Konsekuensi-Konsekuensi Negatif dari Modernisme dan Peralihan ke Posmodernisme: Bagian I

image_print

Modernisme dipahami sebagai suatu paham yang meyakini adanya kemajuan yang bersifat linier dan kebenaran yang absolut dan perencanaan yang rasional atas tatanan-tatanan sosial yang ideal, serta standarisasi pengetahuan dan produksi. Kemajuan ilmu pengetahuan  di masa lalu, terutama di dalam ilmu-ilmu alam atau sains tidak dapat dilepaskan dari pengaruh paham ini. Pada gilirannya, banyak kemajuan yang dihasilkan di dalam kehidupan di abad keduapuluh.

Akan tetapi, modernisme mewariskan konsekuensi-konsekuensi  negatif juga. Konsekuensi-konsekuensi ini perlu disadari dan dikritisi agar masyarakat lebih siap menjalani kehidupan yang sejahtera di abad keduapuluhsatu.

Perubahan pola pikir mendasar tentang realitas kehidupan sosial pada akhirnya perlu dikembangkan agar mampu mengatasi keterbatasan-keterbatasan modernisme, bahkan mampu melampaui atau menemukan model baru yang lebih tepat untuk masyarakat masa kini dan masa depan. Ada kalangan yang menganjurkan alternatif pemahaman berupa posmodernisme.

I. Bambang Sugiharto (1996) di dalam bukunya, Posmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat mencatat enam bentuk konsekuensi buruk dari modernisme bagi alam dan manusia. Konsekuensi-konsekuensi buruk (Sugiharto, 1996:29-30):

  1. Pandangan dualistik dari modernisme yang membagi seluruh kenyataan menjadi subyek-obyek, spiritual-material, manusia-dunia dan sebagainya telah mengakibatkan pengobyekan, pengurasan, dan perusakan alam.
  2. Pandangannya yang bersifat obyektivistik dan positivistik pada akhirnya menjadikan manusia dan masyarakat sebagai obyek dan dapat direkayasa layaknya mesin.
  3. Pengacuan pada ilmu-ilmu positif-empiris sebagai standar kebenaran tertinggi menyebabkan kemerosotan wibawa–dengan konsekuensi, disorientasi–nilai-nilai moral dan religius.
  4. Ditetapkannya materialisme sebagai kenyataan terdasar (ontologi) mendukung pola hidup yang berorientasi pada kompetisi (dalam pasar bebas) untuk memperebutkan penguasaan hal-hal material, dengan konsekuensinya adalah perilaku dominan individu, bangsa dan perusahaan-perusahaan moderen.
  5. Kecenderungan pada militerisme: Kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan, untuk mengatur manusia akibat dilemahkannya norma-norma moral dan religius.
  6. Bangkitnya kembali tribalisme: Mentalitas mengunggulkan suku atau kelompok sendiri; suatu konsekuensi logis dari hukum “survival of the fittest” dan penggunaan kekuasaan koersif.

Konsekuensi-konsekuensi tadi akan dibahas dalam enam tulisan. Setiap tulisan disertai dengan penjelasan-penjelasan yang mendukung adanya kenyataan-kenyataan yang ada di dalam kehidupan masyarakat dan bisnis dewasa ini. Dewasa ini diperlukan pemikiran kritis-kreatif-konstruktif terhadap hal-hal negatif tersebut dan perlu dikembangkan kapabilitas kolektif menuju perubahan paham secara mendasar demi kemajuan kemanusiaan dan peradaban di abad ini.

Pada Bagian I ini akan dibahas konsekuensi buruk yang pertama. Telah dikemukakan bahwa pandangan dualistik dari modernisme yang membagi seluruh kenyataan menjadi subyek-obyek, spiritual-material, manusia-dunia dan sebagainya telah mengakibatkan pengobyekan, pengurasan, dan perusakan alam. Pembahasan akan diperluas sehingga mencakup juga dampak buruk dan strategi untuk mengatasinya dalam konteks tata hubungan di antara bangsa-bangsa maupun di dalam konteks sistem perekonomian.

Pandangan dualistik mencakup pendekatan bipolar dan merupakan opisisi biner. Pandangan ini senantiasa membagi kenyataan-kenyataan hidup dalam dua kutub yang saling berlawanan atau memiliki konflik yang inheren  dengan hasil akhirnya adalah dominasi yang satu terhadap yang lain. Contoh-contoh tentang dualitas biner semacam ini dilakukan juga dalam pola pandang, kebijakan, dan pola perilaku di dalam penataan hubungan-hubungan di antara laki-laki-perempuan; Barat-Timur; majikan-buruh; atasan-bawahan; dunia kerja-urusan keluarga; principal-agent; dan seterusnya.

Di dalam uraian ini akan dikemukakan tiga hubungan yang digagas secara dualistik dengan dampak-dampak buruknya yang aktual atau potensial sangat serius. Kemudian dikemukakan perkembangan atau praktek yang mampu mengatasi dualisme tersebut.

Di dalam konteks hubungan antara manusia dan alam, modernisme tercermin dengan baik melalui antroposentrisme. Manusia adalah subyek dan alam adalah obyek yang sudah sewajarnya dieksploitasi demi kebaikan manusia. Kerusakan alam yang parah karena paham ini telah menunjukkan bencana-bencana yang tak terperikan bagi umat manusia. Utamanya, perubahan iklim dengan dampak-dampak mengerikan bagi umat manusia, seperti banjir bandang yang merenggut nyawa manusia selain menghancurkan hasil-hasil pembangunan fisik. Kekeringan yang panjang berakibat pada krisis pangan-kelaparan-kemiskinan, munculnya aneka penyakit. Bahkan, peperangan-peperangan besar dapat terjadi karena dipicu oleh perebutan sumber-sumber alam yang makin langka. Tidak berhenti di situ saja. Planet bumi yang sedang sakit dapat berakhir pada pergeseran kutub secara total, yang di dalam agama-agama digambarkan sebagai kondisi kiamat.

Paham antroposentrisme kini digantikan dengan paham  deep ecology, biosentrisme dan  ekosentrisme. Paham baru ini mengakui adanya nilai hakiki intrinsik pada alam. Alam pada dirinya sendiri adalah akhir atau tujuan tertinggi. Sikap manusia pada tingkat minimum adalah membiarkan alam apa adanya. Lebih dari itu, alam perlu dirawat dan dikembangkan. Manusia dan alam bukan lagi oposisi biner melainkan sahabat yang saling mengisi dan saling menumbuhkan secara sehat.

Dalam konteks Barat-Timur, hubungan diametral di antara negara-negara yang tergolong di dalam dunia Barat berhadapan dengan Timur pernah terjadi di abad dua puluh. Ketegangan-ketegangan yang terjadi telah menimbulkan korban yang tidak sedikit. Pada penghujung abad keduapuluh, dekolonialisasi dikokohkan sebagai praktik yang harus dilakukan agar diobati luka-luka dalam yang terjadi akibat perseteruan sengit di masa lalu. Perjuangan bangsa-bangsa untuk menemukan suatu harmoni di dalam perbedaan menunjukkan keasadaran tentang berbahayanya konsekuensi buruk dari modernisme dan diperlukannya upaya kolektif untuk menemukan “solusi menang-menang” (“win-win solution)” ketimbang “solusi menang-kalah” yang lazim pada pola pikir modernisme.

Dalam konteks bisnis, modernisme memahami hubungan diametral antara majikan dan pekerja. Di dalam cara pandang modernisme, kita dapat memahami keberadaan kapitalisme di satu sisi dan sosialisme-komunisme di ujung yang lain. Perbudakan di masa lalu mencerminkan modernisme. Kini perusahaan-perusahaan dikembangkan dengan menawarkan kepemilikan saham oleh karyawan melalui Employee Share Ownership Programme (ESOP). Bahkan, koperasi-koperasi bermunculan sebagai bentuk yang mengatasi dikotomi perusahaan-konsumen, karena anggota sekaligus konsumen dan pemilik perusaahaan. Prof. Muhammad Yunus mampu mewujudkan transformasi orang-orang tidak berpunya menjadi pemilik bank melalui Grameen Bank yang kini banyak diadopsi di luar Bangladesh. Dunia mengapresiasinya dengan penganugerahan hadiah Nobel.

Semuanya itu, sekali lagi menunjukkan dampak-dampak buruk yang diakibatkan oleh dan/atau diwairisi dari modernisme di dalam kehidupan kita di abad dua puluh satu ini. Sekaligus dapat ditunjukkan tentang upaya-upaya kreatif yang mendekonstruksi pola pikir modernisme demi memajukan kehidupan umat manusia. Naluri kehidupan senantiasa cenderung pada kesatuan yang utuh dan senantiasa. Oleh karena itu, akan senantiasa ditemukan titik temu yang mampu mengakomodasi perbedaan-perbedaan yang mendasar sekalipun. Diversity management atau kemampuan mengakomodasi paradoks-paradoks merupakan ciri pemikiran alternatif yang mestinya menjadi pegangan di masa kini, yaitu posmodernisme.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *