan difilter dengan baik oleh penggunanya.

 

Akses internet di Indonesia meningkat tajam sejalan dengan perkembangan infrastruktur komunikasi di seluruh penjuru Indonesia, termasuk pedesaan. Demografi pengguna Internet tahun 2015 (sumber APJII 2015) menunjukkan angka mendekati 100 juta pengguna, yang berarti hampir separuh penduduk Indonesia sudah mengenal internet dengan baik. Indonesia adalah negara dengan pengguna Internet terbanyak di ASEAN.

 

Sejauh ini institusi sekolah dan perguruan tinggi telah mengadakan infrastruktur jaringan dengan peningkatan lab komputer dengan fasilitas akses Internet sehingga dapat mengambil informasi dan sumber belajar dari seluruh dunia. Tidak hanya mengambil, tapi juga para siswa ikut berkontribusi dalam memperkaya internet dengan membagi pengathuan dan ketrampilan (knowledge sharing).

 

Walaupun secara infrastruktur sudah siap, namun faktor kesinambungan juga harus dimiliki. Banyak lab komputer tidak berfungsi karena minimnya pengetahuan pengajar dan administrator sistem dalam merawat peralatan yang ada. Untuk mendapatkan akses universal yang berkelanjutan perlu dilakukan preventive maintenance dan pengetahuan sistem operasi dengan baik. Selain itu karena Internet dapat bersifat anonymous, maka faktor keamanan penggunaan harus dimiliki dengan biak. Agar tidak terjadi penerobosan dan hacking yang dapat terjadi setiap saat, pengelola jaringan harus dapat membuat sistem yang handal dan defensif. Kesiapan tenaga pengajar dan sekolah dalam menangani hal tersebut merupakan prioritas penting. Selain itu perkembangan teknologi hardware dan software membuat institusi harus terus menerus meremajakan peralatan dan pengetahuannya agar tetap terkini (up-to-date).

 

Penggunaan internet secara masiv ini memberikan banyaknya sumber belajar yang mudah diakses, baik berupa informasi, bahan belajar, tutorial, dan lainnya. Tanpa disadari melalui search-engine telah terbentuk budaya “search and found”, yang mengubah proses belajar mengajar kearah yang cepat dan lebih baik. Sumber belajar tidak lagi bersifat lokal, namun sudah meluas menjadi internasional, dan multi-lingual. Desainer instruksional mulai mengubah materi pembelajaran dengan menggunakan teori belajar connectivism, yang merupakan perluasan dari teori constructivism dengan menggunakan koneksi tidak berbatas. Pengajar dan pembelajar menggunakan koneksi ini sebagai media pembelajaran yang bersifat interaktif, real-time, komunikasi online atupun oflfline antar pengajar dengan pembelajar, maupuan pembelajar dengan lainnya (peer-to-peer). Dari sini terbentuk kolaborasi yang dapat meningkatkan kinerja instruksional.

 

Internet tidak saja sebagai sumber belajar, tetapi juga menjadi tempat para pembelajar untuk menulis artikel, baik bersifat ilmiah, kritis, dan lainnya untuk memperkaya informasi yang bermanfaat . Desain Insruksional harus menyesuaikan dengan kondisi ini dan mendorong sekaligus menggalakkan aktifitas tersebut. Namun demikian harus diingat, bahwa kontribusi bahan pengajaran di Internet dapat juga bersifat anonymous, artinya kualitas dari sumber belajar tidak dijamin, bisa tersisip hal negatif dengan tujuan yang berbeda, sehingga pembelajar di Internet harus ekstra hati-hati agar tidak dimanupulasi oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.

Ditulis oleh Pratiwi_Ifik Arifin _Agnes Novita

Daftar Pustka
Trends Shaping Education 2016_OECD




Demo, kind of marketing

INTERNAL MARKETING

  • Pentingnya pemasaran internal baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan bahaya.
  • Krisis tidak akan diketahui selama belum terjadi. Ketidakmampuan mengetahui terjadinya krisis merupakan kejadian fatal yang dapat merugikan banyak pihak. Pembiaran krisis akan diikuti oleh banyak pihak. Jika pihak terkait menyadari hal itu tetapi sedang menikmati krisis tersebut.
  • Demo yang dilakukan beberapa waktu yang lalu merupakan contoh bagaimana salah satu pihak tidak menganggap suatu hal prinsip tetapi pihak lain menjadikan hal tersebut merupakan suatu prinsip. Bahkan dilawan dengan tindakan sejenis yang mengakibatkan retak-retak hubungan semakin terlihat jelas menjadi tanda-tanda retak-retak yang semakin merekah.
  • Jika tidak diambil tindakan segera akan terjadi ANTIKLIMAKS.

Di bawah ini suatu kutipan yang dapat diambil hikmahnya.

Employees Will Be Heard

“Employees are increasingly important voices during crises,” says Shel Holtz, principal of Holtz Communication + Technology in San Francisco. “Thanks to social media, what an employee says is heard by a lot of people.”

Employees at Starbucks found themselves thrust into controversy in March 2015 after the company launched a marketing campaign aimed at getting its customers to talk about race by writing the slogan “Race Together” on its cups. The public backlash was fast and furious: Almost three-fifths of the 79,000 social media mentions of the campaign on its first day were negative. The overall sentiment was that Starbucks was oversimplifying a complex issue and exploiting racial tension for publicity.

But Starbucks’ CEO Howard Schultz did the right thing in following up with employees immediately, according to Paul A. Argenti, professor at Dartmouth College’s Tuck School of Business. He quickly wrote an all-staff memo thanking Starbucks employees for their work on the weeklong initiative and describing the other efforts the company was pursuing to address diversity and inequality. “Starbucks has been really good at dealing with crises internally, and Schultz is excellent at writing internally and using it externally,” Argenti says.

Indeed, Schultz took a proactive approach by making that “internal” memo public—aligning his strategies for handling the crisis within and outside the company. “Internal communications should at least be concurrent with external communications,” Holtz says.

A month later, Starbucks proved that it had successfully weathered the storm: The company’s stock hit an all-time high.

Thanks to social media, the public now has direct access to a trusted source of information: employees. And today’s media-savvy populace tends to put greater faith in what rank-and-file staff have to say than in what comes from corporate spokespeople, according to the 2016 Edelman Trust Barometer. “Inside information is always viewed as more reliable than third-party information,” says Steven Fink, president and CEO at Lexicon Communications Corp. in Los Angeles.

HR and communications experts differ in their opinions about whether employees should be able to communicate externally on behalf of the company following a crisis or if only designated spokespeople should do so, but they agree that trying to block social media channels is simply not feasible. Instead of attempting to halt the flood of communication, HR would do better to offer employees accurate and timely information that they can disperse to their own online networks, experts say.

“Give them the information and the confidence to address it with their communities,” Holtz says, especially if the crisis involves employees’ subject matter expertise. “Most organizations don’t take that approach, and I think that’s wrong,” he adds.

“Employees are probably going to be the single biggest determinant in how fast and how well an organization recovers from a crisis, and they’ll be the first contact with customers as recovery occurs,” says Paul Barton, principal consultant at Paul Barton Communications in Phoenix.

That means that failing to keep workers in the loop during emergencies can come at a high cost. “Employees recognize how an organization communicates a crisis,” says Iloma Simmons, SHRM-CP, senior employee relations specialist at JLL, a professional services firm based in Chicago. How leaders handle these situations will dictate how much faith employees and business partners will have in them, she says.

Just as important as planning before disaster strikes is the flip side—assessing communications afterward.

Communicating is also important for ensuring continued productivity. If staff are unaware of their organization’s response, “people are spending more time talking about what’s happening than doing their jobs,” says Jeanne Achille, president and CEO of The Devon Group in Red Bank, N.J.

A communications blackout is likely to affect how employees feel about returning to work as well. “Once a crisis is over, we need employees to come back in a positive, willing way to work,” says Ivan Thompson, vice president for HR and CHRO at the University of Texas Southwestern Medical Center in Dallas.

Sidebar: 8 Tips for Communicating with Employees During a Crisis

1. Be proactive. Anticipate and plan for crises that your organization could encounter before they happen.
2. Get a team together. During the planning phase, identify employees who will make up the crisis management team—the people who will know what to do when disaster strikes.
3. Don’t expect employees to come to you. Implement a notification system that quickly reaches out to employees with accurate information and guidance.
4. Don’t put up roadblocks. Trying to keep employees from communicating about crises via social media is futile. Instead, help them shape their messages by giving them correct information in a timely manner.
5. Act fast—but only say what you know to be true. Speed is of the essence when it comes to crisis communications, but it shouldn’t come at the price of accuracy.

6. Don’t go silent. If your organization is not yet ready to respond to an emergency, HR should at least let staffers know that the organization is gathering information and will follow up as soon as it can.

7. Test—then test again. The most well-crafted communication plan won’t be very helpful if employees have no idea what it is or how to use it. At least once a year, test the process to find out from workers what it does and doesn’t do well, and then adjust accordingly.
8. Evaluate. Post-crisis assessments are as important as pre-crisis plans. After the fact, review how the internal communication plan was executed. Determine what succeeded and what can be improved.

Smooth Delivery

Even though different internal audiences may need different information, depending on how the crisis affects them and their ability to do their jobs, employers should keep messages consistent. Doing so makes it unlikely that employees will have different understandings of the situation or will feel like they’re not being treated the same as their colleagues. “Anyone who’s impacted by a crisis should receive the same information at the same time,” Simmons says.

She made sure that happened at imaging company Canon, where she worked when Hurricane Sandy hit the eastern seaboard in 2012. All communications directed at Canon employees on the East Coast—such as office closures, assistance hotlines and donation options—were also communicated to workers in the Midwest. “I made sure the information on the regional level was disseminated on the national level by working with senior management and putting that information in e-mails and weekly newsletters,” she says.

It’s also best if all communication originates from the same source—preferably senior leaders—and if employees at all rungs on the corporate ladder are given the same message.

You need to communicate with everyone at once because you want everyone to think and act like owners,” Argenti says. During crises, company leaders should ideally communicate with their staff face to face—which is what leaders at The New York Times did in the aftermath of the Sept. 11 attacks, Argenti says. When that’s not possible, a videoconference or audio message from the CEO can be an effective alternative. “After [Sept. 11], Goldman Sachs’ CEO used voice mail, and hearing his voice was comforting for employees,” he says.

As tempting as it may be to go silent until you have a firm handle on the situation, don’t. It’s better to simply communicate what you do and don’t know. “Even if complete information is not available, at least communicate so that there’s not an information vacuum,” Thompson says.

At the same time, don’t share anything you can’t verify. “Speed is of the essence, but it should be tempered by the need for accurate information,” Thompson adds.

Work with company leaders to communicate with employees as quickly and efficiently as possible. “HR should know the best ways to get in touch with employees,” Achille says. If the messaging comes from managers rather than directly from the CEO, help train those supervisors in crisis communications. “HR needs to make sure those managers know how to deliver a crisis message,” she says.

Achille advises having a standby statement: “We’re looking at the situation, and we’ll be back in touch shortly,” for example. “You want to at least acknowledge you have a sense of what’s going on,” she says. “You set expectations that will quiet down the noise level among employees.”

Plan and Review

When a crisis hits, don’t wait for employees to come to you for information. HR should immediately reach out. At Nashville-based design and architecture firmGresham, Smith and Partners, employees used to be notified about emergencies via a recorded message when they called a specific phone number.

But during a test of the system, HR found that, among the 680 employees at the company’s headquarters, only a dozen actually checked the message over a two-week period. “It required multiple steps and left it in the hands of employees to get the message rather than being sent the message,” says Johnetta Scales, HR training and development manager at the company.

The firm implemented a new system during the past year that pushes notifications out to affected employees via phone, e-mail and text. This year, the organization used the new system twice during severe snowstorms.

“We wanted to reach employees and let them know to stay off the roads and work from home, rather than having to wonder if the office is open, if anybody is there, if they should try to make it,” Scales says. “We were really happy with that.”

Like Cisco’s HR team, the HR staff at Gresham, Smith and Partners realized that one communication channel was not enough. The process needs to account for the reality that people have different preferred modes of communication.

“HR needs to be intimately connected with the best ways to get in touch with its employees,” Achille says. “Not everyone is sitting in front of a computer all day long.”

Of course, plans need to be in place long before a disaster hits. “We think of crises as acute, and that’s accurate. But it’s normal to have crises, so you should always be prepared for them,” Achille says.

Planning should involve determining not only what and how to communicate to employees but also who will serve as the designated crisis management group. “HR should be embedded in that team,” Thompson says.

Testing is an essential part of planning. HR departments should simulate crises to test communication procedures at least quarterly, Holtz recommends.

“It’s important to practice and drill and then evaluate those drills for continuous improvement,” Barton says.

The planning phase should take into account any emergencies that might potentially affect an organization—even the most extreme. Immediately after the Sept. 11 attacks, PetSmart’s employees asked the organization how they could donate money, blood and products to the relief efforts. “We didn’t know what to tell them,” says Barton, who worked at PetSmart at the time. Following that event, the HR team changed its process so that the company can instantly provide employees with a comprehensive list of ways they can help.

Just as important as planning before disaster strikes is the flip side—assessing communications afterward. This can help the organization improve the system the next time around. “There should always be a postmortem,” Achille says.

All internal crisis communication processes should support a dialogue that allows the business to communicate to employees and that lets HR hear from workers about their status and concerns.

“Good employee communication is two-way,” Holtz says.

While no one can control when a natural disaster will hit—or when a product will malfunction, or when a vicious rumor will go viral—HR professionals can control how they communicate in the wake of these events. Doing so will help employees get the information they need as quickly as possible without jeopardizing their trust in the company over the long term. That’s at least one crisis averted.

https://www.shrm.org/hr-today/news/hr-magazine/1116/pages/communicating-with-employees-during-a-crisis.aspx




Break Event Point (BEP)

Break Event Point (Titik Impas)

Bila C (Q) = f(Q) dan R(Q) = f(Q) , maka Laba = R-C.

Bila R > C —-> laba, kurva R di atas C

Bila R < C —-> rugi, kurva R di bawah C

Bila R = C, berarti impas (laba = 0), —-> Titik Impas ada pada perpotongan R dan C

Syarat Break Even Point (BEP) —> R = C




Perlindungan karya cipta

Didalam UU yang terbaru mengenai Hak Cipta yaitu UU Nomor 28 Tahun 2014 disebutkan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengertian pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Sedangkan pengertian ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.

UU Hak Cipta ini memberikan perlindungan kepada pemilik karya cipta secara moral (moral right) maupun ekonomi (economic right) dan hak cipta juga bisa dijaminkan dengan cara fiducia maupun dialihkan sebagaimana benda bergerak pada umumnya, namun yang menarik di dalam UU Hak cipta yang terbaru menyebutkan bahwa hak cipta dapat dialihkan dengan cara wakaf (Pasal 16 ayat 1).

Perlindungan yang diberikan ini sangat wajar mengingat bahwa pembuat karya cipta telah mengeluarkan segala kemampuannya untuk menciptakan sebuah karya cipta yang dapat dimanfaatkan untuk seluruh manusia. Maka dengan demikian kepemilikan atas karya cipta tersebut merupakan hak eksklusif baginya. Ia berhak melakukan apapun terhadap karyanya tersebut antara lain untuk menyebarkannya ditengah masyarakat, mengumumkan atau mendapatkan keuntungan materi dari karya cipta tersebut.

Berdasarkan UU tersebut terlihat bahwa Negara telah memberikan perlindungan bagi setiap individu yang melahirkan karya cipta dan hak cipta tersebut mengandung nilai ekonomi dan kemanfaatannya. Namun, ironisnya teryata berdasarkan informasi dari Republika online yang diupload pada 25 Januari 2012 dikatakan bahwa Indonesia sering dibilang surga bagi para pengedar barang-barang bajakan atau tiruan mulai dari barang elektronik sampai aneka garmen. Bahkan pada Tahun 2007, Indonesia tercatat sebagai negara yang masuk kedalam lima besar negara yang banyak melakukan pelanggaran HKI (Hak Kekayaan Intelektual).

Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas umat islam, perlu mengedepankan aspek bermuamalah dalam perspektik hukum islam, dalam hal ini yang hendak diangkat adalah tentang perlindungan terhadap HKI dalam perspektif Hukum Islam. Ternyata persoalan HKI telah menjadi perhatian bagi para ulama, terbukti dengan keluarnya Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) Nomor 1/MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang HAKI, bahkan sebelumnya ada fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2003 tentang Hak Cipta.

Fatwa tersebut lahir, tentu diawali dengan pengkajian yang mendalam dari aspek dalil atau landasan hukum. Salah satu dalil dalam melahirkan fatwa tersebut adalah sebagaimana disebutkan didalam QS An Nisa :29 dan QS As Syu’ara: 183 yang secara umum menjelaskan adanya larangan untuk memakan harta orang lain secara batil dan larangan mengurangi hak-hak orang lain.

Berdasarkan ayat tersebut diatas, jelas terlihat bahwa karya cipta merupakan hal yang bermanfaat dan berhasil guna bagi pemiliknya (sekaligus mengandung hak bagi penciptanya untuk mendapatkan perlindungan baik secara moral maupun secara ekonomi), sehingga melakukan pembajakan terhadap karya cipta seseorang masuk kedalam kategori pelanggaran dan dzolim terhadap hak orang lain. Bahkan secara tegas MUI menyebutkan bahwa karya cipta termasuk kedalam kategori hak kekayaan yang memerlukan perlindungan hukum.

Dengan demikian sangat pantas jika seorang pembuat karya cipta berhak atas hasil karya ciptanya. Dengan kata lain, ia berhak memperoleh manfaat hasilnya dan ia juga memiliki hak istimewa atas karya cipta tersebut dimana hak tersebut dilindungi oleh syara’ dan karena merupakan hak pribadi maka setiap orang yang akan memanfaatkan karyanya memerlukan izin terlebih dahulu dari pencipta karya tersebut. Pelanggaran terhadap perlindungan hak cipta ini tentu bukan hanya masuk kedalam kategori pelanggaran Hukum namun juga sekaligus melanggar larangan Allah untuk melindungi hak orang lain atau tidak merugikan manusia karena mengurangi hak-haknya. Wallahu a’lam.