TUJUAN HUKUM

Sejak hukum Hammurabi ada (disusun atas perintah raja Babylonia yaitu Raja Hammurabi pada abad ke-17 SM dan diyakini merupakan code hukum kuno tertua yang berbentuk tertulis-sampai saat ini masih terdapat peninggalannya dimuseum Perancis), tujuan hukum telah menjadi sesuatu yang penting diperhatikan.

Raja Hammurabi menganggap tujuan hukum adalah keadilan dalam rangka menjaga dan melindungi rakyatnya. Persepsi keadilan Raja Hammurabi barangkali tidak bisa dibayangkan dan disamakan dengan konsep keadilan saat ini. Sebagai contoh: Pada Hukum Hammurabi, ditetapkannya hukuman mati bagi perampokan dan pencurian (“kriminal biasa”)-sementara saat ini hukuman mati pelaku kejahatan-kejahatan besar bagi kemanusiaan yaitu terorisme, narkoba dan korupsi-masih menjadi perdebatan panjang). Hal ini secara tidak langsung memberi keyakinan kepada kita bahwa konsep keadilan sebagai tujuan hukum sampai kapanpun dan dengan cara apapun dikaji tidak pernah diperoleh standar yang pasti.

Dalam perkembangan hukum berikutnya, persoalan tujuan hukum tetap menjadi perhatian penting karena menjadi ruh bagi perumusan suatu peraturan. Berbagai teoripun muncul mengenai tujuan Hukum, misalnya:
1. Teori etis (etische theory) dikemukakan oleh Aristoteles, bahwa tujuan hukum adalah untuk dicapainya keadilan, dan keadilan bukan berarti menyamaratakan atau tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama
2. Teori utilitas (utilities theory) dikemukakan oleh Jeremy Betham, bahwa tujuan hukum adalah untuk kemanfaatan dan kebahagiaan
3. Teori normative-dogmatif dikemukakan oleh John Austin, bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan kepastian hukum
Selain teori-teori di atas masih banyak lagi pendapat dan teori yang dikemukakan para ahli hukum tentang tujuan hukum, namun secara umum dapat dikemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk ketertiban, keamanan dan kebahagiaan manusia serta diperolehnya keadilan.

Bagaimana dengan Hukum Islam? Sebagai suatu sistem hukum maka sudah pasti juga memiliki tujuan. Para ahli hukum Islam merumuskan bahwa tujuan Hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia dengan jalan mengambil segala yang manfaat dan mencegah atau menolak segala yang mudarat. Bicara tujuan Hukum Islam atau dikenal dengan istilah maqashid al-syariah adalah bicara mengenai kemashlahatan manusia sebagai tujuan hukum Islam, dan bicara mengenai kemashlahatan maka itu berarti ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan dalam kerangka kemashlahatan yaitu agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Kelima unsur pokok ini dipopulerkan oleh seorang pakar yang bernama Al-Syatibhi. Kajian mengenai hal ini sangat dalam dan tidak sederhana karena berkaitan dengan kajian ushul fikih, namun dapat dikatakan bahwa sebagai suatu sistem hukum yang berasal dari Tuhan maka Hukum Islam tidak hanya menyentuh persoalan keduniaan semata. Oleh karena itu sangat logis apabila tujuan hukum Islam-pun tidak sebatas pada hal yang sifatnya duniawi, ada hal yang lebih fundamental lagi yaitu menyentuh persoalan yang lebih hakiki dan abadi yaitu kehidupan ukhrowi.

Islam meyakini bahwa keberadaan manusia tidak lain tujuannya adalah dalam rangka beribadah kepada Tuhan penciptanya (QS Dzariyat:56), oleh karena itu segala aktivitas hidup manusia selayaknya ditujukan dalam kerangka beribadah dan dengan demikian keberadaan hukum sebagai rambu-rambu yang mengatur aktivitas manusia diarahkan dalam rangka kemashlahatan agar “kerangka beribadah” itu dapat berjalan baik sehingga ujung perjalanan hidup berakhir dengan baik (khusnul khatimah).

Dengan demikian, didalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer (termasuk salah satunya adalah aktivitas ekonomi syariah –sebagai salah satu aktivitas bisnis yang sangat pesat perkembangannya dewasa ini) selayaknya perlu dikaji mendalam hakekat dari masalah serta meneliti sumber hukum yang akan dijadikan dalil atau dasar hukumnya agar tujuan hukum sebagaimana yang dikehendaki Tuhan semesta alam terpenuhi.