Penanganan Kasus Korupsi di Daerah 2012

image_print

Penanganan Kasus Korupsi di Daerah

Penanganan Kasus Korupsi di Daerah 2012

Wiwiek Prihandini

FEB Institut Perbanas Jakarta

(Tulisan ini merupakan bagian dari artikel yang dipublikasi

pada jurnal akuntansi dan bisnis tahun 2013)

 

Sepanjang 2004 hingga 2012, data di Kementerian Dalam Negeri Republik (Kemendagri) Indonesia mencatat terdapat 277 gubernur, wali kota, atau bupati yang terlibat kasus korupsi. Data Kemendagri juga menyebutkan bahwa selain pejabat tingkat kepala daerah juga melibatkan sekitar 1.500 pejabat daerah dalam tindak pidana korupsi (Kompasiana, Oktober 2012). Di Jakarta, nilai transaksi mencurigakan pada pegawai Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta cenderung meningkat. Hingga Juni 2012 nilai transaksi mencurigakan pada rekening pegawai Provinsi DKI mencapai 46,7% dari total nilai transaksi mencurigakan (Kompas, Agustus 2012). Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) menyatakan bahwa provinsi yang berada di posisi di atas setelah Jakarta adalah Jawa Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Jambi, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, Papua, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung.

Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM telah memantau perkembangan kasus korupsi (trend corruption report) selama bulan Januari – Juni 2012. Dari total 151 kasus, pelaku korupsi terbanyak berasal dari kalangan pejabat pemerintah daerah, yaitu sebanyak 34 orang, dari kalangan swasta 26 orang dan pemerintah pusat 24 orang. Pemantauan tren korupsi oleh Pukat sepanjang semester pertama menunjukkan, pelaku korupsi terbanyak berasal dari pemerintah daerah. Kasus tindak pidana korupsi pada tingkat pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat mulai dari sekretaris daerah (sekda), kepala dinas, sampai ke tingkat pejabat tehnis.

Menurut Suwarno dan Junanto (2006) pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan cara pencegahan dan penindakan. Pencegahan dilakukan diantaranya dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai dampak dari korupsi dan sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak dan elektronik. Sedangkan upaya penindakan dapat dilakukan diantaranya melalui hukuman yang berat terhadap pelaku dengan denda yang signifikan, pengembalian hasil korupsi kepada Negara, dan tidak menutup kemungkinan penyidikan dilakukan kepada keluarga atau kerabat pelaku korupsi. Pemberantasan korupsi juga dapat dilakukan dengan akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat, dua hal tersebut dianggap mampu mengatasi tindak pidana korupsi (Kurniawan, 2009).

Kajian Teori

Bac (1998) menyebutkan bahwa korupsi merupakan masalah yang komplek dan multidimensional fenomena. Korupsi juga masuk dalam kategori tindak criminal, mulai dari tingkatan yang sepele seperti penerimaan uang pelicin (penyuapan dan pemerasan) sampai pada transaksi illegal yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Bac (2998) membedakan antara korupsi eksternal (individual) dan internal (organisasi). Korupsi individual atau eksternal merupakan korupsi dimana masyarakat harus membayar kepada pejabat pemerintah atas pelayanan yang seharusnya dia peroleh, harus membayar lebih dari yang seharusnya untuk mendapatkan pelayanan yang lebih cepat atau pelayanan yang seharus dia tidak dapatkan. Sedangkan korupsi organisasi merupakan bentuk kolusi yang membuat suatu organisasi pemerintahan masuk kedalam area pembagian hasil korupsi yang dilakukan secara sistemaatis. Dicontohkan aparat pemerintah yang mengumpulkan uang dari perdagangan minuman dan perjudian illegal, kemudian sebagian hasilnya disetor kepada pejabat yang lebih tinggi secara teratur. Andvig, Fjeldstad, Amundesen, Sissener, Soreide (2000:14) mengklasifikasikan jenis korupsi menjadi lima yaitu, penyuapan, penggelapan, kecurangan, pemerasan, dan kolusi.

Korupsi dan Tindak Kejahatan

Huisman dan Walle (2009:1) menyatakan bahwa korupsi merupakan bentuk tindak kejahatan (crime). Beberapa konsep telah dikembangkan untuk membedakan bentuk-bentuk dari tindak kejahatan. Konsep-konsep ini dapat memberi pemahaman tentang korupsi dengan lebih baik. Konsep yang paling penting dalam menghubungkan korupsi sebagai tindak kejahatan adalah organised crime, occupational crime, dan organisational crime.

Korupsi dan organised crime

Menurut Huisman dan Walle (2009:2) organised crime dirasakan sebagai fenomena tindak kejahatan yang ancamannya terhadap sistem ekonomi yang legal terus mengalami peningkatan, tetapi tampaknya sulit bagi polisi untuk menangkap jaringan illegal yang ada dibalik organised crime (kejahatan yang terorganisir). Pencucian uang dan korupsi dianggap sebagai mekanisme yang dipakai oleh organised crime untuk memfasilitasi atau melanggengkan tindakan illegal tanpa perlu khawatir akan terdeteksi. Dapat dinyatakan terdapat hubungan simbiosis yang saling menguntungkan antara organised crime dengan institusi legal dan jika ada kesempatan organisasi kriminal akan melakukan korupsi. Korupsi menjadi penting dan memberi manfaat bersama. Selanjutnya kedekatan kedua institusi kriminal dan legal membuat korupsi menjadi lebih rumit dan sulit untuk dibuktikan. Akhirnya sebagian dari organised crime masuk dalam kehidupan institusi legal dan kegiatan kriminal secara total tercampur dengan kegiatan bisnis legal (Huisman dan Walle, 2009:4).

Korupsi dan occupational crime

Konsep occupational crime menjadi relevan ketika menggunakan sudut pandang korupsi secara pasif. Huisman dan Walle (2009:6) menjelaskan seorang karyawan, baik yang bekerja pada perusahaan swasta maupun institusi pemerintah, seringkali menyalahgunakan jabatan atau posisinya untuk keuntungannya sendiri dan mengabaikan atau bertentangan dengan kepentingan pemilik. Selanjutnya Huisman dan Walle (2009:6) menyatakan bahwa pembahas korupsi sebagai occupational crimedapat dimulai dari melihat beberapa ciri. Pertama, berkaitan dengan korupsi pasif, pelanggar (pelaku korupsi) memiliki tanggungjawab pribadi atas apa yang telah dilakukan, namun diabaikan oleh organisasi atau pihak yang dikorupsi (corruptee). Ada kekhawatiran dari corruptee, jika diproses kasus korupsi yang dilakukan oleh si pelanggar, pihak corruptee akan ikut terjerat. Kedua, occupational crime tidak selalu melawan kepentingan pemilik. Dari sudut pandang corruptee dalam kasus public corruption, seringkali terjadi bahwa organisasi dapat memperoleh keuntungan dari perilaku individu, terutama bila hal itu sudah menjadi bagian panjang dari proses pengaburan standar moral. Dalam kasus private corruption, kepentingan organisasi dan kepentingan coruptee saling berinteraksi.

Korupsi dan Organisational Crime

Menurut Huisman dan Walle (2009:6), oraganisasional crime dapat dijelaskan sebagai tindak kejahatan yang dilakukan oleh organisasi atau anggota organisasi untuk kepentingan organisasi tersebut. Ini adalah bagian dari kejahatan kerah putih (white collar). Saat ini, domain organisational crime sudah menjadi lahan utama penelitian kriminologi, meskipun bukan khusus pada korupsinya. Hal ini disebabkan karena korupsi selalu terkait erat dengan kejahatan yang terorganisir dan dipandang sebagai ‘fasilitator’ dari kejahatan terorganisir.

Metode Penelitian

Merupakan penelitian diskripsi kualitatif yang mencoba mengidentifikasi kasus korupsi yang terjadi didaerah berdasarkan pelaku, jenis korupsi dan pengkategorian tindak criminal. Diskripsi mengenai kasus korupsi daerah didasarkan atas kliping berita dari harian media Kompas dan Tempo, baik versi cetak maupun online selama tahun 2012. Harian Kompas dan Tempo dipilih karena kedua harian tersebut paling banyak memberitakan mengenai kasus korupsi baik yangterjadi di pusat pemerintahan maupun di daerah. Dari hasil kliping, berita dikelompokkan berdarkan kasusnya, kemudian diberi kode untuk setiap kasus. Berita yang sudah tersusun secara kronologis untuk setiap kasus didiskripsikan, kemudian dianalisis berdasarkan pengkategirannya.

Pembahasan

Tabel 4.1. menginformasikan mengenai Kepala Daerah yang tersangkut masalah hukum, yang diproses selama tahun 2012.

Tabel 4.1.

Daftar Kepala Daerah yang Tersangkut Masalah Hukum

2012

 

No Nama, Jabatan Kasus Keterangan Proses Pengadilan
1. A. Muis Haka,
Bupati Sekadau, Kalbar
Korupsi anggaran pengadaan tanah Tahun 2005, Pemkab Sekadau melakukan pembebasan 207 Ha lahan untuk pembangunan kompleks Pemkab yang baru. Nilainya proyek di-markup hingga menimbulkan kerugian Negara Rp 14 miliar. Muis Haka adalah Plt Bupati yang juga ketua tim pembebasan lahan. Pengadilan Tipikor Pontianak (21/11/2012) menghukum Muis Haka 2 thn, denda Rp 100 juta subsider 3 bln kurungan
2. Agusrin M Najamudin, Gubernur Bengkulu Korupsi dana bagi hasil PBB Agusrin terbukti melakukan korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tahun 2006 melalui pembukaan rekening yang dibuat oleh Kepala Dinas Pendaptan Daerah Bengkulu. Gubernur Bengkulu 2010-2015 ini diberhentikan dari jabatannya pada 12 April 2012. Vonis kasasi MA, 4 thn penjara (01/01/2012). PN Jakarta Pusat sebelumnya memutus bebas Agusrin.
3. Amran Batalipu,
Bupati Buol
Suap pengurusan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit. Amran menyalahgunakan wewenang sebagai pejabat negara dengan meminta uang sebesar Rp 3 miliar kepada PT Hartati Inti Plantation untuk pembuatan surat rekomendasi kepada Gubernur dan Menteri terkait HGU Kelapa Sawit milik Hartati Murdaya. Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Amran penjara 7 thn 6 bln denda Rp 300 juta subsider 6 bln kurungan.
4. Andi Achmad Sampurnajaya,
Bupati Lampung
Korupsi dana APBD Andi Achmad terbukti memindahkan dana APBD senilai Rp 28 miliar ke BPR Tripanca. Vonis MA, penjara 12 thn, denda Rp 500 juta, subsider 6 bln kurungan, dan uang pengganti Rp 20,5 miliar subsider 3 thn kurungan.
5. Awang Farouk,
Gubernur Kaltim
Korupsi terkait divestasi Saham PT Kaltim Prima Coal Diduga terlibat dalam proses pengalihan dana hasil penjualan saham KPC senilai Rp 576 miliar, dari Pemkab Kutim ke PT Kutai Timur Energi, ketika Awang menjadi Bupati Kutai Timur. Pada November 2012, proses pengadilan masih berlangsung.
6. Bambang Bintoro,
Bupati Batang 2002-2012
Korupsi APBD Kabupaten Batang Bambang diduga melakukan korupsi APBD tahun 2004 sebesar Rp 796 juta berupa dana premi asuransi anggota DPRD Batang. Dana itu dibagikan kepada 45 anggota DPRD Batang sebagai bantuan dana purnabakti. Sidang perdana Pengadilan Tipikor Semarang, Jateng, (16/5/2012).
7. Burhanuddin Husin,
Bupati Kampar, Riau
Korupsi izin usaha pemanfaatan hasil hutan Burhanudin menerima suap Rp 1,1 miliar dari beberapa perusahaan terkait pemberian ijin penebangan kayu. Negara dirukikan Rp 519 miliar. Pengadilan Tipikor menghukum Burhanuddin 2 thn 6 bln denda Rp 100 juta subsider 2 bln kurungan.
8. Eep Hidayat,
Bupati Subang
Biaya Pemungutan PBB Eep melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian negara dalam kasus korupsi Biaya Pungutan Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Subang periode 2003-2008. Vonis MA 5 thn penjara, denda Rp 200 juta dan uang pengganti Rp 2,5 miliar
9. Fadel Muhammad,
Gubernur Sulawesi Tenggara
Korupsi sisa dana APBD Kasus ini berawal dari dibagikannya dana sisa APBD sebesar Rp 5,4 miliar kepada 45 anggota DPRD (2001-2006) melalui SKB Ketua DPRD dan Gubernur Sulawesi Tenggara Fadel Muhammad yang kemudian dibuat Perda. Kasus ini pernah dihentikan prosesnya oleh Kejati Gorontalo dengan terbitnya dua kali Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tahun 2009 dan 2010. Kejaksaan Tinggi Gorontalo (25/5/2012) menetapkan lagi Fadel Muhammad sebagai tersangka.
10. Fauzi Siin,
Bupati Kerinci 1999-2008
Korupsi dana APBD 2008 Fauzi melakukan korupsi pada sejumlah proyek pengadaan makanan dan minuman, pengadaan kendaraan bermotor, dan pengadaan alat tulis kantor. Kerugian negara Rp 2,8 miliar. Vonis MA (26/01/2012), penjara pokok 4 thn, hukuman 6 bln, denda Rp 200 juta, pengembalian uang Rp 2,8 miliar.
11. John Manoppo,
Wali Kota Salatiga
Korupsi proyek Pembangunan Jalan Lingkar Joh terbukti melakukan penunjukan langsung terhadap PT Kuntjup yang ternyata bukan peserta tender dengan tawaran harga terendah, dalam proyek Jalan Lingkar Selatan. Kasus ini terjadi saat John menjabat Wali Kota Salatiga. Kerugian negara mencapai Rp 12,2 miliar. Pengadilan Tipikor Semarang memvonis penjara 3 thn 6 bln, denda Rp 100 juta subsider 3 bln kurungan.
12. Marlina M. Siahaan, Bupati Bolaang Mongondow, Sulut Korupsi APBD Kasus ini terjadi tahun 2010. Pemkab Bolaang Mongondow mengalokasikan tunjangan aparat pemerintah desa TPAPD dalam APBD 2010 sebesar Rp 12,3 miliar. Terjadi penyalahgunaan yang menyebabkan kerugian negara Rp 3,8 miliar. Pada Oktober 2012, proses pengadilan masih berlangsung.
13. Mochtar Mohammad,
Walikota Bekasi
Suap anggota DPRD, Adipura, anggota BPK; korupsi anggaran Mochtar diajukan ke pengadilan untuk 4 kasus dugaan korupsi: suap anggota DPRD senilai Rp 1,6 miliar untuk pengesahan APBD; korupsi anggaran makanan minuman Rp 639 juta; suap pemenangan piala Adipura senilai Rp 500 juta; dan suap BPK agar mendapat predikat wajar tanpa pengecualian. Vonis MA, 6 thn penjara, denda Rp 300 juta, uang pengganti Rp 639 juta
14. Murman Effendi,
Bupati Seluma, Bengkulu
Suap 27 anggota DPRD Murman terbukti memberikan uang ke 27 anggota DPRD Seluma, terkait perubahan Perda 12/2010 menjadi Perda 2/2011 yang mengatur tentang peningkatan dana anggaran pembangunan infrastruktur Vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, 2 tahun penjara denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
15. Rina Iriani Sri R,
Bupati Karanganyar
Korupsi dana subsidi pembangunan perumahan Rina diduga menyalahgunakan bantuan subsidi perumahan dari Kementerian Perumahan Rakyat, 2007-2008. Nilai dana yang tidak sesuai peruntukan mencapai sekitar Rp 18 miliar, sedangkan yang diduga dinikmati oleh Rina Rp 11,1 miliar. Pada Oktober 2012, proses pengadilan masih berlangsung.
16. Robert Edison Siahaan,
Walikota Pematang Siantar
Korupsi Dana DPU dan anggaran Bansos APBD Kota Korupsi anggaran rehabilitasi DPU APBD Pematang Siantar 2007 sebesar Rp 8,3 miliar (dari anggaran Rp 14,7 miliar hanya realisasinya Rp 6,4 miliar); dan anggaran bansos senilai Rp 2,175 miliar. Vonis Pengadilan Tipikor Medan, 8 thn penjara, denda Rp 100 juta subsider 4 bln kurungan
17. Satono,
Bupati Lampung Timur
Korupsi APBD Satono terbukti melakukan korupsi dengan menjaminkan uang kas daerah di bank yang tidak dijamin LPS, yang menyebabkan pembangunan tidak berjalan lancar karena uang yang mengendap di bank sudah dibekukan. Vonis MA, penjara 15 thn denda Rp 500 juta subsider 6 bln kurungan, dan uang pengganti Rp 10,58 miliar.
18. Soemarmo Hadi S,
Walikota Semarang
Suap anggota DPRD Kota Semarang Soemarmo bersama Sekda Semarang memberikan hadiah kepada beberapa anggota DPRD terkait pembahasan APBD Kota Semarang dengan nilai total Rp 304 juta. Pengadilan Tipikor menjatuh-kan hukuman penjara 1 thn 6 bln dan denda Rp 50 juta subsider dua bulan penjara.
19. Sunaryo,
Wk Walikota Cirebon
Penyelewengan dana APBN Sunaryo bersama anggota DPRD lainnya ikut memanipulasi APBD 2004 senilari Rp 4,9 miliar untuk kepentingan pribadi dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Vonis Pengadilan Tipikor Bandung 1 thn penjara, denda Rp 50 juta serta uang pengganti Rp 180 juta.
20. Untung Sarono Wiyono, Bupati Sragen, Jawa Timur Penyalahgunaan APBD Kabupaten Untung terbukti menyalahgunakan APBD Sragen dengan mendepositokan uang APBD Sragen 2003-2010 ke Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebesar Rp 40 miliar. Dari jumlah tersebut, Untung tidak dapat mengembalikan Rp 11 miliar. Vonis MA (24/9/2012) 7 thn denda Rp 250 juta subsider 6 bln kurungan, uang pengganti Rp 11 miliar, subsider 5 bln kurungan.

Sumber: Pengolahan Data

Berdasarkan kasus sebagaimana tersaji pada Tabel 4.1.dapat dikatakan bahwa dari 20 pejabat daerah yang melakukan tindak pidana korupsi 11 memiliki posisi Bupati, 4 Gubernur, dan 4 Wali Kota, 1 Wakil Walikota, dengan wilayah tersebar mulai dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dari 20 kasus korupsi di atas 12 terkategori jenis penggelapan (embezzlement), 4 penyuapan (bribery), 3 penggelembungan (mark up), 1 nepotisme (favoritism) . Satu kasus masuk dalam kelompok penggelapan jika terjadi pencurian atau penggunaan sumber daya oleh pejabat yang ditugaskan untuk mengelola sumber daya tersebut. Yang masuk dalam kategori ini adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Bengkulu, Kaltim, Sulawesi Tenggara, dan Bupati Lampung, Batang, Subang, Bolaang Mongondow-Sulut, Karanganyar, Lampung Timur, Seragen, Walikota Pematang Siantar dan Wakil Walikota Cirebon . Kasus korupsi masuk dalam kategori penyuapan jika pejabat atau aparat pemerintah menutut pembayaran dari publik agar suatu pekerjaan lebih cepat selesai, memenangkan tender, mendapatkan pelayanan yang bukan menjadi hak publik. Dari Tabel 4.1. ada 4 kasus korupsi yang masuk dalam kategori ini yaitu Kasus korupsi Walikota Bekasi dan Semarang, Bupati Bengkulu, Buol, dan Riau. Terdapat 2 kasus Pengelembungan (mark up) yaitu kasus korupsi Bupati Kerinci dan Sekadau(Kalbar). Satu satunya jenis favoritism terjadi pada kasus korupsi Walikioa Salatiga.

Dengan menggunakan pemikiran Huisman dan Walle (2009:1), di mana korupsi merupakan bentuk tindakan kriminal yang dapat dikategorikan sebagai organised crime, occupational crime, dan organisational crime, maka setelah mempelajari 20 kasus korupsi di atas dapat dinyatakan semuanya masuk dalam kategori organised crime.

Semua kasus korupsi yang tersebut dalam Tabel 4.1. telah masuk proses pengadilan, Ada 5 kasus masih dalam proses pengadilan, lainnya sudah ada keputusan Pengadilan. Sedangkan kasus yang sudah mendapat keputusan pengadilan ada 9 dengan vonis antara 1 sampai 5 tahun, 6 kasus dengan vonis di atas 5 samapai dengan 15 tahun.

Kesimpulan

Kasus korupsi di daerah selalu melibatkan Pejabat mulai dari Gubernur, Walikota, Bupati, dan anggota DPRD. Menggunakan dana APBD, dana masyarakat, penerimaan pajak, dan bersifat masif, hampir terjadi disemua provinsi. Hukuman yang dijatuhkan cukup ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pejabat-pejabat berikutnya.

 

Daftar Pustaka

Andvig, Jens, Chr, Fjeldstad O. H, Amundesen. I, Sissener,T, Soreide.T (2000). Research on Corruption A Policy Oriented Survey, Commissioned by NORAD, Chr Michelsen Institute & Norwegian Institute of Intenational Affair (NUPI), www.icgg.org/download/contribution_advig.pdf

Bac, Mehmet (1998), The Scope, Timing, and Type of Corruption, International Review of Law and Economic 18 (1), Elsevier Science Inc., New York

Huisman, Wim, Walle G. V. (2009), The Criminology of Corruption, 9th Chapter, Criminology of Corruption. Pp1-38, pure.hogent.be/portal

Kurniawan Teguh (2009), Peran Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan, Bisnis dan Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, 16(2), hal. 116-121.

Pusat Kajian Anti Korupsi (2012), Trend Corruption Report Tengah Tahun Pertama 2012, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Suwarno Yogi, Junanto Deny (2006), Strategi Pemberantasan Korupsi, Dosen Tetap STIA LAN, Jakarta, www.stialan.ac.id/publik/artikel.php.

http://www.bps.go.id/ Badan Pusat Statistik (2013), Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2012, Berita Resmi Statistik No. 07/01/th XVI, 2 Januari

http://www.transparancy.org/research/cpi/overview, Coruption Perception Index, Transparancy Intenationl 2012

http:// politik.kompasiana.com/2012/Korupsi Menyengsarakan Rakyat Miskin

http://edukasi.kompasiana.com/2013/01/03/bps-masyarakat-indonesia-cenderung-anti-korupsi-516143.htmldiakses pada 2 Januari 2013 pukul 21.12.

http://www.ti.or.id/index.php/press-release/2012/12/06/peluncuran-corruption-perception-index-2012diakses pada 5 Januari 2013 pukul 23.05

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *