Writing for popular media or scholar publication?

Something to think about.

Cheers.

Citations are not enough: Academic promotion panels must take into account a scholar’s presence in popular media.

 




Public Transportation in Jakarta (Part 1)

The choices of public transportation when you are in Jakarta can be chosen from the cheapest like bus and train, to the most expensive ones, for example taxi and motorcycle taxi or Indonesian people usually call it ‘Ojek/Ojeg’.

Motorcycle taxi or Ojek/Ojeg has become one of the favorites because of the bad traffic jam Jakarta usually has. Though it’s expensive and uncomfortable, people keep choosing it to help them manage their time when they want to go anywhere, even to a very far place like the airport (Soekarno-Hatta Airport in Cengkareng, Tangerang), whose distance is about 30 km from central Jakarta. Well, I have never tried it, taking the motorcycle taxi to the airport, but I know there are some people use the service to go there because many times I am offered to use the service to go to the airport. My favorite transportation to go to the airport is Damri Bus, but sometimes I also take taxi, especially when I need to catch a very early flight, or when I arrive at Soetta Airport very late at night and Damri Bus is no longer available.

For my daily transportation, I like taking bus, one of the choices is the TransJakarta bus, the one that I usually take for going home from the office. This bus is more comfortable than the regular buses available in Jakarta. When you get seat you can sit comfortably and do like what I usually do, browsing the internet, reading, even texting people. Well, I will write you more about this Trans Jakarta bus and other transportation later. See you around!!
ojek to bandara




Apa beda foto bagus dan foto indah?

Sydney Opera House

Sydney Opera House

 

Sebagai seorang fotografer amatir yang sedikit semi profesional, kami mendirikan Indonesia Australia Photography Association (IAPA). Kami sering berdiskusi, mengadakan workshop dan juga pameran foto.  Saya jadi teringat diskusi dengan seorang kawan yg sudah lama malang-melintang di dunia fotografi. Menurutnya ada perbedaan yang mendasar antara foto bagus dan foto indah. Sementara dalam satu lomba foto, juri selalu mengutamakan foto bagus yang sekaligus indah. Kalau begitu apakah perbedaan antara keduanya?

Foto indah itu enak dilihat, sedangkan foto bagus (belum tentu indah) itu sesuai targetnya. Sebagai contoh foto Opera House, Sydney yang saya ambil dari Circular Quay itu indah, tapi sudah tidak bagus lagi karena jutaan orang sudah memotret yang sama persis. Saya yakin foto saya tersebut bila saya masukkan ke salah satu lomba foto tidak akan menang untuk alasan diatas.

Pertanyaannya kemudian apakah harus dengan skill yang tinggi dan gear yang mahal untuk dapat menghasilkan karya yang bagus sekaligus indah? Jawabannya tidak. Kalau menurut saya, dibutuhkan juga “wow effect” supaya karya kita diingat orang. Untuk menghasilkan foto bagus dan indah, wow effect dibutuhkan untuk membuat foto bagus lebih berbicara.

Menurut saya wow effect bisa didapat dengan setidaknya dua cara. Pertama, dengan sedikit keberuntungan. Contohnya ketika kita sedang menjepret kembang api, tiba-tiba ada halilintar yang menyambar. Jadilah karya kita  mendapat “bonus” halilintar .

Kedua, wow effect juga bisa kita dapatkan dengan sedikit kreativitas atau bahkan rekayasa. Mungkin kita sering melihat foto gedung luluh-lantak akibat bencana alam atau perang. Di reruntuhan itu hampir selalu kita melihat ada boneka teddy bear yang mengesankan anak menjadi korban. Kalau kita jeli melihatnya, semua teddy bear itu punya kesamaan: Terlihat baru. Mengapa demikian? Karena membawa boneka teddy bear adalah salah satu trik fotografer perang/bencana alam untuk mendapatkan hasil foto yang lebih berbicara.

Selamat menjepret kamera anda untuk menghasilkan foto bagus yang sekaligus indah!




Tutorial Menulis Esai Pendek

Kegiatan tulis-menulis bukanlah hal mudah untuk dilakukan, baik yang formal maupun informal. Namun siapa saja pastinya dapat menulis dengan baik apabila dia dapat menguraikan idenya dengan teratur dan terarah. Tutorial yang saya ingin sampaikan di sini adalah ide mengenai tahap-tahap menulis esai yang baik yang pernah saya pelajari, terutama jika tulisan yang ingin dibuat adalah tulisan esai formal. Walau begitu menurut saya pribadi tahap menulis yang akan saya paparkan berikut tetap akan bermanfaat untuk bentuk tulisan apapun sehingga tulisan kita dapat lebih dipahami oleh pembaca.

Esai yang baik biasanya terdiri dari 3 bagian tulisan, 1. Pendahuluan (introduction) 2. Isi (body) 3. Penutup/kesimpulan (conclusion).

Menulis Paragraf Pendahuluan
Pada bagian pendahuluan biasanya dapat ditulis hanya dalam satu paragraf mengenai ide/topik yang ingin kita tulis untuk esai tersebut, dilanjutkan dengan kalimat-kalimat yang berisi tentang ide pendukung dari topik tersebut sebagai kerangka menuju bagian paragraf isi sehingga pembaca dapat mengetahui topik yang akan mereka baca dan apa saja ide pendukung yang akan mereka baca di paragraf-paragraf selanjutnya sehingga akhirnya mereka merasa tertarik untuk terus membaca esai tersebut sampai habis.

Menulis Paragraf- Paragraf Isi
Paragraf-paragraf isi jumlahnya bergantung pada ide pendukung yang sudah disampaikan oleh penulis di paragraf pendahuluan. Misalnya topik esai adalah tentang tipe mahasiswa pada saat ujian dan paragraf isi dapat berupa tipe-tipe mahasiswa tesebut, yang kemudian tiap tipenya saya tuliskan dalan setiap paragraf dengan detil. Seandainya tipe mahasiswa tersebut ada 3, maka paragraf isi pun akan ada minimal 3 paragraf. Di paragraf isi itulah penulis akan mengembangkan ide pendukung yang sebelumnya sudah disampaikan berupa kerangka pada pargraf pendahuluan.

Menulis Paragraf Penutup/Kesimpulan
Paragraf penutup cukup ditulis dalam satu paragraf berisi kesimpulan dari hal-hal yang telah ditulis. Biasanya pada paragraf penutup akan ada pengulangan kerangka paragraf isi yang singkat, sehingga pembaca diingatkan mengenai apa saja yang telah dibacanya pada paragraf-paragraf sebelumya dan ini sangat penting bagi penulis, karena pastinya seorang penulis berharap para pembacanya dapat mengingat tulisannya dengan baik.
Demikian tutorial menulis esai yang dapat saya sampaikan. Berikut ini link ke tulisan saya yang kurang lebih mengikuti tahapan penulisan yang sudah saya jelaskan tadi (http://adelinguist.blogspot.com/2015/02/iseng-nulis-tipe-mahasiswa-saat-ujian.html), namun karena tulisannya informal, paragraf-paragraf yang saya tulis lebih bebas, panjang, dan tidak mengikuti persis aturan atau tahapan yang baku yang saya telah jelaskan. Walau begitu jika tulisannya lebih formal biasanya aturannya lebih ketat sehingga kita diharapkan dapat mematuhi tahapan yang sudah baku. Contoh lain untuk esai yang benar-benar mengikuti tahapan yang ada dapat dilihat di bawah ini
“The Hazards of Movie going”
Source: John Langan “College Writing Skills with Readings”

I am a movie fanatic. When friends want to know what picture won the Oscar in 1980 or who played the police chief in Jaws, they ask me. My friends, though, have stopped asking me if I want to go out to the movies. The problems in getting to the theater, the theater itself, and the behavior of some movie-goers are all reasons why I often wait for a movie to show up on TV.

First of all, just getting to the theater presents difficulties. Leaving a home equipped with a TV and a DVD-player isn’t an attractive idea on a humid, cold, or rainy night. Even if the weather cooperates, there is still a thirty-minute drive to the theater down a highway, followed by the hassle of looking for a parking space. And then there are the lines. After hooking yourself to the end of a human chain, you worry about whether there will be enough tickets, whether you will get seats together, and whether many people will sneak into the line ahead of you.

Secondly, once you have made it to the box office and bought your tickets, you are confronted with the problems of the theater itself. If you are in one of the run-down older theaters, you must adjust to the dusty smell of seldom-cleaned carpets. Broken springs hide in the cracked leather seats, and half the seats you sit in seem loose or tilted so that you sit at a strange angle. The newer theaters with small rooms next to each other offer their own problems.
Sitting in an area only one-quarter the size of a regular theater, movie-goers often have to put up with the sound of the movie next door. This is especially upsetting when the other movie involves racing cars or a karate war and you are trying to enjoy a quiet love story. And whether the theater is old or new, it will have floors that seem to be coated with rubber cement. By the end of a movie, shoes almost have to be ripped off the floor because they have become sealed to a deadly mix of spilled soda, hardening bubble gum, and crushed candy.

Thirdly, some of the movie-goers are even more of a problem than the theater itself. Little kids race up and down the aisles, usually in giggling gangs. Teenagers try to impress their friends by talking back to the screen, whistling, and making what they consider to be hilarious noises. Adults act as if they were at home in their own living rooms and comment loudly on the ages of the stars or why movies aren’t as good anymore. And people of all ages crinkle candy wrappers, stick gum on their seats, and drop popcorn tubs or cups of crushed ice and soda on the floor. They also cough and burp, squirm endlessly in their seats, file out for repeated trips to the rest rooms or kiosk, and elbow you out of the armrest on either side of your seat.

In conclusion, after arriving home from the movies one night, I decided that I was not going to be a movie-goer anymore. I was tired of the problems involved in getting to the movies and dealing with the theater itself and some of the patrons. The next day I arranged to have cable TV service installed in my home. I may now see movies a bit later than other people, but I’ll be more relaxed watching box office hits in the comfort of my own living room.

Semoga bermanfaat. Saya berharap apabila berkenan teman-teman dapat memberikan saran yang membangun. Terima kasih.

Jakarta, 25 Januari 2011

Adelina




Umur Panjang? Siapa takut

“Selamat Panjang Umur …” adalah sebuah phrase yang biasa diucapkan sebagai sebuah doa ketika seseorang berulang tahun. Dan umumnya, orang yang menerima ucapan doa tersebut akan merespon dengan wajah yang berseri-seri, bersinar menggambarkan kebahagiaan.  Namun, berapa diantara kita yang mengupayakan usaha untuk memperpanjang umur? Pola makan diet? Pola makan sehat? Olahraga?

Sebuah hasil penelitian yang dilakukan selama 12 tahun, menemukan bahwa “Jogging ringan merupakan sebuah upaya olahraga terbaik untuk mendapatkan umur panjang”.  Hasil penelitian ini dilakukan oleh Copenhagen City Heart Study dan diterbitkan dalam Journal of American College of Cardiology.  Lebih lanjut dikatakan bahwa “orang-orang yang tidak jogging mempunyai kemungkinan yang sama dengan mereka yang berolahraga keras dan rutin dalam me”maintain umur”.

Studi tersebut melibatkan 1.098 pelari dan 413 orang sehat yang tidak jogging. Penelitian ini kemudian mencatat durasi, frekuensi, dan kecepatan jogging setiap subyek.  Hasil penelitian mengatakan bahwa subyek yang berjoging selama 1 – 2.5 jam per minggu mempunyai resiko yang lebih kecil untuk mati mendadak.

Nah …..

Sumber :

1.    Media Indonesia, Rabu, 4 Feb 2015, hal. 1

2.    Journal of the American College of Cardiology, vol 65, Issue 5, 10 Februari 2015, pages 411-419.  “Dose of Jogging and Long-Term Mortality: The Copenhagen City Heart Study”Peter SchnohrJames H. O’KeefeJacob L. MarottPeter LangeGorm B. Jensen.

 




ANGGARAN HCD 5% TERLALU BANYAK? oleh Don Sadana

 

Oleh: Stefanus Sadana

Dosen, peneliti, trainer HCD Perbanas Institute

 

Ancaman atau tantangan nyata kebijakan “free movement of skill labors among Asean Economi Community-AEC” tinggal menghitung hari. Situasi ini disadari memerlukan partisipasi para stakeholder perbankan berupa sumbangan kritis pemikiran dan kebijakan otoritas moneter. Di sisi lain masukan teoritis perkembangan perbankan kawasan ASEAN perlu menjadi perhatian.

Data pada akhir 2012, menunjukkan penguasaan pasar bank-bank utama di negara-negara ASEAN 5 berpusat di Singapura dan Malaysia. Tiga besar aset dan keuntungan bank masing-masing negara (Indonesia, Thailand, Phillipines) jika dijumlahkan masih jauh dibandingkan dengan kedua negara tersebut. Kesiapan modal, baik uang maupun manusia, sungguh masih cukup nyata. Berikut dapat dicermati hal tersebut.

Tabel Bank-Bank Utama ASEAN 5

 

Countries

Gross Assets

($ million)

Profit before tax ($ million)  

feature

SINGAPORE      
DBS Bank 288,426 3,764 Stablished in 1986 as a development finance institution under the government initiative. The largest bank in ASEAN focusing on the operations in greater China, and entered in China as a first Singaporean bank.
OCBC Bank 241,784 4,054 Born in 1932 as a result merger of three China-affiliated bandks. On of the foundrs of the Asian dollar markets in the late 1960s. Focuses on the Indonesian and Chinese markets.
United Overseas Bank 206,617 2,738 Established in 1935 as United Chinese Bank and renamed in 1965 to United Overseas Bank . Through a spate of M&As became a bank to represent Asia.
MALAYSIA      
Maybank 161.827 2.582 Established in 1960. The4th largest bank in ASEAN. Most aggressive
CIMB Group 110,221 1,884 The 5th largest universal bank in ASEAN. Provides a wide range if financial services by the largest retail network in the region.
Public Bank 89,805 1,669 Established in 1966 abn specializes in retail and SME finance. Less eager to go overseas than the largest two with its foreign offices only in Cambodia, Laos, and Vietnam.
THAILAND      
Bangkok Bank 78,964 1,316 The largest bank in Thailand, established in 1944. Very acticve in expanding to oversean with a wide spread network in the ASEAN region. The only Thai bank that has a big presence in China.
Siam Commercial Bank 74,107 1,671 Established in 1907 as the first domestically financed bank through the royal initiative. Aiming at becoming a super-regiooanal bank in ASEAN focuses on stablishing its brand name.
Krung Thai Bank 73,575 1,025 Born in 1996 as a State-owned bank. Presently majority of it s stocks held by the Financial Institutions Development Fund that was organized in 1985 within the Bank of Thailand to reconstruct the bankrupt financial institutions.
INDONESIA      
Bank Mandiri 65.731 2.120 The largest bank in Indonesia. Established in 1998 in a merger of 4 states banks as part of the Government’s Bank Reconstruction Program
Bank Rakyat Indonesia 57.015 2.467 The oldest bank in Indonesia, established in 1895in the Dutch colonial days. State-owned after Independence with government still holding 70% of its stocks.
Bank Central Asia 45.811 1.519 Established in 1955. Put under the temporary state control after the Asian currency crisis, and fully privatized in 2005
PHILLIPINES      
BDO Unibank 30,210 384 Born in 2006 as a resukt of merger of Banco de Oro and Equitbale PCI Band Owned by the SM group, the largest conglomerate in the Philippines.
Metropolitan Bank & Trust 25,262 507 Estblished in 1962 aiming at providing financial services to the Chinesse community. Got the universal bank license in 1981 to become an integrated financial services group.
Bank of the Phillipine Islands 23,914 475 Established in 1851. The oldest bank existing in Asia. Served as a central bank to issue first Philippine peso notes in the days of the Spainish reign. Has the largest domestic branck network.

 

Sumber: Yamanaka, 2013

 

Apabila dibuat pengelompokkan, Bank Mandiri sebagai bank terbesar di Indonesia berada di urutan ke sembilan atau sepuluh dari sisi aset. Namun dari sisi profit sebenarnya Bank Mandiri kalah dibandingkan Bank BRI. Banyak persoalan sudah lebih dulu ditemukan di Indonesia karena sebenarnya bank-bank asing ASEAN sudah menancapkan kakinya di Indonesia melalui cabang atau representative office mereka. Bahkan, kepemilikan saham dan penempatan SDM pada manajemen puncak bank-bank tersebut. Hal ini terjadi misalnya pada Bank OCBC-NISP, Bank CIMB NIAGA, Bank BII Maybank. Bahkan bank global tutu berlomba juga, misalnya Bank HSBC dengan Bank Ekonomi Raharja.

Persoalan sebenarnya adalah paradigma efisiensi usaha dan cakupan layanan yang sangat terkait dengan SDM yang andal. Apakah dengan wilayah yang luas di Indonesia biaya operasional dibanding pendapatan operasional (BOPO) bank-bank dengan kepemilikan asing tersebut akan seefisien di negara asalnya? Tantangan ini perlu dijawab dengan tindakan nyata. Oleh karena itulah, pengembangan kompetensi karyawan (employee competency) yang dimotori oleh kompetensi SDM (human resource competency) makin terasa mendesak.

Hal lain yang juga menjadi masalah tersendiri bagi Indonesia adalah paradigma human capital management (HCM). Karena pada dasarnya AEC identik dengan liberalisasi pasar tenaga kerja di Indonesia, khususnya untuk tenaga keuangan-perbankan. Bagaimana bank-bank lokal, khususnya bank umum kegiatan usaha (BUKU) 3 menyikapi hal tersebut? Lalu bagaimana pula sikap bank-bank pembangunan daerah serta bank perkreditan rakyat sebagai penjaga rumah kedaulatan finansial? Bagaimana kesiapan pemimpin puncak mereka?

HCM mendudukkan pelatihan dan pengembangan dengan pengukuran terkait hasil bisnis. Pelatihan tidak sekedar “reaksi”. Level pertama “reaksi” – ukuran kepuasan pelanggan (customer satisfaction) yang relevan seperti rasa keikatan (engagement). Level 2, mengevaluasi pembelajaran untuk mengetahui seberapa banyak pengetahuan yang sudah diperoleh, keahlian apa yang dikembangkan atau ditingkatkan, sikap, kepercayaan dan komitmen. Tingkat 3, mengevaluasi perilaku dengan melihat besarnya perubahan perilaku setelah seseorang mengikuti pelatihan melalui monitoring reinforcing, encouraging dan reward. Tingkat 4, mengevaluasi hasil dengan mengukur seberapa jauh tujuan dasar telah diperoleh dalam bidang seperti kenaikan penjualan, kenaikan produktifitas, penurunan kecelakaan atau kenaikan kepuasan konsumen.

Pengembalian investasi atau return on investment (ROI) pelatihan adalah alat terbaik untuk menilai dampak pelatihan terhadap kinerja organisasi. ROI dihitung dengan menggunakan rumus :

Manfaat Pelatihan (Rp) – Biaya Pelatihan (Rp) X 100

Biaya Pelatihan (Rp)

Hasil pelatihan harus diukur melalui efek kejadian (eventual) berupa besarnya belanja pelanggan, kepuasan pelanggan, dan jumlah pelanggan. Ukuran finansial inilah yang membuat ROI semakin diminati. Dengan demikian, akuntan dapat menghitung biaya amortisasi atau direktur pemasaran dapat menebak market share. Mayo[1] mengatakan bahwa ada dua jenis ‘pengembalian’ yang terkait, yang dapat digunakan untuk menilai fungsi SDM , yaitu ‘nilai tambah masa depan’ untuk stakeholder dan ‘pengembalian investasi’ dari proyek dan program tertentu.

            Lalu, apakah relevan bila saat ini mulai terdengar bisik-bisik mempertanyakan biaya pelatihan dan pengembangan sebesar 5% dari toal biaya SDM? Rasanya pandangan seperti ini naïf karena daya saing bangsa ini secara global masih jauh dibandingkan dua negara ASEAN di atas. Kiranya OJK justru perlu menambah aturan tersebut dengan panduan yang lebih operasional menyangkut konten dan pengukuran hasil pelatihan dan pengembangan sebagai bagian penilaian kesehatan bank.

Di sini peran Bank Indonesia, sebagai otoritas pengewasan makro serta Otoritas Jasa Keuangan, sebagai lembaga baru sangat penting. Masa integrasi sector riil pada 2015 tidak lama lagi dan roadmap integrasi keuangan perbankan 2020 sudah pula dicanangkan. Bahkan, dari sisi permodalan, Indonesia termasuk sangat liberal. Kepemilikan asing pada bank domestik boleh mencapai 99%. Bandingkan dengan Malaysia yang mengijinkan 30% dan Singapura 5%.[2] Bagaimanapun juga patut disyukuri upaya BI sebagai regulator pada 2012 berani mengambil sikap dengan mengeluarkan peraturan dengan menurunkan kepemilikan asing maksimal 40% dan azas resiprokal ketika Bank DBS, bank terbesar di Singapura, ingin membeli saham Bank Danamon. Meskipun akhirnya rencana ini dibatalkan. Rupanya bank-bank di Indonesia juga perlu memikirkan dampak daya saing kehadiran bank-bank global dan ASEAN. Mereka memiliki modal kuat dan jaringan luas seperti terlihat berikut ini.

Tabel 1.3 Jaringan Bank Global dan Asean 5 2012

 

COUNTRIES, BANK

Indonesia Malaysia Philippines Singapore Thailand Brunei Cambodia Lao PDR Myanmar Vietnam
GLOBAL                    
HSBC
Standard Chartered Bank Rep Rep Rep
Citibank
INDONESIA                    
Bank Mandiri  
Bank Rakyat Indonesia  
Bank Central Asia   Rep
MALAYSIA                    
Maybank   Rep
CIMB Group   Rep
Public Bank   JV
PHILLIPINES                    
BDO Unibank  
Metropolitan Bank & Trust  
Bank of the Phillipine Islands  
SINGAPORE        
DBS Bank Rep   Rep Rep
OCBC Bank  
United Overseas Bank   Rep
THAILAND                    
Bangkok Bank   Rep
Siam Commercial Bank   Rep JV
Krung Thai Bank   Rep

 : Branch, Subsidiary               Rep: Representative Office    JV : Joint Venture    − :none

sumber: diolah dari Lee dan Takagi, laporan tahunan bank, Yamanaka, 2013

 

Terlihat Singapura dan Malaysia mendominasi sebaran pelayanan lalu disusul oleh Thailand. Bukan tidak mungkin bank-bank dari anggota ASEAN lain yang baru masuk seperti Brunei, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam akan menyusul membuka cabang dengan berlakunya MEA 2015.

Dengan telah disepakatiya roadmap integrasi keuangan ASEAN, masalah sebaran pelayanan menjadi penting. Bank-bank di Indonesia dan Filipina yang tersebar dalam wilayah kepulauan yang luas menjadi tantangan tersendiri. Tiga isu utama dalam pengelolaan SDM perbankan Indonesia adalah: competent human resources departement, a human resources management system that suited to neeeds, and human resources management commitment from all related parties.[3] Hasil penelitian Sustyo tersebut khususnya poin pertama dan kedua mendukung dan memperkuat upaya penelitian kompetensi SDM ini.         Lalu mengapa mempermasalah-kan biaya pelatihan dan pengembangan sebesar 5%? Ayo berani membelanjakan dengan tepat!

 

 

 

 

 

[1] Mayo (2004) dalam Arsmstrong, 2013

[2] Yamanaka, 2013, 11

[3] Sustyo, dalam Suarez, 2009, “Comparative Strategies of Human Resource Management in Selected SEACEN Sentral Banks and Monetary Authority”




ALIGNMENT: New BPR=Bank Perekonomian Rakyat*

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang fokus pada usaha kecil dapat diibaratkan berperan sebagai penjaga rumah ketika Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 tiba. Peran sebagai penjaga rumah perekonomian nasional ini memerlukan koordinasi dan kolaborasi dengan pemilik rumah, yaitu bank umum dan bank pembangunan daerah. Untuk itu koordinasi dan kolaborasi BPR dan bank umum melalui linkage program kiranya tidak lagi memadai. Lalu apa yang bisa diusahakan?

Pemahaman dunia nyata (worldviews) keuangan perbankan dari semua aktor yang terlibat (bankir, pemilik, nasabah BPR dan regulator) perlu holistik (menyeluruh) dan holonik (keutuhan sistemik) bukan sekedar formal. Secara holistik terasa bahwa keberagaman kepemilikan (pemda dan swasta) dan situasi kompleks (fuzzy problem) kepemilikan di tingkat kabupaten (pribadi atau lembaga swadaya masyarakat) perlu lebih dipertimbangkan. Sudah tentu karakter pemiliknya memengaruhi pula sepak terjang bankir BPR. Hal ini jelas memengaruhi kebijakan pengembangan sumber daya manusia (human capital atau modal insani) yang terkait dengan peran profesionalisme BPR dan profesionalitas bankirnya: efisiensi, efektifitas, dan efikasi.

Pemda yang secara periodik berganti pemimpin (bupati) menjadi masalah bagi bankir BPR. Misalnya, masalah peningkatan permodalan salah satunya. Meskipun di sisi lain, ada juga bupati yang berkomitmen tinggi dan sungguh-sungguh berpihak pada usaha kecil menengah (UKM) dengan menambah modal dan memberikan bunga pinjaman yang lebih rendah dari bank umum. BPR yang bermula dari lembaga swadaya masyarakat dengan idealismenya patut ditopang dengan kebijakan permodalan berbeda oleh regulator. Perorangan tentu memerlukan kebijakan lain pula karena kebijakan permodalan yang lebih berorientasi profit.

Kondisi permodalan tidak menjadi permasalahan tunggal yang berdiri sendiri. Situasi masyarakat daerah yang unik dan sangat spesifik perlu diserap aspirasinya. Masuknya kepemilikan asing pada bank umum bisa mengancam peran BPR sebagai penjaga rumah perekonomian nasional dan bisa memburuk jika suatu saat terjadi gejolak. Sedangkan regulator mempunyai kecenderungan membuat perlakuan sama kepada semua BPR.

Menghadapi situasi problematik yang dinamis dan cenderung kacau (fuzzy problem) dunia usaha 2014, dengan aroma situasi politik dan ekonomi pemilu legislatif dan presiden, BPR dan perbankan umum dituntut berbenah. Regulator dan pengawasan perbankan mempunyai tugas penting, mendesak, dan strategis pada 2014. Tugas tersebut di antaranya menjaga agar bank asing tak berombongan masuk merebut pasar Indonesia. Fenomena tersebut, telah banyak terjadi di banyak perusahaan perbankan umum. Harapan agar BPR memperkuat ekonomi dan pasar domestik untuk dapat bersaing pada pasar terbuka tersebut, sudah semestinya perlu kerja keras meningkatkan profesionalitas. Kolaborasi bankir dan politisi perlu dibangun untuk merekonstruksi peraturan.

Para bankir BPR selama ini merasa dianaktirikan oleh sejumlah kebijakan perbankan di Indonesia. BPR menjadi ujung tombak pengembangan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tetapi pada saat yang sama, keran lebar juga dibuka untuk perbankan umum mengucurkan alokasi khusus sebesar 20% untuk UMKM. BPR diminta menggerakkan UMKM, sementera bank umum diharuskan 20% persen untuk alokasi UMKM. Kebijakan ini membuat BPR berhadap-hadapan langsung dengan ekspansi bank umum.

Untungnya sinergi BPR dengan perbankan umum selama ini sudah berjalan. Sinergi ini bisa membuat BPR maupun bank umum sama-sama bertumbuh menjadi lebih baik. Dengan sinergi, kedua usaha perbankan ini bisa linked. Sinergi ini menjadi tidak mudah ketika upaya koordinasi dan kolaborasi hanya didasari kepentingan kepatuhan, teknis keuangan, dan operasional semata. Harus ada alignment yang merupakan komponen soft business. Penyejajaran (alignment) antara bank umum, BPR, dan regulator hendaknya didasari oleh purposeful activity (tujuan mendasar) yang sama sehingga menghasilkan perubahan yang secara sistemik diinginkan (systemically desirable) dan layak secara budaya (culturally feasible) organisasi dan situasi setempat.

Agar BPR bisa berperan dengan baik sebagai penjaga rumah, kiranya perlakuan BPR sebagai BANK PEREKONOMIAN RAKYAT (BPR new paradigm) perlu dikukuhkan dalam perundang-undangan. Untuk tumbuh berkelanjutan diperlukan rekonstruksi sejumlah aturan yang memberikan dukungan lebih baik kepada BPR. Dukungan Pemerintah seyogianya tidak dengan memberikan kemudahan-kemudahan dan bantuan-bantuan yang berlaku umum. Namun membangun komunikasi yang lebih baik pada tingkat kabupaten atau provinsi agar bisa memberikan pinjaman dengan bunga layak sesuai karakteristik masing-masing.

Hingga kini tercatat ada ribuan BPR yang memerlukan dukungan konkret. Memang benar, jumlah ribuan BPR ini masih tak seberapa jika dibanding perbankan umum jika dilihat dari sisi aset. Namun yang pasti, dari sisi pengembangan modal insani (human capital development) sinergi dan penyejajaran membangun komunikasi yang menghasilkan tindakan konkret. Action speak more than words!

*Tulisan ini pernah dimuat di Economic Review, Edisi 03 tahun 01 Januari 2014




Perilaku etika

Apakah ada perbedaan antara perilaku etika compliance-based dengan integrity-based di kalangan mahasiswa?




Merekonstruksi Kepemimpinan Bisnis

 

Perencanaan jangka panjang pada situasi kompleks dinamis tidak memberikan nilai tambah. Hal itu didasari sifat situasi makro perubahan sosial, politik, dan kebijakan ekonomi serta dinamika regional dan global yang susah diprediksi. Batas psikologis suku bunga dan kurs valuta asing terhadap rupiah beberapa waktu lalu sudah dilewati begitu saja. Kondisi ketidakpastian (uncertainty) dan dinamika pasar makin tinggi.

Holon

Situasi ini membuat organisasi bisnis memerlukan kolaborasi para pemimpin. Namun demikian, berlimpahnya perusahaan dengan orang-orang yang merasa mampu memimpin tidak selalu menjadi solusi masalah bisnis. Fakta yang ada menunjukkan kapasitas (capacity) pemimpin bisnis dalam eksekusi sesuai tuntutan di lapangan memerlukan pendekatan baru: ketekunan menggali, menanam, dan menumbuhkan kapasitas individu.

Kapasitas pemimpin bisnis yang diperlukan saat ini adalah kemampuan berpikir kesisteman (system thinking). Artinya pemimpin bisnis (Senge dan Checkland, 1990-an) mestinya menyadari bahwa organisasi yang dipimpinnya adalah bagian dari ketidakpastian lingkungan dinamis yang memerlukan tindakan sekaligus diinginkan (want) dan dapat dilaksanakan (able). Sistem tersebut tidak seperti janji kosmetik yang memutihkan wajah dengan seketika atau menghilangkan sproten, sistem ini memerlukan partisipasi sadar dan aktif dalam komunikasi.

Sistem pengambilan keputusan tersebut tidak instan, tetapi melalui proses. Proses tersebut menafsir realitas lingkungan dan sekaligus aktualitas individu. Para board of director sebagai aktor organisasi (direktur pemasaran, keuangan, operasional, information technology, maupun human capital) seyogianya duduk semeja mengomunikasikan pandangan masing-masing secara terus menerus dengan dibekali pengetahuan spesifik masing-masing (worldview) baik cognitive maupun experience based knowledge. Hasilnya adalah akar permasalahan organisasi yang didefinisikan (root definition) dan dapat diterima semua pihak. Sampai di sini agaknya harapan para pihak terkait terhadap kapasitas pemimpin mulai memudar karena kebanyakan pemimpin bisnis tidak sabar dan tidak mampu mengaktualisasikan gagasan dengan baik kepada teamnya. Mereka cenderung mengamankan ego sektoral yang menjadi tanggung jawabnya dan melihat worldview-nya sebagai resep rahasia. Padahal seharusnya di-share dengan sesama pemimpin di organisasinya.

Setiap individu memiliki sistem berpikir, bertindak, dan berolahrasa sendiri-sendiri yang disebut holon (system individual). Demikian pula departemen dan organisasi. Sistem tersebut saling terkait satu sama lain sehingga diperlukan kapasitas baru seorang pemimpin, yaitu kemampuan berpikir serba sistem (systems thinking). Oleh karena itu keunggulan suatu organisasi bisnis dalam efisiensi biaya bisa saja di-drive oleh seorang individu/pemimpin yang memahami holon individual, departemen, dan organisasi sekaligus.

Kesadaran (awareness) pemimpin dalam systems thinking approach pada organisasi bisnis ini sudah ada sejak 90-an. Dikumandangkan oleh Peter Senge nun di Amerika dan makin terasa urgensinya ketika Peter Checkland melanjutkan penelitiannya di Eropa. Kedua Peter cukup fenomenal bagi saya, terutama Checkland yang menghasilkan pendekatan sistem lunak (soft systems approach).

Pendekatan sistem lunak bersendi pada sistem aktifitas manusia (human activity system) yang meliputi hampir semua kegiatan bisnis. Sistem ini bersifat terbuka dengan para pihak (stake holder) yang keikatannya dalam satu tujuan bersama “emergent property”. Tentunya semua pihak dalam organisasi/ perusahaan mempunyai tujuan bersama, yaitu menciptakan nilai tambah (value creation) yang berujung pada profit. Sayangnya kondisi ini disadari dan disikapi dengan cara berbeda, terutama dalam soal waktu: proses dan kecepatan pembuatan keputusannya.

Keputusan seorang pemimpin terkait dengan kapasitas seseorang. Kapasitas yang merupakan bagian dari talenta (talent) memang bisa tetap menjadi harta terpendam seperti DNA bila tidak dilatih. Kapasitas bawah sadar manusia tak terbatas dan luar biasa daya ungkit (leverage)-nya.

Kompleksitas dan dinamika lingkungan hanya bisa dipahami dengan berpikir kesisteman. Hal mulai terasakan seperti diperagakan dengan elok beberapa pemimpin negeri ini, Jokowi-Ahok dan Gede Winasa. Kita merindukan pemimpin bisnis yang memahami berpikir kesisteman dan berpikir serba sistem. Inikah yang diperagakan pemimpin agama besar dari tanah Timur Tengah dahulu kala? Inikah prinsip syariah? Inikah prinsip persepuluhan? Siapakah kini pemimpin bisnis model ini?

Mari kita kaji dari praktik bisnis kita masing-masing sehari-hari. Mulailah dari Anda sendiri dengan merekonstruksi kepemimpinan Anda. Prinsip bisnis tak akan jauh dari prinsip hidup yang dihidupi. Dengan mengembangkan hidup pribadi bersendi kesisteman dan serba sistem yang membahagiakan saya yakin keputusan menjadi lebih mudah dan lebih cepat karena sudah menjadi kebiasaan. Prinsip berkomunikasi tiada henti menghasilkan keputusan yang diingini dan bisa dilaksanakan. Analsisis logika dan budaya berjalan seiring. Harmoni tercipta melalui dinamika manusiawi dewasa dan saling menginspirasi. Hasilnya berdaya ungkit dan menghasilkan panen melimpah. Semoga!




Employee vs entrepreneur

Students, which one do you choose?