Analogi to Analisa (PART II)

image_print

Analogi – Analisa to Rekomendasi (PART II)
(Kasus Pengembangan IT pada Sebuah Perguruan Tinggi)

screen-shot-2016-10-12-at-11-56-32-am

Lanjutan dari kasus sebelumnya (Analogi to Analisa (PART I),
(Analisa Arsitektur Infrastruktur Komputer & Analisa Departemen IT dan Rekomendasi)

Layanan berbasi IT merupakan hal yang banyak diinginkan oleh perguruan tinggi mengingat banyaknya stakeholder yang harus dilayani. Namun untuk mengimplementasikannya perlu banyak portimbangan karena pada umumnya kebutuhan ini datangnya pada fase dimana perguruan tinggi sudah berjalan dan sudah ada beberapa bagian sistem maupun teknologi informasi yang sudah dipakai. Untuk itu diperlukan analisa yang runut untu mendapatkan gambaran tentang apa saja yang perlu dilakukan. Dibawah ini adalah contoh sebuah kasus dan pendekatan analogi existing sistem untuk mendapatkan gambaran awal apa yang saja yang diperlukan untuk pengembangan layanan IT-nya).

Analogi Pendahuluan

  • Sistem Informasi Perguruan Tinggi ibarat sebuah bangunan rumah tingkat satu bergaya Belanda yang secara fungsional masih layak berdiri dan ditinggali, di tengah-tengah kemajuan gaya arsitektur modern di sekitarnya, yang dalam keadaan tidak begitu bersih karena mekanisme pemeliharaannya yang kurang baik
  • Rumah yang pada masanya tersebut terbilang sangat baik, semakin lama semakin penuh dihuni oleh keluarga yang terus beranak pinak dan berkembang biak dengan pesat
  • Keadaan terkini yang penuh dengan perubahan dan gejolak membuat sebagian dari penghuni rumah mulai merasa kesulitan untuk tinggal secara nyaman, tidak saja karena semakin sempitnya ruang tinggal dan tempat beraktivitas, tetapi semakin diperlukannya berbagai kebutuhan baru yang pada jaman Belanda dahulu belum ada, misalnya: ruang kedap suara untuk bermain musik, kolam renang bergaya yakuzi untuk berekreasi, kanal listrik khusus untuk alat-alat elektronik standar internasional, jumlah lantai yang harus ditingkatkan untuk mengadaptasi kuantitas anggota keluarga yang bertambah, dan lain sebagainya – yang pada intinya memaksa keluarga tersebut untuk melakukan perombakan tidak hanya terhadap tata ruang rumah, namun melibatkan arsitektur secara keseluruhan
  • Sehubungan dengan hal itu, kepala keluarga mengadakan rapat keluarga yang dihadiri berbagai perwakilan kerabat untuk menyampaikan isu tersebut di atas – sebagian merasa bahwa tidak perlu diadakan perombakan rumah besar-besaran karena sebenarnya yang sekarang sudah nyaman, sementara yang lain merasa sudah saatnya perubahan besar-besaran dilakukan
  • Rapat keluarga tersebut berakhir dengan tiga pilihan besar sebagai berikut: pilihan pertama adalah merubuhkan rumah tersebut dan membangunnya kembali sesuai dengan kebutuhan dan gaya arsitektur modern; pilihan kedua adalah melakukan renovasi terhadap sebagian besar dari rumah tersebut; dan ketiga adalah memenuhi kebutuhan kecil-kecil secara bertahap tanpa membongkar rumah yang ada (tambal sulam)
  • Karena ketiga skenario tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya, dan kebetulan ketika diadakan voting ternyata seimbang, maka diputuskan dibentuk sebuah tim yang terdiri dari wakil-wakil keluarga untuk memutuskan pilihan mana yang terbaik
  • Langkah pertama yang dilakukan oleh tim tersebut adalah mencoba mencari cetak biru dan berbagai dokumen arsitektur rumah sebagai salah satu cara obyektif untuk menilai kelayakan pengambilan keputusan terhadap tiga skenario yang ada
  • Dari hasil pencarian tersebut, malangnya yang didapatkan hanyalah dokumen desain interior bangunan, sementara cetak biru arsitekturnya sudah hilang sama sekali – dengan kata lain, tim merasa sulit untuk memutuskan pilihan mana dari ketiga skenario yang ingin diambil, terutama dalam menentukan cost-benefit-nya
  • Usaha lain kemudian dilakukan, yaitu mencoba mencari arsitek yang dulu membangun rumah tersebut, namun arsitek tersebut sulit dihubungi karena sudah bertahun-tahun tidak berjumpa; seandainya bertemu, belum tentu ybs. punya fotocopy bangunan tersebut, atau masih hafal mengenai struktur rumah yang dulu dibangunnya, atau mau menggambar ulang mengenai hasil karyanya tersebut
  • Karena usaha tersebut tidak membuahkan hasil dan tidak efektif – disamping keluarga tidak mau terlalu menggantungkan diri terhadap keberadaan arsitektur terkait – maka diundanglah beberapa arsitektur lain untuk mencoba membantu mereka dalam mengambil keputusan dari tiga pilihan yang ada
  • Pada mulanya, ketika para arsitektur tersebut bertemu dengan pimpinan keluarga, dengan melihat kenyataan yang ada, pihak ketiga ini jelas memilih skenario yang pertama karena sebagai profesional tidak mau mengambil resiko apapun untuk melaksanakan skenario kedua maupun ketiga, karena kedua skenario terakhir tersebut jika dijalankan akan berada di atas asumsi-asumsi yang spekulatif
  • Namun ketika pihak ketiga ini bertemu dengan anggota keluarga yang lainnya (yang setuju dan tidak setuju dengan isu perombakan rumah), terlihat bahwa skenario kedua dan ketiga menjadi valid – walaupun untuk melakukannya dibutuhkan usaha-usaha yang akan terlihat aneh di mata tetangga, seperti misalnya membuat ruangan bergaya modern menempel di sisi bangunan bergaya Belanda tersebut dengan cat yang berwarna lain
  • Dengan kata lain, jika yang diinginkan adalah melakukan skenario kedua dan ketiga, sebenarnya beberapa anggota keluarga yang kebetulan masih terlibat dalam pembuatan bangunan lama dapat melakukannya (terbukti dengan beberapa “karya” yang telah dihasilkannya selama ini)
  • Sementara itu, tim keluarga beserta para arsitektur barunya lebih baik berkonsentrasi pada skenario pertama yang dahulu telah memutuskan untuk melakukan pendekatan sebagai berikut: membeli tanah di sebelah rumah lama yang ada, merancang bangunan baru sesuai dengan visi dan misi yang jauh ke depan, melakukan pembangunan dan pengembangan sesuai dengan dana yang tersedia, dan secara perlahan-lahan memindahkan orang-orang yang tinggal di rumah lama ke bangunan yang baru (pilot project, paralel) – dan menjual tanah serta bangunan bergaya Belanda yang lama
  • Ada baiknya, di dalam anggota keluarga ada yang disekolahkan sebagai arsitek ahli agar selain dapat terlibat dalam pembangunan dan pengembangan bangunan baru, dapat mengerti mekanisme dan metoda baku dalam proses pembangunan dan pengembangan tersebut, terutama yang berkaitan dengan pembuatan cetak biru arsitektur terkait
  • Namun satu hal yang harus diingat adalah, bahwa pimpinan keluarga harus terlebih dahulu meyakinkan para anggota keluarganya, mengapa rangkaian angkah-langkah tersebut di atas harus diambil, karena masih banyaknya anggota keluarga yang merasa bahwa tidak perlu dilakukan langkah sedramatis ini, karena sebenarnya masih nyaman berada tinggal di rumah yang lama

 

Analisa Arsitektur Infrastruktur Komputer

  • Arsitektur terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu Sistem Informasi Akademik dan Keuangan yang berbasis pada teknologi lama (sentralisasi dengan menggunakan dump terminal) dan Sistem Informasi Universitas untuk keperluan komunikasi yang berbasis teknologi baru
  • Secara jaringan cukup baik, dalam arti kata telah tersedia infrastruktur yang menghubungkan setiap titik koneksi di dalam kompleks Universitas Atmajaya
  • Secara kuantitas dan spesifikasi komputer, terlihat adanya kepincangan (kuantitas relatif sedikit, spesifikasi relatif rendah) – namun hal tersebut tidak terpisahkan dari tingkat kebutuhan dan literacy user terhadap peranan dan fungsi komputer sebagai alat bantu dalam aktivitas sehari-hari
  • Sistem akademis tersentralisasi di BAAK, dan tanpa adanya server sebagai redudansi (jika terjadi masalah dengan server, kegiatan transaksi akademis berhenti)

 

Analisa Departemen TI

  • Tidak ada anggota yang memiliki kompetensi dan keahlian strategis di bidang sistem informasi yang dapat mengantar Perguruan Tinggi untuk dapat memiliki sistem informasi seperti yang diinginkan (memiliki visi dan misi jauh ke depan)
  • Terdapat beberapa orang yang memiliki kemampuan teknis cukup baik, namun kurang lengkap (tidak didasari dengan teori dan konsep yang kuat) sehingga kerap terjadi kesalahpahaman dalam membicarakan permasalahan teknis antar anggota di Departemen TI
  • Cara kerja tim belum bersifat proaktif, dalam arti kata masih menunggu permasalahan yang ada
  • Adanya inkonsistensi dalam menyampaikan informasi dan melakukan tindakan; di satu pihak tahu persis adanya kekurangan sistem informasi yang dimiliki, di lain pihak tidak ada usaha melakukan perbaikan atau pemikiran untuk memperbaikinya (disamping ada produk-produk tambal sulam yang telah dihasilkan)

 

Rekomendasi

  • Yayasan dan Manajemen Universitas harus memiliki prinsip dan kesepahaman yang sama dalam hal mengembangkan sistem informasi Perguruan Tinggi agar tahu persis arah dan tujuannya (misalnya: SI/TI sebagai enabler change management, atau SI/TI sebagai penunjang manajemen sehari-hari, atau SI/TI sebagai alat meningkatkan efisiensi kerja, dsb.)
  • Harus ditunjuk satu orang yang memiliki kompetensi dan otoritas penuh dan mengerti permasalahan serta bertanggung jawab memenuhi visi dan misi sistem informasi yang dicanangkan tersebut, karena tanpa adanya orang tersebut, tidak ada gunanya pihak luar membantu karena tidak ada ownership dan transfer of knowledge (lebih baik secara karir dibandingkan dengan secara manajemen proyek)
  • Biarkan orang tersebut berdasarkan keahlian dan otoritas yang diberikan padanya menentukan langkah-langkah yang paling efektif baginya, termasuk di dalamnya mekanisme memilih pihak luar untuk membantu; yang bersangkutan secara langsung bertanggung jawab kepada Ketua Steering Commitee dan Organization Commitee

 

 

 

 

 

— oOo —

About Dwi Atmodjo WP

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *