Beda Rumusan masalah dan Pertanyaan penelitian

Masih sering ditemukan dalam bab 1 skripsi mahasiswa strata 1 ekonomi, isi dari rumusan masalah berbentuk pertanyaan penelitian. Hal ini sebenernya kurang tepat, karna sebenarnya masalah penelitian berbeda dengan pertanyaan penelitian.

Masalah penelitian merupakan penyebab atau alasan seseorang melakukan penelitian, sedangkan pertanyaan penelitian merupakan manifestasi atau bentuk penegasan masalah yang akan dicari jawabannya dalam bentuk kalimat tanya.

Mungkin gampangnya kita contohkan sebagai berikut:

Rumusan Masalah:

Seperti anjuran dokter untuk menjaga kesehatan maka saya disarankan makan setiap hari secara teratur. Walaupun saya sudah melaksanakan perintah dokter tersebut tetapi siang ini saya sakit perut.

Dari contoh Rumusan masalah di atas dapat kita simpulkan bahwasanya masalah yang ada adalah Hal yang janggal antara nasihat dokter yang diterapkan dengan rasa sakit yang diderita. Dari rumusan masalah / masalah penelitian tersebut dibentuklah pertanyaan penelitian sebagai berikut:

  1. Apakah makanan yang saya makan pagi tadi bermasalah
  2. Apakah minuman yang saya makan pagi tadi bermasalah

 

Penelitian dalam bentuk Empiris seperti yang sering dilakukan mahasiswa sarjana ekonomi, baik akuntansi maupun manajemen umumnya membahas mengenai pembuktian teori. Masalah penelitian dan pertanyaan penelitian yang dapat dibentuk dalam mengerjakan penelitian empiris umumnya dilakukan dengan cara komparasi atau membandingkan antar pengaruh dari variabel yang sama pada penelitian yang berbeda. Contoh:

Masalah penelitian:

Adi (2015) menemukan hasil bahwa LDR dan CAR berpengaruh terhadap profitabilitas perusahaan sementara Yono (2016) menemukan hasil bahwa LDR dan CAR tidak mempengaruhi profitabilitas perusahaan. Dikarenakan terdapat ketidakonsistenan hasil dari penelitian terdahulu maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh LDR dan CAR terhadap profitabilitas perusahaan.

Dari contoh di atas dapat kita simpulkan bahwasanya masalah dalam penelitian adalah ketidak konsistenan hasil dari penelitian yang pernah ada. Dari rumusan masalah / masalah penelitian tersebut dibentuklah pertanyaan penelitian sebagai berikut:

  1. Apakah LDR berpengatuh terhadap profitabilitas perusahaan.?
  2. Apakah CAR berpengaruh terhadap profitabilitas perusahaan.?



Individual Competitiveness (IC)

Mau survive? Ya berkompetisi-lah.

Inilah kalimat singkat yang tertera di sudut kamar seorang remaja.

Kesadaran akan cepatnya perubahan yang terjadi di sekitar, membuat munculnyal sebuah kekuatan dari dalam diri untuk tetap bisa eksis.  Internal motivation menjadi kunci utama untuk survive.

Globalisasi yang kita alami saat ini menuntut competitive advantages dari masing-masing diri pribadi, antara lain kematangan karakteristik individu, ketrampilan mengolah data, kemahiran membaca situasi.   Kekuatan individu ini kemudian juga melekat dan menjadi kekuatan pada kelompok dan organisasi.

Dari kacamata psikologi, kematangan karakteristik ini dapat dilihat pada tiga hal, yaitu: skill, knowledge, dan ability.   Keterampilan berkomunikasi merupakan satu atribut terpenting penunjang keberhasilan dalam bekerja.    Pengetahuan akan hal-hal yang diperlukan untuk berkompetisi, akan menjadi bekal penting untuk merealisasikan ability yang ada dimiliki masing-masing individu.   Kemampuan mengolah data dan kemudian menganalisisnya, akan menjadi kekuatan bagi masing-masing pribadi untuk berkompetisi.

Dan, sebagai sebuah kesatuan global, selain competitive advantage yang ada pada masing-masing pihak, terdapat comparative advantage yang bisa saling melengkapi.   Sebagai contoh, Dinda memiliki keunggulan sebagai pribadi yang terampil berkomunikasi.  Emon memiliki keunggulan sebagai individu yang trampil mengoperasikan aplikasi media sosial.  Rimo memiliki keunggulan mereparasi instalasi peralatan listirk.   Comparative advantage ini akan menjadi kekuatan yang saling melengkapi.

Competitive advantage yang dimiliki masing-masing pribadi bisa menjadi “keunggulan relatif” terhadap entitas lainnya, yang disebut juga dengan comparative advantage, keunggulan yang tidak dimiliki oleh invividu yang lain, yang kemudian bisa “melengkapi”.

Masing-masing individu akan dituntut untuk mengeluarkan seluruh potensi, berkompetisi, bila tidak mau terlibas dan juga dilibas.   Kekuatan kognitif, afektif, dan konatif menjadi atribut-atribut penunjang kompetisi yang semakin kompetitif.

Di era yang serba digital, individual competitiveness, menjadi kunci survivalitas.

 

“The future belongs to those  who believe in the beauty of their dreams”

(Elenor Roosevelt)

 




Berselancar di dunia maya

Kata berselancar merujuk pada sebuah aktivitas yang menggairahkan, meliuk-liuk di permukaan air. Aktivitas berselancar ini merupakan sebuah daya tarik, terutama bagi saudara-saudara kita yang berasal dari sebuah negara dengan empat musim.
Namun, sekarang ini aktivitas berselancar jamak pula dilakukan oleh setiap orang di dunia maya, dunia internet. Coba tengok kanan kiri kita. Kolega di kampus mengutamakan membuka laptop begitu nyampe di ruang kerjanya. Mahasiswa sambil menunggu aktivitas perkuliahan, sibuk memainkan jari jemarinya di gadget yang ada di genggamannya. Teman kost masih asik tertawa-tawa di kasurnya, karena chatting, padahal hari sudah larut. Randi, anak tetangga, umur 3 tahun, diam tak bersuara, karena perhatiannya terpaku pada handphone ibunya yang sedang bersih-bersih rumah.
Siapa lagi? Pak Kasman, menyempatkan menengok handphone di saat sedang mengecat dinding tetangga. Pak Badu, pedagang sayur keliling, tampak asik main game, sambil melepas lelah, sesaat setelah daganggannya terjual. Siapa tidak “berselancar”?
Handphone menjadi sarana berjalan yang sudah jamak dipakai orang-orang di sekitar kita, sehingga tampak banyak orang lebih sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, berinteraksi dengan gadgetnya. Pertanyaannya, apakah itu salah?
Tak ada yang mengatakan salah, sejauh kita bisa menggungkan fasilitas yang kita punya secara proporsional. Berselancar di dunia maya, mengasikkan. Namun, ingatlah, bagaimanapun secara alam kodrati, kita adalah makhluk sosial, sekaligus makhluk individu. Sejatinya, ada kerinduan mendasar untuk dapat berinteraksi dengan sesama. Melihat tawa Indah yang renyah, menyaksikan Tio yang bolak-balik ke kamar mandi, makan singkong rame-rame dengan teman-teman tetangga di rumah sore-sore, makan malam bersama dengan anak di rumah tanpa chatting, ngobrol santai dengan teman sekelas setelah kuliah selesai… Nah, dekat di mata dekat di hati, bukan?




Raja Salman

Siapa tak kenal Raja Salman?
Satu minggu terakhir ini, Raja Salman mendadak menjadi populer, Setiap orang yang saya jumpai di rumah, di kampus, di warung, semuanya kenal nama Raja Salman. Selidik punya selidik, dari hasil penyelidikan singkat terhadap keterkenalan Raja Salman, maka penulis mendapatkan gambaran bahwa Raja Salman dikenal oleh orang-orang di Jakarta dan di Indonesia, tentunya, karena publikasi luas yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menyambut kedatangan beliau.
Publikasi tersebut “mengimbangi” besarnya jumlah anggota rombongan yang datang bersama Raja. Ada 1500 orang dalam rombongan, 15 Menteri, dan 25 Pangeran.
Ya, jumlah yang besar.

Selain jumlah yang besar, keterkenalan Raja Salman tersebut, dikarenakan atribut yang melekat pada Sang Pimpinan Rombongan. Beliau adalah seorang Raja, pimpinan dari sebuah negara berdaulat yang mempunyai kekayaan sebagai wujud kemandiirian ekonomi yang kuat. Kekuatan ekonomi merupakan salah satu faktor penyangga keberlangsungan sebuah negara.

Yang berikutnya, ternyata dari pantauan sebagai warga negara yang mendapat kunjungan kenegaraan, Raja memancarkan keelokan kepribadian yang memukau.
Cara beliau menyalami Presiden Republik Indonesia dan beberapa menteri yang menyambutnya, tutur kata beliau saat berkomunikasi dengan beberapa pejabat negara, gestur tubuh saat berinteraksi dengan beberapa Indonesia, menunjukkan bahwa Raja memberikan perhatian terbuka, termasuk saat Raja “menyapa” rakyat Indonesia dalam vlog yang dilakukan oleh Presiden RI saat makan siang.

Bagi saya, gerak-gerik dan perilaku Raja Salman dalam menghadapi orang-orang di sekitarnya, sungguh menyentuh. Gerak-gerik dan perilaku ini adalah bagian dari gestur tubuh yang memperkuat communication skill, menjadikan interpersonal skill mempunyai nilai atau menambah art.

Kalo seorang raja mampu menampilkan diri sebagai pribadi yang mempesona, mengapa kita tidak?




Bagan Penelitian dan Road Map Penelitian

Dalam melakukan perencanaan penelitian adalah sebuah hal yang lazim bagi seorang peneliti ataupun dosen untuk memiliki apa yang disebut dengan bagan dan road map atau peta jalan penelitian. Namun demikian, seringkali masih dirasakan sulit untuk dapat membedakan kedua hal tersebut, meskipun pada hakikatnya keduanya jelas berbeda namun tetap memiliki keterkaitan.

Road map penelitian atau peta jalan penelitian memiliki tiga komponen penting yang harus saling terkait satu dengan yang lainnya. Ketiga komponen tersebut adalah: 1) aktifitas penelitian yang telah dilakukan, 2) aktifitas penelitian yang pada periode ini akan dilakukan, dan 3) aktifitas penelitian pada periode berikutnya yang akan menuntun seorang peneliti mencapai tujuan akhirnya. Dengan demikian jelas bahwa peta jalan akan dapat memperlihatkan keterkaitan antara aktifitas penelitian yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh seorang peneliti.

Salah satu kekeliruan yang umum terjadi adalah pada saat seorang peneliti membangun road map penelitiannya maka seringkali yang diletakkan pada bagian penelitian terdahulu adalah milik peneliti lain. Hal ini kurang tepat, karena sepatutnya road map penelitian memang menggambarkan aktifitas perseorangan dari seorang peneliti. Road map penelitian dapat dibuat dalam berbagai bentuk diagram seperti misalnya fishbone diagram ataupun diagram dalam bentuk lainnya selama substansinya tetap tersampaikan. Salah satu ilustrasi road map penelitian dapat dilihat pada gambar di bawah.

 

Berbeda dengan road map penelitian, maka bagan atau diagram alur penelitian merupakan tahapan aktifitas yang akan dilakukan untuk menyelesaikan sebuah penelitian pada suatu periode. Bagan atau diagram alur penelitian umumnya dibuat per tahun sesuai dengan periode penelitian yang dijalani. Selanjutnya, pada abaga atau diagram alur penelitian akan terlihat secara lebih detil teknis aktifitas penelitian yang akan dilakukan. Salah satu contoh bagan penelitian dapat dilihat pada gambar di bawah.

Baik road map maupun bagan penelitian merupakan salah satu komponen penting pada saat seorang peneliti mengembangkan proposal guna mengajukan hibah penelitian baik ke Kemristekditi maupun lembaga-lembaga penyedia dana hibah penelitian lainnya. Oleh sebab itu, penting kiranya bagi seorang penelitian ataupun dosen untuk terus mengelola




Creative Employee Behavior (Part II)

Creativity itself is a human perception, which is followed by action. Both the perception and the action are something new. In this definition, creativity is related to something that has not been thought or done by others. Creative personality is needed in an organization because it can support the organization to develop as well as to be more innovative and well performed. Since creativity refers to individual differences, it can lead both individual and organization into innovation. It is also the basic in which an organization can be more competitive and more dynamic.

Some studies underline that extraversion, conscientiousness, agreeableness, and openness to experience as four individual characters that support creative behavior. Extraversion is individual character of being concerned with what is outside the self. Employees who are extrovert get high satisfaction in their job result. In fact, extraversion positive significantly correlated with personal performance. It means that extroversion encourages creative employee behavior. In line with extraversion, conscientiousness significantly correlated to job performance and personal position. Good job performance and personal position of employees require creativity. In addition, agreeableness is also positive significantly correlated to creativity. In certain condition, employees who are able to admit that others can have better idea seem to be able to develop themselves. Moreover, openness to experience is considered as important in supporting creations. Employees who are open to new experience tend to have creative thinking on how to develop idea related to their job.

Some experts also reveal that creative requirement of a job is positively correlated to individual creativity. It means that the improvement of creativity will improve only if it is suitable to individual inner drives. This is an underlying concept of Self-Concept-Based Theory. The theory highlights that individual creativity will be improved and turn to be meaningful when employees feel more self engaged. The implication is the employees as individuals have to adjust their own goals with organization goals in a meaningful way. This self-concept-based theory is inline with the most popular theory of creativity, which is interactionist model. This theory mentions that employee, groups, and organization are input that will be changed in creative condition that are match with individual goals.




Why It’s Time to Say Goodbye to Traditional Budgeting

By: Ken Wolf

What the Research Says
General Electric Chairman Jack Welch doesn’t think much of budgets.  In his best-selling book, Winning, he calls the budgeting process, “the most ineffective practice in management.  It sucks the energy, time, fun and big dreams out of an organization…In fact when companies win, in most cases it is despite their budgets, not because of them.”CEOs in Europe have long shared Mr. Welch’s distaste for traditional budgeting. That’s why the rolling forecast and other methods of continuous planning have replaced the traditional budget at many European companies.  Now that trend is slowly making its way across the pond, as more and more American-based companies realize that a more adaptive planning approach is the best way to set their future course.The Beyond Budgeting Round Table (BBRT) has spent countless hours examining the performance management models of many large organizations and produced dozens of case studies.   Its conclusion: the culture of budgeting is the single greatest barrier to change.  The average corporation spends four months and 20-30% of senior executives’ and financial managers’ time on the budget (with some organizations taking six to nine months).  In 2003, the Hackett Group found that the average billion-dollar company spent as many as 25,000 person-days per billion dollars of revenue putting together the annual budget.

“Budgets, once meaningful control instruments, have become (in today’s dynamic information/knowledge economy and global buyer’s markets) a danger for lasting enterprise success,” says Steve Player, director, BBRT North America.  “They prevent fast and flexible adaptation to the market so that full potential is not realized.  They often promote mistrust, deception and endanger the external corporate transparency demanded today.”

Specific Problems with Budgets
There are three primary problems with traditional budgeting: 

1. It takes a long time, costs too much, and consumes too many corporate resources.  For some companies, the process can take as long as six to eight months.  Many companies on a calendar fiscal year start the budgeting process in the summer and won’t end until November, December or, in some cases, after the budget period has actually started.  Most budgets are very detailed and require the input and back and forth negotiation of many people throughout the organization, which only adds to the amount of corporate resources consumed by traditional budgeting. Moreover, often, internal politics come into play and become more important than the customer—with managers and employees self-occupied as a result.

2. It’s fixed and inflexible, and can quickly become irrelevant.  The traditional budget starts top down and then becomes a detailed bottom up building process to meet fixed goals set by management—whether realistic or not.  Once the budget is locked down, game over—no more changes.  The economy may change, industry or market conditions may change, something specific within the business may change.  Regulations may roil the playing field.  New entrants or competition may emerge.  There may be new concepts, new partnerships, new innovations, or other internal factors with financial repercussions.  There are so many things that can (and perhaps should) change, and yet the budget only looks at things as they were back when it was created.

A survey of planning, budgeting, and forecasting practices by APQC and the BBRT found that 55% of respondents felt that the assumptions used in their budgets were so different than actual results that the budgets were useless within the first six months of the year.  Player, the lead researcher in the study, noted that this trend is increasing as market conditions become more volatile due to the accelerating speed of business.

3. Most companies tie executive and employee compensation directly to performance against the budget.  When this happens, the goal for the employee becomes “How can I minimize performance expectations?”  And, the easiest way to control that is to negotiate an overly achievable budget benchmark, so that hitting the goal is easily reached.  If you’re managing a cost center responsible for spending, you will likely try to maximize as much as possible the size of the budget spend, because it will give you the most resources to spend regardless of whether these resources are necessary.  And, if you come in at what you really think you’re going to spend, you’ll look good, which will impact you positively from an incentive standpoint.  Conversely, if you’re a in a revenue producing center, you’re likely going to lowball the budget, so when you exceed it you’ll look good.  But, you’ll just barely exceed it so you have plenty of room to do well the next year.  Otherwise, management will increase your budget for next year!

So, what happens is that the budget, the very mantle on which the company stands, actually turns into an internal negotiation with management, a gamesmanship of sorts, where rather than developing a budget that realistically reflects a view of where the company is going, ends up being something largely fictitious and arbitrary.

The Remedy: Rolling Forecasts
If the traditional budget has flaws, what should be done?  The rolling forecast is a logical adaptation of the fixed budget or forecast—largely addressing the issues raised above with the traditional planning process.

The rolling forecast is a solid first step toward adaptive performance management.  To better understand the rolling forecast, picture the 15th century explorer traveling the ocean in pursuit of the New World.  He may have maps and charts at his disposal, but what if he has to change course due to unplanned circumstances such as bad weather, sickness or even the occasional pirate ship attack?  Without some kind of tool that can help him navigate these unexpected deviations from plan and reset course, our captain may very well end up in Belize rather than Boston.

A rolling forecast can be defined as a projection into the future, partly based on past performance, that is routinely updated to incorporate input and information reflecting changing market, industry and/or business conditions.  It is not meant to be a fixed target, but rather a best current prediction as to the organization’s financial and operational performance over a certain time horizon.  That time horizon can be 12, 18, 24 or any number of months or quarters ahead from today.  It “rolls,” because as time moves forward, so does the time horizon of the forecast, unlike a traditional budget cycle that ends at a fixed point in time.  Ideally, you don’t want to look too far into the future or it tends to become too hazy, unrealistic and unpredictable, but you also don’t want to keep the time horizon too short or you’re not seeing the full impact of your decisions.

Rolling forecasts are typically updated on an ongoing basis, rather than quarterly or semi-annually.  This means that they are more accurate and require less time to update than a traditional budget/fixed forecast planning model.  Unlike traditional budgeting, where you basically start all over and have to redefine the whole process and marshal the resources annually (and have to contend with ongoing negotiations), rolling forecast, involves only minor tweaking as you continually update on a short-term basis.  This saves time and resources.

Rolling forecasts solve the third problem outlined above, tying executive and employee compensation directly to performance against the budget, by instead focusing on outperforming the competition and achieving high performing results.  For example, a company can use key industry metrics to measure its performance against the top players in its industry, resulting in higher bonuses for executives if the company outpaces its competition.  Or, try publicizing peer performance of a sales organization—and see how hard those salespeople work to remain “A” players and come out on top.

Responding to Change
European countries, as earlier indicated, have pioneered the notion of moving away from the traditional budgeting approach.  The climate, of course, is different there—one generally marked by an open and less regulated market.  In the U.S. we tend to have a shorter term mentality resulting from the influence of Wall Street, which places an undue emphasis on quarterly earnings and its effect on stock prices.  This drives companies towards traditional budgeting, which Wall Street closely monitors, leaving little room for flexibility.

As a result, many companies have been resistant to change.  As with any trend, there will be a tipping point.  In the last couple of years we have seen a willingness by clients to get their toes wet when it comes to rolling forecasts, with many slowly making the transition by establishing some kind of rolling forecast, while not yet eliminating the traditional budget.  The goal is that eventually the concept of the calendar year and the stop-and-start budget will become less and less important.

If your business uses an antiquated tool that doesn’t facilitate a rolling forecast, the transition will be an onerous one.  Managing the rolling forecast by using spreadsheets is very challenging, and most budgeting software tools are designed for fiscal year cycles.  Yet, planning tools now exist that offer flexibility and can handle the transition from the budget to the rolling forecast, or any variation thereof.

But even with the proper tools to facilitate the transition to the new system is the need for a fundamental change in an organization’s culture and management philosophy.  The change must be a C-level management decision and then be efficiently communicated down the chain.

Like any significant change, this one won’t be painless. But the return on investment will be great. People will quickly learn to love the rolling forecast if, for no other reason, that it’s not the budget.

 

About the Author(s)
Ken Wolf is president and CEO of Revelwood (www.revelwood.com), a firm that provides performance management solutions to Fortune 1000 and mid-market companies.
Artikel asli:



Sentence Structure or Sentence Patterns

My students seem still difficult to understand the verb they use in their sentences. I can recognize it from sentences they analyzed and the result of the analysis. Then I wonder, still until now, how I am able to help them understand that in English sentences in fact the patterns we have are quite similar as the ones we have in Indonesian. In Indonesian language a sentence is usually started by a subject, followed by a predicate, and so on. Well sometimes, before we have the subject, we like putting an adverb which is showing the time of the activity. Hmmm yaa adverb of time can be placed at some different positions, but the Subject, Predicate, Object, they cannot replace one another. It is not okay to put a predicate at the beginning of a sentence then followed by a subject, it’s just not the way is it is. There are rules to follow. If learners of English are good at creating a well-structured Indonesian sentence, I think it is going to be easier too for them to create sentences in English because English language has a quite similar pattern, which is Subject, Verb are used in a sentence where a subject will come first at the beginning of a sentence and it will be followed by verb and so on.

It’s just a short thought of the day that I like to share you since I am checking my students’ works and I keep finding this kind of errors in their writings.

Let’s brainstorm here 🙂
Comments are very welcome.

Cheers,




e-commerce untuk berdagang industry rumahan

Jumlah Pengguna Internet di Indonesia Sudah mencapai 88,1 Juta (14 April 2015, PUSKAKOM-APJII. Hal menarik pertama yang kita temukan adalah sebuah fakta bahwa pengguna internet di Indonesia sudah mencapai angkat 88,1 Juta. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang ada 252,4 Juta, maka dapat dikatakan bahwa penetrasi pengguna internet di negara ini mencapai 34,9%. Angka tersebut meningkat cukup banyak bila dibandingkan dengan tahun 2013 dimana penetrasi internet baru mencapai 28,6%.

Berdagang  konvensional dan Berdagang dengan online. Berdagang konvensional adalah berdagang dimana tempat transaksi jual-beli  barang dan jasa antar individu atau kelompok yang dilakukan secara langsung /bertemu tatap muka (umum dilakukan di pasar).  Berdagang online adalah Semua bisnis atau transaksi yang dilakukan dengan menggunakan internet, baik transaksi maupun untuk memasarkan barang atau jasanya. para penjual dan pembeli barang dan jasa dalam bertransaksi harus memiliki alat komunikasi yang dapat terhubung jaringan internet. Alat komunikasi berdagang online adalah dapat berupa  komputer, laptop, tablet, handphone, smartphone dan internet.

Pengertian Online adalah keadaan komputer yang terkoneksi/ terhubung ke jaringan Internet. Sehingga apabila komputer kita online maka dapat mengakses internet/ browsing, berdagang di internet. Sebetulnya ini sama halnya seperti kita melakukan transaksi jual beli secara konvensional, namun kantor atau toko Anda berada di online. Kenapa berdagang menggunakan online :

  • Biaya memasarkan
  • Waktu
  • Tempat
  • Bisnis Dengan Potensi Internasioanl
  • Bisa Sukses Apapun Latar Belakang Kita
  • Penghasilan Yang Melimpah Bahkan di Luar Dugaan
  • Bebas Pajak
  • Waktu dan Bekerja Secara Bebas

Bagaimana cara berdagang online :

Langkah Pertama..

Membangun pertemanan yang luas

Tentukan dagang batu mulia seperti apa yang sekarang trendi

Amannya menjalin Kemitraan atau menjadi reseller

Langkah Kedua…

Menggunakan lapak yan ada di Online (Facebook, Twitter, Instagram, Pinterest, BBM, LINE, Bukalapak, Tokopedia, dan OLX , youtube atau yang lainnya)

Langkah Ketiga..

Membuat website sendiri tidak berbayar

Membuat website sendiri berbayar

 

Memulai fasilitas berdagang online (Internet) :

  1. Membuat website sendiri untuk dagang (ada yang gratis dan ada yang berbayar)

Yang gratis Blogspot.com  atau WordPress.com

http://selingkaran.com/news/read/1533/2015/09/cara-membuat-website-secara-gratis-dan-juga-berbayar/

  1. Dengan menggunakan fasilitas yang ada di handphone

WA, FB, Line, BB, pad, Instagram, youtube

Untuk memulai silahkan menggunakan hp anda untuk menawarkan sesuatu yang anda ingin tawarkan ke temen-temen yang menjadi pertemanan dengan anda di media sosial yang ada. Hal ini untuk mengetahui respone yang diberikan oleh teman anda, dan dijadikan sebagai titik tolak dari awal untuk keberlanjutan rencana usaha melalui e-commerce

  1. Menggunakan website yang sudah ada tinggal mengiklankan (ada yang gratis dan ada yang berbayar), contohnya adalah untuk berdagang asesoris sepatu dan tas

http://www.lazada.co.id/beli-tas-sepatu/

http://www.grosirimpor.com/

http://www.tas200.com/content/tas-dan-sepatu-165

https://www.tokopedia.com/tassepatubranded

https://www.bukalapak.com/p/fashion/wanita/tas-wanita/45ra1-jual-tas-dan-sepatu-couple-colour

http://olx.co.id/keperluan-pribadi/fashion-wanita/tas-dompet/q-sepatu/

 

Penting diperhatikan saat berdagang online   :

  1. Sistem pembayaran diawali dengan dengan Cash On Delivery (COD)
  2. Alamat Website gratisan membuat orang kurang bahkan tidak percaya (blog dan wordpress), Karena para penipu juga selalu menggunakan website ini.
  3. Harga barang jangan terlalu murah atau terlalu mahal
  4. Untuk yang diberlakukan bayar dimuka, sebaiknya memberikan nomor rekening lebih dari 1, tetapi tetap dengan satu nama
  5. Membuat pendapat Testimonial cari yang terpercaya dan tidak terlalu banyak
  6. Jangan gunakan kata-kata yang terlalu muluk-muluk dalam menawarkan barang
  7. Buatlah Photo yang jelas asli tidak direkayasa



Fitur Speech-To-Text Whatapps

Anda pengguna sosial media Whatapps (WA)?

Sekarang WA telah menambah fitur berupa Speech-To-Text (STT). Anda tak perlu repot mengetik, cukup menekan tombol microphone yang ada di WA. WA akan mengenali suara Anda, dan suara yang dikenali akan berubah menjadi text.

Bahasa yang dikenali dapat berupa bahasa Inggris maupun Indonesia. Indonesia? Ya! Bahasa Indonesia! Tidak percaya? Silahkan Anda mencobanya sendiri. Tetapi pastikan dahulu WA Anda sudah terdapat fitur STT.

Begini caranya untuk mengecek fitur.

Cek apakah tombol ini sudah ada di keyboard WA Anda

Anda hanya perlu berbicara, selebihnya fitur STT yang ada di WA akan melakukan pekerjaannya. Mudah bukan? Selamat mencoba!