belajar dari kasus jesica–merenungi peran hakim

image_print

Sidang kasus jesica yang disiarkan secara live, menyita banyak perhatian bahkan seolah menyingkirkan berita-berita lain yang juga penting. Jika tujuannya adalah untuk pembelajaran hukum bagi masyarakat-perlu dipertanyakan, apakah tujuan telah dicapai atau jika bertujuan untuk menegakkan keadilan maka mari kita lihat bersama akhir dari “tayangan sinetron” tersebut. Dari kasus yang ditayangkan secara live itu, kita semua ditunjukkan betapa relatifnya ilmu yang dikembangkan manusia (lalu-apa yang mesti disombongkan oleh seseorang karena memiliki ilmu tertentu?), demikian juga betapa relatifnya kebenaran (lalu-apa yang mesti dibanggakan untuk sebuah kebenaran yang relatif didunia ini). Dengan demikian sangat logis jika perhitungan di akherat itu benar adanya karena relatifitas perhitungan dan balasan didunia yang seringkali tidak tepat dan tidak mencerminkan keadilan hakiki.

Hal yang tidak kalah pentingnya dari tayangan live tersebut adalah peranan hakim yaitu manusia yang dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia dengan mengatasnamakan keadilan-NYA (menurut Bismar Siregar), karena hakim memiliki peran penting dalam menentukan nasib seorang manusia. Beberapa kalimat untuk mengilustrasikan peran hakim dalam sistem peradilan, misalnya: bahwa jika memilih profesi hakim maka bersiaplah untuk masuk neraka karena dua dari tiga hakim adalah penghuni neraka atau jika menjadi hakim maka satu kakinya di surga dan kaki lainnya di neraka, bahkan ada satu keyakinan bagi hakim di dalam hukum yaitu “lebih baik melepaskan seribu orang yang bersalah dibandingkan menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Semua ini menunjukkan betapa tidak mudahnya menjadi hakim (mulia sekaligus penuh tantangan dan risiko).

Didalam Islam, kedudukan hakim sangat mulia. Hakim dianggap menerima kewenangan dari Tuhan untuk menjalankan peranannya menegakkan keadilan sehingga Rasulullah SAW bersabda: Allah beserta seorang hakim selama dia tidak mendzalimi. Bila dia berbuat dzalim maka Allah menjauhinya dan setanlah yang selalu mendampinginya (HR. Tamizi). Oleh karena hakim menjalankan sebagian sifat Allah (Al Hakim-yang maha bijaksana)maka sangat besar murka Allah kepada hakim yang tidak berlaku adil.

Berkaitan dengan tugas hakim, di dalam buku “Butir-butir pemikiran dalam hukum” yang diterbitkan oleh Refika Aditama tahun 2011, tulisan Mardjono Reksodiputro seorang Guru Besar Hukum dari UI yang telah pensiun menuliskan bahwa di Amerika Serikat, seorang hakim dianggap menjalankan empat macam peranan yaitu menegakkan norma (norma enforcer), membuat hukum (lawmaker), menjadi administrator dan sebagai seorang politikus. Menegakkan norma hukum dan membuat hukum adalah lebih dari sekedar penegakkan hukum dan penegakkan Undang Undang. Oleh karena itu dalam wacana sistem hukum Indonesia, seharusnya hakim dinamakan penegak keadilan (bukan penegak hukum), maknanya adalah bahwa hakim dapat menafsirkan hukum (baca; undang undang), sehingga sebenarnya melakukan fungsi layak seorang legislator (lawmaker) sedangkan peranannya sebagai administrator terlihat terutama pada kasus-kasus perdata.

Proses pengambilan keputusan (decision making process) di pengadilan khususnya pengadilan di Indonesia yang selalu bersidang dengan majelis (umumnya tiga hakim), tidaklah sesederhana seperti yang sering digambarkan. Putusan majelis adalah hasil aturan dan fakta. Diskresi yudicial seharusnya memang memungkinkan majelis hakim mengutamakan kecenderungan politik ataupun merespons keinginan public (Klein: 1984). Di Indonesia, dukungan public terhadap putusan pengadilan dapat dikatakan lemah, malah terdapat kecurigaan bahwa putusan-putusan pengadilan banyak yang tidak mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat. Nah, bagaimana putusan hakim kasus jesica kelak, ketika sidang yang dilakukan secara maraton menjadi konsumsi public dan dianalisa dari berbagai perspektif (tentu saja hal ini bisa memberikan pengaruh terhadap putusan hakim)?. Dapatkah hakim memutus “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”—satu kalimat yang menjadi dasar dari setiap putusan yang diambil hakim yang menunjukkan bahwa sesungguhnya apapun putusan hakim pasti akan dipertanggungjawabkan kelak di akherat (lihat QS4:58 juga QS 2:188), dan kita semua adalah “hakim” dalam kapasitas dan dimensi kehidupan yang teramat komplek. Wallahu a’lam bishowab.

About Andi Fariana

You may also like...

1 Response

  1. 1711000124 ARINA SABILA HUSNA says:

    saya sangat setuju dengan artikel ibu berhubung di indonesia ini masih banyak ketidakadilan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *