Kajian Akuntansi Forensik mengenai PERSEPSI MEDIA TERHADAP MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Kajian Akuntansi Forensik mengenai
PERSEPSI MEDIA TERHADAP MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Oleh
Rushadi, Dosen ABFI Perbanas
ABSTRACT
The primary purpose of this research is to measure media perception score to describe the condition of services in the Constitutional Court. This is also aimed at identifying and inventorying various inputs as to public services in the Constitutional Court in terms of media perception. For the purpose of the research, Likert measurement scale is applied to each question/comment derived from the five quality determinants. The source of data includes primary and secondary data. Data are directly collected from the source by distribution of questionnaires on purposive sampling method. Subsequently, the data are classified by the characteristics of respondents. Secondary data are collected from the available materials in media publications at Media Center of Constitutional Court. Further, the respondents in the research are among others media workers or personnel at various levels e.g. Journalist, Editorial Staff and Chief Editor. Data analysis is performed by combining quantitative and descriptive analysis. In the following stage, media perception score is carried out applying the formula below: Total Media Perception = 20 x . Media Perception Score per aspect = 20 x Based on the measurement and findings in the research, it is concluded that media perception about Constitutional Court represented by the four aspects including: Constitutional Court’s Authority, Competence, Public Disclosure and Information Services for Mass Media is “Effective”.
Keywords: Media Perception, Services
1. Latar Belakang
Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan moderen yang menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan dan perimbangan peran (checks and balances) sebagai penggganti sistem supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya di Indonesia.
Dalam melaksanakan tugas pentingnya sebagai lembaga negara yang berfungsi untuk mengawal konstitusi dan menjaga demokrasi, MK memiliki visi utama menegakkan konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat serta misi utama menjadi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya dan membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi upaya mewujudkan visi dan misi tersebut bukan merupakan suatu mission impossible bagi masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia. Dukungan penuh dari seluruh elemen yang dikemukakan di atas sudah barang tentu hanya mungkin terjadi apabila masyarakat memahami dengan baik kedudukan, wewenang (dan kewajiban) serta fungsi dan tugas pokok MK di dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Pemahaman ini tentunya akan dimiliki dan berkembang di kalangan masyarakat apabila pendidikan tentang konstitusi dan Pancasila serta sosialisasi dan komunikasi tentang keberadaan MK dilakukan dengan efektif di kalangan masyarakat. Dalam konteks ini media massa dipandang memiliki kedudukan dan peran yang strategis.
Pada era globalisasi media massa telah menjadi corong informasi yang cukup ampuh. Apapun yang diinformasikan melalui media, hampir dipastikan akan berdampak terhadap persepsi publik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga, bila informasi yang disampaikan melalu media massa merupakan sesuatu yang salah, boleh jadi persepsi masyarakat akan menjadi salah pula. Sebaliknya, bila masyarakat dapat memperoleh informasi yang benar,transparan, akurat sesuai dengan fakta yang ada dan informasi tersebut dikemas serta disampaikan dengan cara yang baik maka boleh jadi akan berdampak pada meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan itu sendiri. Oleh sebab itu, media massa mempunyai peranan penting di dalam mendukung tugas pokok MK dalam membangun konstitusionalitas Indonesia.
Berdasarkan latar belakang ini dapat dikemukakan bahwa survei terhadap persepsi media massa terhadap keberadaan dan perananan MKRI mempunyai urgensi yang penting untuk dilaksanakan, khususnya dalam rangka mendapatkan masukan untuk peningkatan kinerja MKRI sebagai lembaga peradilan modern yang merdeka, unggul dan terpercaya.
2. Landasan Teori
Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Sedangkan pengertian media massa sendiri adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio dan televisi sehingga pesan dapat diterima oleh khalayak dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang serempak (Cangara: 2003).
Media massa bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan (Sobur: 2001)
Steven H. Chaffee dan Michael J. Petrick (1975) menyatakan bahwa ‘the mass political persuader’ mencoba menggunakan media untuk mendapatkan keuntungan maksimal bagi kandidat presidennya. Meyakinkan warga negara untuk memilih kandidatnya merupakan tujuan yang cukup jelas..
Media massa bisa menarik karena sifatnya yang langgeng dalam pengertian bahwa informasi yang dipublikasikan tersebut bisa disimpan dan kemudian informasi tersebut bisa mudah didapatkan kembali sewaktu-waktu diperlukan. Dengan demikian,di sinilah letak kekuatan media massa.
Persepsi merupakan aktivitas dari mengindra, menginterpretasikan dan memberikan penilaian terhadap obyek-obyek fisik maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada stimulus yang ada di lingkungannya (Young: 1956). Kemudian, dapat kita pahami bahwa persepsi adalah suatu proses pengamatan seseorang yang berasal dari suatu kondisi secara terus-menerus yang dipengaruhi oleh arus informasi dari lingkungannya (Mar’at: 1981). Persepsi itu merupakan pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan respon yang terintigrasi dalam diri individu (Walgito: 1991).
Sedangkan Gibson, dkk (1989) yang menyatakan definisi persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan oleh individu untuk menafsir dan memahami dunia sekitarnya (terhadap obyek), tanda-tanda dari sudut pengalaman yang bersangkutan. Gibson, dkk (1989) juga menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individu.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka dapat simpulkan bahwa persepsi masyarakat terhadap suatu realitas sosial sangat dipengaruhi oleh arus informasi dari lingkungannya, dan informasi tersebut dapat diperoleh dengan cepat melalui media massa. Di sisi lain, media massa tidak lahir dari ruang hampa, akan tetapi memiliki latar belakang kepentingan yang beragam.
Menurut Moenir (2000) dalam Setyowati dan Suharto (2007) pelayanan merupakan suatu proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain, Sedangkan yang dimaksud pelayanan umum adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang dengan landasan faktor material, melalui sistem prosedur, dan metode tertentu dalam rangka memenuhi kepentingan orang lain sesuai haknya.
Pelayanan publik yang dilakukan birokrasi menurut Widodo dalam Setyowati dan Suharto (2007) adalah suatu perwujudan dari fungsi aparatur Negara sebagai abdi masyarakat dan sebagai abdi negara. Pelayanan publik oleh birokrasi dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara).
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998). Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat (Thoha dalam Widodo, 2001).
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi dalam Widodo, 2001).
Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat (public service function), fungsi pembangunan (development function) dan fungsi perlindungan (protection function).
Meskipun pemerintah mempunyai fungsi-fungsi sebagaimana di atas, namun tidak berarti bahwa pemerintah harus berperan sebagai monopolist dalam pelaksanaan seluruh fungsi-fungsi tadi. Beberapa bagian dari fungsi tadi bisa menjadi bidang tugas yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pihak swasta ataupun dengan menggunakan pola kemitraan (partnership), antara pemerintah dengan swasta untuk mengadakannya. Pola kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam memberikan berbagai pelayanan kepada masyarakat tersebut sejalan dengan gagasan reinventing government yang dikembangkan Osborne dan Gaebler (1992).
Pengukuran skor Persepsi Media ini bertujuan untuk mengetahui persepsi media terhadap Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, dalam pengukuran persepsi media terhadap MK diperlukan aspek-aspek pokok yang dijadikan tolok ukur.
Dari perpektif akuntansi khususnya Akuntansi forensik merupakan penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk auditing pada masalah hukum baik untuk penyelesaian hukum di dalam maupun di luar pengadilan (Tuanakotta, 2010: 4). Karena dapat diterapkan di sektor publik maupun swasta, dengan demikian jika memasukkan pihak yang berbeda maka menurut D. Larry Crumbey dalam Tuanakotta (2010: 5) mengemukakan bahwa secara sederhana bahwa akuntansi forensik dapat dikatakan sebagai akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum, atau akuntansi yang tahan uji dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan yudisial, atau tinjauan administratif.
Sebagai obyek, yang dinilai dari Mahkamah Konstitusi adalah aspek-aspek yang melekat pada sebuah mahkamah konstitusi dan mengacu pada nilai-nilai kualitas sebuah lembaga peradilan (court excellence). Adapun nilai yang diukur meliputi, kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), keadilan (fairness), ketidak berpihakan (impartiality), keleluasaan dalam pengambilan keputusan (independence of decision making), kompetensi (competence), integritas (integrity), keterbukaan (transparency), aksesibilitas (accessibility), ketepatan waktu (timeliness) dan kepastian (certainty).
3. Metodologi
Sesuai dengan tujuannya maka penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif untuk mengetahui skor persepsi media terhadap Mahkamah Konstitusi. adapun jenisnya, penelitian ini termasuk dalam penelitian survei.
Responden yang menjadi sasaran adalah insan media/pers yang meliput berita di Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari pimpinan redaksi, wartawan dan reporter. Sumber data meliputi data primer dan data sekunder. Data dikumpulkan dengan cara langsung dari sumbernya melalui penyebaran kuesioner yang mengacu pada skala linkert dengan menggunakan teknik purposive sampling (sample bertujuan). Sedangkan pengumpulan data sekunder adalah dengan mendapatkan data dari bahan yang telah tersedia, yaitu data pemberitaan media yang terkumpul di bagian Media Center MK sepanjang tahun 2012.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara teknik analisis kuantitatif dan analisis deskriptif. Pengujian konsistensi dan tingkat kepercayaan data (analisis reliabilitas data) dengan menggunakan indikator statistik Cronbach’s alpha. Analisis faktor (factor analysis) digunakan untuk mendapatkan konfirmasi bahwa data yang diperoleh berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan di dalam kuesioner telah sesuai dengan pengelompokkan kelima aspek pelayanan perkara yang telah dikemukakan sebelumnya.
Pada tahap berikutnya dilakukan perhitungan skor persepsi media dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dalam hal ini:
PMk adalah persepsi media pada setiap aspek :
k = 1 sampai dengan 4 menggambarkan setiap aspek persepsi media (dari keempat aspek yang telah didefinisikan di atas).
Selain skor persepsi media total, penelitian ini juga menghitung skor persepsi media pada setiap aspek, yang rumusnya adalah sebagai berikut:
Dalam hal ini:
PMk adalah persepsi media pada setiap aspek
k = 1 sampai dengan 4 merupakankan setiap aspek persepsi media (dari keempat aspek yang telah didefinisikan di atas).
i = 1 sampai dengan n merupakan pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan di dalam kuesioner untuk setiap aspek persepsi media.
Berdasarkan perhitungan skor indeks sesuai dengan formula di atas maka penilaian indeks pelayanan perkara dapat dikategorikan ke dalam lima pengelompokan nilai sebagai berikut:
4. Hasil-hasil Penelitian
Deskripsi Data
Penelitian ini mengukur persepsi media terhadap Mahkamah Konstitusi. Sampel dari penelitian ini adalah sebanyak 146 responden atau 52,42 persen dari jumlah populasi.
Berdasarkan jenis kelamin, 73% adalah laki-laki dan 27% perempuan. Berdasarkan tingkat usia, 79% berusia 20-39 tahun, 19% berusia 40-49 tahun, 1% berusia 50-59 tahun, dan 1% berusia di atas 60 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikannya, 5% adalah lulusan SLTA, 9% Diploma, 81% Sarjana S1, dan 5% Magister. Berdasarkan jenis media massa dimana responden bekerja, 52% Televisi, 23% Surat Kabar, 12% Media Online, 6% Radio, 3% Majalah, dan 1% Tabloid. Berdasarkan skala media tempat responden bekerja, 64% Nasional, 33% Lokal dan 3% Internasional. Sedangkan, berdasarkan jabatan responden maupun bidang yang digeluti dalam institusi media tempat responden berkerja, 42% adalah wartawan, 20% pimpinan, 6% redaktur, 5% editor, dan 27% lainnya bekerja pada jabatan-jabatan spesifik seperti sekertaris, manager lapangan, pengolah data, peliput fotografi dan video, dan lain sebagainya.
Reliabilitas Data
Berdasarkan hasil uji reliabilitas data, secara umum diperoleh rata-rata skor Standardized Cronbach’s alpha di atas 0.65 (berkisar antara 0.67 sampai 0.95). Hal tersebut menunjukkan bahwa data yang diperoleh berdasarkan jawaban responden memiliki tingkat kepercayaan dan konsistensi yang cukup tinggi.
Confirmatory Factor Analysis
Confirmatory Factor Analysis menggunakan analisis Structural Equation Modeling untuk mengetahui model keterkaitan antar variabel sesuai dengan definisi konsepsional yang diberikan. Variable persepsi media terhadap MK dioperasionalisasikan lebih lanjut ke dalam empat aspek yaitu: Aspek kewenangan Mahkamah Konstitusi (WENANG), Aspek kompetensi (KOMPETEN), Aspek Keterbukaan Informasi Publik (KETERBUK), Aspek Pelayanan Informasi Bagi Media Massa (PELMED).
Berdasarkan bagan di atas, variabel persepsi media terhadap Mahkamah Konstitusi merupakan variabel latent yang dapat direfleksikan melalui dimensi Kewenangan, Kompetensi, Keterbukaan Informasi Publik dan Pelayanan Informasi bagi Media Massa.
Pada dimensi kewenangan, hasil menunjukkan bahwa butir-butir pertanyaan tidak dapat secara langsung merefleksikan aspek kewenangan akan tetapi melalui lima aspek yaitu: pengujian Undang-Undang (PUU), Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara (SKLN), Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), Pembubaran Parpol dan Pendapat DPR (PRTAI), dan pelaksanaan kewenangan secara umum (PWEW). Kelima aspek tersebut kemudian secara signifikan dapat merefleksikan variabel kewenangan.
Begitu pula pada dimensi kompetensi, hasil menunjukkan bahwa butir-butir pertanyaan tidak dapat secara langsung merefleksikan aspek kompetensi akan tetapi melalui tiga aspek yaitu: kompetensi Hakim (HKM), kompetensi pegawai (PEMK) dan kompetensi secara lembaga (LMK). Ketiga aspek tersebut kemudian secara signifikan mampu merefleksikan variabel kompetensi, dengan loading factor di atas 0.80.
Selanjutnya, pada dimensi keterbukaan informasi publik aspek informasi yang berkaitan dengan perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi (PPP) dan informasi yang berkaitan dengan kebijakan umum Mahkamah Konstitusi (KUMK) dapat secara signifikan merefleksikan dimensi Keterbukaan Informasi Publik dengan loading factor di atas 0.90.
Sementara variabel latent lainnya adalah Pelayanan Informasi bagi Media Massa yang mencerminkan persepsi berkaitan dengan sarana-prasarana, kemudahan dan kecepatan memperoleh informasi, keakuratan informasi, dan keramahan pelayanan. Variabel-variabel tersebut secara signifikan direfleksikan oleh pernyataan-pernyataan dalam kuesioner, dengan loading factor tertinggi pada butir pertanyaan ke sepuluh sebesar 0.85.
Mengacu pada hasil CFA, maka skor persepsi media dihitung dengan menggunakan nilai rata-rata dari jawaban responden terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Skor Persepsi Media terhadap Mahkamah Konstitusi
Persepsi media terhadap Mahkamah Konstitusi yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner secara keseluruhan memiliki total skor 74,34.
Berdasarkan hasil perhitungan indeks yang ditampilkan pada bagan di atas dapat dipahami bahwa nilai indeks persepsi media secara kesuluruhan sudah ‘baik’. Nilai tertinggi ada pada aspek kewenangan (76.62), sedangkan aspek kompetensi mendapat nilai yang relatif paling rendah (73.75) dibandingkan dengan ketiga aspek lainnya.
Skor Aspek Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Data mengenai persepsi media di Mahkamah Konstitusi menginformasikan bahwa pelaksanaan kewenangan berkaitan dengan PUU memperoleh skor 75,59; SKLN memperoleh skor 73,22; PHPU memperoleh skor 75,24; Pembubaran Parpol memperoleh skor 73,39; dan pelaksanaan kewenangan secara umum memperoleh skor 77,14.
Beberapa hal yang dapat diungkapkan adalah adanya persepsi dari sejumlah responden yang menyangsikan dilaksanakannya putusan Mahkamah konstitusi oleh pihak-pihak yang terkait. Kesangsian terbanyak ada pada pelaksanaan putusan yang terkait dengan pengujian undang-undang (PUU). Sebanyak 16.5% (0.8% sangat tidak setuju dan 15.7% tidak setuju) menyatakan ketidaksetujuannya bahwa putusan PUU telah dilaksanakan oleh pihak yang terkait.
Selain persepsi tentang penerapan putusan, sejumlah responden juga menyatakan ketidaksetujuan terhadap kemampuan Mahkamah Konstitusi di dalam memutuskan perkara tentang pembubaran partai politik (10.8%) dan memberikan jawaban kepada DPR dalam hal dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden (12.4%).
Skor Aspek Kompetensi Mahkamah Konstitusi
Persepsi media di Mahkamah Konstitusi yang berkenaan dengan aspek kompetensi Mahkamah Konstitusi menginformasikan bahwa kompetensi Hakim memperoleh skor 75,34; Kompetensi pejabat dan pegawai memperoleh skor 69,62; kompetensi secara lembaga memperoleh skor 78,25.
Dalam kaitan dengan kompetensi hakim konstitusi, adanya tanggapan ketidaksetujuan (11.2%) dan netral (28.4%) dari sejumlah responden media terhadap pernyataan “dalam menangani perkara, para Hakim Konstitusi telah bersikap independen dari pengaruh lembaga eksekutif, legislatif dan lembaga-lembaga negara lainnya.” Dengan kata lain hal ini mengindikasikan adanya persepsi kurang berkenan dari sejumlah responden dalam hal independensi hakim MK. Hal ini dapat disebabkan mekanisme rekrutmen hakim MK yang berasal/dipilih oleh tiga lembaga negara lainnya sehingga dipersepsikan oleh sejumlah responden belum bersikap independen. Atau mungkin ada faktor-faktor lain yang dapat menjelaskan munculnya persepsi tersebut.
Berkaitan dengan kompetensi pejabat dan pegawai, jawaban netral tertinggi ditemukan pada butir pernyataan pertama yaitu posisi jabatan di Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal telah diisi oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya, dengan 46.6% responden menjawab netral. Sedangkan jawaban netral kedua (45.8%) diperoleh sebagai respon terhadap pertanyaan “Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak terjadi di kalangan para pejabat dan pegawai Mahkamah Konstitusi.” Pertanyaan kedua mendapat tanggapan ketidaksetujuan yang cukup signifikan dari sejumlah responden (22.8%: 4.2% sangat tidak setuju dan 18.6% tidak setuju).
Jawaban netral pada dasarnya dapat dipahami dari bebagai sisi. Pertama, sebagai salah satu indikasi bahwa sebagian responden kurang mengetahui secara pasti mengenai fakta sesungguhnya yang terkait dengan pertanyaan, baik itu secara umum maupun secara detail, sehingga responden memilih untuk menyatakan netral. Kedua, dipahami sebagai tanggapan ketidaksetujuan yang bersifat sopan dan diam-diam (polite and silent disagreement). Dalam struktur dan budaya masyarakat yang ‘eweuh pekewuh’ (sungkan dan menjaga perasaan orang lain), sikap ‘no comment ‘ atau netral dapat berarti ‘lain’ atau ‘kurang enak’ bila disampaikan secara terbuka dan eksplisit. Namun, terlepas dari apapun kemungkinan interpretasi terhadap tanggapan netral tersebut, tanggapan netral ini dapat dipahami sebagai tantangan dan masukan untuk perbaikan kompetensi menyeluruh pejabat dan pegawai MK ke depan, baik dari sisi pengembangan core competencies (kompetensi-komptesi utama), integritas dan komitmen serta kepemimpinannya, baik secara individual maupun unit kerja.
Penafsiran terhadap tanggapan netral dan (atau) tanggapan ketidaksetujuan dari responden tidak dapat dipahami sepotong-sepotong. Interpretasi harus bersifat mnyeluruh dengan juga memperhatikan jawaban-jawaban kesetujuan (setuju dan sangat setuju). Adanya jawaban kestujuan yang tinggi juga perlu diperhatikan untuk menambah pemahaman menyeleuruh tentang persepsi responden. Sebagai contoh, jawaban kesetujuan tertinggi (59%: 48.7 setuju dan 10.3% sangat setuju) ditemukan sebagai respond terhadap butir pertanyan “Para pejabat dan pegawai Mahkamah Konstitusi dalam aktivitas sehari-hari telah bersikap ramah dan berperilaku sederhana serta menghindarkan dari kesan berlebihan.” Tanggapan kesetujuan terbesar kedua (58.10%: 49.60% setuju dan sangat setuju 8.50%) ditemukan sebagai respon terhadap butir pernyataan “para pejabat dan pegawai Mahkamah Konstitusi telah menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pelayan publik dengan penuh tanggung jawab”.
Berdasarkan informasi ini, dapat dipahami bahwa sesungguhnya presepsi positif terhadap perilaku dan tanggung jawab para pejabat dan pegawai Mahkamah Konstitusi telah berkembang di kalangan media. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengubah dan menggeser persepsi netral menjadi persepsi setuju atau sangat setuju, bahkan juga mengubah dan menggeser persepsi ketidaksetujuan (sangat tidak setuju dan tidak setuju) lebih ke kanan, menjadi postif (setuju/sangat setuju), atau paling tidak menjadi netral.
Skor Aspek Keterbukaan Informasi Publik
Keterbukaan informasi berkaitan dengan perkara yang ditangani Mahkamah Konstitusi memperoleh skor 75,25 (kategori baik). Sedangkan keterbukaan informasi berkenaan dengan kebijakan umum memperoleh skor 73,87 (kategori baik). Sehingga total skor yang diperoleh adalah 74,53 (kategori baik).
Hal yang perlu dicermati dari sisi keterbukan informasi tentang perkembangan perkara adalah masalah kecepatan dan kemudahan dalam meminta salinan risalah sidang dan putusan dalam bentuk dokumen. Sebanyak 32.5% responden menyatakan ketidaksetujuan (4.45 sangat tidak setuju dan 28.1% tidak setuju) dan 39.5% menyatakan netral. Hal ini cukup memberikan gambaran bahwa mayoritas responden memiliki persepsi yang kurang berkenan terhadap penyediaan fisik (hard copy) dokumen penting ini. Masalah penyediaan salinan risalah sidang secara langsung dan ketersediaan salinan putusan secara cepat di website MKRI juga mendapat tanggapan netral dari cukup banyak responden (33.3%). Hal ini dapat mengindikasikan bahwa pada dasarnya mereka tidak atau kurang memiliki persepsi positif yang kuat dalam kaitan dengan pelayanan penyediaan risalah dan putusan.
Dalam hal kebijakan dan umum, hal yang perlu diperhatikan lebih banyak adalah mengenai keterbukaan dalam kaitan dengan aspek keuangan. Kemudahan mengakses laporan keuangan MKRI dalam hal ini mendapat tanggapan netral yang paling banyak dari responden. Hal ini mengindikasikan bahwa persepsi keterbukaan informasi publik dalam hal laporan keuangan belum terbentuk positif pada mayoritas responden.
Skor Aspek Pelayanan Informasi Bagi Media Massa
Dari 17 pertanyaan yang diajukan dalam aspek pelayanan terhadap media terdapat tiga pertanyaan yang memiliki tanggapan yang perlu diamati lebih lanjut karena jumlah responden yang menanggapinya secara netral cukup signifikan dibandingkan dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. 40.2% responden memiliki persepsi netral ketika dihadapkan dengan pernyataan “Saya merasa mudah untuk menemui pejabat atau petugas yang dapat memberikan keterangan secara resmi mengenai berbagai informasi terkini terkait dengan Mahkamah Konstitusi.” Kenetralan ini tentunya perlu dicermati dan diantisipasi oleh MKRI apabila hal tersebut ternyata mengindikasikan gejala ketidaksetujuan diam-diam (silent disagreement).
Selain masalah aksesibilitas langsung untuk mendapatkan informasi terkini dari pejabat MKRI yang berwenang, persepsi selalu merasa dihubungi dan perasaan dihargai ketika melakukan peliputan di MKRI juga mendapat tanggapan netral dari cukup banyak (31.3%) responden. Secara umum tentunya dapat diyakini bahwa masalah pemberitahuan kegiatan kepada pihak media masa sudah menjadi kebiasaan rutin pihak humas MKRI. Namun, terlepas dari praktik rutin tersebut, fakta adanya 31.3% yang bersifat netral, bahkan lebih dari 10% menyatakan tidak setuju merupakan suatu indikasi untuk ditanggapi dengan bijak oleh pihak humas.
Skor Persepsi Media berdasarkan Data Demografis
Dilihat dari jenis kelamin, responden laki-laki lebih memberikan nilai yang tinggi dibandingkan responden perempuan. Hal ini dapat diartikan bahwa standar penilaian dari responden perempuan lebih tinggi daripada responden laki-laki.
Sedangkan jika dibedakan berdasarkan tingkat pendidikan responden, maka responden dengan pendidikan sarjana memberikan penilaian yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden dengan tingkat pendidikan lainnya. Sementara itu, responden dengan tingkat pendidikan diploma memberikan penilaian yang lebih rendah dibandingkan dengan responden pada tingkat pendidikan lainnya.
Jika dibedakan berdasarkan usia responden, maka responden pada rentang usia di atas 60 tahun memberikan penilaian yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden pada rentang usia lainnya. Hal tersebut boleh jadi mengindikasikan bahwa responden pada rentang usia tersebut lebih lunak atau lebih memiliki sikap toleransi dalam memberikan penilaian. Namun demikian, terdapat kemungkinan lainnya yaitu bahwa pada saat di lapangan, para petugas pelayanan lebih ramah atau memberikan prioritas terhadap responden yang sudah berusia senja, sehingga skor terhadap persepsi media yang diberikan oleh para responden di rentang usia di atas 60 tahun pun menjadi baik. Sementara itu, respondenpada rentang usia 50 – 59 tahun memberikan penilaian yang lebih rendah dibandingkan dengan responden pada tingkat pendidikan lainnya.
Selanjutnya, bila skor persepsi media dihubungkan dengan jenis media massa yang meliputi: televisi, surat kabar, media online, radio, majalah, tabloid dan media lainnya, maka skor tertinggi adalah 76,54 dan skor terendah adalah 68,39. Sedangkan untuk skala media skor tertinggi diberikan oleh media yang bertaraf internasional dengan skor 76,92.
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil perhitungan skor yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, temuan penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: Berdasarkan temuan penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi media terhadap Mahkamah Konstitusi dilihat dari keempat aspek meliputi: Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Kompetensi, Keterbukaan Informasi Publik dan Pelayanan Informasi bagi Media Massa sudah ‘baik’.
Ditinjau dari sisi pelaksanaan survei secara kesuluruhan dapat ditemukan beberapa kelemahan yang perlu mendapatkan perbaikan untuk waktu yang akan datang. Berapa kelemahan tersebut antara lain:
- Pengembangan definisi konsepsional dan operasional yang terkait dengan variabel penelitian masih dirasakan belum komprehensif dan masih perlu dipertajam melalui studi kepustakaan yang lebih mendalam. Konsep persepsi media yang digunakan masih dirasakan belum terlalu kuat ditinjau dari sisi teori dan informasi penelitian yang pernah ada. Permasalahan yang dihadapi dalam hal ini adalah keterbatasan dalam hal literatur tentang teori dan penelitian-penelitian yang pernah di bidang persepsi media, khususnya dalam kaitannya dengan lembaga peradilan.
- Metode pengambilan sampel yang bersifat purposive random sampling perlu ditinjau kembali. Ketiadaan proporsi yang seimbang antara berbagai kategori dan kelompok responden dapat membuat perbandingan yang dilakukan menjadi biased apabila data dari purposive random sampling tidak terjamin normalitas-nya.
- Jumlah pertanyaan yang masih terlalu banyak dalam praktiknya cukup merepotkan dan melelahkan para responden yang bersifat sukarela. Hal ini dikuatirkan akan dapat mempengaruhi konsistensi jawaban yang diberikan apabila para responden tidak serius dalam menjawab pertanyaan yang tertera di dalam kuesioner.
- Analisis data berdasarkan pendekatan structural equation modeling masih bersifat sangat terbatas di dalam survei ini, yakni terbatas pada pengujian konsistensi faktor atau dimensi dari variabel-variabel yang digunakan. Dengan kata lain berbagai variabel yang diformulasikan berdasarkan kelima dimensi kualtas pelayanan dan dipilah berdasarkan ketiga bidang pelayanan masih belum diteliti hubungannya satu satu lain. Sementara hubungan dan keterkaitan antar variabel sama sekali belum disentuh di dalam analisi penelitian ini.
- Masalah persepsi media tidak hanya dapat diteliti berdasarkan wawancara dengan pihak media. Analisis terhadap isi berita yang dipublikasi oleh media itu sendiri juga dapat mencerminkan persepsi media dengan sesungguhnya. Penelitian survei dinilai tidak mampu melakukan analisis terhadap isi pemberitaan yang dilakukan oleh media, sehingga tidak semua persepsi dapat ditangkap secara komprehensif melalui penelitian survei ini.
6. Saran-Saran
Berdasarkan temuan yang diperoleh dari hasil penelitian ini, maka ada beberapa saran yang dapat dikemukakan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Mahkamah Konstitusi dalam rangka menentukan langkah strategis selanjutnya berkenaan dengan optimalisasi pendayagunaan media massa bagi distribusi informasi yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi bagi masyarakat luas.
- Dari sisi relasi terhadap media tabloid sekiranya perlu ditingkatkan, hal ini berdasarkan skor persepsi media terhadap Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan jenis media, skor terendah didapati dari media tabloid dengan skor 68,39.
- Dari sisi distribusi, informasi mengenai kebijakan umum Mahkamah Konstitusi seperti laporan keuangan secara berkala sesuai dengan Undang-Undang KIP, program kegiatan berkenaan dengan sosialisasi konstitusi, Rencana dan Strategi Institusi, dan lain sebagainya, sekiranya bisa mendapat perhatian lebih. Sehingga masyarakat umum melalui media massa bisa memahami pentingnya Konstitusi dalam bernegara.
- Dari sisi produksi, perlu adanya semacam edukasi terhadap pihak-pihak media berkenaan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi secara umum, maupun berkenaan dengan proses peradilan, yang dituangkan dalam program-program kegiatan dan dilakukan secara berkala. Hal ini akan berdampak, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas informasi tentang Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh pihak media terhadap publik.
- Mengingat adanya indikasi rendahnya persepsi media terhadap kompetensi pejabat dan pegawai Mahkamah konstitusi, meskipun fakta yang sesungguhnya belum tentu demikian adanya maka pengembangan lebih lanjut tentang kompetensi pegawai dan sosialisasi kepemimpinan kolektif pejabat Mahkamah Konstitusi perlu mendapat perhatian lebih.
Terkait dengan dengan beberapa kelemahan penelitian disarankan agar pada penelitian selanjutnya dilakukan beberapa perbaikan sebagai berikut:
- Dilakukan studi kepustakaan yang lebih mendalam tentang konsepsi teoretis dan bukti-bukti empiris yang telah ada dalam kaitan dengan persepsi media bidang hukum dan terhadap lembaga peradilan. Tujuan studi kepustakaan yang mendalam ini adalah untuk mendapatkan model penelitian yang komprehensif yang memiliki landasan teoretis yang kuat tentang dinamika persepsi media.
- Mencoba menerapkan metode sampling yang lebih proporsional dari sisi kategori dan pengelompokan responden. Tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan data dengan normalitas yang tinggi dan paling representatif mewakili populasi yang sesungguhnya.
- Melakukan verifikasi terhadap butir-butir pertanyaan yang dinilai tidak terlalu representatif dan tidak merefleksikan definisi operasional dari variabel yang diteliti. Penyederhanaan jumlah pertanyaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari hasil perhitungan analisis confirmatory factor analysis yang telah dilakukan dalam penelitian ini. Pada penelitian selanjutnya diharapkan kuesioner yang digunakan hanya menggunakan butir-butir pertanyaan yang relevan dan memilki nilai refleksi yang tinggi terhadap variabel persepsi media yang digunakan.
- Untuk meningkatkan analisis hubungan struktural antar variabel dalam penelitian selanjutnya perlu ditambahkan analisis structural equation modeling di antara empat aspek pokok persepsi media yang diformulasikan di dalam penelitian ini. Melalui analisis hubungan struktural ini akan dapat diketahui apakah terdapat hubungan sebab-akibat atau sekedar hubungan asosiatif diantara berbagai variabel-variabel persepsi media yang diteliti. Implikasi kebijakan dan strategis dari analisis berdasarkan structural equation modeling diperkirakan akan lebih menarik dan bermanfaat, baik dari segi teoretis maupun empiris.
- Penelitian survey ini perlu dilengkapi dengan penelitian kualitatif yang bertujuan menganalisis isi pemberitaan yang dilakukan oleh pihak media. Analisis isi berita (news content analysis) diperkirakan akan memperkaya analisis persepsi media secara komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Cangara, Hafied. Pengantar Imu Komunikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Chaffee, Steven H., Michael J. Petrick, Using the Mass Media, Communication Problems in American Society, New York: McGraw-Hill, Inc., 1975
Gaffar. Janedri M., 2009, Kedudukan, Fungsi, dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Surakarta, 17 Oktober 2009.
Hamad, Ibnu. Komunikasi sebagai Wacana, Jakarta: La Tofi Enterprise, 2010.
Hall, Jane, Gore Media Coverage – Playing Hardball, http://archives.cjr.org/00/3/hall.asp, 2000
Hiebert, Ray Eldon, Donald F. Ungurait, Thomas W. Bohn, MASS MEDIA VI, An Introduction to Modern Communication, New York: Longman, 1991
Kristina Setyowati & Didik Gunawan Suharto. 2007. Kualitas pelayanan di kantor Pertanahan Kabupaten Sragen. Spirit Publik, Vol 3. No 2. p.160-178, Oktober 2007.
Kuswandi, Wawan, Komunikasi Massa, Sebuah Analisis Media Televisi, Jakarta: Rineka Cipta, 1996
Larasati. Endang, 2008, Reformasi Pelayanan Publik (Public Services Reform) dan Partisipasi Publik, Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik, Vol 5. No. 2, Mei 2008.
Muji Gunarto. 2009. Pengertian SERQUAL. 2 Januari 2009. Diakses tanggal 17 Oktober 2011 jam 19.00 WIB.
Mar’at. Sikap Manusia Dan Pengukurannya, Jakarta: Ghalia, 1981.
Mulyana, Dedy. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Moenir, H.A.S. 2000. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Rasyid, Ryaas, 1998. Desentralisasi Dalam Menunjang Pembangunan Daerah Dalam Pembangunan Administrasi di Indonesia. PT. Pustaka LP3ES, Jakarta.
Rivers, William L, Jay W. Jensen, Theodore Peterson, 2003, Media Massa dan Masyarakat Modern, Edisi Kedua, Jakarta: Kencana.
Tuanakotta, Theodorus M, Akuntansi Forensik dan Audit nvestigatif, FEUI, 2010
Thoha, Miftah.1995. Birokrasi Indonesia Dalam Era Globalisasi. Pusdiklat Pegawai Depdikbud, Sawangan-Bogor.
——–.1998. Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi. Media Widya Mandala, Yogyakarta.
——–.2002. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan aplikasinya. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sobur, Alex. Analisis teks media: suatu pengantar untuk analisis wacana, analisis semiotik dan analisis framing, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Sulistiyani, Ambar Teguh dan Rosidah. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia; Konsep, Teori dan Konteks Organisasi Publik. Graha Ilmu, Bandung.
Siagian, Sondang P. 1988. Organsiasi, Kepemimpinan & Perilaku Administrasi. CV. Haji Masagung, Jakarta.
Undang-Undang No 25 Tahun 2009 mengenai Pelayanan Publik.
Wijayanto. Bayu, 2009, Kualitas Pelayanan Publik, Universitas Indonesia.
Young, K. Social Psychology, New York: McGraw-Hill Publiser, 1956.
Widodo, Joko. 2001. Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendekia, Surabaya.