Penilaian Profil Risiko Pasar (Market Risk)

Dalam dunia bisnis Perbankan terdapat delapan jenis risiko yang harus dikelola, diantaranya : Risiko Kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko stratejik dan risiko kepatuhan, yang wajib meneerapkan manajemen risiko untuk seluruh risiko yang ada (Riyadi, 2017:344-358).

Adapun dalam penilaian profil risiko pasar atau market risko adalah kerugian yang terdapat pada laporan keuangan (on Balance Sheet) dan rekening administratif (off Balance sheet) yang bersumber dari trading book dan banking book bank. Risiko pasar dari trading book adalah risiko kerugian nilai investasi yang terjadi karena melakukan dan penjaualan instrumen secara terus menerus di pasar dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan, tetapi pada kondisi tertentu terjadi penurunan haega jual karena kondisi pasar yang tidak stabil atau fluktuatif. Sedangkan risiko yang bersumber dari banking book merupakan konsekuensi alamiah dari sifat bisnis bank yang dilakukan dengan nasabahnya, dimana sumber dana berjangka pendek sementara pemberian kredit berjangka panjang sehingga terjadi mismatch antara sumber dan penggunaannya.

Risiko pasar meliputi jenis-jenis risiko : risiko tingkat bunga, risiko nilai tukar (kurs), risiko ekuitas dan risiko komoditas, dimana penilaiannya dilakukan berdasarkan komponen risiko pasar inheren dan kualitas sistem pengendalian.

Untuk pembahasan lebih lengkap dapat dibaca dari sumber aslinya yaitu Buku : Manajemen Perbankan Indonesia (Teori, Praktek dan Studi Kasus) yang diterbitkan oleh RajaGrafindo Persada, Jakarta. (20017).

Referensi :

Riyadi, Selamet (2017). Manajemen Perbankan Indonesia (Teori, Praktek dan studi Kasus).  RajaGrafindo Persada : Jakarta




SIKePO = Sistem Informasi Ketentuan Perbankan Online

 

KEPO merupakan kependekan dari : Knowing Every Particular Object (Mengetahui segala hal)

Sejalan dengan perkembangan industri perbankan yang semakin hari semakin cepat, dibarengi dengan perubahan regulasi dari waktu ke waktu, yang secara tidak langsung mengharuskan perbankan untuk mematuhi peraturan yang telah dikeluarkan oleh OJK. Untuk memudahkan perbankan dalam mengakses ketentuan yang berlaku, OJK juga terus memperbaiki sistem kodifikasi dan klasifikasi ketentuan yang dikenal dengan Sikepo.

 

Apakah yang dimaksud dengan SIKePO ?

Adalah sistem informasi yang memuat ketentuan perbankan, yang dapat diakses secara online baik oleh user internal maupun oleh user eksternal

Apa Tujuan Sikepo?

Tujuannya adalah menyediakan ketentuan perbankan yang lengkap, terkini, dan sistematis yang mudah digunakan (user friendly)

Apa manfaat dari Sistem ini?

Manfaat yang didapat dari sistem ini adalah, pertma memudahkan pengguna untuk mencari pengaturan atas suatu topik secara komprhensif; Kedua, membantu pengguna untuk mengetahui rekam jejak atas suatu ketentuan; Ketiga, menyediakan wadah bagi pengguna untuk mencari ketentuan yang berlaku.

Apa saja yang menjadi Cakupan Sikepo?

Kodifikasi dilakukan dengan mengelompokkan setiap pasal atau bab dari suatu peraturan kedalam klasifikasi yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan untuk seluruh ketentuan perbankan yang menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

 

Referensi

Materi Launching Sikepo oleh OJK bulan February 2017




KNOW YOUR CUSTOMER (KYC)

Pengertian Know Your Customer

Know Your Customer Principles (KYCP) adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan dan sudah menjadi kewajiban bank untuk menerapkannya. (Sitompul, 2004, hlm. 29.)

Menurut PBI No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles), PBI No.3/23/PBI/2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No.3/1/PBI/2001 tentang tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) dan PBI No. 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia No.3/1/PBI/2001 tentang tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles), yang dimaksud dengan Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan. Nasabah dalam pengertian di sini adalah nasabah yang menggunakan jasa bank.

Sanksi Bagi Bank

Sesuai PBI tentang KYC dalam hal bank tidak menetapkan dan menyampaikan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah kepada Bank Indonesiadan tidak melaporkan perubahan Pedoman Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak ditetapkannya perubahan tersebut serta tidak melaporkan kepada Bank Indonesia transaksi yang mencurigakan yang terjadi di bank yang bersangkutan selamba tlambatnya 7 hari kerja sejak transaksi tersebut diketahui oleh bank, dikenakan sanksiberupa kewajiban membayar sebesar Rp.1 juta per hari keterlambatan dan setinggi-tingginyaRp.30 juta.

Disamping sanksi tersebut diatas, terhadap anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkahyang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang Perbankan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank (termasuk PBI KYC), diancam dengan pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 8 tahun serta denda minimal Rp. 5 miliar dan maksimal Rp.100 miliar (Pasal 49ayat (2) huruf b Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telahdiubah dengan Undang-undang No.10 tahun 1998).

Apa Yang Hendak dicapai dengan KYC ?

Prinsip mengenal nasabah, tidak sekadar berarti mengenal nasabah secara harfiah tetapi prinsip mengenal nasabah ini menginginkan informasi yang lebih menyeluruh di samping identitas nasabah, yaitu hal-halyang berkaitan dengan profil dan karakter transaksi nasabah yangdilakukan melalui jasa perbankan. Oleh sebab itu, dari segi operasionalperbankan bukan pekerjaan yang mudah untuk melaksanakanprinsip mengenal nasabah ini. Untuk melakukan due diligence atau proses penilaian terhadap nasabah, baik kepada nasabah baru maupun lama tentang asaldana atau sumber dana yang dimilikinya yang disimpan atau akan disimpan di bank tertentu, tanpa membuat dia tersinggung atau tergangguprivacy-nya, bukan pekerjaan mudah. Hal tersebut bisa membuat nasabahtersinggung dan memindahkan dananya ke lembaga investasi yang lain. Dengan demikian, penerapan prinsip mengenal nasabah memerlukan etika dan kebijakan dan prosedur khusus karena pekerjaan ini telah memasuki privacy seorang nasabah atau calon nasabah bank.

Disamping melakukan KYC, salah satu elemen penting dalam mengantisipasi kejahatan pencucian uang (Anti Money Laundering) dan pencegahan internal fraud di dalam dunia perbankan adalah penerapan Know Your Employee. Kebijakan Know Your Employee sebaiknya diterapkan dengan meliputi kebijakan-kebijakan proses rekrutmen, rotasi dan mutasi karyawan, pengaturan cuti karyawan serta kebijakan yang terkait dengan pemberian hadiah dan/atau sumbangan kepada karyawan. Pemantauan perilaku dan gaya hidup karyawan pun diperlukan untuk memastikan bahwa tidak terjadi perubahan yang tidak wajar sehubungan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan seorang karyawan

 

Referensi

PBI No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles), PBI No.3/23/PBI/2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No.3/1/PBI/2001 tentang tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) dan PBI No. 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia No.3/1/PBI/2001 tentang tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles)

Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telahdiubah dengan Undang-undang No.10 tahun

Zulkarnain Sitompul (2004). Upaya Mencegah dan  Pemberatas Tindak Pidana Pencucian Uang, Sinar Grafika, Jakarta.




ANTI MONEY LAUNDERING (AML)

Mengapa perlu menerapkan Anti Money Laundering (AML) ?

            Financial Actions Task Force on Money Laundering (FATF) memasukkan Indonesia ke dalam daftar Non-Cooperative Countries and Territories (NCTTs) pada Juni 2001, hal ini membawa konsekuensi negatif bagi perkembangan ekonomi maupun tatanan pergaulan secara internasional. Untuk dapat keluar dari keterkucilan ini, maka langkah awal yang harus ditempuh diantaranya adalah melakukan penguatan kerangka hukum (legal framework), peningkatan pengawasan di sektor keuangan, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) dan penerbitan peraturan yang terkait dengan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Anti Money Laundering).

Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memiliki arti penting mengingat dampak yang ditimbulkannya, baik dalam bidang ekonomi maupun penegakan hukum. Dalam prakteknya, kegiatan pencucian uang hampir selalu melibatkan perbankan karena adanya globalisasi perbankan sehingga melalui sistem pembayaran terutama yang bersifat elektronik (electronic funds transfer), dana hasil kejahatan yang pada umumnya dalam jumlah besar akan mengalir atau bahkan bergerak melampaui batas Negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan.

Usaha melawan kegiatan pencucian uang oleh bank pada dasarnya merupakan penyimpangan dari tradisi memegang teguh rahasia bank.Terdapat suatu prinsip yang berlaku secara umum yang menyatakan larangan kepada perbankan untuk memberikan informasi tentang nasabahnya kepada pihak ketiga termasuk kepada otoritas yang berwenang, kecuali dimungkinkan oleh undang-undang yang berlaku.

Sesuai UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang)  yang dimaksud pencucian uang adalah “perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah”. Sedangkan pengertian “money laundering” dalam Black’s Law Dictionary adalah “term to used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate channels so that is original source 3 cannot be traced”. Dari pengertian tersebut tampak bahwa melalui kegiatan pencucian uang, para pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul sebenarnya dari suatu dana atau uang hasil tindak pidana yang dilakukan dan memanfaatkannya seolah-olah sebagai hasil usaha yang sah/legal.

Bagaimana ancaman pidana atas pencucian uang ?

Tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara minimum 5 (lima) tahun dan maksimum 15 (lima belas) tahun serta denda minimum Rp.100.000.000,00 dan maksimum Rp.15.000.000.000,00 .

Bagaimana kenyataannya pelaksanaan Anti Pencucian Uang?

Dengan perkembangan dunia secara global yang didukung oleh kemudahan teknologi informasi, semakin kompleksnya produk perbankan dan aktivitas transaksi serta persaingan bisnis antara bank, maka risiko pemanfaatan bank dalam pencucian uang semakin tinggi. Peningkatan risiko yang dihadapi oleh bank perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko yang terkait dengan program APU & PPT.

Meskipun hampir setiap negara telah memiliki undang-undang (rezim) anti pencucian uang dan kerja sama antara negara secara global dalam mencegah dan memberantas praktek illegal pencucian uang serta dibentuk Financial Actions Task Force (FATF) yang merupakan komisi khusus dalam menjalankan tugas Rezim Anti Pencucian Uang, tetapi dalam banyak kasus,pelaku kejahatan internasional masih bisa menjalankan aksinya dengan melakukan pemindahan dana dari satu negara ke negara lainnya secara on-line.Perbedaan yuridis dan perlakuan di masing-masing negara terkait pencucian uang ini yang membuat penegak hukum sulit untuk melacak pelaku tindak pidana pencucian uang.

Keberhasilan pemberantasan tindak pidana pencucian uang tidak hanya dengan dikeluarkannya undang-undang pencucian uang, tetapi juga harus didukung oleh institusi penegak hukum yang mau bekerja, aparat hukum harus bertindak pro aktif dan memiliki pengetahuan dibidang teknologi informasi untuk belajar berbagai modus kejahatan dalam dunia maya atau internet serta memiliki keseriusan untuk menjalin kerja sama dengan negara lain dalam menyelesaikan kasus pencucian uang yang sedang ditangani.

Penanganan yang cepat dari institusi penegak hukum dalam mengungkap dan menangkap pelaku tindak pidana pencucian uang dan pemberian hukuman yang berat bagi pelakunya diharapkan dapat membuat efek jera bagi pelaku tindak pidana pencucian uang yang pada akhirnya lambat laun tindak pidana pencucian uang dapat dicegah atau diminimalisir, sehingga satabilitas dan pertumbuhan ekonomi dapat berkembang dengan wajar.

 




GWM BARU 2016 VS LOAN TO FUNDING RASIO (LF

Bank Indonesia sebagai bank sentral mempunyai peran selain untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi nasional dan juga menjaga stabilnya nilai tukar.  Untuk melaksanakan terjadinya kedua kondisi tersebut, dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, pertama melalui kebijakan moneter dan kedua  menggunakan instumen open market operation. Dengan kebijakan moneter contohnya seperti penetapan besarnya Giro Wajib Minimum (GWM) yang semula 8% menjadi 6,5% ini untuk GWM Primer, sedangkan GWM sekunder semula 4,5% menjadi 5%.

Dalam perhitungan GWM LFR Bank Indonesia menetapkan besaran dan parameter yang digunakan (PBI No.18/14/PBI/2016) sebagai berikut:

  1. Batas bawah LFR  Target sebesar  80% .
  2. Batas atas LFR  Target sebesar  92%.
  3. KPMM Insentif sebesar 14%
  4. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu)
  5. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua).

Selain itu juga insentif diberikan kepada Bank, jika rasio Kredit UMKM lebih cepat dari waktu tahapan yang telah ditetapkan, maka baras atas LFR menjadi 94%.

 Contoh perhitungan GWM LFR dalam Rupiah (LFR diatas 80%):

Total DPK dalam Rupiah (rata-rata harian) dalam masa laporan sejak tanggal  8  November sampai dengan  tanggal  15  November  2016  yang dimiliki Bank  ABFII sebesar Rp.100.000.000.000.000,00 dan LFR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 November  sampai dengan  tanggal  15  November  2016 sebesar 90%.Berdasarkan data tersebut diatas maka besarnya GWM  dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24  November  sampai dengan  tanggal  30 November 2016 yang wajib dipenuhi Bank adalah:

a. GWM Primer sebesar 6,5% X Rp. 100.000.000.000.000,- = Rp.6.500.000.000.000,- dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening       Giro Rupiah pada Bank Indonesia.

b. GWM Sekunder sebesar 4% X Rp. 100.000.000.000.000,- = Rp. 4.000.000.000.000,- dipenuhi dalam bentuk SBI, SDBI,             SBN, dan/atau Excess Reserve.

c. GWM LFR sebesar 0% X Rp. 100.000.000.000.000,- = Rp. 0,- (karena LFR pada kisaran batas bawah 80% dan batas atas             92%).

Contoh perhitungan GWM LFR dalam Rupiah (LFR dibawah 80%):

Total DPK rata-rata harian yang dimiliki Bank ABFII dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8  November sampai dengan  tanggal  15  November  2016  sebesar Rp.100.000.000.000.000,-  dan LFR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8  November  sampai dengan  tanggal  15  November  2016 sebesar 78%.

Berdasarkan pada data selama periode tersebut, maka besarnya GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24  November  sampai dengan  tanggal  30 November 2016 yang wajib dipenuhi Bank adalah:

a. GWM Primer sebesar 6,5% X Rp. 100.000.000.000.000,- = Rp. 6.500.000.000.000,-  wajib dipenuhi dalam bentuk saldo              Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.

b. GWM Sekunder sebesar 4% X Rp. 100.000.000.000.000,- = Rp4.000.000.000.000,- dapat dipenuhi dalam bentuk SBI,               SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve.

c. GWM LFR sebesar 0,2% X Rp. 100.000.000.000.000,- = Rp.200.000.000.000,- harus dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening     Giro Rupiah pada Bank Indonesia.

Contoh perhitungan GWM LFR dalam Rupiah (LFR diatas 92% ):

Total DPK rata-rata harian yang dimiliki Bank ABFII dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8  Novembersampai dengan  tanggal  15  November  2016  sebesar Rp100.000.000.000.000,-  sementara LFR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 November  sampai dengan  tanggal  15  November  2016 sebesar 97%  dan KPMM Bank posisi akhir bulan  Juni  2016  sebesar 12%.

Berdasarkan data diatas, maka parameter disinsentif atas dapat dihitung sebagai berikut :

Parameter Disinsentif Atas x (LFR Bank  –  batas atas LFR Target) x DPK dalam Rupiah

= 0,2 x (97% – 92%) x DPK dalam Rupiah

= 0,2 x 5% x DPK dalam Rupiah

= 1% x DPK dalam Rupiah

Dengan demikian besarnya GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24  November  sampai dengan  tanggal  30 November 2016 yang wajib dipenuhi Bank adalah:

a. GWM Primer sebesar 6,5% X Rp. 100.000.000.000.000,- = Rp.6.500.000.000.000,-  wajib dipenuhi dalam bentuk saldo             Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.

b. GWM Sekunder sebesar 4% X Rp. 100.000.000.000.000,- = Rp.4.000.000.000.000- dapat dipenuhi dalam bentuk SBI,               SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve.

c. GWM LFR sebesar 1% X Rp. 100.000.000.000.000,- =  Rp.1.000.000.000.000,-  harus dipenuhi dalam bentuk saldo                     Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.

Contoh perhitungan GWM LFR dalam Rupiah (LFR100% dan KPMM 15%) ::  

Total DPK rata-rata harian yang dimiliki Bank ABFII dalam Rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8  November sampai dengan  tanggal  15  November  2016  sebesar Rp.100.000.000.000.000,-  dan LFR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 November  sampai dengan  tanggal  15  November  2016 sebesar 100%  dan KPMM Bank posisi  akhir bulan  Juni  2016  sebesar 15%.

KPMM Insentif ditetapkan sebesar 14% (empat belas persen). LFR Bank lebih besar dari batas atas LFR Target dan KPMM Bank lebih besar dari KPMM Insentif, sehingga GWM LFR dalam Rupiah harian Bank ABFII  untuk masa laporan sejak  tanggal 24  November  sampai dengan tanggal  30  November  2016  adalah sebesar 0%  dari DPK dalam Rupiah

Berdasarkan data tersebut  maka perhitungan GWM dalam Rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24  November  sampai dengan  tanggal  30 November 2016 yang wajib dipenuhi adalah :

a. GWM Primer sebesar 6,5% X Rp. 100.000.000.000.000,- = Rp.6.500.000.000.000,-  wajib dipenuhi dalam bentuksaldo               Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.

b. GWM Sekunder sebesar 4% X Rp. 100.000.000.000.000,- = Rp4.000.000.000.000,00 dapat dipenuhi dalam bentuk SBI,           SDBI, SBN, dan/atau Excess Reserve.

c. GWM LFR sebesar 0% X Rp. 100.000.000.000.000,- Rp. 0,-

Referensi :

  1. PBI No.15/15/PBI/2013 Tentang GWM Bank Umum Dalam IDR Dan VA Bagi Bank Umum Konvensional
  2. PBI No.18/14/PBI/2016 Tentang Perubahan Keempat Atas PBI No.15/15/PBI/2013 Tentang GWM Bank Umum
  3. Riyadi, Selamet. (2006). Banking Assets And Liability Management, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia



PERAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DI INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)

Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan, sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No.23/1999 Tentang Bank Indonesia, pada pasal 34 ditegaskan bahwa selambat-lambatnya 31 Desember 2002 sudah terbentuk. Namun baru pada tahun 2011 baru terbentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Undang-Undang RI No.21 Tahun 2011 tentang OJK yang merupakan lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan di sektor jasa keuangan. Setahun setelah adanya UU tentang OJK ini, baru mulai bersiap-siap untuk melakukan tugaskan dan pada tahun 2013 OJK mulai mengemban amanah yang diberikan oleh UU dengan mengeluarkan beberapa peraturan diantaranya Peraturan OJK No. 01/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Prinsip perlindungan konsumen, bersifat transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data informasi serta penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dengan biaya terjangkau.

Kemudian pada wal tahun berikutnya (2014) OJK mengeluarkan Surat Edaran (SE) No.1/SEOJK.07/2014 Tentang Pelaksanaan Edukasi Dalam Rangka Meningkatkan Literasi Keuangan Kepada Konsumen Dan/atau Masyarakat, yang berisi diantaranya mewajibkan Pengurus Usaha Jasa Keuangan (PUJK) untuk membuat rencana dan program tahunan yang harus dilaporkan ke OJK; dalam melaksanakan eduksi berdasarkan pada 4 prinsip yaitu inklusif, sitematis dan terukur, kemudahan akses serta kolaborasi. Demikian pula PUJK dalam membuat program CSR harus dilakukan secara berkesinambungan dan dilakukan monitor secara berkala.

Adapun visi dan misi OJK saat ini adalah :

Visi

Menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dan mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta dapat memajukan kesejahteraan umum.

Misi

  1. Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan dan akuntabel;
  2. Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
  3. Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

 

Tujuan OJK

Sesuai dengan amanah UU, tujuan dibentuknya OJK adalah  agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

  1. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
  2. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjuatan dan stabil; dan
  3. Mampu melindungi kepenti8ngan konsumen dan masyarakat.

 

Fungsi dan Tugas OJK

Agar seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara dengan baik, maka OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi.  Selain itu OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar Modal, dan Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Dimana sebelum dilakukan oleh lembaga pengawas yang berbeda, seperti sektor perbankan diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia; Pasar Modal oleh Bapepam Lembaga Keuangan, sedangkan perasuransian, dana pensisun, lembaga pembiayaan dan jasa keuangan lainnya oleh Kemeterian Keuangan RI.

 

Nilai-Nilai Strategis OJK

Agar menjadi lembaga yang akuntabel, transparan dan terbebas dari KKN serta intervensi dari pihak lain, OJK memiliki nilai-nilai strategis yang dicangkannya yaitu :

  1. Integritas adalah bertindak, objektif, adil, dan konsisten sesuai dengan kode etik dan kebijakan organisasi dengan menjunjung tinggi kejujuran dan komitmen.
  2. Profesionalisme adalah bekerja dengan penuh tanggung jawab berdasarkan kompetensi yang tinggi untuk mencapai kinerja terbaik.
  3. Sinergi adalah berkolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal secara produktif dan berkualitas.
  4. Inklusif adalah terbuka dan menerima keberagaman pemangku kepentingan serta memperluas kesempatan dan akses masyarakat terhadap industry keuangan.
  5. Visioner adalah memiliki wawasan yang luas dan mampu melihat ke depan (Forward Looking) serta dapat berpikir di luar kebiasaan (Out of The Box Thinking).

 

 

Organisasi OJK

Dalam menjalankan roda organisasi, sebagiamana diamanhkan oleh UU, OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner beranggotakan 9 orang yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden serta bersifat kolektif dan kolegial, dengan susunan sebagai berikut:

  1. Seorang Ketua merangkap anggota;
  2. Seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
  3. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
  4. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
  5. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya merangkap anggota;
  6. Seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
  7. Seorang anggota yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen;
  8. Seorang anggota Ex-Officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia;
  9. Seorang anggota Ex-Officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.

 

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan literasi sekaligus menyebarkan informasi kepada kalangan akademisi, praktisi dan masyarakat pada umumnya tentang keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), agar lebih dikenal lagi dengan lebih baik. Karena tak kenal maka tak sayang.

 

Referensi :

  1. UU No.23/1999 Tentang Bank Indonesia
  2. UU No. 21/2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
  3. Buku UU OJK Dan Regulasi Edukasi Dan Perlindungan Konsumen
  4. Booklet Perbankan Indonesia tahun 2016



BANK VS PERBANKAN

Pengertian Perbankan dan Bank menurut UU No.10/98 tentang Perbankan menjelaskan bahwa Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sedangkan Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dari kedua pengertian ini terlihat sekali bedanya.

Berdasarkan definisi sesuai UU maka jelas sekali perbedaannya antara pengetian Bank dan Perbankan, Bank adalah bentuk badan usahanya sedangkan perbankan adalah aktivitasnya dalam pengertian yang luas secara operasional bisnis yang dilakukan Bank. Hal ini dibahas sebagai bahan studi literatur bagi praktisi, akademisi dan mahasiswa S1, S2 atau S3 yang akan menyelesaikan tulisan karya ilmiah, apakah skripsi, tesis atau disertasi yang terkait dengan perbankan baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Misalnya mahasiswa hendak menulis pokok bahasan tentang strategi pemasaran untuk meningkatkan dana pihak ketiga atau meningkatkan kepuasan nasabah atau meningkatkan loyalitas nasabah. Berdasarkan pokok permasalahan ini ditulislah judul : “ Strategi Pemasaran Perbankan di Indonesia Dalam Meningkatkan Dana Pihak Ketiga”. Sengaja dibuat judul yang pendek hanya untuk mempermudah pemahaman penggunaan kata “Bank” atau “Perbankan”. Nah jika dilihat dari judul, maka kata yang tepat digunakan adalah “Bank” bukan “Perbankan”. Mengapa demikian ? Karena yang membuat strategi adalah Manajemen Bank, yaitu Dewan Direksi ditururkan penugasanya kepada Direktur yang membidangi, diturunkan lagi kepada Unit kerja yang ada dibawah Direktur Bidang Pemasaran. Direktur merupakan bagian dari orgran yang ada di Bank.

Untuk lebih memperjelas misalnya pokok permasalahan adalah bisnis bank yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Berdasarkan pokok permasalahan dibuta judul, misalnya: “ Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Bisnis Bank di Indonesia”. Sekilas tampaknya benar, tetapi jika kita telaah dari segi pengertian dasarnya, maka judul yang tepat adalah kata “Bank” diganti menjadi “Perbankan”. Karena tersirat bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bisnis seperti IHSG, BI rate, Inflasi, Bunga Desposito, kupon (bunga) obligasi, kondisi ekonomi dan politik, dan lainnya ini akan memengaruhi kegiatan usaha atau bisnis perbankan.

Tulisan yang sederhana ini dimaksudkan untuk membantu mahasiswa yang akan dan sedang membuat penelitian yang terkait dengan bak atau perbankan, sehingga dapat membedakan, kapan harus menggunakan kata “bank” atau “perbankan” yang akan dipakai pada judul skripsi atau tesis. Semoga bermanfaat.




POTENSI TANAH WAKAF DI INDONESIA

Latar Belakang

Persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial merupakan salah satu masalah rumit yang dihadapi Indonesia, salah satu penyebabnya adalah bertambahnya jumlah penduduk miskin yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam menghadapi masalah ini, meang Negara harus berperan aktif dalam upaya mengentaskan kemiskinan, namun bukan berarti seluruh lapisan masyarakat bahkan hukum dan aturan agama tidak bisa ikut andil dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan yang terjadi. Dalam hal ini Wakaf merupakan salah satu instrumen ekonomi untuk mensejahterakan masyarakat.  Besarnya  jumlah  umat  muslim  di Indonesia ini juga bermakna  besarnya  potensi wakaf  yang  ada di Negeri ini.  Dengan demikian maka  wakaf  dapat dijadikan  salah satu alternatif  untuk  meningkatkan  kesejahteraan  masyarakat  dan mampu memberikan  kontribusi  yang sangat  besar  terhadap  perekonomian Indonesia.

Wakaf yang disyariatkan dalam agama Islam mempunyai dua dimensi sekaligus, yaitu dimensi religi dan dimensi sosial ekonomi yang berkesejahteraan serta berkeadilan. Dimensi religi karena wakaf merupakan anjuran agama Allah yang perlu dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat muslim, sehingga mereka yang memberi wakaf (waqif) mendapat pahala dari Allah SWT karena menaati perintahnya. Dimensi sosial ekonomi karena syariat wakaf mengandung unsur kesejahteraan melalui pengentasan kemiskinan, di mana kegiatan wakaf melalui uluran tangan sang dermawan telah membantu sesamanya untuk saling tolong menolong (taawun). Dalam perjalanan sejarah wakaf tidak hanya terbatas kepada kesejahteraan sosial untuk masyarakat dan keluarga, tetapi lebih dari itu peran wakaf yang monumental adalah melahirkan banyak yayasan ilmiah yang independen. Di antaranya menyelenggarakan forum ilmiah internasional, beasiswa, menyantuni kaum intelektual untuk selalu berkarya dan mendirikan lembaga-lembaga Islam yang independen, contoh Wakaf yang sangat monumental adalah Wakaf Utsman bin Affan (salah seorang sahabat Nabi) yang dilakukan 1400 tahun yang lalu. Penhelolaannya dari tahun ketahun berkembang dengan baik sehingga dapat menyantuni fakir miskin dan memberikan beasiswa sampai tingkat pergruan tinggi. Berdasarkan laman almuttahed.com, Kamis (25/6/2015), hotel yang berdiri di samping Masjid Utsman bin Affan (Usman bin Affan) itu dilengkapi dua restoran besar, 6 unit perbelanjaan, dan seluruh jasa hotel yang membuatnya menjadi hotel bintang lima. Terdapat informasi, bahwa saat  hotel tersebut dioperasikan oleh, salah satu hotel bertaraf internasional (Sheraton).

Menurut  Didin Hafidhuddin mengatakan bahwa optimalisasi wakaf bisa lebih luas dibanding zakat karena tak ada kualifikasi mustahiq (8 ashnaf penerima zakat), karena Wakaf merupakan instrumen ekonomi Islam yang sudah ada semenjak awal kedatangan Islam. Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah menunjukkan peran penting dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Selain itu, keberadaan wakaf telah banyak memfasilitasi para sarjana muslim untuk melakukan riset dan pendidikan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pendanaan kepada pemerintah. Wakaf terbukti telah menjadi instrumen jaminan sosial dalam rangka membantu kaum yang lemah untuk memenuhi hajat hidup, baik berupa kesehatan, biaya hari tua, kesejahteraan hidup, dan pendidikan.  Wakaf uang lebih fleksibel dan menjadi pendorong terhadap wakaf benda tidak bergerak agar lebih produktif. Indonesia memiliki aset wakaf tanah yang luas yang dapat dikembangkan melalui wakaf uang

Potensi Tanah Wakaf

Menurut data yang dihimpun Departemen Agama RI, jumlah tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.686.536.656, 68 meter persegi atau 268.653,67 hektar yang tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia. Dilihat dari sumber daya alam atau tanahnya (resources capital) jumlah harta wakaf di Indonesia merupakan jumlah harta wakaf terbesar di seluruh dunia. Ini merupakan tantangan bagi umat Islam Indonesia untuk memfungsikan harta wakaf secara maksimal sehingga tanah-tanah tersebut mampu menyejahterakan umat Islam di Indonesia. Sayangnya, potensi itu masih belum dimanfaatkan secara optimal, karena berbagai faktor.

Peningkatan Pemanfaatan Tanah Wakaf

Untuk peningkatan pemanfaatan tanah-tanah wakaf yang ada sudah mulai terdapat pemikiran agar yang semula cost center, karena identik dengan bangunan masjid, mushola dan tanah pemakaman dirubah menjadi wakaf produktif (tanpa mengurangi) luas tanah yang diwakafkan, misalnya diatas tanah wakaf dibangun apartemen dan satu atau dua digunakan untuk kegiatan keagamaan seperti Masjid, islamic center, dan kegiatan sosial lainnya sesuai syariat Islam. Jika hal ini dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik, maka akan banyak kaum miskin yang terentaskan sekaligus meningkatkan kesejahteraan bagi keluarga melalui jalur pendidikan. Insya Allah dapat menuju masyarakat yang l;ebih sejahtera dan bertakwa kepada Allah SWT.




KECILNYA MARKET SHARE PEMBIAYAAN MUDHARABAH DI INDONESIA

Kinerja Pembiayaan (Financing) bank syariah selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (year on  year/yoy). Berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang dikeluarkan oleh OJK periode bulan Juni 2016, terlihat bahwa meningkatnya kinerja pada sisi Lending perbankan syariah mencapai total Pembiayaan (Financing) secara nasional sebesar Rp.223.311 milyar, dibanding bulan Desember 2015 sebesar Rp. 213,988 milyar jumlah tersebut mengalami kenaikan. Telah terjadi kenaikan yang cukup signifikan selama periode 1 semester  (Desember 2015 s/d Juni 2016/6 bulan) yaitu sebesar Rp.9,323 milyar atau  4%.

Kenaikan tersebut tersebar pada beberapa jenis skema pembiayaan yang diberikan oelh bank syariah  diantaranya:

  1. Skema bagi hasil(Mudharabah dan Musyarakah) memberikan porsi tertinggi yaitu sebesar Rp.6.200 milyar atau 7%.
  2. Skema Piutang (Murabahah, Istisna, Qardh) mengalami kenaikan sebesar Rp.4.219 milyar atau 3%.
  3. Skema sewa (Ijarah) mengalami penurunan angka sebesar Rp.1.096 milyar atau 11% 1.096 Milyar.

Namun jika dilihat secara keseluruhan (bankwide) ternyata Skema Piutang (Murabahah, Istisna dan Qardh) memiliki porsi paling dominan pada sisi pembiayaan (Financing) bank syariah di indonesia yaitu sebesar Rp.131.058 milyar atau 59%, ini berarti bahwa lebih dari separuh pembiayaan yang diberikan bank syariah pada sektor rill masih di dominasi oleh skema Piutang (Murabahah, Istisna dan Qardh). Porsi Financing pada skema bagi hasil (Mudharabah dan Musyarakah) hanya tercatat sebesar Rp.82.715 milyar atau 39%. Sedangkan Skema Piutang Sewa (Ijarah) hanya sebesar Rp.9.539 milyar  atau  4%.

Rendahnya financing bagi hasil (Mudharabah) atau dominasi pembiayaan nonbagi hasil pada portfolio pembiayaan bank syariah ternyata merupakan suatu fenomena global yang terjadi tidak hanya di perbankan syariah di Indonesia, melainkan juga terjadi di perbankan syariah di seluruh dunia. Lebih jauh lagi, fenomena ini terjadi tidak hanya di bank syariah yang baru atau belum lama berdiri (yang masih dalam masa transisi), melainkan juga terjadi di bank syariah yang sudah cukup lama berdiri (yang sudah dianggap established).

Berdasarkan data tersebut hampir lebih dari separuh pendapatan bank syariah pada financing didapat dari skema piutang (Murabahah, Istisna dan Qardh). Sehingga dapat di jelaskan secara eksplisit bahwa pendapatan bank syariah akan selalu bersipat tetap (karena secara konsep dan implementasi dilapangan bahwa akad piutang Murabahah, Qardh dan Istisna merupakan suatu transaksi dimana keutungan akan ditentukan pihak bank syariah didepan) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan waktu yang tertera pada masing-masing akad.

Jika hal demikian terus terjadi bank syariah akan mengalami kesulitan untuk berkembang dan bersaing hal tersebut dikarenakan operational cost akan selalu meningkat. Skema bagi hasil (Mudharabah dan Musyarakah) merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan pendapatan bank syariah dalam menjalankan aktifitas bisnisnya. Karena keuntungan yang didapat bank sangat ditentukan pada keberhasil usaha nasabah yang di berikan modal artinya jika usaha nasabah mendapatkan laba besar maka bank syariah akan mendapatkan keuntungan yang sama sesuai porsi yang telah ditentukan. Dalam hal ini bank syariah dituntut untuk lebih selektif dan melakukan analisa mendalam terhadap sektor rill yang diberikan modal usaha.

Namun pada pelaksanaanya porsi skema bagi hasil pada bank syariah di Indonesia belum menunjukan angka yang besar jika dibandingkan dengan skema Piutang, kendala terhadap perkembangan skema bagi hasil (Mudharabah) inilah yang perlu mendapat perhatian kalangan industri perbankan syariah.

Konsep Mudharabah

Mudharabah (Antonio, 2009) berasal dari kata Dharb yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Mudharabah (As-Shami dan Al-Muslihlih, 2008) atau penanaman modal di sini artinya adalah menyerahkan modal uang kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan prosentase keuntungan. Bentuk usaha ini melibatkan dua pihak, pihak yang memiliki modal namun tidak bisa berbisnis, dan pihak yang pandai berbisnis namun tidak memiliki modal. Melalui usaha ini, keduanya saling melengkapi.

Transaksi  penanaman dana (Tarmizi, 2016) oleh pemilik dana (Shahibul Maal) kepada pengelola (mudharib) untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian hasil berdasarkan nisbah yang dispakati oleh kedua pihak, sedangkan kerugian modal hanya ditanggung oleh pemilik dana. Transaksi Mudharabah dimana para pemilik dana terdiri dari jumlah orang banyak yang memberikan dananya untuk dikembangkan oleh pihak kedua (bank) pada sektor yang dianggap mendatangkan laba, terkadang sektornya tertentu. Para pemilik dana memberikan izin kepada pengelola untuk mengembangkan dana mereka mmenjadi satu, termasuk dana pengelola. Dan pengelola memberikan izin kepada para pemilik dana menarik seluruh dana mereka atau sebagainya berdasarkan persyaratan tertentu.

Praktik mudharabah (Jaribah, 2010) adalah bila seseorang menyerahkan harta kepada orang lain untuk dikelolanya, dan keuntungan dibagi di antara keduanya sesuai kesepakatan berdua. Dalam mudharabah modal (Rodhoni dan Hamid, 2008) hanya berasal dari satu pihak, karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan harus disadari betul oleh masing-masing pihak bahwa setiap bentuk kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan dapat menimbulkan kerusakan pada ajaran Islam.

Kesimpulan dan rekomendasi

Kecilnya jenis pembiayaan mudharabah dan musyarakah dibanding dengan pembiayaan jual beli (piutang), disebabkan karena 2 hal, pertama terbatasnya manajer investasi di bank syariah, kedua memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi. Untuk mengatasi kondisi seperti ini diperlukan sumber daya insani yang memadai yang dapat menangani pembiayaan mudharabah dan musyarakah secara menyeluruh sehingga dapat mengeliminir risiko yang ditimbulkan dan memberikan keyakinan kepada bank bahwa pembiayaan yang disalurkannya dapat dikembalikan sesuai dengan akad yang telah disetujui bersama.




CARA MENGHITUNG AKTIVA TERTIMBANG MENURUT RISIKO (ATMR)

CARA MENGHITUNG ATMR

 

Setelah menulis tentang Capital Adequacy Ratio  (CAR) ada beberapa mahasiswa yang sedang menulis skripsi dan tugas pembuatan paper lainnya yang terkait dengan perhitungan ATMR, karena dalam laporan posisi keuangan bank yang dipublikasikan tidak terdapat perhitungan yang dimaksud. Berdasarkan pada pertanyaan inilah, saya akan memberikan uraian singkat tentang cara perhitungan ATMR atau Aktiva Teritimbang Menurut Risiko.

Besarnya minimal Capital Adequacy Ratio (CAR) minimal 8% ditetapkan oleh Banking for International Settlement (BIS), dimana perhitungannya mengacu pada Bassel Accord 1, yang hanya menekankan pada risiko kredit yang disalurkan oleh perbankan. CAR juga dijadikan salah satu tolok ukur untuk menilai tingkat kesehatan bank, artinya jika CAR berada dibawah 8% maka dari sektor permodalan bank tersebut dapat dikategorikan tidak sehat. Ketentuan CAR minimal 8% diadopsi oleh Bank Indonesia yang menetapkan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) bank dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, lalu disesuaikan dengan PBI Nomor 15/ 12 /PBI/2013 dalam PBI yang terkahir diatur tengan KPMM secara lebih rinci.

 

Bagaimana cara menghitung ATMR ?

Terdapat 2 ATMR  yaitu ATMR yang dihitung dari on Balance Sheet (on B/S) dan off B/S. On B/S adalah semua sisi aktiva yang terdapa pada laporan keuangan bank, sedangkan yang off B/S adalah yang berasal dari Tagihan administratif bank.

Caranya adalah nilai nominal yang terdapat pada laporan posisi keuangan (Neraca) setelah dikurangi dengan akumulasi penyusutan/ penyisihan atau cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) dikalikan dengan “bobot risiko”. Masing-masing aktiva bank telah diberikan “bobot risiko” oleh Bank Indonesia.

 

Iluastrasi rekening aktiva bank (dalam milyar rupiah)

Aktiva                                                              Jumlah                        Bobot Risiko (%)                                 ATMR

Kas                                                                    5.000                                         0                                   0

Penempatan Pd Bank Indonesia          45.000                                        0                                   0

Giro Pada Bank Lain                                  10.000                                        20                              2.000

Penempatan Pd Bank Lain                    51.000                                         20                           10.000

PPAP/ CKPN                                             (   1.000)

Surat-Surat Berharga

Sertifikat Bank Indonesia                     20.000                                          0                                0

Surat Berharga Ps Uang                        20.500                                          20                             4.000

PPAP/ CKPN                                            (       500)

Kredit Yang Diberikan                            92.500                                          100                        90.000

PPAP/ CKPN                                             (   2.500)

Investasi                                                     21.500                                          100                        20.000

PPAP/ CKPN                                             ( 1.500)

Akitva Tetap                                               7.500                                            100                        5.000

Akum. Penyusutan                                ( 2.500)

Jumlah ATMR                         131.000

Keterangan :

  1. Untuk bobot risiko kredit tidak semuanya berbobot 100%, tergantung jenis kreditnya, jadi ada yang 50%, 75% atau 100%. Untuk memudahkan perhitungan digunakan bobot 100%. Sedangkan “bobot risiko” sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.
  2. Untuk rekening-rekening off B/S juga menggunakan pola perhitungan yang sama.

 

Jika pada periode tersebut bank memiliki Modal sebesar Rp. 13.100.000.000.000,- maka besarnya CAR bank adalah( Rp. 13.100.000.000.000,- : Rp. 131.000.000.000,-) X 100% = 10%.

 

Semoga bermanfaat.

Referensi :

Riyadi, Selamet (2006). Banking Assets And Liability Management, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Peraturan Bank Indonesia terkait, diantaranya yang disebutkan dalam tulisan ini