SDM berkarakter syariah

Ada tiga dimensi didalam islam yaitu aqidah, syariah dan akhlak. Ketiga dimensi ini tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya bagi seorang muslim agar dapat dikatakan sebagai muslim yang “Kaffah”. Inspirasi dari ketiga dimensi tersebut berasal dari Firman Allah didalam QS 14:24 yang menunjukkan bahwa aqidah dapat diisyaratkan sebagai akar sebuah pohon yang menghujam jauh kedalam bumi sehingga bangunan pohon akan kuat tegak berdiri, sedangkan batang pohon yang menjulang tinggi kelangit adalah syariah serta daun dan buah dari pohon yang begitu lebat adalah akhlak yang mulia.

Berangkat dari pemikiran tersebut maka jika bicara mengenai kriteria SDM (sumber daya manusia) didalam islam maka itu berarti menggambarkan kriteria manusia yang kaffah dan diibaratkan seperti sebuah pohon yang kokoh sebagaimana digambarkan diatas.

Persoalan SDM ini penting dikedepankan mengingat pertumbuhan bisnis syariah yang cukup pesat dan melebar dengan berbagai aspek bisnis sehingga sangat wajar jika kebutuhan akan jumlah tenaga kerja dalam bisnis syariah-pun terus meningkat, namun disadari bahwa kebutuhan akan tenaga kerja yang ‘Kaffah” tentu tidak mudah dapat terpenuhi sebagaimana percepatan pertumbuhan bisnis syariah.

Hal ini menjadi persoalan bagi pemangku kepentingan yang bergerak dalam bisnis syariah karena disadari bahwa sumber daya manusia yang ada belum tentu kaffah, apalagi SDM yang selama ini bergerak dalam bidang bisnis syariah banyak yang berasal dari SDM yang beraktivitas dalam bisnis non syariah dan kemudian “dibajak” untuk hijrah ke bisnis syariah hanya untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja. Persoalan tentang pengetahuan/ketrampilan dalam pekerjaan tentu akan sangat mudah dipelajari misalnya dalam bentuk mengikuti berbagai pelatihan, namun melahirkan seorang pekerja yang kaffah tentu tidaklah mudah.

Oleh karena itu, perlu penekanan dalam aspek tertentu untuk melahirkan pekerja yang memiliki ruh islam kaffah (jika belum mampu kaffah), untuk itulah diperlukan perioritas pembangunan karakter islami (menurut istilah Riawan Amin adalah berkarakter yang berkepribadian syariah).

Jika pembentukan karakter dilakukan dengan melakukan penekanan tertentu terlebih dahulu maka pilihannya adalah yang diutamakan dan didahulukan selayaknya penekanan dan penguatan dalam bidang aqidah yaitu untuk memperkuat Aqidah. Kenapa aqidah? Sebagaimana diuraikan diatas bahwa aqidah diibaratkan seperti akar pohon yang mestinya terhujam jauh kedalam bumi. Semakin kuat dan mengakar aqidahnya maka seorang pekerja akan semakin mudah batangnya (syariahnya) menjulang kelangit dan semakin besar kemungkinannya akhlaknya mulia dan memberi manfaat bagi semesta.

Bicara aqidah maka hal tersebut adalah persoalan tauhid (baik tauhid rububiyah/meyakini bahwa Allah adalah sang pencipta, tauhid uluhiyah/meyakini bahwa hanya Allah yang patut disembah dan asma wa sifat), kekuatan dalam masalah aqidah ini akan melahirkan misalnya rasa takut berbuat curang, rasa takut untuk berbuat dzolim terhadap apapun, rasa selalu diawasi oleh Allah dan lain-lain karakter yang positif dan merupakan nilai-nilai mulia yang diakui secara universal). Namun diatas segalanya yang penting adalah, dari aqidah yang lurus akan lahir pribadi-pribadi yang berkarakter mulia dan mencontoh karakter manusia teladan yaitu Nabi Muhammad SAW sebagaimana diisyaratkan didalam Al Quran Surat Ali Imran ayat 31 yang terjemahannya berbunyi : jika engkau mencintai Allah maka ikutilah aku (Muhammad SAW). Wallahu a’lam




antara pasal berlapis dengan taubat

Kita semua tau bahwa ada tiga kejahatan didunia ini yang dianggap sebagai kejahatan besar yaitu terorisme, korupsi dan narkoba. Ketiga jenis kejahatan ini sering diancam dengan Pasal berlapis karena dalam satu kejahatan dianggap telah dilakukan beberapa kejahatan sekaligus. Belakangan, kasus pemerkosaan yang disertai dengan pembunuhan disuarakan pula untuk dikenakan ancaman dengan Pasal berlapis. Demikian juga kejahatan-kejahatan yang dianggap besar karena mengandung tindak kejahatan yang sekaligus banyak, misalnya disuarakannya perlunya pengenaan Pasal berlapis kepada pelaku penyekapan yang dilakukan terhadap buruh-buruh yang bekerja padanya karena bukan hanya tindak kejahatan penyekapan tetapi juga sekaligus dalam waktu bersamaan pelaku melakukan kejahatan dalam bidang ketenagakerjaan. Kejahatan tersebut antara lain tidak memiliki peraturan perusahaan, mempekerjakan orang tanpa waktu kerja yang jelas, mempekerjakan anak dibawah umur sehingga bisa dituntut bukan hanya berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (secara umum) tetapi sekaligus berdasarkan UU Ketenagakerjaan dan UU Perlindungan anak.

Semua tuntutan atas penggunaan Pasal berlapis dilakukan agar dicapai efek jera bagi pelaku. Memperhatikan garis besar penuntutan suatu tindak kejahatan dengan Pasal berlapis menimbulkan pertanyaan, kira-kira patutkah jika didalam hukum ekonomi, pelaku monopoli dikenakan hukuman dengan Pasal berlapis?. Mari kita lihat bagaimana ketentuan pidana yang diatur didalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kewenangan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) adalah memberikan sanksi administrative sebagaimana diatur didalam Pasal 47 ayat (2), namun UU ini ternyata juga mengatur sanksi pidana yaitu misalnya denda serendah-rendahnya Rp25.000.000,- atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 bulan. Namun demikian, dalam kenyataannya seringkali kasus monopoli (termasuk mengarahkan tender atau penunjukkan langsung dalam suatu pengadaan barang dan jasa) masuk kedalam ranah korupsi sehingga dapat dikenakan pula UU No 20 Tahun 2001 yang merupakan perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999, selain tentu saja dapat dituntut berdasarkan KUHPidana.

Dengan demikian Pasal berlapis bisa dipastikan dapat dikenakan terhadap semua tindak pidana yang merupakan kejahatan besar, sekalipun tindak pidana tersebut masuk kedalam kategori tindak pidana dalam lingkup ekonomi (Hukum ekonomi memang agak unik karena ia berada diranah privat sekaligus diranah public), namun jika ada unsur korupsi maka Pasal berlapis dapat dikenakan. Hal ini karena menyangkut hajat hidup orang banyak atau menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas. Menurut rekan dosen ahli hukum pidana pada FH UII (Dr. Arief Setiawan), tuntutan berlapis adalah dakwaan subsidiaritas atau dakwaan pengganti, dimana yang didakwakan lebih dari satu tindak pidana yang disusun secara berlapis dari yang ancamannya paling tinggi hingga yang terendah. Yang tertinggi ancamannya disebut sebagai dakwaan primer, dibawahnya subsider- kemudian lebih subsider lagi dan seterusnya. Adapun penilaian pembuktiannya harus dimulai dari yang primer jika tidak terbukti baru diganti dengan dakwaan lapis dibawahnya (subsider) dan seterusnya. Dengan demikian, hukuman tidak bisa diakumulasikan kecuali dakwaan yang dirumuskan kumulatif dan semua dakwaan wajib dibuktikan, jika semua terbukti maka hukuman maksimalnya memakai sistem absorsi kumulatif (diambil yang ancamannya tertinggi ditambah 1/3 dari ancaman tertinggi).

Hal seperti diatas akhirnya melahirkan perenungan tentang konsep “penghapusan hukuman” atau dikenal dengan istilah taubat…apa hubungannya?. Mari kita lihat…Didalam Hukum Islam, ada kesalahan-kesalahan yang dengan taubat dan istiqfar dapat dihapus, dengan syarat taubat dilakukan dengan sunguh-sungguh (lihat QS 66:9), namun kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan kemanusiaan atau menyangkut kerugian kepada manusia lain tidak dapat dihapus kesalahannya walau telah bertaubat kepada Allah SWT karena terlebih dahulu harus meminta maaf kepada orang yang bersangkutan. Pertanyaannya adalah bagaimana jika korupsi yang dilakukan merupakan korupsi atas uang rakyat, dan menimbulkan kerugian atau terabaikannya hak-hak rakyat banyak maka tidak pantaskah ancaman hukuman dengan Pasal berlapis ditimpakan kepada pelakunya? Wallahu a’lam.




pailit dan sisa hutang akibat pailit

Peraturan kepailitan sudah ada sejak lama bahkan sebelum adanya undang Undang No 37 Tahun 2004 yang merupakan penyempurnaan dari Undang Undang sebelumnya yaitu UU No 4 Tahun 1998, peraturan kepailitan sebelumnya merupakan peraturan tua yang diatur dalam faillissements verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348. sejarah mencatat terjadinya peristiwa tahun 1998 merupakan puncak krisis multidimensi dan secara umum dianggap Negara dalam keadaan darurat yang membuat keamanan tidak kondusif, hal ini menjadi salah satu pemicu keluarnya Perpu tentang kepailitan yang merupakan awal dari pembaharuan hukum kepailitan di Negara kita.

Terlepas dari sejarah lahirnya UU Kepailitan, penting mengetahui perbedaan antara pailit dengan kepailitan. Pengertian Pailit menurut ensiklopedia ekonomi keuangan dan perdagangan adalah suatu keadaan dimana seseorang yang oleh suatu pengadilan (dalam hal ini Pengadilan Niaga) dinyatakan bangkrupt dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya. Sedangkan kepailitan menurut UU kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh curator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang Undang.

Suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit menurut Pasal 2 ayat (1) adalah terdapatnya minimal dua orang kreditur dan debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang serta utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Syarat ini harus diperhatikan secara jelas karena tidak menyebut jumlah minimal hutang atau sejenisnya, yang penting ada dua kreditur dimana debitur tidak membayar lunas. Serta tidak ada menyebutkan syarat berapa jumlah asset debitur ataupun kondisi-kondisi lain yang dapat menjadi dasar agar pernyataan pailit tidak terjadi.

Beberapa pihak yang dapat mengajukan pailit antara lain seorang kreditr atau beberapa kreditur, debitur sendiri, kejaksaan untuk kepentingan umum, Bank Indonesia, badan pengawas pasar modal dan menteri keuangan. Pihak-pihak ini dapat mengajukan pailit dengan memperhatikan syarat diatas, namun yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah kemungkinan debitur sendiri secara sadar mengajukan permohonan pernyataan pailit dan hal ini bisa diproses tentu dengan memperhatikan syarat-syarat tertentu (didalam praktek yang harus diwaspadai jika ini terjadi adalah adanya “perbuatan curang” dengan melakukan pengalihan asset terlebih dahulu sebelum permohonan pailit diajukan dan hal ini dapat dideteksi yang akhirnya akan dilakukan pengembalian kedalam boedel atas asset yang telah dialihkan..jika terbukti).

Didalam Pasal 24 ayat (1) disebutkan bahwa semenjak pengadilan mengucapkan putusan kepailitan dalam sidang terbuka untuk umum, debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit, yaitu sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Namun secara tegas perlu disebutkan bahwa kepailitan hanya menyangkut harta kekayaan debitor dan bukan pada hak-hak perorangan debitor misalnya debitor tetap dapat melaksanakan perbuatan hukum yang menyangkut dirinya termasuk tidak adanya upaya pengurungan dan yang semacamnya. Akibat lain karena dilakukannya penyitaan atas seluruh harta debitor adalah akan dilakukannya pelelangan dan pemberesan berupa pembagian/pelunasan kepada para kreditor atas harta tersebut dan jika hasil pelelangan ternyata masih didapati kekurangan untuk mencukupi pelunasan maka hal inilah yang di dalam hukum perdata masuk kedalam kategori naturlijke verbintennis yaitu sebagai sisa hutang orang yang pailit dimana pihak kreditor tidak memiliki hak lagi untuk pelunasannya. Oleh karena itu hakim pengawas dalam hal ini akan berhati-hati dan cermat untuk mendata dan “mengejar” semua harta kekayaan debitor agar tidak ada kreditor yang dirugikan, namun jika pada akhirnya tetap masih ada kekurangan maka demi hukum debitor tidak memiliki kewajiban lagi untuk memenuhi kewajibannya.

Secara umum demikian aturan main didalam hukum kepailitan dan hukum perdata mengenai naturlijke verbintennis tetapi menurut Hukum Islam. hutang seseorang merupakan kewajiban yang tidak akan pernah gugur kecuali dilunasi baik oleh orang yang berhutang ataupun ahli waris orang yang berhutang (jika orang yang berhutang telah meningal dunia) sebagaimana hadis riwayat (HR) Tirmidzi No. 1078: jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya. Bahkan secara tegas disebutkan didalam HR Ibnu Majah No. 2410 tentang orang yang tidak mau membayar hutangnya: Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya maka dia akan bertemu Allah pada hari kiamat dalam status sebagai pencuri. Hadis senada dalam HR Bukhari No. 18 dan Ibnu Majah No. 2411: barangsiapa mengambil harta manusia dengan niat ingin menghancurkannya maka Allah juga akan menghancurkan dirinya. Termasuk HR Muslim No. 1886: semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutangnya. Luar biasa persoalan hutang ini karena dapat menjadi menghalang perjalanan seorang hamba yang telah meninggal dunia. Hal ini karena persolaan hutang merupakan hak manusia yang Allah berlepas diri sebelum manusia yang dihutangi meridhoinya. Lalu bagaimana kedudukan orang yang sengaja mengajukan pailit dimana sebelumnya asset berharganya dialihkan terlebih dahulu dengan tujuan jika dilakukan penyitaan tidak akan ada asset lagi yang dapat dipergunakan untuk melunasi hutangnya sehingga ia akan masuk kedalam kategori orang yang tergolong naturlijke verbintennis,,maka tentu hal ini bisa masuk kedalam golongan orang-orang yang sengaja tidak mau membayar hutang. Di dunia bisa jadi terlepas dari kewajiban membayar hutang tetapi apakah terbebas pula diakherat kelak? Wallohu a’lam.




diskresi dan penegakkan hukum

Tulisan berikut terinspirasi dari Buku yang ditulis Prof. Dr. Marwan Effendi (2012) tentang diskresi, penemuan hukum, korporasi dan tax amnesty dalam penegakkan hukum.

Antara hukum dengan masyarakat tidak bisa dipisahkan, bahkan ada satu istilah yang disebut ubi societas ibi ius yang artinya dimana ada masyarakat disana ada hukum.

Masyarakat mengharapkan hukum dapat menjadi sarana dalam penegakkan hukum, bukan menjadi alat untuk kepentingan penguasa atau kepentingan politik namun faktor diluar hukum seringkali lebih kuat pengaruhnya sehingga aplikasi hukum didalam masyarakat menjadi tercederai.

Dalam pembangunan hukum, penegakkan hukum mempunyai fungsi strategis karena menjadi tumpuan harapan masyarakat kepada aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum, dan dalam pengertian makro penegakkan hukum tidak hanya ada saat litigasi dipengadilan tetapi ada dalam semua aspek kehidupan masyarakat

Ekspektasi masyarakat terhadap penegakkan hukum sangat besar khususnya di era reformasi saat ini dimana hukum digaungkan sebagai panglima. Berkaitan dengan ini maka perbedaan pendapat terus terjadi tentang mana yang lebih utama, antara keadilan dengan kepastian hukum? Apakah keadilan lebih penting dibandingkan kepastian hukum ataukah kepastian hukum lebih penting dibandingkan keadilan (sementara konsep keadilan memiliki dimensi yang sangat luas).

Ekspektasi masyarakat yang tinggi secara tidak langsung dapat menyebabkan munculnya berbagai diskresi dalam hukum. Diskresi ,menurut Thomas J. Aaron adalah suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinan serta lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum. Demikian juga pengertian tentang diskresi yang dikemukakan oleh Wayne La Farve yang menyebutkan diskresi sebagai pengambilan keputusan yang sangat terikat oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang peranan. Dengan demikian diskresi bisa dikatakan sebagai pelengkap dan aturan yang secara formal tertulis dalam undang Undang. Sedangkan yang berkaitan dengan diskresi adalah pengertian tentang kebijakan dan kebijaksanaan. Menurut Hikmahanto, kebijakan berbeda dengan kebijaksanaan. Meski keduanya terkait dengan pengambilan keputusan. Kebijakan merupakan basis untuk pengambilan keputusan sedangkan kebijaksaan merupakan keputusan yang bersumber dari diskresi (discretion) yang dimiliki oleh pejabat yang berwenang (Marwan effendi, 2012:7)

Diskresi dapat diambil oleh pejabat publik karena mengutamakan dicapainya tujuan sehinga legalitas hukum sedikit diabaikan, namun secara umum ada tiga syarat dari diskresi dilakukan:
1. demi kepentingan umum
2. masih dalam lingkup wewenangnya
3. tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik
Ketiga syarat tersebut diatas sebenarnya lebih ditekankan sebagai upaya untuk menemukan hukum (rechtvinding) karena pejabat umum (apalagi hakim) tidak bisa mengatakan hukumnya belum ada, dan diskresi dalam bidang hukum pidana tentu berbeda dengan diskresi dalam bidang hukum administrasi Negara, apalagi diskresi dalam Hukum ekonomi.

Diskresi tidak sama dengan exeptie (kekecualian) sehingga jika dikaitkan dengan konsep yang ada didalam hukum islam maka exeptie bentuknya bisa berupa ruksoh (keringanan bukan meniadakan atau mengesampingkan) bahkan terhadap hal yang prinsip seperti shalat (ada ruksohnya). Sedangkan diskresi adalah hasil ijtihad dalam tataran fiqih (tidak dalam tataran syariah apalagi aqidah) yang tujuannya untuk kemashalahatan dan sesuai dengan “arahan” dari Nabi Muhammad SAW sebagai figur sentral dalam Islam.
Secara umum, yang perlu dicatat adalah apapun bentuk diskresi yang diambil dan dalam lingkup hukum apapun tetap harus bertujuan dalam kerangka dicapainya tujuan hukum yaitu keadilan dan kepastian hukum. Wallahu a’lam bishowab




Meneropong Perseroan terbatas sebagai entitas yang populer

Tulisan ringkas ini terinspirasi dan merupakan cuplikan-cuplikan dari materi diskusi pada kls Etika dan Hukum program pascasarjana pada setiap Sabtu Pagi semester gasal 2016

Perseroan Terbatas (PT) merupakan bentuk badan usaha yang sangat popular bukan hanya di Indonesia tetapi di seluruh negara didunia karena memiliki banyak kelebihan dan memiliki berbagai doktrin yang tegas diberlakukan bagi siapapun yang beraktivitas bisnis dengan naungan bentuk PT. Beberapa doktrin yang berlaku dalam Perseroan Terbatas antara lain: Piercing The Corporate Veil (menyingkap tirai perusahaan yaitu dengan membebani tanggungjawab kepada pemegang saham, direksi atau dewan komisaris atas kerugian yang terjadi), Ultra Vires (tindakan berlebihan diluar kewenangan yang diberikan), Fiduciary Duty terhadap direksi (Direksi memegang kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan itikad baik), Corporate Opportunity (Direksi harus bertindak dan mengambil keputusan yang selalu harus terbaik demi kemajuan perusahaan).

Kesemua doktrin tersebut bertujuan untuk menjadikan PT sebagai badan hukum yang selalu mengedepankan GCG sehingga dipercaya dalam aktivitas bisnis. Namun sebenarnya yang patut juga diperhatikan adalah bahwa PT tidak akan ada tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu atau dengan kata lain perjanjian yang dibuatlah yang menjadi dasar lahirnya badan hukum PT. Memang perlu disadari bahwa pendukung hak dan kewajiban bukan hanya orang/persoon tetapi juga badan hukum/rechstpersoon dan PT merupakan badan hukum yang memiliki ciri khas tertentu karena bertindak sebagai subyek hukum. Dengan demikian, jika bicara perjanjian maka pendirian PT berarti harus memenuhi syarat sahnya perjanjian baik syarat subyektif maupun syarat obyektif.

Berkaitan dengan PT sebagai subyek hukum maka hal ini menunjukkan adanya beberapa kesamaan antara PT dengan orang yang juga merupakan subyek hukum yaitu dalam hal sama-sama memiliki organ. Organ-organ yang dimiliki PT yaitu RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), Direksi dan Komisaris. Ketiga organ ini memiliki kewenangan dan kewajiban yang telah jelas diatur oleh Undang Undang No 40 Tahun 2007 yang merupakan penyempurnaan dari UU No 1/1995 serta yang sebelumnya diatur didalam KUHD (Kitab Undang Undang Hukum Dagang).

Didalam menjalankan aktivitasnya, PT memiliki salah satu kewajiban yang dikenal dengan CSR (Corporate Social Responsibility). CSR merupakan kewajiban dari perseroan yang diatur di dalam Pasal 74 UU No 40 dan ketentuan ini diperkuat dengan PP No. 47 Tahun 2012 tentang tanggungjawab sosial dan lingkungan perseroan terbatas, namun dalam pelaksananya CSR dirasakan seringkali tidak tepat sasaran karena tidak adanya pemetaan yang komprehensip dan koordinasi antar kementrian mengenai kebutuhan masyarakakat (Padahal selain UU PT, ada beberapa UU lain yang mengisyaratkan kewajiban melakukan CSR misalnya UU 25/2007 tentang Penanaman modal, UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Selain itu, dengan tidak adanya kejelasan atas konsep “berkelanjutan” sebagaimana yang diisyaratkan oleh Undang Undang merupakan kendala pula yang menyebabkan hasil CSR masih jauh dari harapan Undang Undang. Demikian juga dengan adanya kenyataan bahwa perusahaan seringkali tidak melaksanakan CSR sebagaimana mestinya yaitu tidak menganggarkan secara khusus program CSR padahal UU mengisyaratkan perlu adanya anggaran yang secara jelas diperuntukkan bagi CSR. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan pemberian sanksi bagi perseroan yang tidak melaksanakan CSR–pun masih menimbulkan perdebatan sekalipun Peraturan Pemerintah yang merupakan aturan main dari Pasal 74 UUPT telah ditetapkan (setelah menunggu selama 5 tahun).

Padahal gerakan CSR modern saat ini berkembang pesat akibat desakan organisasi masyarakat ditingkat global karena adanya kenyataan tentang perilaku korporasi demi memaksimalkan laba, lazim mempraktekan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis sehingga menggangu keberlangsungan kehidupan kedepan dan lahirnya CSR ini merupakan bentuk kewajiban Perseroan sebagai bentuk tanggungjwab dalam meningkatkan lingkungan sosialnya

Secara umum, PT sebagai entitas yang merupakan subyek hukum menyebabkan perseroan terbatas tidak lepas dari kemungkinan dikenakannya tanggungjawab korporasi ( corporate liability) atas tindak pidana koorporasi (corporate crime) yaitu menurut black’s law: any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g. price fixing, toxic waste dumping), often referred to as white collar crime. tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena ativitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai kejahatan kerah putih. Persolannya adalah apa yang bisa dikenakan atas tindak pidana yang dilakukannya? Hal ini mengingat regim hukum perdata dengan regim hukum pidana masih memiliki pandangan yang berbeda yaitu hukum perdata menyatakan bahwa korporasi adalah subyek hukum sebagaimana orang sehingga dengan demikian memiliki tanggung jawab, sedangkan hukum pidana didalam KUHP menganggap tindak pidana hanya bisa dilakukan oleh persorangan. Dengan demikian persoalan white collar crime ini masih terbuka ruang yang luas untuk ditelaah dengan pendekatan dan perspektif yang berbeda-beda.

Pemilihan dan penetapan sanksi atas tindak pidana yang dilakukan oleh subyek hukum tentu ditentukan dan bergantung pada bentuk tindak pidananya dan seberapa luas kerugian yang diakibatkannya, namun aplikasi atas persoalan tersebut belum jelas dan inilah yang disebut sebagai lobang-lobang didalam hukum yang dapat menjadi dasar bagi lahirnya berbagai analisa, interpretasi dan akhirnya rekomendasi. Nampaknya hukum masih sering dibangun atas dasar kebutuhan untuk menjadi alat pemenuhan kebutuhan sesaat, dan hal ini merupakan isyarat interpretasi keliru terhadap teori dari Roscoe Pound : law as a tool of social engineering, dan teori ini telah diadopsi dan dimodifikasi dengan sangat brilian oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja menjadi teori hukum pembanggunan karena hukum adalah sarana rekayasa sosial—sebagai control sosial–untuk perkembangan peradaban saat ini dan akan datang, khususnya di Negara kita tercinta karena hukum mestinya menjadi jaminan bagi ketentraman hidup manusia karena mengandung unsur keadilan, kejelasannya, kepastiannya dan dapat diberlakukan selama mungkin (lagi-lagi bersyukur dapat mengenal Hukum buatan Tuhan yang berlaku sepanjang masa tak mengenal batas dan waktu). Wallahu a’lam bishowab.




belajar dari kasus jesica–merenungi peran hakim

Sidang kasus jesica yang disiarkan secara live, menyita banyak perhatian bahkan seolah menyingkirkan berita-berita lain yang juga penting. Jika tujuannya adalah untuk pembelajaran hukum bagi masyarakat-perlu dipertanyakan, apakah tujuan telah dicapai atau jika bertujuan untuk menegakkan keadilan maka mari kita lihat bersama akhir dari “tayangan sinetron” tersebut. Dari kasus yang ditayangkan secara live itu, kita semua ditunjukkan betapa relatifnya ilmu yang dikembangkan manusia (lalu-apa yang mesti disombongkan oleh seseorang karena memiliki ilmu tertentu?), demikian juga betapa relatifnya kebenaran (lalu-apa yang mesti dibanggakan untuk sebuah kebenaran yang relatif didunia ini). Dengan demikian sangat logis jika perhitungan di akherat itu benar adanya karena relatifitas perhitungan dan balasan didunia yang seringkali tidak tepat dan tidak mencerminkan keadilan hakiki.

Hal yang tidak kalah pentingnya dari tayangan live tersebut adalah peranan hakim yaitu manusia yang dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia dengan mengatasnamakan keadilan-NYA (menurut Bismar Siregar), karena hakim memiliki peran penting dalam menentukan nasib seorang manusia. Beberapa kalimat untuk mengilustrasikan peran hakim dalam sistem peradilan, misalnya: bahwa jika memilih profesi hakim maka bersiaplah untuk masuk neraka karena dua dari tiga hakim adalah penghuni neraka atau jika menjadi hakim maka satu kakinya di surga dan kaki lainnya di neraka, bahkan ada satu keyakinan bagi hakim di dalam hukum yaitu “lebih baik melepaskan seribu orang yang bersalah dibandingkan menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Semua ini menunjukkan betapa tidak mudahnya menjadi hakim (mulia sekaligus penuh tantangan dan risiko).

Didalam Islam, kedudukan hakim sangat mulia. Hakim dianggap menerima kewenangan dari Tuhan untuk menjalankan peranannya menegakkan keadilan sehingga Rasulullah SAW bersabda: Allah beserta seorang hakim selama dia tidak mendzalimi. Bila dia berbuat dzalim maka Allah menjauhinya dan setanlah yang selalu mendampinginya (HR. Tamizi). Oleh karena hakim menjalankan sebagian sifat Allah (Al Hakim-yang maha bijaksana)maka sangat besar murka Allah kepada hakim yang tidak berlaku adil.

Berkaitan dengan tugas hakim, di dalam buku “Butir-butir pemikiran dalam hukum” yang diterbitkan oleh Refika Aditama tahun 2011, tulisan Mardjono Reksodiputro seorang Guru Besar Hukum dari UI yang telah pensiun menuliskan bahwa di Amerika Serikat, seorang hakim dianggap menjalankan empat macam peranan yaitu menegakkan norma (norma enforcer), membuat hukum (lawmaker), menjadi administrator dan sebagai seorang politikus. Menegakkan norma hukum dan membuat hukum adalah lebih dari sekedar penegakkan hukum dan penegakkan Undang Undang. Oleh karena itu dalam wacana sistem hukum Indonesia, seharusnya hakim dinamakan penegak keadilan (bukan penegak hukum), maknanya adalah bahwa hakim dapat menafsirkan hukum (baca; undang undang), sehingga sebenarnya melakukan fungsi layak seorang legislator (lawmaker) sedangkan peranannya sebagai administrator terlihat terutama pada kasus-kasus perdata.

Proses pengambilan keputusan (decision making process) di pengadilan khususnya pengadilan di Indonesia yang selalu bersidang dengan majelis (umumnya tiga hakim), tidaklah sesederhana seperti yang sering digambarkan. Putusan majelis adalah hasil aturan dan fakta. Diskresi yudicial seharusnya memang memungkinkan majelis hakim mengutamakan kecenderungan politik ataupun merespons keinginan public (Klein: 1984). Di Indonesia, dukungan public terhadap putusan pengadilan dapat dikatakan lemah, malah terdapat kecurigaan bahwa putusan-putusan pengadilan banyak yang tidak mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat. Nah, bagaimana putusan hakim kasus jesica kelak, ketika sidang yang dilakukan secara maraton menjadi konsumsi public dan dianalisa dari berbagai perspektif (tentu saja hal ini bisa memberikan pengaruh terhadap putusan hakim)?. Dapatkah hakim memutus “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”—satu kalimat yang menjadi dasar dari setiap putusan yang diambil hakim yang menunjukkan bahwa sesungguhnya apapun putusan hakim pasti akan dipertanggungjawabkan kelak di akherat (lihat QS4:58 juga QS 2:188), dan kita semua adalah “hakim” dalam kapasitas dan dimensi kehidupan yang teramat komplek. Wallahu a’lam bishowab.




Empon empon Klaten

Dalam suatu perjalanan antara Solo dan Jogya, singgah sejenak di Klaten dan ternyata banyak tempat semacam resto dan warung tradisional diklaten yang mengangkat nama empon-empon. Empon-empon adalah tanduran atau tanaman jamu-jamuan. Memang di resto atau warung tersebut dijual aneka minuman segar dengan berbagai modifikasi yang bahan primadonanya adalah empon-empon atau aneka rempah-rempah seperti jahe, sereh dan lainnya. Minuman tersebut diolah sedemikian rupa sehingga menjadi sangat nikmat dan pastinya bermanfaat bagi kesehatan. Misalnya jeruk nipis + jahe atau coklat + jahe dan banyak jenis lainnya lagi.

Kenikmatan minuman tersebut menjadi terganggu manakala racikannya tidak proporsional, misalnya coklat+jahe, jika coklatnya terlalu banyak maka jahenya menjadi tidak terasa dan jika jahenya yang terlalu banyak tapi coklatnya tidak pas maka rasanya menjadi aneh namun jika jeruk nipis+jahe komposisinya pas ditambah sedikit gula dan air panas maka jadilah minuman yang sangat menyegarkan apalagi jika diminum malam hari saat hujan gerimis….sangat menghangatkan.

Didalam kehidupan, seringkali terjadi ramu meramu sebagaimana halnya minuman empon-empon. Sinergi yang pas akan melahirkan sakinah yaitu rasa tenang, damai, tentram dan aman. Namun jika tidak pas atau ada yang berlebihan maka akibatnya bisa lahir kondisi atau situasi yang tidak sakinah. Di dalam Al Quran QS 11:112 , Allah SWT sudah memberikan isyarat agar tidak berlebihan atau melampaui batas, yang terjemahannya berbunyi:….dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia maha melihat apa yang kamu kerjakan. Berlebihan dalam segala hal seperti membenci berlebihan, mencintai berlebihan, bahkan jika makan berlebihan, tidur berlebihan, juga berolahraga berlebihan niscaya akan melahirkan keburukan atau ketidaknyamanan. Wallahu a’lam bishowab




Hukum Perdata Islam di Indonesia

Secara umum, sistematika hukum di Indonesia adalah Hukum Privat dan hukum publik. Pembagian kedua macam hukum tersebut didasarkan pada dampak atau akibat hukumnya, dimana hukum privat menyangkut akibat hukum yang hanya menyentuh persoalan individu karena hukum privat mengatur kepentingan perseorangan, sedangkan hukum publik berkaitan dengan dampak yang ditimbulkannya menyentuh masyarakat luas. Bidang hukum yang termasuk hukum privat antara lain adalah hukum perdata dan hukum dagang, sedangkan hukum publik meliputi hukum pidana, hukum tata Negara dan hukum administrasi Negara. Sementara itu, yang bisa masuk kedalam kategori khusus karena tidak bisa secara tegas masuk kedalam kategori hukum privat atau hukum publik adalah Hukum ekonomi juga hukum pajak.
Lepas dari persoalan tersebut diatas, tulisan ringkas ini ingin meninjau secara khusus tentang Hukum Perdata Islam. Namun sebelumnya perlu diketahui bahwa Hukum materiil dari hukum perdata adalah Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hukum Perdata termasuk didalamnya adalah perundang-undangan yang berkaitan dengan Hukum Ekonomi. Kemudian dimana posisi hukum perdata islam dalam tata hukum Indonesia?.
Dalam tataran tata hukum yang ada di Indonesia, dimana the living law adalah hukum adat, hukum islam dan hukum barat maka keberadaan hukum perdata islam merupakan suatu keniscayaan yang keberadaannya mewarnai tata hukum Indonesia.
Hukum perdata Islam di Indonesia merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang berasal dari hukum islam (yang notabene merupakan ajaran islam yang bersumber dari Al Quran, Hadist, Ijma dan sumber hukum lain) dan dengan melalui proses positivisasi telah menjadi hukum positif. Hal ini perlu dijelaskan mengingat Hukum Islam (Islamic law) tidak sama dengan syariah atau fiqih, karena ada produk hukum lain seperti misalnya fatwa, keputusan pengadilan dan Undang Undang yang secara keseluruhan tidak terpisahkan merupakan satu kesatuan dari bangunan hukum islam. Hal ini memang agak unik karena tidak semua Negara islam memiliki hal ini. Misalnya di Saudi Arabia tidak ditemukan satupun peraturan produk legislatif yang dijadikan pedoman dalam kehidupan bernegara (lihat buku Prof. Ahmad Rofiq). Oleh karena itu, mengingat Negara kita adalah Negara yang tidak berdasarkan atas agama tertentu maka berkembangnya Hukum Islam menjadi menarik untuk ditelaah.
Positivisasi yang terjadi merupakan transformasi atas nilai-nilai hukum islam baik sebagian maupun seluruhnya yang menjadi norma substantif dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya UU perkawinan, UU Wakaf, UU Haji, UU Perbankan (baik UU No 10/1998 maupun UU 21/2008), dan yang tidak kalah pentingnya adalah adanya Kompilasi Hukum Islam yang berdasarkan Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 serta Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2008. Dengan demikian, yang termasuk kedalam hukum perdata Islam bisa mencakup hukum keluarga, hukum ekonomi, hukum politik, hukum acara dll.
Hal-hal tersebut merupakan aspek-aspek dari materi hukum perdata Islam yang merupakan bagian dari kekayaan khasanah Ilmu Hukum di Indonesia dan diajarkan pada setiap fakultas hukum di semua universitas di Indonesia karena materi hukum tersebut merupakan hukum yang hidup dan berlaku di Negara tercinta ini. Wallahu a’lam bishowab




Hukum Islam dalam konfigurasi Hukum Positif

The living Law adalah hukum yang hidup dan berkembang didalam masyarakat. Di Negara kita Republik Indonesia, the living law adalah hukum adat, hukum islam dan hukum barat. Hukum islam hidup dan berkembang di Nusantara karena dibawa oleh para pedagang yang sekaligus sebagai pendakwah. Masuk ke Nusantara sekitar abad ke tujuh dengan jalan damai penuh toleransi.
Hukum Islam sebagai satu kesatuan dengan Islam itu sendiri terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Hukum Islam berbeda dengan syariah. Secara umum dapat digambarkan bahwa Islam terdiri dari tiga dimensi yaitu aqidah, syariah dan akhlak. Jika diibaratkan sebagai sebuah pohon maka aqidah adalah akarnya, syariah adalah batang yang kokoh dan menjulang tinggi, sementara daun dan buah yang lebat adalah akhlak. Dimensi syariah yang merupakan batang dari Islam tidak mungkin tegak tanpa akar yang kuat dan tidak ada artinya tanpa daun dan buah yang rindang yang akan memberikan manfaat bagi semesta.
Syariah secara bahasa berarti jalan menuju tempat air dan di dalam Islam syariah dapat dikatakan sebagai perangkat aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT yang terdapat di dalam Al Quran. Dengan demikian tidak boleh dan tidak bisa berubah. Turunan dari syariah yang bersifat aplikatif disebut fiqih dan fiqih merupakan buah fikir para ulama atau ahli hukum yang didasarkan atas syariah karena syariah merupakan pedoman pokok bagi perilaku manusia. Oleh karena itu jika syariah tidak dapat berubah dan bersifat pokok atau pedoman maka fiqih dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat dengan syarat tidak bertentangan dengan syariah. Fiqih sendiri terbagi menjadi dua yaitu fiqih ibadah dan fiqih muamalat. Didalam menjalankan fiqih terutama fiqih ibadah dalilnya sangat jelas yaitu apa yang tersebut didalam QS 3: 31 yang terjemahannya berbunyi: Jika engkau mencintai Allah maka ikutilah aku (Muhammad SAW). Jadi dalam hal peribadatan maka hal mutlak adalah sesuai dengan apa yang dicontohkan dan dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan Hukum islam atau Islamic law tidak semata-mata fiqih yang telah dirumuskan oleh para ahli fikih atau fuqoha atau para mujahid. Hukum islam lebih kepada aturan-aturan hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh para ahli hukum untuk dapat diaplikasikan dan telah disesuaikan dengan perkembangan zaman, perkembangan kemasyarakatan dan telah diadopsi menjadi bagian dari hukum positif. Sedangkan Hukum positif merupakan hukum yang berlaku saat ini dinegara kita. Hukum islam yang telah ditransformasikan kedalam sistem hukum kita dan berlaku saat ini merupakan hukum islam yang telah menjadi hukum positif misalnya nilai-nilai hukum islam yang terdapat di dalam UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan kaidah-kaidah waqaf yang terdapat didalam UU tentang waqaf, demikian juga UU Perbankan syariah dan beberapa peraturan perundangan lainnya.
Transformasi nilai-nilai ajaran islam kedalam sistem hukum kita merupakan suatu keniscayaan mengingat hukum islam merupakan the living law dan kita ketahui bahwa hukum islam merupakan salah satu dari lima sistem hukum yang berkembang didunia. Oleh karena hukum islam merupakan the living law maka nilai-nilai yang dikandungnya bukan hal yang mustahil menjadi bagian dari hukum positif. Keniscayaan bahwa hukum islam menjadi bagian dari hukum positif terlihat pula dari dasar Negara kita yaitu Pancasila dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dan di dalam Pasal 29 UUD 1945 adanya kebebasan menjalankan syariah agamanya, namun demikian pengaturan didalam melaksanakan ajaran agama harus diatur sedemikian rupa didalam hukum positif agar didalam pelaksanaanya tetap dapat dicapai ketertiban.




antara whistle blower dengan justice collaborator

Kita semua tau bahwa ada tiga kejahatan yang dianggap besar di dunia ini yaitu terorisme, korupsi dan narkotika. Dalam rangka upaya penegakkan hukum untuk menekan angka kejahatan dalam ketiga bidang kejahatan besar tersebut, Pemerintah menetapkan suatu sistem yang menarik untuk diperhatikan yaitu dikenal dengan istilah whistle blower dan justice collaborator.

Sesungguhnya kedua istilah tersebut memiliki perbedaan yang sangat prinsip.
1. whistle blower berkaitan dengan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu yang bukan merupakan pelaku atau bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkan
2. justice collaborator, merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, pelaku mengakui kejahatan yang dilakukannya tetapi bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut dan memberikan kesaksian dalam proses peradilan

Untuk memperkuat kedua sistem tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama.
Namun, di dalam melaksanakan SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tersebut tetap perlu untuk memperhatikan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, karena tentu di dalam istilah whistle blower, seorang pelapor harus diberikan perlindungan sehingga tidak dapat dituntut secara hukum, sedangkan dalam justice collaborator dimana pihak yang memberikan kesaksian bertindak pula sebagai pelaku kejahatan, sehingga dengan demikian selayaknya tidak dapat dibebaskan dari tuntutan (tetapi perlu dan dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan keringanan hukuman).

Sebagai whistle blower ataupun justice collaborator ataupun sebagai saksi untuk memberikan kesaksian dalam kasus-kasus pada umumnya, semua memerlukan obyektifitas, memberikan kesaksian atas fakta yang sebenarnya dan disinilah yang tidak mudah karena kepentingan pribadi ataupun tekanan tertentu seringkali membuat kesaksian menjadi tidak obyektif. Kecenderungan seperti ini telah diisyaratkan di dalam Al Quran, perhatikan ayat berikut di dalam QS 4: 135 terjemahannya berbunyi: “wahai orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin maka Allah lebih tau kemashlahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah maha teliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan”. Inilah salah satu ayat yang sangat tegas menggambarkan kecenderungan manusia ketika menjadi saksi dan Allah penguasa semesta memerintahkan jadilah penegak keadilan dengan jalan menjadi saksi karena Allah bukan karena kepentingan apapun. Memang tidak mudah, tapi disanalah nilainya! Wallahu a’lam bishowab