Pancasila, masih ada?

Menyebut istilah Pancasila rasanya hati tergetar, namun getaran yang berbeda dengan beberapa waktu yang lalu. Getaran itu kini penuh dengan “air mata”.

Kenapa demikian? Entah apakah anak-anak kita kelak masih mengenal Pancasila. Entah apakah nilai-nilai yang digali dari masyarakat kita dan “berdarah-darah” dirumuskan oleh pendiri bangsa ini masih melekat dan menjiwai pola perilaku anak-anak bangsa ini… saat ini dan akan datang?

Barangkali terlalu berlebihan pertanyaan diatas dilontarkan, namun coba kita renungkan..peristiwa-peristiwa disekitar kita saat ini, bukan hanya pola perilaku dalam aspek sosial kemasyarakatan yang telah menggerus nilai-nilai yang ada didalam Pancasila tetapi pola perilaku bernegara sudah sangat jauh dari nilai-nilai luhur yang ada didalam Pancasila. Ambil contoh. Sila pertama di dalam Pancasila menyebutkan ketuhanan yang maha esa (yang merupakan ruh dari sila-sila lainnya), tapi apa yang terjadi ketika kita melihat begitu banyak aliran sesat (yang sama sekali tidak menunjukkan berketuhanan yang maha esa) dan pelecehan dalam beragama hidup dan tumbuh subur, ketika kita melihat perilaku anak bangsa ini sangat jauh dari keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa sehingga atas nama kebebasan dan hak asasi manusia mengedepankan nilai-nilai yang dilaknat Tuhan, ketika para pemimpin saling menghina dan berperilaku kasar padahal mereka adalah contoh teladan, ketika perilaku anak bangsa ini membiarkan nilai-nilai moral terbang hanya karena memperturutkan kepentingan pribadi dan golongan dengan cara melakukan berbagai perbuatan dzolim terhadap manusia, terhadap lingkungan, bahkan dzolim terhadap diri sendiri dan keluarga…. Seolah-olah Tuhan hanya ada di tempat peribadatan. Ini hanyalah sebuah uraian sederhana dari sebagian kecil nilai-nilai yang dikandung Pancasila.

Mari kita tengok keresahan yang dilontarkan oleh seorang guru besar Hukum Prof. Sunaryati Hartono di dalam tulisannya pada buku “Butir-butir pemikiran dalam Hukum , memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta”. Pada kesimpulan tulisannya Prof. Sunaryati Hartono mengemukakan suatu hal yang patut kita renungkan: bahwa sesungguhnya para pendiri bangsa ini telah memilih filsafat kenegaraan dan filsafat hukum yang benar. Hanya saja, dalam penyelenggaraan tata pemerintahan dan Negara kita, sejak tahun 1980-an bangsa dan pemimpin-pemimpin bangsa kita telah memilih jalan pintas, dengan harapan agar Indonesia akan lebih cepat masuk dalam kelompok Negara–negara kaya. Ternyata, jalan pintas itu telah menuju jalan buntu, karena tidak hanya semangat kebangsaan kita menjadi semakin luntur tetapi disamping itu peringkat Indonesia sebagai Negara yang berarti dan berpengaruh didunia Internasional justru semakin merosot, karena sekarang justru di atasi dan didahului oleh Cina, India, Thailand dan bahkan Vietnam!. Oleh sebab itu, dalam rangka menghadapi pemerintahan yang baru, dan bahkan kemungkinan diadakannya amandemen kelima atas UUD 1945, sejogyanya bangsa ini secara serius mempertimbangkan untuk benar-benar tertib menerapkan Pembukaan UUD 1945, sebagaimana dihayati dan dirumuskan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Sebab bukan hanya filsafah hukum dan kenegaraan yang tersimpul di belakang perumusahan Pembukaan UUD 1945 yang benar-benar merupakan filsafah yang “digali dari bumi Indonesia sendiri” tetapi yang lebih penting adalah bahwa filsafat hukum dan kenegaraan itu bahkan sudah (lebih dahulu) sesuai dengan tuntutan kehidupan berbangsa dan bernegara di abad ke 21 ini atau yang oleh Maynard dan Mehrtens disebut ‘ The Fourt Wave” itu.

Nah, tulisan Prof. Sunaryati Hartono diatas tentu bukan tulisan tanpa data dan perenungan. Kenyataannya itulah kita kini. Pertanyaan berikutnya adalah: apakah kita masih bisa berharap bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tetap utuh dan kokoh dengan nilai-nilai moral yang sarat sampai akhir zaman atau akan hilang tak berbekas seperti Negara-negara yang disebut didalam kitab suci…..hanya menjadi sejarah dan menjadi buah tutur? Kita semua yang menentukan. Wallahu a’lam bisowab




Konflik dan damai?

Terjadi dialog antara Allah SWT dengan malaikat yang digambarkan di dalam QS 2: 30 yang artinya:” ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. “mereka berkata: mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. Tuhan berfirman “ Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Ayat tersebut menggambarkan bahwa manusia memiliki kecenderungan berkonflik dan melakukan kerusakan.

Manusia cenderung berkonflik, namun manusia akan berusaha menyelesaikan konflik tersebut. Prinsip penyelesaian konflik di dalam ajaran Islam telah dipandu oleh Tuhan di dalam Al Quran dan diwujudkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam berbagai bentuk seperti negosiasi, rekonsiliasi, mediasi, arbitrase dan litigasi (baik secara adjudikasi maupun mediasi).

Dari berbagai pola penyelesaian atas konflik yang terjadi, pola mediasi (perdamaian) baik yang dilakukan diluar pengadilan maupun di dalam pengadilan menjadi alternative yang saat ini tengah didorong untuk dikembangkan (sebagaimana halnya Al Quran mengisyaratkan bahwa mediasi atau perdamaian lebih utama) dan menjadi pilihan bagi pihak-pihak yang mengalami konflik (dalam bidang keperdataan atau muamalat– jika menurut pandangan hukum islam). Salah satu dasar hukum mediasi atau perdamaian atau ash shulhu di dalam Al Quran disebutkan secara tegas di dalam QS Al Hujarat ayat 9, demikian juga yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika menghadapi konflik, serta apa yang diucapkan oleh Umar ra: “tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan ( al qadha) mengembangkan kedengkian diantara mereka (diantara pihak-pihak yang bersengketa)”.

Sedangkan jika melihat dari kacamata hukum positif dan aspek bisnis, semangat untuk melakukan mediasi dalam rangka menyelesaikan konflik terlihat dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut mulai dari Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung sampai dengan tingkatan Undang Undang yaitu antara lain UU No 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa, UU No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Selain peraturan perundangan-undangan, semangat tersebut terlihat pula dari banyaknya lembaga mediasi seperti PMN (Pusat Mediasi Nasional) yang diberi kewenangan oleh Mahkamah Agung untuk melakukan sertifikasi bagi orang-orang yang berkeinginan untuk menjadi mediator. Selain itu, PMN juga melakukan berbagai mediasi dalam berbagai bidang karena di PMN sendiri ada sekitar 100 orang yang menjadi mediator dengan latar belakang disiplin ilmu yang beragam, selain PMN, ada banyak lembaga mediasi yang tersebar seperti BANI, Basyarnas, BAMES dan mediasi-mediasi yang dilakukan melalui jalur institusi resmi seperti Bank Indonesia atau lembaga mediasi pada Perguruan Tinggi. Sedangkan di dalam pengadilan-pun upaya untuk melakukan mediasi telah menjadi kewajiban sebelum berkas perkara ditangani oleh hakim secara formal dan hal ini diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung.

Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa upaya mediasi merupakan salah satu alternative yang harus dipertimbangkan dan dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik dengan harapan konflik dapat diselesaikan dengan cara perdamaian. Beberapa keunggulan mediasi sebagaimana dikemukakan oleh Syarif Bastaman dalam makalahnya diFH Unpad, antara lain:
1. umumnya lebih luwes dan hasilnya tidak terlalu bermusuhan;
2. relative lebih cepat atau murah daripada penyelesaian sengketa melalui litigasi;
3. memungkinkan dibahasnya banyak masalah yang relevan karena tidak dibatasi oleh hukum acara;
4. memungkinkan hubungan baik dipelihara;
5. dapat melibatkan sebanyak mungkin para pihak yang berkepentingan;
6. memungkinkan mengambil keputusan oleh orang yang ahli dalam bidangnya;
7. jika para pihak menghendaki, memungkinkan penyelesaian sengketa secara confidential (dijaga kerahasiaannya);
Wallahu a’lam bishowab




antara norma agama, norma etik dan norma hukum

Sebuah buku menarik yang ditulis oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH berjudul “Peradilan etik dan Etika Kostitusi (Perspektif baru tentang Rule of Law and Rule of Ethics)” yang merupakan terbitan dari Sinar Grafika, edisi revisi, cetakan ketiga, Januari 2016 akan coba diambil intisarinya khusus pada bagian prolog untuk menjadi bahan renungan disaat orang terus mempertanyakan kapan hukum menjadi panglima?.
Jika diperhatikan, tidak semua agama memiliki sistem ajaran tentang hukum, tetapi hampir semua agama mengajarkan perikehidupan
beretika, berperilaku yang baik dan ideal (yang berbeda hanya formulasi dan bungkusan bahasanya sedangkan esensi kemuliaan yang terkandung di dalamnya serupa). Oleh karena itu, mestinya sistem nilai etika dapat dengan mudah dijadikan sarana untuk mempersatukan umat manusia dalam satu kesatuan sistem nilai luhur yang dapat membangun integritas kehidupan bersama.
Dalam kehidupan bermasyarakat, dikenal tiga sistem norma yaitu norma agama (religious norms), norma atika (ethical norms) dan norma hukum (legal norms). Pada mulanya, ketiga sistem norma ini saling bersinergi namun perkembangan berikutnya terjadi perbenturan satu dengan yang lainnya bahkan Hans Kelsen di dalam bukunya Stuffenbau theorie des recht menegaskan bahwa norma hukum harus dibersihkan atau dimurnikan dari aneka pengaruh sosial politik, ekonomi, dan apalagi pengaruh etika dan agama.
Namun, kenyataan saat ini yang berkembang adalah terjadinya pergeseran kebutuhan dimana antara agama, etika dan hukum tidak bisa dipisahkan secara tegas dan kaku, tetapi juga tetap harus dibedakan dan tidak dipahami tumpang tindih atau campur aduk. Orang akhirnya melihat pentingnya membangun pola hubungan baru antara ketiga sistem norma tersebut. Prof. Jimly mengajak untuk membangun pola baru tersebut dengan salah satu pendekatan “luar dalam” bukan “atas bawah”. Ilustrasinya adalah jika diibaratkan sebagai nasi bungkus maka hukum adalah bungkusnya, sedangkan nasi beserta lauk pauk yang ada didalamnya adalah etika, tetapi segala zat protein, vitamin dan sebagainya yang terkandung di dalam makanan yang terbungkus tersebut adalah intinya yaitu agama (dengan demikian jika bungkusnya tidak indah, jika tampilan makanan/lauk pauknya tidak menarik, dan apalagi jika zat yang dikandung makanan tersebut hilang atau bahkan menjadi beracun-siapa yang salah?).
Selain itu, sistem norma etika juga dapat difungsikan sebagai filter dan sekaligus penyanggah serta penopang bagi bekerja efektifnya sistem norma hukum. Setiap kali terjadi perilaku menyimpang (deviant behavior), sebelum memasuki ranah hukum, sudah tersedia sistem etika yang melakukan koreksi. Dengan kata lain, tidak semua perbuatan menyimpang dari norma ideal harus langsung ditangani melalui mekanisme hukum yang dapat berakibat terlalu besarnya beban sistem hukum untuk mengatasi semua jenis penyimpangan perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Seperti halnya, doktrin di dalam ilmu hukum bahwa hukum pidana harus dilihat sebagai ultimum re medium (sebagai upaya terakhir, sesudah upaya lain habis atau tidak lagi mempan), secara umum memang mestinya hukum dilihat sebagai upaya terakhir. Sebelum hukum, etika harus diberi kesempatam untuk lebih dulu difungsikan. Apalagi sistem sanksi yang diancamkan oleh hukum tidak mengenal upaya pembinaan yang bersifat mendidik seperti halnya sistem sanksi etika.
Semangat yang demikian inilah antara lain yang melandasi dikeluarkannya Resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada bulan Desember 1996 tentang Action Against corruption dengan lampiran naskah “International Code of Conduct for Public Officials”. Dalam resolusi ini, PBB merekomendasikan agar semua Negara anggota PBB membangun infrastruktur etika dilingkungan jabatan-jabatan public (ethics infrastructure for public offices).
Hal ini yang mendorong makin berkembangnya praktek pembangunan infrastuktur kode etik disertai pembangunan institusi-institusi penegak kode etik secara kongkret dimana-mana diseluruh dunia dan disemua bidang dan sektor kehidupan profesional juga keorganisasian. Perkembangan inilah yang oleh Prof. Jimly disebut sebagai functional ethics yaitu dimana sistem etika dipositivisasikan atau dikodifikasikan karena norma etika berfungsi juga dalam rangka menegakkan kemuliaan nilai-nilai keadilan.
Itulah sebabnya hukum dan etika harus sama-sama dikembangkan secara pararel, simultan, komplementer dan terpadu, serta dilengkapi dengan sistem infrastuktur kelembagaan penegakkannya.




Tidak Punya Hati?

Sempat mati langkah ketika melewati seorang mahasiswa yang tengah curhat kepada temannya ” kesel banget gue sama tu dosen, gue tuh bener-bener kehujanan makanya telat…eh tetep juga gue ga boleh masuk padahal kan uts…huh dasar ga punya hati..”

Tidak punya hati?, tentu ini dimaksudkan bukan hati dalam artian lever tapi hati dalam arti qolbu…dua hal yang penyebutannya sama tetapi sangat jauh berbeda pengertiannya. Al Ghazali mengatakan bahwa qolbu seperti raja bagi anggota tubuh. Qolbu yang mengontrol perbuatan indra ketika berbuat atau tidak berbuat sesuatu sementara anggota indra bisa jadi merupakan prajuritnya. Jadi jika sang raja buruk maka tidak mungkin sang prajurit melakukan suatu kebaikan yang berbeda dengan perintah sang raja (kurang lebih seperti itu maksudnya).

Hati dalam arti qolbu memang memegang peranan penting dalam aktivitas badan. Oleh karena itu Aa gym sampai membuat lagu…jagalah hati.. atau bimbo menyenandungkan kalimat…hati adalah cermin..Nah, semakin yakin betapa pentingnya hati (qolbu) ini. Bahkan dilukiskan hati itu seperti sebuah misykat yaitu sebuah lekukan di dinding/tembok (sebagian besar bangunan untuk ibadah agama apapun di dunia ini bentuknya dominan seperti lekukan ini/baskom yang terbalik) dimana di dalamnya terdapat misbah atau lentera yang bercahaya, cahaya misbah tersebut berasal dari minyak (zaitun) yang juga sudah bercahaya (cahaya diatas cahaya),..jadi demikian terangnya misbah tersebut. Cahaya yang demikian terang ibarat hati yang secara fitrah oleh Tuhan telah diciptakan untuk menuntun dan mampu membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang haq dan batil, namun cahaya yang secara fitrah telah bersifat terang dapat menjadi memudar cahayanya atau bahkan tidak bercahaya atau tidak dapat menembus dinding misykat yang terbuat dari kaca yang sangat bening karena ternyata begitu banyak titik hitam yang menempel di dinding misykat tersebut. Titik hitam tersebut berasal dari kemaksiatan, kedzoliman dan kemungkaran yang dilakukan. Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa setiap kemaksiatan yang dilakukan maka akan menjadi titik hitam yang menempel di dinding hati, kemudian jika kemaksiatan dilakukan lagi maka akan menempel lagi satu titik hitam dan demikian seterusnya, akhirnya tidak mustahil dinding misykat yang begitu bening akan berubah menjadi hitam gelap/pekat sehingga cahaya misbah tidak dapat menembus keluar, dan ketika kondisi seperti inilah terkadang kita melihat ada orang yang tidak memiliki kepekaan lagi untuk mampu membedakan mana perbuatan yang baik atau buruk , mana perbuatan dzolim atau kebajikan.

Dalam suatu kisah, ketika seorang hakim pada sebuah Pengadilan “terpaksa” menyidangkan sebuah kasus dimana pesakitannya adalah seorang nenek yang didakwa melakukan pencurian kayu di tanah milik Negara (kayu yang dicuri sebanyak yang mampu dipikul oleh nenek tersebut untuk dijual ke pasar membeli makanan kebutuhan hariannya). Hakim tersebut dikatakan “terpaksa” karena ada adagium di dalam hukum yang berbunyi ius curia novit (hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada/tidak ditemukan hukumnya). Hakim itu (dengan mata yang berkaca-kaca ) membacakan putusannya, bahwa nenek ini bersalah telah mengambil kayu tanpa hak sekalipun dengan jumlah yang tidak ada artinya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, oleh karena itu nenek dihukum untuk membayar denda sebesar sekian rupiah. Putusan kedua, nenek melakukan pencurian karena tidak ada seorangpun yang menanggung hidupnya dan semua yang hadir dipersidangan ini ikut bertanggungjawab membiarkan seorang nenek sebatang kara sampai melakukan pencurian, maka kepada semua yang hadir di dalam persidangan diperintahkan untuk menyedekahkan uang-nya masing-masing sebesar 100 ribu untuk disumbangkan kepada nenek (dan ternyata sumbangan yang diperintahkan oleh hakim lebih besar jumlahnya daripada denda yang harus dibayar sang nenek). Kisah ini mengisyaratkan kepada kita tentang putusan yang lahir dari beningnya misykat hati. Wallahu a’lam.




Mengintip hakekat kebenaran

Kata “Kebenaran” merupakan suatu kata yang sangat spesial dan mewah apalagi bagi orang-orang yang sudah apatis atau putus asa terhadap suatu keadaan tertentu yang menekannya, misalnya merasa tidak mendapatkan keadilan bagi suatu sengketa yang diputuskan Pengadilan. Seringkali kita mendengar satu kalimat “mana ada kebenaran yang sesungguhnya saat ini”, lalu jika demikian keadaannya apakah berarti jika ditemukan suatu kebenaran maka itu berarti bukan kebenaran yang sesungguhnya? Jika bukan kebenaran yang sesungguhnya bukankah itu berarti bukan suatu kebenaran. Nah, apa pula ini?.

Berbicara pesoalan kebenaran seringkali dikatakan sebagai bicara filosofis, bikin pusing aja! padahal kebenaran adalah suatu keniscayaan yang setiap manusia mendambakannya (boleh tidak setuju atas pernyataan ini). Pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam hal ini mengemban tugas utama untuk menemukan, mengembangkan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu, lembaga pendidikan sebenarnya sangat istimewa karena di lembaga pendidikanlah kebenaran itu adanya (mestinya,) dan dengan demikian orang-orang yang berkecimpung dilembaga pendidikan adalah orang-orang yang mencintai kebenaran dan selalu bertindak benar (mestinya).

Andai dikatakan bahwa sepanjang hidup manusia senantiasa berusaha menggali dan menemukan hakekat kebenaran, rasanya bukan suatu hal yang berlebihan. Para filosof dari masa kemasa melahirkan banyak teori sekedar untuk mengungkapkan makna kebenaran, namun sebenarnya yang lebih utama disadari adalah kecenderungan yang ada pada manusia yaitu apabila telah mengetahui suatu kebenaran maka secara asasi terdorong untuk melakukan kebenaran tersebut (ini suatu asumsi, apakah benar demikian?) jika ini benar, maka apabila manusia telah memahami dan mengetahui suatu kebenaran namun tidak dilaksanakan maka tentu konsekuensinya adalah terjadinya pertentangan batin.

Salah satu hal yang dibutuhkan dalam kerangka menegakkan kebenaran adalah diperlukannya suatu lembaga dan hakim merupakan orang (yang kata anak-anak muda adalah manusia setengah dewa) yang memiliki amanah bukan saja untuk menegakkan kebenaran tetapi juga mengemban tanggungjawab untuk menemukan kebenaran, menggali kebenaran yang hakiki dan membela yang benar. Oleh karena itu manusia setengah dewa ini diberi iming-iming oleh Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai manusia yang memiliki peluang sangat besar untuk langsung masuk surga dengan syarat jika ia adil, karena sesungguhnya keadilan adalah ruh kebenaran itu sendiri.

Sebagaimana disebut di atas bahwa penggalian atas hakekat kebenaran dilakukan oleh para filososf dari masa ke masa, berikut disampaikan kesimpulan suatu kajian atas teori kebenaran yang dikemukakan oleh dua orang filosof Islam yaitu Al Ghazali dan Ibnu Khaldun (kajian telah dimuat di dalam Jurnal Komunike, jurnal komunikasi dan penyiaran Islam, volume 6, nomor 1, juni 2014).

Al Ghazali dan Ibn Khaldun adalah dua tokoh di dalam filsafat yang berasal dari dunia Islam, namun diakui keberadaannya oleh barat. Al Ghazali sebagai seorang filosof yang hidupnya hampir 300 tahun lebih dahulu daripada Ibn Khaldun, telah memberikan inspirasi dalam banyak pemikiran-pemikiran Ibn Khaldun. Sejarah mencatat bahwa kebesaran Al Ghazali pada zamannya dimana tengah berlangsung pertumbuhan pemikiran yang luar biasa pesat telah memberikan pengaruh kepada para filosof, termasuk Ibn Khaldun. Sekalipun demikian, pengaruh pemikiran Al Ghazali bagi Ibn Khaldun tidak mengurangi orisinalitas pemikiran Ibn Khaldun. Di dalam memandang suatu kebenaran, kedua filosof ini memiliki sudut pandang yang sama, yaitu bahwa kebenaran hakiki hanyalah kebenaran yang bersumber dari agama dan dalam hal ini melalui wahyu yang disampaikan oleh Tuhan dengan perantaraan Nabi.

Selanjutnya Al Ghazali meyakini bahwa kebenaran hakiki yang bersumber dari Tuhan tidak mengurangi pentingnya keberadaan akal sebagai instrument atau sebagai salah satu alat untuk menemukan kebenaran hakiki tersebut. Namun menurut Al Ghazali yang pemikirannya telah berevolusi dari rasionalisme kemudian empirisme akhirnya mistisisme lewat tasawuf dan sufisme, beranggapan bahwa kebenaran hakiki tersebut diperoleh melalui cara penyinaran dan penyingkapan tabir oleh Tuhan secara langsung karena kebenaran hakiki itu milik Sang Kebenaran itu sendiri atau al haqq, inilah kebenaran mutlak menurut al Ghazali

Sementara itu, Ibn Khaldun lebih “membumi”. Ibn Khaldun seperti halnya Al Ghazali meyakini bahwa kebenaran itu bersumber dari agama, namun pemahamannya yang mendalam tentang filsafat sejarah menyebabkan Ibn Khaldun mampu secara cerdas menerapkan hakekat kebenaran yang bersumber dari agama di dalam teori-teori kemasyarakatan. Ibn Khaldun beranggapan bahwa kebenaran mutlak yang bersumber pada Agama dapat terimplementasi dengan baik dalam kehidupan sosial bila dipadukan dengan kebenaran yang merupakan olah pikir akal.




pemberian kesaksian

Di dalam proses penyelesaian sengketa perdata (bisnis), salah satu hal penting adalah proses pembuktian. Pembuktian berarti suatu proses memberikan keyakinan kepada hakim tentang adanya suatu peristiwa. Pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi suatu peristiwa yang pernah terjadi dimasa lampau sebagai suatu peristiwa yang diyakini kebenarannya. Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1866 disebutkan beberapa bentuk alat bukti yang dapat dipergunakan. Salah satu yang menarik adalah pembuktian dengan keterangan saksi.

Sebagai salah satu bentuk alat bukti maka saksi memiliki kedudukan yang penting karena seorang saksi memiliki syarat-syarat tertentu untuk bisa memberikan kesaksiannya. Syarat tersebut antara lain, saksi haruslah pihak ketiga yang berada ditempat peristiwa terjadi atau benar-benar mengetahui peristiwa yang menjadi pokok sengketa, selain itu saksi juga harus menyampaikan kesaksiannya secara langsung dan secara lisan. Syarat-syarat ini mengisyaratkan bahwa pemberian keterangan saksi bukan suatu perkara yang sederhana karena seorang saksi harus berkata benar (didahului kewajiban saksi untuk sumpah) dan diyakini oleh hakim bahwa saksi tidak sebagai orang yang berada dalam tekanan atau terpaksa.

Ada satu istilah di dalam Hukum yang disebut testimonium de auditu yaitu istilah yang dipakai bagi suatu keterangan yang diberikan saksi bukan karena saksi mengetahui sendiri atau mengalami sendiri peristiwa/kejadian yang dipersaksikannya, tetapi saksi mendapat keterangan dari orang lain. Prof. Sudikno Mertokusumo memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan testimonium de auditu adalah keterangan saksi di depan hakim berdasarkan keterangan yang diberikan oleh pihak ketiga tersebut. Dengan kata lain, keterangan yang diberikan saksi di depan persidangan merupakan hal-hal yang didengar atau dilihat atau dialami oleh orang lain. Keterangan semacam ini bukanlah merupakan kesaksian (lihat Pasal 1907 KUHPerdata: tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya. Pendapat maupun dugaan khusus yang diperoleh dengan memakai pikiran bukanlah suatu kesaksian), namun testimonium de auditu tetap dapat dipergunakan sebagai persangkaan (yang juga merupakan alat bukti) dan ini merupakan kewenangan hakim.

Sebagai pembanding mengenai keterangan saksi, ternyata di dalam Hukum Islam, keterangan saksi sudah dipergunakan sebagai alat bukti sejak masa Khalifah Umar Bin Khatab, sedangkan di dalam Al Qur’an perihal saksi atau memberikan persaksian ditemukan sekitar 75 ayat. Salah satu ayat yang populer tentang saksi terdapat di dalam QS 5: 8 yang berbunyi…hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah dan menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil… Ayat ini menarik karena perintah memberikan kesaksian secara adil disandingkan dengan perintah menegakkan kebenaran. Dapatkah kemudian dikatakan bahwa proses pemberian keterangan dari seorang saksi secara adil sebenarnya juga dalam rangka menegakkan kebenaran?. Jika hal ini benar demikian, maka menjadi penting untuk tidak memberikan kesaksian apabila tidak dalam kerangka menegakkan kebenaran (atau memberikan kesaksian hanya semata-mata untuk kepentingan tertentu dengan cara memberikan kesaksian palsu atau keterangan yang tidak diketahui kebenarannya, atau karena kebencian terhadap suatu golongan). wallahu a’lam




Cinta dan kematian

Menyebut kata “kematian” seperti mengingatkan sesuatu yang rasanya tidak ingin diingat-ingat, atau belum ingin menjumpainya, atau merasa ngeri, atau merasa belum siap dan lain-lain. Padahal kematian adalah suatu keniscayaan. Semua sadar bahwa suatu ketika akan sampai pada peristiwa itu, dalam kondisi siap ataupun tidak siap karena semua makhluk yang bernyawa pasti mati (QS 3:188), tetapi sebagaimana lagu bimbo….jangan pernah mengharapkan mati apalagi mencari kematian.

Menyikapi kematian, yang paling tepat adalah sebagaimana diungkapkan oleh “Hatim” dalam salah satu syairnya: ..aku tau rizkiku tidak mungkin tertukar dengan rizki orang lain karenanya aku tak pernah gelisah, dan aku sadar kematian bisa datang kapan saja menemuiku, karenanya aku senantiasa mempersiapkan kedatangannya ..

Jadi, tugas kita adalah mempersiapkan kedatangan tamu tersebut….dialah malaikat maut. Salah satu persiapan yang dapat dilakukan adalah menjaga kebeningan hati, karena hanya dengan beningnya hati bisa tumbuh kecintaan kepada Tuhan semesta alam, dan jika Cinta sudah bersemayam di dalam hati seorang hamba maka ketahuilah bahwa Tuhan juga sudah mencintainya karena tidak mungkin suara tepukan berasal dari sebelah tangan….demikian ungkapan indah Jalaludin Rumi.

Apa pentingnya mencintai Tuhan semesta alam?. Cinta merupakan kekuatan penggerak untuk orientasi pada kehidupan setelah kematian karena ada hasrat untuk bertemu dengan yang dicintainya (QS 18:110), dan jika orientasi itu sudah jelas maka akhirnya seluruh aktivitas ditujukan dan dijalani dengan konsep “apa yang disukai oleh yang dicintai”.

Bahkan jika gejolak Cinta itu telah begitu kuat maka akan sampai pada satu titik yang tercermin dalam kalimat yang diungkapkan oleh Rabithah Al Adawiyah. Di dalam riwayat dikisahkan suatu ketika Rabithah Al Adawiyah berlari dengan membawa obor ditangan kiri dan membawa kendi berisi air ditangan kanan, ia mengatakan, barangsiapa yang beribadah karena takut neraka maka akan aku siram neraka dengan air kendi ini dan barangsiapa beribadah karena mengharapkan surga maka akan aku bakar surga dengan api obor ini. Tidakkah patut Tuhan disembah meskipun IA tidak menciptakan surga dan neraka? Kalimat ini mengisyaratkan bahwa ketika Cinta dan rindu sudah bersemayam maka tidak diperlukan lagi hal lain bahkan “hadiah dan hukuman” pun tidak diperdulikan lagi karena yang diharapkan hanya perjumpaan dengan yang Maha dicintai.

Persoalan yang penting adalah bagaimana caranya menumbuh kembangkan rasa Cinta itu sehingga semua aktivitas dalam kehidupan yang singkat ini orientasinya jelas, dan kematian menjadi suatu peristiwa yang bukan hanya tidak ditakuti tetapi menjadi suatu hal yang tidak penting karena dianggap hanya pintu gerbang menuju perjumpaan dengan yang dicintai yaitu Al Haq.




sumpah-nyumpahin

Berawal dari komentar-komentar tentang “perseteruan” Gubernur DKI dengan DPRD dilanjutkan cerita-cerita pengalaman pribadi dijalan raya, akhirnya diskusi kecil diruang tunggu dosen pagi tadi semakin hangat dan menyentuh persoalan penting yaitu “sumpah”.
Seringkali sumpah (menyumpahi) dilontarkan oleh orang yang merasa teraniaya atau terdzolimi manakala merasa tidak memiliki kekuatan untuk melawan dan tidak mampu ikhlas menerima keadaan. Bahkan seorang dosen berucap dengan penuh semangat…saya ikhlas tapi saya sumpahin dia…. Lho?

Sumpah (bukan nyumpahin) dalam kacamata hukum bisnis sangat jelas karena merupakan salah satu alat bukti sebagaimana diatur di dalam Pasal 1866 KUHPerdata. Posisi alat bukti sumpah memang menempati urutan terakhir setelah alat bukti lain yaitu bukti surat atau dokumen, bukti saksi, bukti persangkaan, bahkan bukti pengakuan. Keberadaan sumpah diposisi terakhir setelah alat bukti lain apakah ini menunjukkan isyarat bahwa sumpah sebagai alat bukti dapat dipergunakan apabila alat-alat bukti lain tidak ada?. Ternyata tidak demikian.

Di dalam hukum bisnis, sumpah (keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan) memiliki dua kategori yaitu sumpah supletoir (tambahan) yang merupakan sumpah pelengkap dan sumpah decissoire (menentukan) yang merupakan sumpah pemutus. Sumpah pelengkap disebut demikian karena biasanya ada alat bukti lain namun diperlukan sumpah untuk menguatkan alat bukti yang ada atau memberikan keyakinan kepada hakim. Sedangkan sumpah pemutus merupakan sumpah yang bisa dipaksakan untuk memutus perkara, biasanya karena tidak ada alat bukti lain, dan satu-satunya jalan adalah diperlukan (diperintahkan oleh hakim) untuk melakukan sumpah.
Dalam kenyataannya, sumpah decissoire memang akan membuat perkara menjadi tuntas, namun ada yang harus disadari bahwa ada aspek “ghaib” dari sumpah yang dilakukan atas nama Tuhan. Seringkali sumpah decissoire yang dilakukan karena tidak memiliki alat bukti lain menyebabkan pihak yang berperkara dan berada dalam posisi benar menjadi berada dalam posisi kalah, tapi adakah kita percaya bahwa sumpah yang demikian (manakala kebenaran menjadi tidak bisa bersuara) akan terus bergerak dan alam akan bahu membahu (atas izin Tuhan) menunjukkan kebenarannya pada suatu saat.

Satu hal yang juga harus diyakini adalah bahwa setiap sumpah yang dilakukan akan menggetarkan Arsy Tuhan, oleh karenanya memberikan sumpah atas keterangan bohong/dusta bukan hanya merupakan ciri dari orang munafik tetapi berat hukumnya bahkan termasuk salah satu dari lima dosa besar sebagaimana HR Bukhori. Sementara disisi lain, menyumpahi orang yang dianggap dzolim juga bukan merupakan hal yang terpuji, Balaslah setiap kejahatan dan kesewenangan dengan kebaikan karena sesungguhnya Tuhan maha baik. Orang–orang yang dzolim akan mendapatkan sanksinya langsung dari Tuhan, disumpahi ataupun tidak karena sesungguhnya Tuhan Yang Rahman dan Rahim telah mengharamkan kedzoliman. Waalahu a’lam




catatan kecil tentang perikatan dan perjanjian

Sesungguhnya kehidupan manusia sarat dengan berbagai perikatan, disadari atau tidak disadari, suka atau tidak suka. Perikatan tersebut adalah perikatan antara Tuhan sebagai pencipta dengan manusia yang diciptakan, dan perikatan antara sesama manusia (diawali dengan perjanjian ataupun tidak)

Pada umumnya perikatan memang lahir/timbul karena adanya perjanjian terlebih dahulu, namun pada kenyataannya tidak semua perikatan harus berasal dari adanya perjanjian terlebih dahulu. Ada hal-hal dimana perikatan terjadi tanpa didahului oleh adanya perjanjian. Salah satu contoh yang sangat istimewa adalah persoalan Aliemantasi sebagaimana diatur di dalam Pasal 321 KUHPerdata. Aliemantasi ini adalah kewajiban seorang anak untuk mengurus orang tuanya. Kewajiban ini mengisyaratkan adanya perikatan antara orang tua dengan anak atau antara anak dengan orang tua, dan perikatan semacam ini tidak mungkin lahir karena ada perjanjian terlebih dahulu

Kewajiban pengurusan terhadap orang tua merupakan norma hukum yang bersifat universal dan penting sehingga harus ditarik menjadi suatu ketentuan hukum. Bahkan di dalam Hukum Islam, Perikatan (Iltizam) yang melahirkan kewajiban seorang anak terhadap orang tuanya merupakan suatu kewajiban yang sangat tinggi nilainya yaitu kewajiban yang nomor dua setelah kewajiban kepada Tuhan Sang Pencipta. Salah satu dasar hukum dari kewajiban ini adalah sebagaimana disebutkan di dalam Al Quran Surat Luqman ayat 14.

Berdasarkan contoh diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa, perikatan dapat lahir tidak hanya berdasarkan perjanjian terlebih dahulu tetapi bisa juga karena undang undang (peraturan) mengaturnya demikian.

Berkaitan dengan perjanjian maka perikatan yang lahir karena adanya perjanjian terlebih dahulu memiliki kedudukan yang sangat penting karena apapun bentuk perjanjian yang telah dibuat berarti telah ada kesepakatan didalamnya. Oleh karena itu tindakan mencederai isi perjanjian dengan berbagai bentuknya merupakan tindakan tercela dan dapat dituntut. Namun, yang lebih penting harus disadari adalah bahwa perjanjian yang dibuat dan menimbulkan perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian merupakan perikatan yang sangat sakral karena menurut Hukum Islam, pihak ketiga yang terlibat di dalam setiap perjanjian (akad) yang dibuat dengan itikad baik adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, dan apabila salah satu pihak melakukan tindakan mencederai isi perjanjian yang telah dibuat maka Tuhan meninggalkan perikatan tersebut dan menarik keberkahanNYA. Selain itu, penting pula diingat bahwa setiap janji (perjanjian) yang dibuat wajib dipenuhi karena akan dimintai pertanggungjawabannya (QS 17:34).
Wallahu a’lam




Subyek Hukum, Obyek Hukum?

Perihal subyek dan obyek hukum di dalam hukum merupakan suatu hal yang penting karena berkaitan dengan kewenangan bertindak di dalam hukum, dan yang utama adalah berkaitan dengan hak dan kewajiban.

Pendukung hak dan kewajiban di dalam hukum hanyalah subyek hukum, dan yang termasuk kategori subyek hukum adalah:
1. manusia (orang/persoon);
2. badan usaha yang berbadan hukum (rechtpersoon); dan
3. jika keperluannya menghendaki maka janin yang masih didalam kandunganpun dapat dikategorikan sebagai subyek hukum.

Sedangkan obyek hukum dapat dikatakan sebagai lawan dari subyek hukum, karena obyek hukum merupakan segala sesuatu yang dapat di hak-i oleh subyek hukum. Dengan demikian jelas kategorinya bahwa yang memiliki hak dan kewajiban mestilah itu subyek hukum dan yang dapat dikenai hak atasnya pastilah obyek hukum.

Di dalam kehidupan nyata keseharian perihal subyek hukum menjadi seolah tak berbatas tegas dengan obyek hukum. Subyek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban dalam satu kesatuan, yang artinya dimana ada hak maka disana ada kewajiban demikian sebaliknya, namun kenyataannya seringkali terlihat dan terdengar bahwa ada orang-orang yang dengan sengaja mengubah status manusia yang semula subyek hukum menjadi obyek hukum, misalnya orang yang dipekerjakan dengan tidak memperoleh gaji bahkan disekap tanpa memperoleh hak-hak dasar seperti beribadah, makan dan minum (berada dibawah kekuasaan orang lain tanpa memiliki hak yang semestinya dimiliki).

Demikian juga halnya dengan aktivitas menjual manusia dengan segala cara, bentuk dan motivasi (ini termasuk menurunkan derajat manusia yang semula subyek hukum menjadi obyek hukum). Lebih memprihatinkan lagi adalah jika ada orang-orang yang secara sadar memperdagangkan atau menawarkan dirinya sendiri. Bukankah ini semua berarti telah mengubah kedudukan makhluk yang semula diangkat dan dimuliakan oleh Tuhan Penguasa semesta menjadi makhluk yang sangat rendah dan hina yaitu sederajat dengan obyek hukum lain seperti benda pada umumnya dan binatang.

Orang-orang yang secara sadar telah mengambil alih kewenangan Tuhan yaitu memuliakan manusia sebagai subyek hukum dengan melekatkan padanya hak dan kewajiban menjadi tidak memiliki salah satunya, maka tentulah konsekuensinya adalah siap “berperang” dengan Tuhan Yang maha Rahman dan Rahim. Wallahu a’lam