Ketika ada suka cita dalam kematian

image_print

Ketika ada suka cita dalam kematian

Suku Toraja menetap di di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan. Sebagian besar dari mereka memeluk agama Kristen, tetapi agama tradisional mereka yaitu Aluk To Dolo tetap kuat pengaruhnya. Kata Toraja sendiri berasal dari bahasa Bugis, to riaja yang artinya orang-orang yang berdiam di negeri atas.[1]

Suku Toraja memiliki banyak ritual yang menarik, salah satunya adalah ritual kematian yang disebut sebagai Rambu Solo atau asap turun. Upacara ini sering dianggap sebagai penyempurnaan sebuah kematian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal ketika semua prosesi diselesaikan. Jika belum, maka orang yang meninggal hanya dianggap sebagai orang sakit atau to makula. Ia pun masih diperlakukan seperti layaknya orang hidup, seperti dibaringkan di tempat tidur, diberi hidangan dan diajak bicara.  Ritual kematian dihadiri ratusan orang dan biasanya berlangsung beberapa hari. Semakin kaya dan berkuasa seseorang maka biaya upacara pemakamannya akan semakin besar.[2] Besarnya upacara pemakaman Toraja bisa dilihat dari jumlah dan mutu kerbau-kerbau yang akan disembelih.[3] Setelah disembelih, bangkai kerbau termasuk kepalanya akan dijajarkan di padang rumput menunggu pemiliknya yang sedang dalam ‘masa tidur’. Suku Toraja percaya arwah membutuhkan banyak kerbau agar bisa lebih cepat sampai ke Puya atau dunia arwah.[4]

Upacara pemakaman biasanya digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun sejak kematian terjadi. Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan dan disimpan di bawah tongkonan atau rumah tradisional Toraja. Arwah orang yang sudah mati dipercaya akan tetap tinggal di desa itu sampai upacara pemakaman selesai baru kemudian arwah melanjutkan perjalanannya ke Puya. Setelah upacara selesai, dilanjutkan dengan pengusungan jenazah ke peristirahatan terakhirnya dimana peti mati bisa disimpan di dalam gua batu, makam batu berukir, atau digantung di tebing.[5]

Yang menarik adalah orang Toraja menganggap kematian bukan sebuah perpisahan tapi justru sebagai pusat kehidupan. Mereka percaya bahwa orang tidak sungguh-sungguh mati saat meninggal. Kematian hanyalah jenis lain dari sebuah hubungan. Karena itulah secara rutin, orang-orang Toraja mengeluarkan kerabatnya dari makam untuk menggantikan baju atau kain kafannya.[6] Bagi mereka kematian bukan hal yang permanen. Kerabat yang sudah meninggal hanya akan berubah bentuk menjadi leluhur yang tetap masih bisa terhubung dengan orang-orang yang ditinggalkan.

 

 

 

[1] Suku Toraja: https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja

[2] Suku Toraja: https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja

[3] Ketika Kematian Bukanlah Berpisah. National Geographic, April 2016. Hal: 60.

[4] Suku Toraja: https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja

[5] Suku Toraja: https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja

 

[6] Ketika Kematian Bukanlah Berpisah. National Geographic, April 2016. Hal: 57.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *