Ketika ada suka cita dalam kematian

Ketika ada suka cita dalam kematian

Suku Toraja menetap di di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan. Sebagian besar dari mereka memeluk agama Kristen, tetapi agama tradisional mereka yaitu Aluk To Dolo tetap kuat pengaruhnya. Kata Toraja sendiri berasal dari bahasa Bugis, to riaja yang artinya orang-orang yang berdiam di negeri atas.[1]

Suku Toraja memiliki banyak ritual yang menarik, salah satunya adalah ritual kematian yang disebut sebagai Rambu Solo atau asap turun. Upacara ini sering dianggap sebagai penyempurnaan sebuah kematian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal ketika semua prosesi diselesaikan. Jika belum, maka orang yang meninggal hanya dianggap sebagai orang sakit atau to makula. Ia pun masih diperlakukan seperti layaknya orang hidup, seperti dibaringkan di tempat tidur, diberi hidangan dan diajak bicara.  Ritual kematian dihadiri ratusan orang dan biasanya berlangsung beberapa hari. Semakin kaya dan berkuasa seseorang maka biaya upacara pemakamannya akan semakin besar.[2] Besarnya upacara pemakaman Toraja bisa dilihat dari jumlah dan mutu kerbau-kerbau yang akan disembelih.[3] Setelah disembelih, bangkai kerbau termasuk kepalanya akan dijajarkan di padang rumput menunggu pemiliknya yang sedang dalam ‘masa tidur’. Suku Toraja percaya arwah membutuhkan banyak kerbau agar bisa lebih cepat sampai ke Puya atau dunia arwah.[4]

Upacara pemakaman biasanya digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun sejak kematian terjadi. Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan dan disimpan di bawah tongkonan atau rumah tradisional Toraja. Arwah orang yang sudah mati dipercaya akan tetap tinggal di desa itu sampai upacara pemakaman selesai baru kemudian arwah melanjutkan perjalanannya ke Puya. Setelah upacara selesai, dilanjutkan dengan pengusungan jenazah ke peristirahatan terakhirnya dimana peti mati bisa disimpan di dalam gua batu, makam batu berukir, atau digantung di tebing.[5]

Yang menarik adalah orang Toraja menganggap kematian bukan sebuah perpisahan tapi justru sebagai pusat kehidupan. Mereka percaya bahwa orang tidak sungguh-sungguh mati saat meninggal. Kematian hanyalah jenis lain dari sebuah hubungan. Karena itulah secara rutin, orang-orang Toraja mengeluarkan kerabatnya dari makam untuk menggantikan baju atau kain kafannya.[6] Bagi mereka kematian bukan hal yang permanen. Kerabat yang sudah meninggal hanya akan berubah bentuk menjadi leluhur yang tetap masih bisa terhubung dengan orang-orang yang ditinggalkan.

 

 

 

[1] Suku Toraja: https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja

[2] Suku Toraja: https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja

[3] Ketika Kematian Bukanlah Berpisah. National Geographic, April 2016. Hal: 60.

[4] Suku Toraja: https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja

[5] Suku Toraja: https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja

 

[6] Ketika Kematian Bukanlah Berpisah. National Geographic, April 2016. Hal: 57.




Mengukur Performance Website

MENGUKUR PERFORMANCE WEBSITE

Memiliki website di era informasi yang semakin berkembang seperti sekarang ini adalah sesuatu hal yang umum. Seperti yang dapat kita lihat, terdaftar setiap harinya ribuan website baru, hampir diseluruh dunia kurang lebih sekitar 650 juta website yang terdaftar hingga kini.

Website dibangun sebagai sarana publikasi dan informasi yang terkait dengan profil, fasilitas pelayanan, kegiatan, dan aspek lain yang dapat diberikan oleh perorangan atau organisasi bersangkutan, hal lain yang juga penting dari dibangunnya sebuah website adalah apakah informasi dari situs tersebut mudah ditemukan oleh pencari informasi.

Dengan performance website yang baik, yaitu baik dari sisi kecepatan, kemudahan mengakses dan kelengkapan informasi dalam website akan sangat membantu masyarakat dalam mencari informasi yang dibutuhkan hingga usability/kegunaan website tersebut menjadi lebih meningkat. Berdasarkan hal tersebut performance website dapat diukur dengan menngunakan tujuh aspek dibawah ini (Montenegro Villota 2009).

  • Accessibility
  • Customization & Personalization
  • Download Speed
  • Ease of Use
  • Errors
  • Navigation
  • Site Content

 

Accessibility

Accessibility dapat diartikan sebagai ketersediaan dan kemudahan pengguna untuk meng-akses content dari suatu website dengan segala keterbatasan yang dimiliki pengguna dan juga dengan menggunakan berbagai macam perangkat computer atau teknologi informasi dan komunikasi. (Pearson, Pearson et al. 2007). Dalam World Wide Web Consortium 1999 dijelaskan bahwa aksesibilitas mengacu pada situasi dimana seorang designer website mempertimbangkan agar website yang dibuatnya dapat diakses oleh user diberbagai keadaan, contoh dapat menampilkan berbagai jenis bahasa, berbagai jenis browser, dan lainnya.

Customization & Personalization

Customization & personalization dapat diartikan sebagai suatu website yang menyediakan content atau isi yang dinamis serta berisikan informasi yang telah disesuaikan untuk user tertentu (Pearson, Pearson et al. 2007). (Agarwal and Venkatesh 2002) mendefinisikan Customization &personalization sebagai karakteristik suatu website yang sesuai dengan kebutuhan user tertentu. Hal ini dapat dilihat dari tingkat popularitas website yaitu dari jumlah pengunjung dan atau jumlah halaman yang diakses pengunjung.

Download Speed

Penundaan materi instruksional yang muncul pada halaman web setelah halaman diakses adalah definisi Download speed menurut (Davis and Hantula 2001). Istilah lain adalah user response time atau waktu respon pengguna (Palmer 2002) atau download delay (Rose and Straub 2001), (Palmer 2002), (Davis and Hantula 2001).

Criteria ini sangatlah penting karena akan mengakibatkan users menjadi frustasi jika untuk mendapatkan informasi pada sebuah situs web meraka menunggu lebih dari beberapa detik (Nielsen 1994).

 Ease of Use

Ease of use terkait dengan usaha atau upaya yang diperlukan untuk meng-gunakan sebuah website atau seberapa mudah sebuah website dapat digunakan (Venkatesh and Davis 1996). Ease of use merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan penerimaan user dengan kemudahan mengakses informasi di website dengan menggunakan teknologi yang ada (Venkatesh, Morris et al. 2003). Pada criteria ini dapat dilihat seberapa baik sebuah website dirancang dan dibangun oleh seorang designer web.

 Errors

Errors merupakan jumlah kesalahan selama menggunakan website yang dapat dilakukan oleh user, seberapa besar kesalahan tersebut dan bagaimana mereka dapat menangani kesalahan-kesalahan tersebut (Nielsen 2004). Untuk mengetahui jumlah error maka dalam penilaian kriteria errors ini, peneliti akan mengecek link-link yang rusak pada suatu website (error atau broken links). Hal ini dikuatkan pernyataan bahwa link-link yang rusak pada suatu website dapat menurunkan kualitas usability website (Jati 2011).

 Navigation

Navigation didefinisikan sebagai cara atau metode yang digunakan untuk menemukan informasi dalam suatu situs web (Koyani, Bailey et al. 2004), hal ini terkait dengan seberapa banyak Link yang ada dalam website tersebut. Link website memudahkan para pengguna website dalam menjelajah website. Biasanya setiap halaman pada suatu website memiliki link atau koneksi ke halaman lain, baik dalam satu website maupun keluar website. User berharap bahwa link-link tersebut valid, yaitu mampu mengarahkan pengguna ke halaman website yang dituju.

Kerusakan link dalam suatu website adalah salah satu factor yang dapat menurunkan kualitas usability dari website (Jati 2011). Berdasar hal tersebut, maka penelitian ini akan menghitung jumlah link yang tersedia dalam web tersebut. Semakin banyak link yang dimiliki oleh website semakin banyak informasi yang akan didapat dari website dan semakin meningkat kualitas usability website tersebut.

 Site Content

Site content mengacu pada keakuratan informasi yang disediakan dan juga kualitas serta volume dari konten sebuah website tersebut (Palmer 2002).

 

Demikian lah ketujuh aspek yang dapat digunakan untuk mengukur performance suatu website.




Netiquette Part 2: Berbagi info boleh? Boleh, tapi ada etikanya.

Oleh: Mardiana Sukardi
Seringkali kita menemukan ada artikel atau tulisan yang bagus di internet. Dan kita ingin membagikan atau meneruskan artikel atau tulisan tersebut dalam akun media sosial kita. Sebelum itu maka perhatikan etikanya terlebih dahulu.

Ada 2 cara yang dapat digunakan untuk meneruskan tulisan tersebut:
1. Gunakan fitur Bagikan atau Share yang biasanya ada di bagian bawah tulisan. Dengan cara ini, maka link tulisan tersebut akan masuk dalam dinding akun kita. Cara ini paling aman, karena tidak ada bagian yang tertinggal. Sertakan pula caption yang sesuai dan apabila memungkinkan mentioned si penulis atau sertakan namanya. Tapi cara ini ada sedikit kelemahan, karena pembaca yang tertarik, perlu harus membuka tautan tersebut. Dan hal ini tergantung dari koneksi internet yang dimiliki.

2. Cara berikutnya adalah menyalin isi tulisan dalam dinding media sosial kita. Memang pembaca akan lebih mudah saat ingin membacanya. Tapi yang sangat perlu diperhatikan adalah, sebelum kita tekan Post, pastikan tidak ada bagian tulisan yang tertinggal. Tidak ada bagian yang diubah ato dikurangi, karena bisa mengubah arti keseluruhan tulisan. Hal tersebut sangat tidak baik untuk dilakukan. Tulis di bagian atas bahwa ini adalah tulisan dari siapa. Dari sejak awal kita harus jujur bahwa ini bukan tulisan kita. Seringkali kita lihat ada suatu tulisan, setelah kita baca habis, baru di bawah kita tahu ternyata ini bukan tulisan si pemilik akun. Mari kita hargai sejak awal kepemilikan tulisan tersebut.

Okay, sekarang kalau sudah tahu etikanya, mari berbagi informasi yang baik dan benar.

Jakarta, hujan di akhir Januari 2017




UX dan UI

User Experience (UX) dan User Interface (UI)

Pernah dengar istilah User Experience (UX) dan User Interface (UI)? Apa sih sebenarnya UX dan UI itu?

Banyak orang berkata  User Experience (UX) dan User Interface (UI) adalah sama tapi pada dasar nya itu semua sangat lah berbeda namun ada hubungannya, kita lihat dulu dari pengertian nya.

Pengertian UX dan UI

User Experience

User Experience Design atau yang biasa disebut UX Design yaitu adalah:

Proses meningkatkan kepuasan pengguna (pengguna aplikasi, pengunjung website) dalam meningkatkan kegunaan dan kesenangan yang diberikan dalam interaksi antara pengguna dan produk.

Bahasa gampangnya, UX Design itu proses membuat sebuah website atau aplikasi yang kamu buat menjadi mudah untuk digunakan dan tidak membingungkan ketika digunakan oleh pengguna.

jadi tugas web designer sangat di tuntut disini agar bisa membuat design web yang interaktif dan memuaskan pengujung web kita.

User Interface

User Interface Design atau yang bahasa Indonesianya itu Desain Antarmuka Pengguna adalah :

Desain antarmuka untuk mesin dan perangkat lunak, seperti komputer, peralatan rumah tangga, perangkat mobile, dan perangkat elektronik lainnya, dengan fokus pada memaksimalkan pengalaman pengguna.

Bahasa gampangnya yaitu UI Design adalah bagaimana suatu website atau aplikasi yang kamu buat terlihat seperti apa. Orang biasa menyebutnya sebagai tampilan atau desain sebuah website.

Perbedaan UX dan UI

Banyak orang yang salah kaprah bahwa UI sama UX itu adalah suatu hal yang sama. Pada faktanya UX dan UI itu berbeda, namun satu sama lain saling berhubungan.

Pada dasarnya, User Experience adalah tentang “memahami penggunamu”. Tujuan UX adalah mencari tahu siapa mereka, apa yang mereka capai dan apa cara terbaik bagi mereka untuk melakukan “sesuatu”.

UX berkonsentrasi pada bagaimana sebuah produk terasa dan apakah itu memecahkan masalah bagi pengguna.

Sedangkan User Interface adalah bagaimana suatu website atau aplikasi yang kamu buat terlihat dan berbentuk seperti apa. Hal tersebut mencakup Layout (tata letak), Visual Design (desain visual) dan Branding.




Metode Fuzzy Logic (Logika Fuzzy) untuk Mendukung Keputusan

 Fuzzy Logic (Logika Fuzzy)

  1. Himpunan Crisp Dan Himpunan Fuzzy 

Himpunan Crisp didefinisikan oleh item-item yang ada pada himpunan itu. Jika a anggota dari A, maka nilai yang berhubungan dengan a adalah 1. Namun, jika a bukan anggota dari A, maka nilai yang berhubungan dengan a adalah 0. Notasi A = {x P(x)} menunjukkan bahwa A berisi item x dengan P(x) benar. Jika XA merupakan fungsi karakteristik A dan properti P, maka dapat dikatakan bahwa P(x) benar, jika dan hanya jika XA(x) = 1.

Himpunan fuzzy didasarkan pada gagasan untuk memperluas jangkauan fungsi karakteristik sedemikian sehingga fungsi tersebut akan mencakup bilangan real pada interval [0,1]. Nilai keanggotaannnya menunjukkan bahwa suatu item dalam semesta pembicaraan tidak hanya berada pada 0 atau 1, namun juga nilai yang terletak diantaranya. Dengan kata lain, nilai kebenaran suatu item tidak hanya bernilai benar atau salah. Nilai 0 menunjukkan salah, nilai 1 menunjukkan benar dan masih ada nilai-nilai yang terletak antara benar dan salah. Beberapa hal yang perlu diketahui dalam memahami sistem fuzzy :

  • Variabel Fuzzy. Merupakan variabel yang hendak dibahas dalam suatu sistem fuzzy, contoh : umur, temperature, permintaan dan sebagainya.
  • Himpunan Fuzzy. Merupakan suatu grup yang mewakili suatu kondisi atau keadaan tertentu dalam suatu variabel fuzzy,
    • contoh : –   Variabel umur dibagi menjadi 3 himpunan fuzzy : muda, parobaya, tua.

–  Variabel temperature ibagi menjadi 5 himpunan fuzzy : dingin, sejuk, normal, hangat dan panas.

  • Semesta Pembicaraan. Keseluruhan nilai yang diperbolehkan untuk dioperasikan dalam suatu variabel fuzzy, contoh : semesta pembicaraan untuk variabel temperature : [0 40].
  • Domain. Keseluruhan nilai yang diinginkan dalam semesta pembicaraan dan boleh dioperasikan dalam suatu himpunan fuzzy.
  • Nilai Ambang Alfa-Cut. Merupakan nilai ambang batas domain yang didasarkan pada nilai keanggotaan untuk tiap-tiap domain, dimana α – cut memiliki 2 kondisi :    α -cut lemah dapat dinyatakan sebagai : μ (x) ≥ α,  α – cut kuat dapat dinyatakan sebagai : μ (x) > α [2]

                     

  1. Fungsi Keanggotaan 

Fungsi Keanggotaan. Fungsi keanggotaan (membership function) adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaaan titik-titik input data kedalam nilai keanggotaannya (sering disebut dengan derajat keanggotaan) yang memiliki interval antara 0 sampai 1.

Fungsi keanggotaan dapat dibuat kedalam beberapa bentuk kurva diantanya,

a. Representasi Linier

Pada representasi linier, permukaan digambarkan sebagai suatu garis lurus. Bentuk ini paling sederhana dan menjadi pilihan yang baik untuk mendekati suatu konsep yang kurang jelas. Ada 2 kemungkinan keadaan himpunan fuzzy yang linier. Pertama, kenaikan himpunan dimulai pada nlai dominan yang memiliki derajat keanggotaan nol [0] bergerak kekanan menuju ke nilai domain yang memiliki derajat keanggotaan lebih tinggi.

b. Representasi Kurva Segitiga

Kurva segitiga pada dasarnya merupakan gabungan antara 2 garis linier

 

 

  1. Sistem Interferensi Fuzzy

Metode Penalaran Monoton

Metode penalaran monoton digunakan sebagai dasar untuk teknik implikasi fuzzy. Meskipun penalaran dengan menggunakan teknik ini sudah jarang sekali digunakan, namun terkadang masih digunakan untuk penskalaan fuzzy. Jika 2 daerah direlasikan dengan implikasi sederhana sebagai berikut:

IF x is A THEN y is B

Transfer fungsi:

y = f ( (x , A) , B )

Maka sistem fuzzy dapat berjalan tanpa harus melalui komposisi dan dekomposisi fuzzy. Nilai output dapat diestimasi secara langsung dari derajat keanggotaan yang berhubungan dengan antesendennya.

 

  1. Metodologi Desain Sistem Fuzzy

Untuk melakukan perancangan suatu sistem fuzzy perlu dilakukan beberapa tahapan berikut ini :

a. Mendefinisikan karakteristik model secara fungsional dan operasional.

Pada bagian ini perlu diperhatikan karakteristik apa saja yang dimiliki oleh sistem yang ada, kemudian dirumuskan karakteristik operasi-operasi yang akan digunakan pada model fuzzy.

b. Melakukan dekomposisi variabel model menjadi himpunan fuzzy

Dari variabel-variabel yang telah dirumuskan, dibentuk himpunan-himpunan fuzzy yang berkaitan tanpa mengesampingkan domainnya.

c. Membuat aturan fuzzy

Aturan pada fuzzy menunjukkan bagaimana suatu sistem beroperasi. Cara penulisan aturan secara umum adalah : If (X1 is A1) . … . (Xa is An) Then Y is B dengan ( . ) adalah operator (OR atau AND), X adalah scalar dan A adalah variabel linguistik.

 

Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat aturan adalah :

– Kelompokkan semua aturan yang memiliki solusi pada variabel yang sama.

–  Urutkan aturan sehingga mudah dibaca.

– Gunakan identitas untuk memperlihatkan struktur aturan.

–  Gunakan penamaan yang umum untuk mengidentifikasi variabel-variabel pada kelas yang  berbeda.

–  Gunakan komentar untuk mendeskripsikan tujuan dari suatu atau sekelompok aturan.

–  Berikan spasi antar aturan.

–  Tulis variabel dengan huruf-huruf besar-kecil, himpunan fuzzy dengan huruf besar dan elemen-elemen bahasa lainnya dengan huruf kecil.

 d. Menentukan metode defuzzy untuk tiap-tiap variabel solusi

Pada tahap defuzzy akan dipilih suatu nilai dari suatu variabel solusi yang merupakan konsekuen dari daerah fuzzy. Metode yang paling sering digunakan adalah metode centroid, metode ini memiliki konsistensi yang tinggi, memiliki tinggi dan lebar total daerah fuzzy yang sensitif.

 

  1. Metode Tsukamoto

Pada Metode Tsukamoto, setiap konsekuen pada aturan yang berbentuk IF-Then harus direpresentasikan dengan suatu himpunan fuzzy dengan fungsi keanggotaan yang monoton. Sebagai hasilnya, output hasil inferensi dari tiap-tiap aturan diberikan secara tegas (crisp) berdasarkan α-predikat (fire strength). Hasil akhirnya diperoleh dengan menggunakan rata-rata terbobot.

 

Referensi:

Kusumadewi, Sri (2003). Artificial Intelligence (Teknik dan Aplikasinya). Edisi Pertama. Penerbit Graha Ilmu, Jakarta.

T. Sutojo, E. Mulyanto dan V. Suhartono, 2011. “Kecerdasan Buatan”, Ed. I, Penerbit ANDI, Yogyakarta.

Kusumadewi. S dan H. Purnomo. (2004). Aplikasi Logika Fuzzy Untuk Mendukung Keputusan. Graha Ilmu, Yogyakarta.

 




Metode Profile Matching (Pencocokan Profil) Untuk Menghitung Gap Penilaian Dalam Pengambilan Keputusan

Metode Profile Matching (Pencocokan Profil)

Proses perhitungan pada metode Profile Matching, diawali dengan pendefinisian nilai minimum untuk setiap variabel-variabel penilaian. Selisih setiap nilai data testing terhadap nilai minimum masing-masing variabel, merupakan gap yang kemudian diberi bobot. Bobot setiap variabel akan dihitung rata-rata berdasarkan kelompok variabel Core Factor (CF) dan Secondary Factor (SF). Komposisi CF ditambah SF adalah 100%, tergantung dari kepentingan pengguna metode ini. Tahap terakhir dari metode ini, adalah proses akumulasi nilai CF dan SF berdasarkan nilai-nilai variabel data testing.

Pembobotan pada metode Profile Matching, merupakan nilai pasti yang tegas pada nilai tertentu karena nilai-nilai yang ada merupakan anggota himpunan tegas (crisp set). Di dalam himpunan tegas, keanggotaan suatu unsur di dalam himpunan dinyatakan secara tegas, apakah objek tersebut anggota himpunan atau bukan dengan menggunakan fungsi karakteristik.

Langkah-langkah metode profile matching adalah:

  1. Menentukan variabel data-data yang dibutuhkan.
  2. Menentukan aspek-aspek yang digunakan untuk penilaian.
  3. Pemetaan Gap profil.

Gap = Profil Minimal – Profil data tes

  1. Setelah diperoleh nilai Gap selanjutnya diberikan bobot untuk masing-masing nilai Gap.
  2. Perhitungan dan pengelompokan Core Factor dan Secondary Factor. Setelah menentukan bobot nilai gap, kemudian dikelompokan menjadi 2 kelompok yaitu:
    1. Core Factor (Faktor Utama), yaitu merupakan kriteria (kompetensi) yang paling penting atau menonjol atau paling dibutuhkan oleh suatu penilaian yang diharapkan dapat memperoleh hasil yang optimal.

NFC = ENC / EIC

Keterangan:

NFC     :  Nilai rata-rata core factor

NC       :  Jumlah total nilai core factor

IC         :  Jumlah item core factor

            2. Secondary Factor (faktor pendukung), yaitu merupakan item-item selain yang ada pada core factor.

Atau  dengan kata lain merupakan faktor pendukung yang kurang dibutuhkan oleh suatu penilaian.

NFS = ENS / EIS

Keterangan:

NFS   :  Nilai rata-rata secondary factor

NS     :  Jumlah total nilai secondary factor

IS       :  Jumlah item secondary factor

  1. Perhitungan Nilai Total. Nilai Total diperoleh dari prosentase core factor dan secondary factor yang diperkirakan berpengaruh terhadap hasil tiap-tiap profil.

                       N = (x) % NCF + (x) % NSF                      

Keterangan:

N  :  Nilai Total dari kriteria

NFS         :  Nilai rata-rata secondary factor

NFC         :  Nilai rata-rata core factor

(x) %        :  Nilai persen yang diinputkan

 

  1. Perhitungan penentuan ranking. Hasil Akhir dari proses profile matching adalah ranking. Penentuan ranking mengacu pada hasil perhitungan tertentu.

                             Ranking = (x) % NMA + (x) % NSA     

Keterangan :

NMA        :  Nilai total kriteria Aspek Utama

NSA           :  Nilai total kriteria Aspek Pendukung

(x) %        :  Nilai persen yang diinputkan

 

Referensi:

Jumadi, Cecep Nurul Alam, Ichsan Taufik (2015). “Pendekatan Logika Fuzzy untuk Perhitungan Gap pada Metode Profile Matching dalam Menentukan Kelayakan Proposal Penelitian”, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi, Bandung.

Turban, E. (1988). Decision Support and Expert System. MacMillan Publishing Company, New York.

Marimin (2005). Teori Dan Aplikasi Sistem Pakar Dalam Tehnologi Manajerial. IPB – Press, Bogor




Belajar Pemrograman Yang Lebih Efektif Melalui Serious Game (Bagian 2)

OLEH
AGNES NOVITA IDA SAFITRI

Literature Review
Pemrograman dikenal karena kompleksitas dan kesulitannya. Subyek ini diyakini sulit untuk diajarkan dan dipelajari dan banyak mahasiswa pada mata kuliah pemrograman mengalami kesulitan untuk menguasai semua kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan. Pembelajaran ini merupakan tugas yang menantang terutama pada tingkat dasar dan seringkali memiliki tingkat kegagalan mahasiswa yang tinggi (Robinsetal., 2003). Banyak alasan yang dikemukakan atas hal ini, terutama, metode pengajaran tradisional umumnya didasarkan pada kuliah dan sintaks bahasa pemrograman tertentu, yang mengakibatkan kesulitan belajar pada pemula, dan seringkali tidak berhasil untuk menarik dan memotivasi mereka sehingga mereka dapat terlibat dalam kegiatan pemrograman. (Lahtinenet al, 2005;. Schulte & Bennedsen, 2006). Kekhawatiran lain adalah kesulitan mahasiswa dengan konsep-konsep abstrak, yaitu: mengetahui bagaimana merancang solusi untuk suatu masalah, mengelompokkan kembali pemrograman menjadi subkomponen yang dapat dikodekan secara sederhana, dan memahami situasi di mana ada kesalahan hipotetis untuk menguji dan menemukan kesalahan; (Esteves dkk, 2008). dan kesulitan dalam memahami bahkan konsep yang paling dasar sekalipun (Lahtinenetal., op.cit .; Miliszewska & Tan, 2007) seperti variabel, tipe data atau alamat memori karena konsep-konsep abstrak ini tidak memiliki analogi langsung dalam kehidupan nyata (Lahtinenetal., op.cit .; Miliszewska & Tan, op.cit). Sebenarnya, siswa menerapkan prinsip-prinsip berpikir dan bertindak secara manusiawi terhadap komputer. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa langkah pertama dalam mempelajari pemrograman adalah dari yang sebelumnya pemikiran manusia menjadi konsep pemrograman.
Hal ini meliputi cara memahami bagaimana program dijalankan, baik dari segi variabel internal maupun file eksternal dan I/O (Kaasboll, 1998). Banyak solusi teknologi berupaya memecahkan masalah ini dengan menyediakan lingkungan yang memberikan fasilitas dalam tugas-tugas pelaksanaan dan mekanisme visualisasi, sementara mereka gagal dalam aspek-aspek lain seperti kurangnya motivasi dan ketidakmampuan untuk menggambarkan sebagaimana mestinya dengan cara yang dapat dipahami konsep pemrograman komputer yang kompleks ini (Henriksen & Kölling, 2004). Untuk mengatasi masalah ini, munculah gelombang baru mengenai lingkungan pendidikan yang disebut “Microworlds”, seperti Star Logo The Next Generation (Klopfer & Yoon, 2004); (. Maloneyetal, 2004);
Alice (Kelleher et al., 2002) yang mencakup algoritma dan visualisasi struktur data dan animasi untuk meningkatkan pembelajaran mereka (Shaffer et al., 2010). Gambar dinamis dan simbolik dalam algoritma animasi membantu dalam memberikan penampilan yang konkret terhadap gagasan abstrak dari metodologi algoritmik, sehingga membuatnya menjadi lebih eksplisit dan jelas (Kehoe et al., 2001). Meskipun lingkungan ini memberikan visualisasi yang lebih baik dari konsep umpan balik namun mahasiswa, terutama mahasiswa baru menghadapi masalah berarti dalam mata kuliah pemrograman komputer (Lahtinenetal, op.cit;.. Ragonis & Ben-Ari, 2005). Kurangnya motivasi dan metode fasilitasi yang membimbing mahasiswa dalam memahami konsep-konsep yang kompleks hanyalah dua masalah yang paling jelas yang belum berhasil diatasi sehingga mencegah keberhasilan pendidikan pemrograman komputer (Pir et al., 2007). Selanjutnya, perhatian akan ditujukan kepada teknologi lainnya yang dapat membuat mahasiswa lebih tertarik dan memudahkan tugas untuk pengajar. Untuk tujuan inilah, permainan pendidikan telah mulai menarik perhatian para pengajar dan digunakan sebagai motivator bagi mahasiswa pada kurikulum komputer dan penelitian (Eagle & Barnes, 2009).
Serious game dan permainan untuk belajar belakangan ini telah diusulkan sebagai cara yang menarik untuk membantu siswa dalam belajar (JISC, 2007). Minat pada serious game awalnya muncul dari spekulasi bahwa permainan dapat memberikan kegiatan yang sangat menarik yang dapat dimanfaatkan dalam belajar (Boyleetal., 2011).
Yang lebih penting, permainan menawarkan metode pembelajaran yang sangat sesuai dengan teori modern pembelajaran yang efektif yang mendorong bahwa kegiatan belajar harus bersifat aktif, bergantung situasi, berbasis masalah, interaktif dan memecahkan perbedaan secara sosial (Boyle et al., Op. Cit.). Seperti yang dikatakan sebelumnya, memperoleh dan mengembangkan pengetahuan mengenai pemrograman adalah proses yang sangat kompleks, dan melibatkan berbagai kegiatan kognitif, dan representasi mental yang berkaitan dengan perancangan program, pemahaman Program, memodifikasi, debugging (dan mendokumentasikan). (Rogalski & Samurçay, 1990, hal.170). Perhatian dalam makalah ini yang utama adalah menjalankan kedua-duanya yaitu program desain dan proses pemahaman program. Di mana tujuannya dinyatakan menurut tiga aspek.
Aspek yang pertama adalah membiarkan mahasiswa memusatkan perhatian pada penyelesaian masalah melebihi sintaks dari bahasa pemrograman. Yang kedua adalah mengurangi kesulitan yang mereka alami terhadap konsep-konsep abstrak. Dan yang terakhir, adalah memungkinkan mereka mengetahui bagaimana merancang solusi terhadap masalah dengan membaginya menjadi masalah yang lebih sederhana. Dengan demikian, penulis berhipotesa bahwa mengajarkan konsep algoritmik dengan cara memainkan permainan dapat meningkatkan keterlibatan mahasiswa, motivasi, dan akhirnya cara belajar mereka karena faktor-faktor ini, menurut peneliti (Garris, et al., 2002), dapat menjadi faktor yang paling penting dalam belajar. Serious game sendiri memiliki tujuan yaitu 1). Memotivasi siswa, 2). Peningkatan retensi belajar, 3). Peningkatan Transfer Pembelajaran, 4). Umpan balik segera, 5). Memperoleh Pengakuan. Tujuan-tujuan ini menjadi menarik untuk meningkatkan dan mempertahankan perhatian pengguna.
Dalam serious game kita dapat membedakan dua kategori permainan, yang pertama bertujuan mengajarkan unit pemrograman komputer, sedangkan kategori yang kedua meliputi permainan yang mencakup beberapa tujuan pedagogis. Permainan-permainan ini berusaha memotivasi peserta didik dengan meminta mereka untuk mengembangkan permainan mereka sendiri, selain itu beberapa permainan digunakan untuk mendukung pemahaman siswa mengenai logika di balik unsur-unsur pemrograman. Dengan adanya serious game ini diharapkan akan tercipta situasi yang menantang bagi pelajar. Pemikiran algoritmik adalah kemampuan kunci di bidang informatika yang dapat dikembangkan secara independen dengan mempelajari pemrograman (Futschek, 2006). Sintaks dari bahasa pemrograman tertentu adalah instruksi tambahan, terutama untuk pelajar baru yang dapat mengecilkan semangat mereka dan membuat mereka menyerah dalam belajar.
Titik penting dari serious game adalah adanya hubungan antara game tersebut dan konten pendidikannya. Beberapa percobaan menunjukkan bahwa serious game berhasil mencapai tujuannya jika unsur “permainan” yang kuat lebih ditonjolkan. Dengan demikian, serious game memiliki scripting ganda. Sebenarnya, ada dua skenario dalam merancang: scenario permainan (secara jelas/eksplisit) sesuai dengan skenario pembelajaran yang lain (secara tersirat/implisit). Ide nya adalah bahwa permainan memiliki tingkat n-berbeda; setiap tingkat ditujukan (secara implisit) untuk tujuan pembelajaran. Pada setiap tingkatnya, permainan tersebut mensimulasikan perilaku algoritma ini.
Titik mendasar lainnya adalah bagaimana menjaga motivasi pemain selama berlangsungnya permainan. Hanyut di dalam permainan adalah titik kunci untuk memberikan motivasi dan kolaborasi. Ada juga aspek lain yang harus diperhatikan. Ketika mahasiswa mempelajari sesuatu di dalam permainan, mereka harus mengalihkan pengetahuan yang diperoleh ke dalam kehidupan nyata. Jika permainan meliputi unsur-unsur yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, pengalihan ini akan disederhanakan (Carron et al., 2009). Para penulis memberikan beberapa pedoman untuk mempertimbangkan fitur yang dapat menghanyutkan sebanyak mungkin pada saat merancang permainan pendidikan (1) Kembangkanlah dunia yang koheren (2) Carilah tempat yang nyata atau orang yang biasanya terlibat dalam proses pembelajaran yang ingin anda integrasikan ke dalam permainan (3) Rancanglah sebuah skenario pedagogis secara keseluruhan, yaitu sebuah cerita, yang berlokasi di tempat yang disebutkan dalam desain permainan (4) Carilah peraturan dunia nyata apa yang perlu anda ciptakan ulang dalam permainan (5) Tentukanlah metafora yang berkaitan dengan cerita yang umum dan dengan objek pembelajaran yang berbeda.




Belajar Pemrograman Yang Lebih Efektif Melalui Serious Game (Bagian 1)

Belajar Pemrograman Yang Lebih Efektif
Melalui Serious Game (Bagian 1)

OLEH
AGNES NOVITA IDA SAFITRI

Introduction
Belajar pemrograman dan dasar-dasarnya adalah keterampilan dasar yang harus dipelajari semua mahasiswa pada perguruan tinggi ilmu komputer selama mengikuti kurikulum mereka. Untuk pemula, mempelajari pemrograman dalam banyak kasus dapat menyulitkan dan menantang, terutama jika mereka baru pertama kali mempelajarinya. Kekhususan dari kesulitan-kesulitan dan penyebab yang berkaitan senantiasa menjadi topik makalah ini, banyak alasannya dan beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengenali karakteristik mahasiswa programmer baru. Metodologi pembelajaran tradisional biasanya dilakukan dengan mengerjakan banyak latihan-latihan yang bertujuan untuk membahas banyak bidang, namun seringkali tidak berkaitan satu sama lain dan dapat melelahkan, apalagi bahasa pemrograman yang biasanya digunakan dalam kelas pemrograman bersifat professional (C, C ++, C # dan Java) mereka memiliki sintaks yang luas dan kompleks, yang mengakibatkan belajar menjadi sulit bagi pemula (Jenkins, 2002; motil & Epstein, 2000).
Saat ini, teknologi telah menjadi hal penting dalam pengembangan pendidikan dan untuk merevolusi sistem pembelajaran (Olapiriyakulet al., 2006). Teknologi menciptakan dan mengubah proses belajar dan pembelajaran, yang membawa peluang baru untuk sistem pendidikan (Esteveset al., 2011).
Teknologi Serious Game menawarkan alat yang dapat memiliki potensi untuk membantu mahasiswa pemrograman komputer untuk menjadi lebih tertarik dalam belajar melalui pendekatan `belajar sambil bersenang-senang’ (Coelho et al., Op.cit.). Oleh karenanya dalam makalah ini diusulkan permainan baru dengan belajar bagaimana membuat program sehingga kemampuan mahasiswa dapat ditingkatkan dan didorong melalui pendekatan ini, yaitu dengan menciptakan suatu serious game yang memberi pengetahuan dan pengalaman sekaligus juga menjadi tugas yang menyenangkan.
Penyusunan tulisan ini adalah sebagai berikut. Pertama-tama, akan membahas mengenai literature riview , dan kemudian disajikan hasil penelitian dari penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan tulisan ini, dan terakhir adalah mengenai kesimpulan dan referensi.




Situs Bersejarah ‘Choeung Ek’ di Phnom Penh Kamboja

Teman teman, saya ingin bercerita sedikit tentang pelajaran yang bisa diambil dari berkunjungnya saya suatu waktu di masa lalu ke Phnom Penh, Kamboja. Phnom Penh adalah ibukota negara Kamboja, salah satu kota paling terkenal di sana, tapi jangan bayangkan saat teman teman ke sana situasinya akan seperti di Jakarta. Yes, mungkin seperti di Jakarta, tapi Jakarta tahun berapa. Mungkin sekarang kondisi di sana sudah lebih baik, namun waktu saya ke sana tahun 2012, Phnom Penh terlihat begitu ‘sederhana’ seperti Jakarta jaman dulu. Kondisi rakyatnya pun tak se’baik’ se’makmur’ di kota besar di Indonesia, dan ini adalah salah satu akibat dari kejahatan Khmer Merah di tahun 70an di mana rakyat sengaja dibuat bodoh oleh pemerintah yang berkuasa. Orang orang pintar di masa itu dihabisi, rakyat dibantai, dan tempat pembantaiannya yang bernama Killing Fields of Choeung Ek itu sekarang dijadikan situs bersejarah dan objek wisata bagi para pelancong. Yang teman teman lihat di gambar adalah sebuah gedung di area Killing Fields of Choeung Ek, di mana di sana diletakkan tengkorak dari korban pembantaian yang berhasil dikumpulkan. Yang menjadi pelajaran buat kita adalah berhati-hatilah dengan kondisi kita di masa sekarang, di mana mungkin berbagai macam hiburan yang ada dibuat agar kita, anak-anak kita, generasi muda kita terlena sehingga kita menjadi malas, malas belajar, malas mencari ilmu, dibodohi dengan hedonism, kita menjadi konsumtif (baca:boros), dsb. Kita harus pandai memanfaatkan fasilitas yang ada untuk maju, untuk memajukan bangsa ini, sama-sama terus saling mendorong, jangan egois, maunya pintar sendiri juga sebuah kesalahan. Bangsa ini perlu banyak orang pandai, orang baik, orang yang senang berbagi, sehingga kita bisa maju bersama sama. Jangan SOS, Senang Orang Susah, Susah Orang Senang. Jadi begitu ya teman teman. Mari saling mengingatkan, berbagi manfaat, dan terus saling mendoakan. Semoga tulisan pendek ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Salam semangat dari saya.




Different Factors Influence Different Translations

There are explanations from Nida in Venuti 2004:160 which are related to how one translation can be different from other translations and one of those that is interesting for me most is about what the four basic requirements of a translation usually meets, which are (1) making sense, (2) conveying the spirit and manner of the original, (3) having the a natural and easy form of expression, and (4) producing a similar response
People have different cultural and situational background, the languages we have will also consist of differences and these conditions affect the different translations which are resulted by someone. Something that is in a language considered common can be translated into something more specific or even exaggerated when we see it from the SL (Source Language) point of view though the meaning of the expression will give the same understanding when it is in TL (Target Language). The two examples of translation here were taken from Indonesian short stories written by an Indonesian author (Djenar Maesa Ayu) and translated by a person whom I guess is neither an Indonesian nor a Native Speaker of English, because his name is Michael Nieto Garcia.
1. Original text: Namun saya sangat benci kepada lintah.
Translation: But I had a deep loathing for the leech.
2. Original text: Sepanjang hidupnya Hyza tidak pernah sudi makan buah durian.
Tanslation: All of her life Hyza had never allowed herself to eat durian.

In the first sample we can see how the part of the sentence was translated differently in the form of the text, which in the original text (SL) the word “benci” has a function as a verb but then in the TL it was translated into the word “loathing” which functions as a noun. Additionally, in English, the word “benci” can be translated into the word “hate or hatred” and if we have them checked on the coca (http://corpus.byu.edu/coca/) Corpus bank of data, we can see how actually the word hate or hatred is more commonly used in the texts, but in the translation above the translator chose to use loathing than hate or hatred. This condition could happen because of some reasons which we could not find why but we can predict that it’s all because he is familiar with the word loathing and he thought the word loathing is more suitable for being used in the text he translated (by seeing the content of the story and the context the story has).
And for the second sample we can see how the Indonesian phrase “tidak pernah sudi” was translated into the English phrase “had never allowed herself” which actually when the English phrase is translated back into Indonesian the meaning would be quite different compared to the original text, since the meaning of “tidak sudi” is more about having no willingness rather than not being allowed. This condition seems happen because the Indonesian word “sudi” does not appear a lot in Indonesian text and it makes some translators, including the translator above, Garcia, does not have the clear idea what the word “sudi’ precise meaning.
However, at some points both phrases can express the same idea and will get the same response from readers, the translation is making sense, and they conveying the spirit and manner of the original.
As a conclusion, we can see here how it is true that there can be no fully exact translation since no two languages are identical, either in the meanings given to corresponding symbols or in ways in which such symbols are arranged in phrases and sentences it stands to reason that there can be no absolute correspondence between languages, (Nida in Venuti, 2004:153).

References
Ayu, D.M., (2009) Mereka Bilang Saya Monyet (9th ed.). Jakarta, Indonesia: Gramedia
Ayu, D.M., (2005) They say I’m a Monkey (M.N. Garcia, Trans.). Jakarta, Indonesia: Metafor Intermedia.
Nida, E., (2004). Principles of Correspondence. In L. Venuti (Eds), The Translation Studies Reader (pp.153-167). New York, USA: Routledge.